SUARA YANG DIDENGAR MAYAT
sumber : dari milis SMANSA Serang (almamaterku)
Yang Akan Ikut Mayat Adalah Tiga hal yaitu:
1. Keluarga
2. Hartanya
3. Amalnya
Ada Dua Yang Kembali Dan Satu akan Tinggal Bersamanya
yaitu;
1. Keluarga dan Hartanya Akan Kembali
2. Sementara Amalnya Akan Tinggal Bersamanya.
Maka ketika Roh Meninggalkan Jasad...Terdengarlah Suara
Dari Langit
Memekik, "Wahai Fulan Anak Si Fulan..
1. Apakah Kau Yang Telah Meninggalkan Dunia, Atau Dunia
Yang
Meninggalkanmu
2. Apakah Kau Yang Telah Menumpuk Harta Kekayaan, Atau
Kekayaan yang Telah Menumpukmu
3. Apakah Kau Yang Telah Menumpuk Dunia, Atau Dunia Yang
Telah Menumpukmu
4. Apakah Kau Yang Telah Mengubur Dunia, Atau Dunia Yang
Telah Menguburmu."
Ketika Mayat Tergeletak Akan Dimandikan.... Terdengar
Dari Langit Suara
Memekik, "Wahai Fulan Anak Si Fulan...
1. Mana Badanmu Yang Dahulunya Kuat, Mengapa Kini Terkulai
Lemah
2. Mana Lisanmu Yang Dahulunya Fasih, Mengapa Kini Bungkam
Tak Bersuara
3. Mana Telingamu Yang Dahulunya Mendengar, Mengapa Kini
Tuli dari Seribu Bahasa
4. Mana Sahabat-Sahabatmu Yang Dahulunya Setia, Mengapa
Kini Raib Tak Bersuara"
Ketika Mayat Siap Dikafan... Suara Dari Langit Terdengar
Memekik,"Wahai
Fulan Anak Si Fulan
1. Berbahagialah Apabila Kau Bersahabat Dengan Ridha
2. Celakalah Apabila Kau Bersahabat Dengan Murka Allah
Wahai Fulan Anak Si Fulan...
1. Kini Kau Tengah Berada Dalam Sebuah Perjalanan Nun Jauh
Tanpa Bekal
2. Kau Telah Keluar Dari Rumahmu Dan Tidak Akan Kembali
Selamanya
3. Kini Kau Tengah Safar Pada Sebuah Tujuan Yang Penuh
Pertanyaan."
Ketika MayatDiusung....
Terdengar Dari Langit Suara Memekik, "Wahai
Fulan Anak Si Fulan..
1. Berbahagialah Apabila Amalmu Adalah Kebajikan
2. Berbahagialah Apabila Matimu Diawali Tobat
3. Berbahagialah Apabila Hidupmu Penuh Dengan Taat."
Ketika Mayat Siap Dishalatkan....Terdengar Dari Langit
Suara
Memekik,
"Wahai Fulan Anak Si Fulan..
1. Setiap Pekerjaan Yang Kau Lakukan Kelak Kau Lihat
Hasilnya Di Akhirat
2. Apabila Baik Maka Kau Akan Melihatnya Baik
3. Apabila Buruk, Kau Akan Melihatnya Buruk."
Ketika MayatDibaringkan Di Liang Lahat....terdengar Suara
Memekik Dari
Langit,"Wahai Fulan Anak Si Fulan...
1. Apa Yang Telah Kau Siapkan Dari Rumahmu Yang Luas Di
Dunia Untuk Kehidupan Yang Penuh Gelap Gulita Di Sini
Wahai Fulan Anak Si Fulan...
1. Dahulu Kau Tertawa, Kini Dalam Perutku Kau Menangis
2. Dahulu Kau Bergembira,Kini Dalam Perutku Kau Berduka
3. Dahulu Kau Bertutur Kata, Kini Dalam Perutku Kau Bungkam
Seribu Bahasa."
Ketika Semua Manusia Meninggalkannya Sendirian....Allah
Berkata Kepadanya, "Wahai Hamba-Ku.....
1. Kini Kau Tinggal Seorang Diri
2. Tiada Teman Dan Tiada Kerabat
3. Di Sebuah Tempat Kecil, Sempit Dan Gelap..
4. Mereka Pergi Meninggalkanmu.. Seorang Diri
5. Padahal, Karena Mereka Kau Pernah LanggarPerintahku
6. Hari Ini,....
7. Akan Kutunjukan Kepadamu
8. Kasih Sayang-Ku
9. Yang Akan Takjub Seisi Alam
10. Aku Akan Menyayangimu
11. Lebih Dari Kasih Sayang Seorang Ibu Pada Anaknya".
Kepada Jiwa-Jiwa Yang Tenang Allah Berfirman, "Wahai Jiwa
Yang Tenang
1. Kembalilah Kepada Tuhanmu
2. Dengan Hati Yang Puas Lagi Diridhai-Nya
3. Maka Masuklah Ke Dalam Jamaah Hamba-Hamba-Ku
4. Dan Masuklah Ke Dalam Jannah-Ku"
Jumat, 16 November 2007
Kamis, 15 November 2007
Haramkah Sosialis di Indonesia????
Tampaknya belum ada teori yang lebih unggul dari Marxisme dalam menjelaskan seluk-beluk "buruh". Jutaan orang Indonesia paham ini sampai tahun 1965. Sejak berkuasanya Orde Baru pada tahun 1966, Marxisme diharamkan dalam diskusi publik. Mereka yang paling berkepentingan paham, yakni kaum buruh sendiri, dikorbankan secara berganda: tidak cuma secara politik-ekonomi, tetapi juga intelektual.
Ariel Heryanto, Asal Usul Buruh, Kompas, 24-06-07
Kasus Kedungombo, PLTN Muria, Kenaikan Tarif Jalan Tol, Ancaman bom waktu TKI Indonesia di Malaysia, Perampasan Hak-Hak tanah rakyat, Pembiaran Lapindo, Perlindungan terhadap Koruptor BLBI (Baik oleh oknum pemerintah RI maupun Pemerintahan Singapura), Masuknya Saudagar-saudagar kakap pada mesin pemerintahan, Ketergantungan pada IMF, Ketidakdisiplinan bangsa, Konflik antar Agama dan suku yang direkayasa serta segudang persoalan lainnya yang membelenggu bangsa Indonesia intinya adalah permasalahan Kapital. Sebelum kita masuk dan membedah masalah-masalah yang sering menjadi headline di koran-koran itu kita harus kembali pada kepada persoalan pokok, pada akar dari semua persoalan dan akar tersebut adalah sistem Kapitalis yang tidak benar dengan kata lain adanya penguasaan Kapital terhadap kelompok tertentu yang kemudian memperbudak sebagian besar kelompok lain. Jaring-jaring penguasa Kapital itu berkelindan menggunakan apa saja yang bisa dijadikan senjata untuk mematikan pergerakan rakyat yang mencari tempat, pergerakan rakyat yang mengklaim hak-haknya dan menuntut kebijakan yang memanusiakan kemanusiaan. Penguasaan kapital ini sudah menjelma sampai ke darah daging bagi kelas pemegang akses kekuasaan, informasi dan modal sehingga kedudukannya itu tidak bisa digoyahkan oleh tuntutan hak-hak yang seharusnya. Dari sinilah kemudian muncul banyak konflik dengan seribu satu pemicu. Selama bangsa Indonesia mengkhianati Sila ke Lima Pancasila : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, selama itu pula konflik-konflik akan terus membara. Salah satu jalan untuk menyingkap dasar-dasar permasalahan bangsa ini adalah ‘Mengupas sejarah sedetil-detilnya dengan menggunakan pisau analitis Marx” dan memahami Marx pongkolnya ada di Das Kapital baru dari situ kita bisa tahu bagaimana Ilmu Ekonomi bekerja juga bagaimana Pancasila itu tercipta dengan melampaui gagasan Karl Marx seperti yang dikatakan Bung Karno di depan wartawan upgrading wartawan PWI 12 Februari 1966 “Setuju apa tidak setuju tetapi Das Kapital adalah salah satu buku Fundamenteel, salah satu buku fundamenteel tentang ekonomi. Tidak semua orang bisa membaca buku besar ini. Saya tanya pernahkah engkau pernah membaca ‘Communist Manifest?, juga belum...coba! belum pernah membaca Communist Manifest. Padahal saya telah mengatakan di dalam pidato saya, Pancasila adalah salah satu hogere optrekking (Tingkat lebih tinggi, bhs Belanda) daripada Declarace of Independence Thomas Jefferson dan Communist Manifest. Hogere Optrekking. Tapi bagaimana kau akan bisa mengerti Hogere Optrekking ini, kalau engkau belum pernah membaca Declaration of Independence Thomas Jefferson dan belum pernah membaca Communist Manifest yang ditulis oleh Karl Marx”..
Selain masih ada residu cuci otak gaya Orde Baru terhadap hantu mitologis Marxisme, pemahaman marxisme sebagai Filsafat raksasa juga kerap beradu dengan pemahaman naif dan dangkal yang menyerang filsafat itu dan ini tidak aneh bahkan Francis Fukuyama-pun dengan perenungannya yang dalam melonjak dari tempat duduknya dan berteriak “Eureka!!!” lalu mengumumkan pada dunia ..”saya menemukan bahwa Kapitalisme-Liberal adalah The End of History” ia melihat tembok berlin runtuh, Negara Soviet berantakan dan kapitalisme mengglobal. Mata Fukuyama berbinar-binar dengan yakin bahwa ia sudah menemukan ruang akhir sejarah seperti hal-nya Karl Popper saat menegaskan masyarakat terbuka,’open society’ yang diikuti oleh murid paling fanatiknya George Soros bahwa dunia telah menemukan kisah akhir proses sejarah, kapitalisme liberal adalah sebuah ideologi yang tidak bisa diutak atik lagi, dengan demikian mereka berdua menganggap bahwa laju gerak sejarah sudah memasuki ruang kosong. Nihil menemukan bentuk sejarah baru, dan sosialisme sudah punah, ideologi alternatif hanyalah impian kosong. Konsepsi determinasi yang dipisahkan dengan relativitas (kenisbian) dalam dialektika sejarah masyarakat menimbulkan semua penyelewengan baik mereka komunis, kapitalis maupun teokrasi. Melihat hal ini Fukuyama mencapai tahapan fatalistik dalam menemukan kebenaran filsafatnya. Dengan abrakadabra dia menghentikan laju sejarah, melemparkannya ke ruang bejana vakum lalu meninggalkan laboratorium sembari tertawa merasa sudah menemukan inti kebenaran.
Tatkala Chavez dan Evo Morales berhasil menasionalisasi perusahaan-perusahaan dalam negerinya dan menantang ekonomi global bentukan Kapitalis, dunia tersentak. Kaum saudagar dan antek-antek kapitalis menyerang Chavez dan Morales tapi dunia tidak berdiam diri, gerakan-gerakan sosialisme terus tumbuh dimana-mana Michelle Bachelet menang di Chile, Rakyat Mexico menunggu kekuatan sosialisme baru dan nyaris memenangkan Pemilu, kekuatan-kekuatan penting Eropa Barat dari garis Sosialisme sudah memperkuat diri di Jerman kelompok Sosialisme sudah membangun barikade-barikade politik untuk melawan kapitalisme global, Di Perancis kaum Post Marxism bergerak terus diusung pemikir-pemikir brillian macam Alan Badiou, Ernesto Lanchau dan Chantal Mouffe sementara RRC adalah negara nomor satu di dunia dengan suarnya Vietnam gaung sosialisme bergema keras disini. Korea Utara memang sudah jadi fosil karena kepala batunya yang menolak usul RRC dan berpihak pada Stalinis, ketika Stalinis runtuh Korut malah mengisolasi diri, di Korut Marxisme di hinakan menjadi sampah dari monarki absolut peninggalan Kim Il Sung.
Ketika Sosialis bangkit dimana-mana menantang ekonomi global tentu pemahaman terhadap Marx menjadi bangkit lagi. Memang banyak orang berteriak Marx adalah barang lama, bungkus baru..tapi mereka lupa Kapitalis justru barang paling lama dengan bungkus yang diperbaharui terus menerus tanpa jeda dan hasilnya tetap sama ‘penindasan sekelompok komunitas yang memiliki akses pada kekuasaan, informasi dan modal terhadap kelompok besar yang tidak memiliki akses tersebut’ kalau istilah Bung Karnonya “L exploitation l’homme par l’homme”
Gerak Laju Sosialisme di Negara-Negara Dunia Ketiga
Memahami Marxisme adalah memahami gerak pikir Sosialisme dari jaman ke jaman. Itu berarti kita juga mengingat-ingat lagi tentang idealisme Hegelian, teori anti hak milik Proudhon, Tafsiran berapi-api dari Engels, Teori Revolusi Lenin, Kesadaran Kelas dan Historis yang melahirkan Gerakan New Left dari Georg Lukacs sampai pada teori Being and Event Alain Badiou yang menafsirkan Marx dari filsafat Matematika.
Namun dari semua itu bila membicarakan apa itu Marxisme, bagaimana Marxisme mengkritik Kapital dan membongkar mistifikasi-mistifikasi tentang modal maka mau tidak mau kita harus berucap “Pada awalnya adalah Marx”
Kritik Marx terhadap Kapitalisme memang kritik khas abad 19. Jalan pikiran Marx tidak bisa lepas dari dialektika revolusi Eropa 1848 yang merupakan kelanjutan dari rangkaian mata api revolusi kaum Borjuis Paris 1789 dan Revolusi separuh jalan Sosialisme 1830. Walaupun memang harus diakui ada beberapa ramalan Marx tentang kontradiksi-kontradiksi kapitalis yang akhirnya akan menghancurkan dirinya tidak tepat malah bergerak ke arah lain, namun penyingkapan mistifikasi hubungan antara manusia dengan komoditi dan relasi-relasi antar komoditi memiliki arti penting dan membuka pencerahan baru bagi peradaban dimana salah satunya adalah perjuangan pembebasan kolonialisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
Marx memfokuskan pada cara kerja kapitalis Inggris dan Perancis sembari menuding tuan tanah-tuan tanah Jerman “De Te Fabula Narratur!” (Itu adalah tentang dirimu) artinya : apa yang terjadi di Perancis dan Inggris akan terjadi pula di Jerman dimana Industrialisasi dan Kapitalisme menemukan kontradiksi-kontradiksinya. Memahami Das Kapital (Vol.1 bab 1-9) memang cukup sulit diawalnya –bab tersebut menguliti sistem Kapitalis- ini merupakan khas dari cara berfilsafat orang Jerman yang terkenal rumit apabila dilihat orang yang sudah terbiasa membaca filsafat Inggris dan Perancis. Hegel, Immanuel Kant, Nietszche bahkan sampai Heidegger memiliki tingkat kerumitan dengan bahasa yang berbelit-belit. Marx memang berkaitan erat dengan Hegel, namun kaitannya itu merupakan perlawanan terhadap Hegel tentang konsep ‘ide’. Hegel mengatakan “Ide adalah pencipta dunia nyata, dan dunia nyata merupakan penampil dari Ide tersebut” disinilah awal pangkal Metafisika dalam proses berpikir ala Hegelian yang sampai saat ini kuat pengaruhnya di kalangan Filosof. Marx menjungkirbalikkan konsep Ide ini dengan menganggap ‘bahwa yang ideal itu tak lain dan tak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran” Kerumitan memahami pemikiran Karl Marx ini memang cukup berdampak luas. Kaum yang bergerak dalam tataran kiri dan melawan Kapital yang menindas kemanusiaan malah sering terjebak pada kekurang pahaman Marxisme yang rumit. Di Indonesia sendiri, bahkan pada masa jayanya PKI di tahun 1955-1965, Das Kapital jarang menjadi rujukan utama. Kaum Intelektual lebih senang bergelut dengan Camus, meneriakkan revisionis baik itu Trotskys maupun pertobatan Georg Lukacs jarang mereka membedah Das Kapital secara detil, kecuali menjadi catatan kaki dari tulisan-tulisan DN Aidit. Kekurangpahaman terhadap Karl Marx ini kemudian malah menjebak Marxisme kedalam kurungan kekuasaan Orde Baru, Marxisme dihakimi sebagai monopoli Partai Komunis Indonesia, mereka lupa bahwa PNI, Murba, PSI dan Partai-Partai dengan landasan Sosialis lainnya, mendasarkan pada diri Marx. PNI gaya baru dengan sangat memalukan ketika Bung Karno jatuh selain tidak mau mengakui Bung Karno sebagai Bapak Marhaenis dengan alasan kultus Individu dan mengingkari Marx sebagai teori pembebas. Apa yang dilakukan PNI gaya baru hanya sekedar minta pengakuan politik dari Orde Baru untuk mendapat hak hidup. Dan sampai sekarang ajaran Marxisme diharamkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Inilah satu-satunya pemerintahan yang mengingkari warisan intelektual dunia, sementara ilmu perdukunan yang irrasionil boleh dipelajari, Marx sebagai ajaran rasional malah dihinakan.
Bung Karno sendiri pernah mengakui bahwa memang rumit langsung membaca Marx, untuk itu di usia 16-17 tahun dia baca interpretator dan commentator dari Marx, dia sendiri membaca Marx setelah berusia 25-26 tahun. Itu Bung Karno yang besar di jaman kolonialisme tentunya membaca Marx dengan bahasa Jerman atau Belanda, belum ada terjemahan Marx dengan bahasa Melayu. Di jaman Orde Baru untuk baca Karl Marx harus sembunyi-sembunyi, para mahasiswa yang cerdas-cerdas sering mengistilahkan Marx itu dengan istilah ‘Mbah Jenggot’. Pembaca Marx jadi sangat terbatas di Indonesia, para mahasiswa ekonomi Indonesia hanya mengenal satu sistem ekonomi yaitu : ekonomi liberal yang memvakumkan ‘ruang sosial’ sehingga logika mereka dalam berpikir sampai ke tulang sumsum adalah logika kapital yang meniadakan humanisme dan sensitivitas sosial sehingga tidak heran bila kebijakan-kebijakan penggede birokrasi ekonom kita tidak bersifat merakyat, berorientasi Liberal, Percaya penuh pada pasar bebas dan kecanduan IMF. Soemitro Djojohadikusumo sendiri pernah agak merasa menyesal karena mengirim mahasiswa-mahasiswa pongkol UI ke University California Barkeley yang dipandang liberalisme, ia sebenarnya lebih menginginkan mengirim mahasiswa-mahasiswanya ke London School of Economics (LSE) karena disana ada Harold Lasky yang berorientasi pada Sosialisme. Di Eropa atmosfer Marxisme sangat terasa dalam memadukan konsep-konsep ekonomi ketimbang ekonomi buas gaya Amerika Serikat, inilah kenapa Kwik Kian Gie yang lulusan Rotterdam itu sering berantem dengan anak turun Barkeley.
Pikiran paling khas dari Marxisme adalah memahami gerak sejarah dengan memperhatikan dialektika antara manusia dengan realitas termasuk teori hak milik dan penyingkapan selubung-selubung mistis nilai komoditi sebagai bagian awal membuka pengertian bagaimana pikiran Marxisme bekerja. Sejarah kepemilikan dalam struktur masyarakat yang dicetuskan oleh Marx-Engels dalam bukunya German Ideology harus diakui adalah historisitas khas Eropa, Marx dan Engels menjelaskan secara gamblang proses hak milik dari masyarakat primitif yang alamiah sampai masyarakat kapitalis melalui tahapan-tahapan gelombang sejarah. Marx memang pernah menyerang Proudhon yang mengatakan “Milik adalah Pencurian” secara gaib apa yang dipunyai dan dihasilkan oleh alam dan tenaga kerja memiliki konsep ‘milik’ dan konsep ‘milik’ secara tidak jelas dibahas dalam pamflet Proudhon, namun pamflet Prodhon tersebut merupakan tautologi (pengulangan kata tanpa makna baru) dari apa yang dipikirkan pemikir-pemikir sosialis sebelumnya. Maksud Marx dalam polemik Proudhon ini, ia ingin membuka kesadaran supaya kaum Sosialisme mendasari pada pemikiran ilmiah dan menyingkap apa-apa yang disebutnya sebagai mistifikasi karena kekurangpahaman kaum filosof dalam memahami cara dunia bekerja. Dari sinilah kemudian sosialisme memasuki tahapan ilmiahnya, dan Kapitalisme kemudian menyelamatkan dirinya dengan ancaman Marx dalam prognosisnya yaitu masa Zummenbruch (keruntuhan).
Kenapa kemudian Kapitalisme lalu berhasil menyelamatkan dirinya dari keruntuhan yang diramalkan Marx? Banyak pandangan menyebutkan bahwa Kapitalisme melakukan koreksi-koreksi internalnya dengan mengikuti proses dialektika ilmiah Marx, - dimana Karl Marx mengatakan menjelang masa Zummenbruch ada masa Die verelendung (Kesengsaraan yang meluas)- dimana perimbangan-perimbangan antar kelas saling menajam, dititik inilah Kapitalisme terus melakukan koreksi-koreksi atas tindakannya terhadap kaum proletar yang menurut Marx “tidak memiliki apa-apa lagi kecuali tenaganya” supaya terhindar dari keruntuhannya dengan memindahkan penyakit-penyakit kapitalisme ke negara jajahan. Pada akhir abad 19 demam Marx melanda Eropa Barat sebelum akhirnya mencapai kemenangan politik di Russia (sebuah negara yang sama sekali bukan bagian dari prognosis Marx). Parlemen-parlemen Eropa barat dipenuhi oleh kelompok Sosialisme yang keranjingan Marx, di Belanda sendiri muncul Van Kol dan Domela Nieuwenhuys dedengkot kaum Sosialis Belanda yang baru bangkit mengimbangi kaum Liberal. Van Kol banyak memperhatikan bagaimana kapitalisme itu memperbudak orang-orang Hindia Belanda melalui kunjungan-kunjungannya ke Hindia Belanda pasca pagebluk Van Den Bosch. Van Kol sendiri bukan merupakan Marxisme Orthodoks, ia bersama Stokvis, Koch dan Rutgers merupakan tipikal Marxisme Eropa Barat yang cenderung kompromistis. Dari serangan-serangan kaum Sosialis kemudian mendorong penyadaran bahwa kolonialisme gaya Van Den Bosch merupakan kebiadaban luar biasa di Hindia Belanda dan serialnya merupakan bagian dari prognosis Marx. Untuk itulah kemudian kaum penguasa di Eropa Barat sadar bahwa memang ramalan Marx benar adanya, tapi mereka masih memerlukan akumulasi kapital yang terus menerus supaya mendapat ‘kelestarian modal’ di masa depan. Konsep kelestarian modal inilah yang kemudian memindahkan kekejaman kapitalisme ke negara-negara jajahan dan mengurangi terjadi resiko buruh yang semainya sudah ditabur tahun 1830 dan 1848 di Paris. Koreksi ini berhasil, Amerika Serikat sendiri bahkan mampu berkelit dari ramalan Marx yang sudah nyaris terjadi pada jaman bangkrutnya Wall Street 1929 dengan menggunakan senjata Keynes ‘intervensi peran negara’ disinilah kemudian tonggak dari kemampuan negara-negara barat menghindari keruntuhan kapitalisme, tapi ‘enak di mereka nggak enak di negara-negara jajahan’. Di negara-negara jajahan kapitalisme masih berlangsung dalam bentuknya yang asli bahkan setelah masa-masa perang kemerdekaan negara-negara jajahan masih dijajah kapitalisme dalam bentuk vulgar, tidak ada sama sekali politik perimbangan sosial seperti yang dilakukan negara-negara maju dalam mengerem Die Verelendung itu. Kaum cerdik pandai dari dunia liberal menggerakkan barisan cadangan kerja - yang menurut Marx merupakan barisan yang tergusur dari sistem akumulasi dan konsentrasi kapital - ke dalam serikat-serikat pekerja yang memiliki nyaris kekuasaan yang sama dengan pemilik modal (kelak dikemudian hari barisan serikat pekerja ini dari lapisan kelas menengah memicu fasisme sebagai ekstremisitas dari Kapitalisme), petani-petani di Eropa Barat dan Amerika Serikat mendapat perlindungan luar biasa dari negara bahkan sangat dimanjakan, koperasi-koperasi yang digunakan untuk akses modal dari kalangan borjuis kecil berjalan baik di Skandinavia. Koperasi ini digunakan sebagai bumper dari gerakan akumulasi kapital dan konsentrasi kerja pada perusahaan-perusahaan raksasa. Agar menghindarkan terlemparnya kaum borjuis kecil ke dalam ‘barisan cadangan tenaga kerja’ yang merupakan bibit-bibit ganas proletariat.
Nah, faktor-faktor penyelamat Die Verelendung tidak boleh terjadi di negara-negara jajahan kalau sampai terjadi maka yang ada adalah hilangnya nilai surplus paling fantatis bagi negara Kapitalis. Negara jajahan dilarang untuk memahami bahwa Marxisme sebagai teori pembebasan, itulah kenapa pelajar-pelajar kita ‘jaman jebot’ (1905-1942) saat belajar di Rotterdam, Amsterdam, Den Haag bahkan sampai Breda dispioni terus oleh Raadsman. Sekali tercium aroma Marx atau terpengaruh Soviet, maka uang kiriman dari orang tuanya di hentikan, bahkan sampai ada seorang pelajar kita disana ditemukan mati kelaparan dalam musim dingin di kamarnya karena tidak ada uang. Sekali kena cap Komunis baik di Belanda maupun di Indonesia maka habis riwayatnya. Namun gerakan-gerakan penyadaran Marxisme sebagai alat kritik dan penyadaran bahwa kita dijajah terus berlanjut. HOS Tjokroaminoto, penggerak pergerakan rakyat paling populer itu mengatakan di kongres Sarekat Islam tahun 1918 : “Menentang pemerintah Hindia Belanda dalam tindakannya melindungi Kapitalisme dan akan menggerakkan semua organisasi bangsa Indonesia untuk menentang Kapitalisme. Sarekat Islam akan mengorganisasikan kaum buruh”. Di rumah Pak Tjokro inilah kemudian bersemai bunga-bunga bangsa yang kemudian menggerakkan sejarah Indonesia dengan warna-warni pelangi dari Sukarno sampai Kartosuwiryo, dari Agus Salim sampai Musso. Setidak setuju apapun terhadap gagasan Marx sangat sulit bagi kaum pergerakan Indonesia tidak menggunakan landasan Marx untuk mengetahui makna penindasan. Bagaimanapun teori Marx merupakan penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan pejuang bangsa Indonesia dalam melihat realitas lalu terjadilah proses interaksi antara pikiran mereka dengan alam kenyataan sesuai yang dikatakan Marx ‘‘bahwa yang ideal itu tak lain dan tak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran”. Apa yang dilihat Tan Malaka pada perbudakan kuli-kuli kontrak Deli, yang dirasakan Bung Karno saat dihina di depan orang tua pacarnya yang belanda totok atau dikeroyok oleh sinyo-sinyo Belanda saat dia mau main bola ke lapangan yang dilarang bagi kulit berwarna, apa yang diresapi dari pandangan Bang Amat (DN Aidit) saat melihat betapa timpangnya kehidupan buruh di GMB (Gemeentschaape Maatschappij Biliton) Pulau Bangka dengan staf-staf kulit putih, apa yang membuat Tjiptomangunkusumo urut dada liat Sunan Solo PB X yang memakai banyak tanda jasa mirip boneka supaya mirip raja-raja Eropa, atau apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro untuk menutup pintu rumahnya dan merenungi sambil berucap pelan-pelan “Ik Nederlaander was”, andai aku orang Belanda dan mengenang 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol. Dari situlah mereka semua mempelajari Marx, memahami dialektika ilmiah dan proses perkembangan sejarah. Lalu mereka menyadari bahwa bangsa mereka dijajah pasti ada akarnya, ada alasannya dan mereka menemukan sebab musabab Kolonialisme itu adalah dari kejahatan KAPITAL.
Disinilah awal mula pergerakan kemerdekaan Indonesia menemui landasannya. Gerakan konyol pemberontakan PKI 1926/1927 justru mematikan Komunisme dalam ruang sejarah Hindia Belanda menjelang keruntuhan negara kolonial itu di tahun 1942. Pejuang-pejuang Marxist dibuang ke Boven Digoel, mereka survival disana kelak dikemudian hari sejarah terulang intelektual-intelektual besar yang paham Marx, mencintai Sukarno dan berjuang demi independensi Indonesia pada kekuatan kapitalis asing dibuang ke Pulau Buru pada tahun-tahun kelam Orde Baru. Pemberontakan PKI merupakan awal dari kemunduran besar gerakan kebangsaan karena Gubernemen Hindia Belanda memiliki kesempatan untuk menangkapi semua pemimpin pergerakan, mau Marxis, Islam, atau Nasionalis semua diciduk. Kemudian mulailah ‘hantu Komunisme’ menjadi ketakutan yang ditiupkan oleh kekuasaan Belanda.
Sampai kemerdekaan 1945 Belanda masih menuding bahwa Sukarno dan rombongan 17 Agustusnya adalah kaum Komunis yang juga ternoda sebagai kolaborator Jepang. Disini Belanda ingin meraup keuntungan politisnya dari tuduhan itu ingin mendapat simpati golongan agama, mendapat dukungan Amerika yang sudah berjarak dengan Stalin dan mencap bahwa Sukarno-Hatta adalah pendosa karena berpihak pada Jepang. Namun semua itu gagal total Sukarno kadung dicintai rakyat Indonesia, dia dipandang sebagai pembuka dari kehormatan rakyat yang pernah dicap sebagai “Bangsa Kuli diantara bangsa-bangsa”. Sukarno berkonsentrasi pada ladang rakyat banyak, ia membangun imaji tentang Indonesia, ia membentangkan Flag Nationalism, dan ia terus memompa bahwa masa depan Indonesia adalah kemakmuran bagi rakyatnya. Disini Sukarno terus bergerak, ditengah jaman yang berderak-derak.
Pergulatan pertama kali Indonesia dalam ruang pertarungan politik justru terjadi di antara kaum Sosialis sendiri. Hatta dan Sjahrir yang merupakan penganut Sosialisme Kanan (Soska) yang berasal dari golongan menengah intelektual dan paham semua teori revisionis non Stalin tiba-tiba dihadapkan pada kelompok Amir dan Musso yang setia pada garis Soviet lewat sebuah peristiwa yang sesungguhnya bukan peristiwa penting tapi mendapat nilai fantastik politik yaitu : Peristiwa Madiun 1948. Hatta dan Sjahrir menuduh Amir-Musso ingin mendirikan negara Soviet baru di tanah Madiun ( Tanah Madiun yang juga sepanjang sejarahnya merupakan tanah perlawanan terhadap kekuasaan Mataram). Peristiwa Madiun merupakan rangkaian dari geger Solo yang menolak gagasan Hatta dan Sri Sultan untuk melakukan ReRa dimana banyak perwira-perwira yang berasal dari PETA dan Lasykar Rakyat dirugikan. Jenderal Sudirman juga agak kurang senang dengan cara berpolitik Hatta-Sjahrir yang terlalu banyak main kompromi dengan Belanda. Kemudian ada desas-desus tentang Red Drive Proposal 1948 di Sarangan (Sebuah konferensi antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang membahas nasib Kaum Komunis garis keras di Indonesia dan janji dukungan AS bila pemerintah RI bisa membereskan kaum merah itu) yang disebut-sebut sebagai prolog kehancuran kelompok Amir-Musso juga kemudian penghilangan Tan Malaka di tahun 1949 karena menolak untuk berdiplomasi dengan Belanda dan meneruskan peperangan dengan jargon Merdeka 100%.
Dalam pertarungan itu Sukarno memang menyingkir keluar arena setelah sebelumnya sempat masuk ke dalam dan berteriak “Pilih Musso dengan PKI-nya yang akan membangkrutkan Indonesia atau Sukarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memerdekakan Indonesia dari negara asing manapun,Lekas rebut Madiun ke tangan kita kembali!” setelah peristiwa Madiun dan gagalnya Sukarno mengendalikan pembunuhan-pembunuhan pada tokoh-tokoh politik Amir Sjarifudin cs yang ditembak mati di Ngaliyan, Boyolali membuat ia seakan-akan mundur dari dunia politik praktis, urusan politik dipegang Hatta-Sjahrir yang sudah tidak ada lawan berarti menyusul habisnya Tan Malaka. Kini konstelasi pertarungan adalah pada kubu Sukarno disatu pihak dan Hatta-Sjahrir di pihak lain, namun kedua kubu masih dalam naungan Marxisme, cita-citanyapun Sosialisme Indonesia.
Sepanjang 1949 Sukarno dikunci dalam kamar sejarah, bahkan tahun sebelumnya ia seakan-akan mendapat dosa politik karena tidak ikut bergerilya bersama Jenderal Sudirman dan memilih menyerah, bagi perwira-perwira TNI orthodoks apa yang dilakukan Sukarno adalah separuh pengkhianatan, mereka melihat menyerahnya Sukarno sebagai takluknya pemimpin Indonesia pada musuh, bukan bagian taktik diplomasi, padahal Sukarno melakukan ini agar di PBB Palar punya senjata diplomatiknya dengan menuduh Belanda telah melakukan kejahatan Internasional. Memang pada akhirnya Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda tapi harus membayar kompensasi perang sebesar 4,6 milyar Gulden, padahal uang itu oleh Belanda digunakan untuk membiayai mesin perangnya melawan Republik Indonesia.
Setelah itu RI memasuki jaman demokrasi liberal. Disebut jaman Demokrasi Liberal karena para elite politik bertarung kekuasaan dalam sistem Parlementer yang meniru sistem pemerintahan Negeri Belanda. Pada masa ini PKI mengalami revitalisasi dari anak-anak muda berhaluan Sukarno dan segera mendapat keuntungan politik setelah Sukarno membubarkan konstituante lalu tahun berikutnya membredel Masyumi dan PSI lalu membentuk barisan politik Nasakom. Nasakomisasi di segala bidang adalah jargon paling terkenal diantara jargon-jargon politik ala Sukarno lainnya yang berpusar pada Revolusi.
Di Bawah Bendera Revolusi
Untuk memahami penggiringan arus kekuasaan di dalam kendali Sukarno yang di gawangi dua pancang anak Revolusinya : PKI dan Angkatan Darat ada baiknya mencoba menganalisa apa yang terjadi dalam konstelasi dunia Internasional, dan apa yang menjadi pikiran Sukarno dalam proses dialektisnya terhadap perkembangan sejarah dunia. Untuk itu saya mencoba mengupas sejarah dengan pisau analitis Marx.
Setelah selesainya kontrak politik antara Churchill-FDR-Stalin yang sebelumnya bersama-sama mengeroyok Hitler di dua front Eropa, maka tidak ada lagi hubungan yang berarti antara Barat (Inggris dan AS) dengan Timur (Uni Soviet). Churchill memang sudah menegaskan bahwa dirinya tidak mau terlibat lebih jauh dengan Stalin pasca runtuhnya Hitler dan memperkirakan perang selanjutnya setelah era Hitler adalah perang antara kaum Kapitalis dengan kaum Komunis. Setelah perang brutal 1939-1945, Inggris dan Amerika Serikat sadar bahwa imperialisme yang dilakukan negara-negara barat sejak abad 16 akan memancing ketidakseimbangan dunia, karena perebutan wilayah-wilayah tersebut akan terus menerus menjadi pokok soal dari perang yang berlarut-larut di segala sudut dunia. Perang yang panjang akan menurunkan tingkat produktivitas dan penurunan tingkat produktivitas akan melemahkan surplus dimana akumulasi modal menjadi lemah. Bila Inggris mencaplok India, maka Jepang dan Jerman berminat juga mencaplok India, bila Inggris ada di tanah Libya, maka Italia akan menghajar Inggris di Tripoli. Disinilah para kapitalis-kapitalis itu sadar bahwa perang tidak berguna, harus ada cara baru untuk menggantikan perebutan wilayah, mentransformasikan imperium wilayah yang sistemnya sudah dikenal sejak Alexander the great atau Julius Caesar menjadi imperialisme modal dimana nasionalisme ala borjuis-borjuis Venesia menjadi ketinggalan jaman berubah bentuknya secara mendasar menjadi mobilitas modal yang tidak mengenal batas wilayah. Imperialisme modal itu memiliki bala tentaranya sendiri, Perusahaan-perusahaan raksasa, atau Multi National Corporation (MNC) dan kelak dikemudian hari ada panglima kapitalisme yang luar biasa tangguh yaitu : aliran-aliran dana global yang maha besar dan menghancurkan batas-batas negara yang gelombangnya bisa membangun atau menghancurkan ekonomi sebuah negara.
Para kapitalis raksasa Amerika sangat sadar terhadap pangsa pasar yang besar berada di Asia dimana konsentrasi penduduk dunia terdapat, alokasi industri dengan biaya-biaya produksi murah, titik suply bahan mentah secara kontinu, sumber demand terbesar bagi produknya dan tempat yang baik untuk memindahkan masalah-masalah internal kapitalis dari Amerika supaya ‘great depression’ jangan sampai terulang lagi. Great Depression 1929 merupakan situasi susut produksi usaha-usaha raksasa dimana moneter juga mengalami kehancuran akibat overestimasi investasi di bidang properti, pasar modal dan spekulasi tanah besar-besaran yang dilakukan baik oleh individu, kolektivitas dana masyarakat non bank maupun bank, dana yang diinvestasikan tidak memiliki nilai tambah untuk memperbesar daya beli masyarakat sementara barang berlimpah disinilah kemudian terjadi ledakan pengangguran dan teori Karl Marx berjalan dengan sempurna pada tahap ledakan pengangguran yang mengarah pada masa die verelendung (Kesengsaraan yang meluas) bahkan bukan Amerika Serikat saja, Uni Soviet sendiri melakukan large cut terhadap industrinya untuk mendapatkan keseimbangan baru, Hindia Belanda juga frustrasi karena terjadi barisan pengangguran dimana-mana akibat produk gula dan perkebunan hancur di pasaran, walaupun kemudian harus diakui great depression arahnya bukan Keruntuhan Kapitalisme namun merupakan sebuah bentuk mencari keseimbangan baru diantara rangkaian keseimbangan disequilibrium menuju equilibrium diantara rangkaian equilibrium. Dan pemecahannya mengadopsi teori Keynes dalam The General Theory and Employment, Interest and Money dimana ketika usaha-usaha raksasa mencapai titik kulminasi produksi dan mulai tidak adanya tingkat daya beli maka pemerintah harus mengintervensi. Syaratnya? Ya pemerintah harus punya uang untuk memperkerjakan pengangguran pada proyek-proyek infrastruktur raksasa seperti : membangun dam raksasa, membangun jalan-jalan antar negara bagian, terowongan-terowongan yang justru mengkatalisator pergerakan ekonomi ke arah yang lebih tinggi sehingga keseimbangan baru (new equilibrium) terjadi dalam posisi yang lebih tinggi. Oleh FDR gagasan Keynes menjadi program kerjanya yang utama dengan jargon yang terkenal ‘New Deal’ sejak keberhasilan FDR membangun kesadaran bahwa perlombaan imperialisme dalam artian vulgar menjadi tidak bermakna lagi. Imperialisme harus dengan cara halus, imperialisme yang kasar akan memancing peperangan sementara imperialisme halus malah bisa menumbuhkan tingkat perekonomian dunia secara signifikan.
Penemuan teori Imperialisme cara halus ini menguntungkan Amerika Serikat karena mereka bisa menjalani paham Jeffersonian yang mengagung-agungkan kebebasan sekaligus pelan-pelan melakukan infiltrasi untuk menyebar benih imperialisme secara internal ke dalam otak elite-elite sebuah bangsa. “kebebasan hak asasi manusia, demokrasi Liberal, budaya massa, bantuan militer, bantuan kemanusiaan dan pendidikan serta segala bentuk wajah humanis lainnya” menjadi senjata imperialisme cara halus terbaik bagi Amerika Serikat kemudian diikuti sepupunya Inggris untuk tetap menguasai dunia secara total. Semua jualan Amerika Serikat yang berwatak humanis itu hanya punya satu tujuan fundamental yaitu : KAPITAL dan perluasan kapital ini gunanya untuk mencapai equlibrium-equilibrium baru dalam tingkatannya yang lebih baik namun equilibrium itu hanya mengisolir pada lapisan elite yang dekat dengan AS dan tidak menyejahterakan rakyat banyak. Coba perhatikan ketika tendensi kapital mereka tersentuh maka mereka bisa bersikap dua wajah. AS adalah pendukung HAM paling garang, tapi ketika Suharto yang menjilat pantat AS berkuasa dan melakukan penindasan HAM sontak mereka melakukan standar ganda, begitu juga dengan demokrasi liberal ketika kepentingan Israel terganggu maka Hamas yang memenangkan Pemilu dipecundangi maka mereka membela kepentingannya begitu juga bantuan militer dan bantuan kemanusiaan serta pendidikan selalu di tunggangi kepentingan memperkuat pengaruh Amerika Serikat untuk kepentingan mereka. Bush menginfiltrasi Irak dengan alasan selain dicurigai menyimpan senjata pemusnah massal, karena tidak ada demokrasi liberal di Irak, lha..kalau alasannya menegakkan demokrasi liberal kenapa AS tidak mencaplok Arab Saudi yang jelas-jelas tidak ngeh demokrasi liberal, karena ya bangsawan-bangsawan Arab itu nyuplai minyak terus menerus ke Amerika Serikat. Tuhan pemerintahan Amerika Serikat adalah Kapital, titik! Mereka bisa bekerjasama dengan setan paling kejampun asal demi akumulasi kapital. Mereka bisa rangkul Cina yang katanya Komunis, mereka bisa Soviet, kini merangkul Vietnam. Simbiosis Mutualisma terhadap sikap Amerika Serikat ini harus ada keberanian win-win solution yaitu kekuatan internal di dalam tubuh negara yang bersangkutan, seperti RRC-AS, India-AS (kasus nuklir India tidak berani diutak-atik Amerika asal India tidak menutup pintu kapital) tapi giliran negara menutup pintu kapitalnya maka negara itu digempur habis, Iran sekarang sedang menjadi lakon kegemblungan Amerika Serikat. Dan apa yang terjadi pada Iran pernah terjadi di Indonesia pada era Sukarno.
Amerika Serikat dengan gagah menjadi role model sebagai hasil dari eksperimen negara buatan Washington-Jefferson yang paling berhasil di dunia, dan memang mereka berhasil tapi sisi gelap Amerika Serikat harus diungkap. Apakah Indonesia kemudian bisa seperti Amerika Serikat? Kalau Indonesia seperti Amerika Serikat layaknya Jepang, Singapura, Eropa Barat maka tidak ada lagi pangsa pasar yang diperbodohi, bung! Seperti halnya Belanda, Amerika Serikat tidak akan membiarkan negara yang sumber daya alamnya besar menjadi pintar bahkan tumbuh seperti RRC dan Jepang yang menjadi kekuatan Independen. Amerika Serikat membangun etalase-etalase role model keberhasilannya seperti di Singapura, Malaysia dan Australia yang mengelilingi Indonesia, Thailand dan Filipina ini digunakan sebagai alat untuk buat kaum terdidik berorientasi barat ngiler dan menganggap apapun yang berbau Amerika itu hebat. Negara-negara etalase itu sekaligus dijadikan benteng-benteng pertahanan militer Amerika-Inggris agar jangan sampai bangsa besar ini menjadi benar-benar besar dan melakukan politik ekspansi karena secara historis memang Indonesia memiliki watak ekspansionis dan itu disadari oleh Amerika Serikat.
Bung Karno memang dianugerahi kecerdasan yang tinggi, dan jenis kecerdasan yang seakan-akan bisa melampaui ruang dan waktu. Ia bisa meramalkan Indonesia akan mencapai kemerdekaan politik ketika pecah perang Pasifik dan itu diucapkannya dalam pidato-pidatonya di akhir tahun 20-an dan sekitar tahun 30-an awal sebelum ia dibuang ke Flores. Padahal Amerika Serikat sendiri sudah memperkirakan Jepang tidak akan berani menyerang Amerika Serikat karena sudah diusahakan politik diplomasi yang maksimal agar Jepang menjadi sekutu AS bila saatnya mereka akan masuk dalam perang Eropa yang dipicu Hitler. Yang separuh mistis akan kecerdasan Bung Karno adalah dia tahu perang akan berakhir tahun 1945 dan disitulah Indonesia akan merdeka untuk itu Bung Karno pernah membuat sandiwara/tonil di Flores tahun 1930-an dengan judul ‘Indonesia Agustus 1945’ properti tonil itu masih tersimpan baik di rumah museum Bung Karno di Flores.
Bung Karno menggunakan pisau Marx untuk mengupas sejarah, ketika ia disarankan untuk meninggalkan teori Marx dalam ekonomi karena sudah ada bantahan terhadap teori Marx mengenai surplus yang menjadi mentah karena adanya teori Marginalisme dan Utilitas lalu keberhasilan Keynes dalam menghidarkan prognosis Marx, maka dengan lantang Bung Karno teriak “Ilmuwan-ilmuwan yang dicekoki Keynes!” persoalan dalam teori Marx adalah persoalan teori bukan dogmatis dan determinisme, Bung Karno tidak pernah menjadikan teori Marx sebagai dogma bahkan dialah revisionis terbesar dalam ajaran Marx, yaitu menggabungkan kekuatan-kekuatan yang dimata dunia tak mungkin yaitu : Nasionalisme-Agama-Marxisme karena semua ideologi basis itu saling bertentangan, saling contradictio in termina. Marxisme jelas pada akhirnya akan menyingkirkan negara yang dianggap alat borjuasi, Nasionalisme merupakan persepsi borjuasi yang bentukannya berasal dari saudagar-saudagar anti feodal dan pasti bertentangan dengan konsep Internasionalisme Marxisme sementara agama adalah lapisan berkabut bagi ajaran Marx (Karl Marx sendiri tidak mempedulikan agama, tapi tidak menentang agama justru penentangan agama terjadi dalam ruang pikiran Lenin). Disinilah Bung Karno melakukan terobosan ide yang laboratoriumnya adalah Indonesia. Bung Karno menganut paham ini sejak berumur 26 tahun dan coba terus menerus dikerjakan eksperimen negara Nasakom dengan landasan paling fenomenalnya (yang sampai saat ini masih dianut secara fanatik oleh manusia Indonesia) PANCASILA.
Kesadaran Bung Karno akan mulai adanya intervensi Amerika-Inggris ke dalam tubuh Indonesia setelah persoalan Belanda selesai (Amerika dan Inggris pun dengan licik menyingkirkan Belanda dari Indonesia, mereka tidak mau membantu sekutunya itu –yang bukan anglo – untuk berhadapan dengan Indonesia karena Amerika-Inggris punya kepentingan sendiri untuk menjadikan Indonesia ladang subur sumber eksploitasi mereka. Konspirasi Amerika ini terjadi pada KMB 1949 dan penolakan membantu Belanda di Irian Barat 1962) apalagi sudah ada prolognya pada saat peristiwa PRRI/Permesta maka Bung Karno harus bertindak tegas. Lobang-lobang infiltrasi justru ada di kekuatan yang mengedepankan modernisasi namun terjebak pada Amerikanisasi PSI dan Masyumi membuat jarak seakan-akan Sukarno berada di garis kiri. Bung Karno memang sedari awalnya Kiri ia memperkuat itu dalam pidatonya di tahun 1961 : “Revolusi kita sedari awalnya adalah Revolusi Kiri” Bung Karno juga tahu benar apa yang dikerjakannya dalam memerdekakan Indonesia, bersimbah keringat di lapangan-lapangan rakyat mempertaruhkan nyawa di bawah todongan senapan mesin Belanda ia tahu benar itu untuk apa dan bagaimana revolusinya berjalan dan siapa yang memainkan. Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu tidak ada (TNI belum terbentuk sampai beberapa bulan setelah proklamasi), bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan. Maka untuk itu kepada siapa kemerdekaan itu diberikan. “Kepada Rakyat” itu prinsip Bung Karno.
Dan tanda-tanda Imperialisme asing sudah bergerak, akhirnya Bung Karno menggunakan sistem pemerintahan darurat untuk memperkecil kemungkinan infiltrasi asing dan pengaruh asing mempermainkan kekuatan-kekuatannya di Indonesia, orang bilang saat itu Bung Karno haus kuasa, lha kalau haus kuasa kenapa tidak pas 17 Oktober 1952 saat AH Nasution mendesak Bung Karno bubarkan parlemen dan menjadi diktator bahkan di depan para Kolonel-Kolonel itu Bung Karno berteriak “Kamu ingin saya jadi diktator?, saya tidak ingin jadi diktator!” . Disamping itu memang ada impian Bung Karno terhadap tanggung jawabnya untuk membebaskan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Akhirnya pemerintahan terseret pada sistem pemerintahan yang aneh di mata barat Presiden Sukarno dibantu Waperdam-Waperdamnya, posisi Hatta bagi Bung Karno tidak bisa tergantikan untuk itu dia membuka lowongan Wakil Perdana Menteri (Apakah ini sama dengan Hayam Wuruk yang menggantikan posisis Gadjah Mada dengan tiga posisi kepatihan?).Tapi dengan sistem yang aneh di mata barat, Bung Karno dengan efektif mengendalikan pemerintahannya, praktis tidak ada kekuatan asing yang masuk dan mengeksploitasi Indonesia, munculnya semangat revolusioner, harga diri bangsa tinggi sekali minimal psikologi orang Indonesia pada waktu itu yang memandang dirinya sendiri dengan terhormat (Coba bandingkan dengan sekarang, ketika saudara-saudara kita digebuki sampai mati di Malaysia, dihinakan kemanusiaannya banyak orang kita bilang “ya karena kita goblok, bangsa miskin” kesadaran martabatnya sama sekali tak tersentuh) Bung Karno berhasil membangkitkan kesadaran bahwa kita bangsa besar, rakyat Indonesia dibawah bendera revolusi memiliki psikologi sebagai bangsa pemenang bukan psikologi pecundang. Yang dihadapi kita pada konfrontasi Malaysia bukanlan melayu-melayu Malaya anak buah Tunku Abdurrahman Putra tapi Inggris! Karena Borneo yang sesungguhnya hak milik kesultanan Sulu, dan ingin merdeka sendiri merupakan proyek terakhir Imperialisme Inggris di Asia Tenggara, di Borneo ini yang akan bisa menjadikan pintu terbuka untuk menginfiltrasi Indonesia. Dan ini terbukti sekarang, berapa banyak kayu dan kekayaan alam Indonesia diangkut ke Malaysia dari Kalimantan menuju Kalimantan Utara?
Bung Karno yang keberaniannya legendaris itu dan karya kerjanya membangun bangsa yang segini besar hanya takluk pada satu hal : Penyakit Lever. Penyakit inilah yang kemudian menjadi titik didih dalam rangkaian peristiwa yang ujung-ujungnya mendongkel Bung Karno.
Siapa yang menyuruh Letkol Untung melakukan gerakan konyol 1 Oktober 1965 dini hari dan membunuhi Jenderal-Jenderal loyalis Sukarno? Itu pertanyaan terbesar dalam misteri sejarah Indonesia. Tapi anak kecil pun bisa menjawab siapa yang menjadi Presiden dari akibat perbuatan Letkol Untung?.
Mundurnya Sukarno dengan diiringi sikap kurang ajar memperlakukan Bung Karno di tempat karantinanya (seakan-akan BK adalah binatang yang berbahaya sehingga tahanan rumah disebut karantina) merupakan sebuah kemenangan besar bagi Imperialisme Amerika, kemenangan besar yang menjadi titik pangkal dari American spirit untuk terus menginfiltrasi negara-negara manapun di dunia ini. Suharto menjadi bintang terbesar dalam kasus boneka politik Imperialisme.
Orde Baru : Hasil Persenggamaan Mitos Kekuasaan dan Mitos Kapital
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 Suharto sudah sangat paham bahwa perbuatan Letkol Untung adalah perbuatan PKI. Sementara Jenderal-Jenderal lainnyapun masih bertanya-tanya ini siapa melakukan apa? Untuk apa? Semua orang masih bingung, termasuk Bung Karno sendiri yang dijemput ajudannya Saelan bingung ketika ajudan-ajudannya bersikap panik. . Bung Karno bertanya dalam bahasa Belanda: “wat wil je met me doen?” saya mau dikemanakan? Dijawab oleh Saelan “Sementara kita tunggu di sini saja dulu, Pak! Kami segera mencari keterangan ke luar, mengenai berita-berita tersebut dan menanyakan tentang situasi”.
Pertanyaan Bung Karno: „wat wil je met me doen?“, menunjukkan bahwa Bung Karno sama sekali belum tahu apa yang telah terjadi. Hebatnya Suharto sudah ngerti ini ‘mainan PKI’. Ada adagium lama “Siapa yang tahu informasi dialah pemenang” Suharto menurut keterangan Kolonel Latief (Wakil Letkol Untung dalam gerakan) sudah tahu akan ada pencidukan Jenderal-Jenderal, Latief sendiri yang melaporkan sebelum diadakan aksi penculikan. Hubungan Latief sangat dekat dengan Suharto. Latief adalah perwira Suharto dari jaman Serangan Fajar 1949 eks pelarian Madiun yang ditampung WK X. Sementara Letkol Untung sendiri adalah perwira Banteng Raiders yang merupakan anak emas Suharto. Suharto pernah marah-marah saat Letkol Untung ditempatkan di Tjakrabirawa (Sementara LB Mordani menolak tawaran Bung Karno ditaruh di Tjakrabirawa, inilah yang kemudian membedakan nasib dua perwira penerima Bintang Sakti 1962).
Gerakan mahasiswa 1966 kemudian bergerak, kaum intelektual yang kagum dengan kebebasan ala Amerika Serikat dan memiliki cita-cita Indonesia modern menjadi pihak pendukung Orde Baru yang gemanya diciptakan think-tank Angkatan Darat pro Suharto. Di titik inilah nama Bung Karno terjebak pada ‘orang tua diktatorial dan tidak bermoral’ bahkan lebih jauh Bung Karno disuruh bertanggung jawab terhadap kerusakan moral bangsa Indonesia. Lha, Moral manusia kok menjadi sebuah tanggung jawab satu orang, benar-benar tudingan keji. (Ketika Suharto turun pemimpin-pemimpin Indonesia yang pengecut hanya berani menuntut yayasan korup tapi tidak sampai pertanggung jawaban kehancuran mentalitas manusia Indonesia sebagai bangsa, di jaman Bung Karno moralitas dibawa-bawa).
Pada hakikatnya tumbangnya Bung Karno karena bukan dia tidak didukung rakyat lagi. Yang teriak-teriak anti Bung Karno hanya segelintir manusia di dalam kota yang kemudian hari ikut pesta pora dalam bancakan Orde Baru, lalu setelah kenyang ketika Suharto jatuh mereka juga ikut-ikutan ngentutin Suharto (benar-benar tipe manusia rendahan!). KKO Angkatan Laut di Surabaya (Marinir sekarang) tinggal tunggu perintah Bung Karno untuk melakukan pembelaan, Divisi Brawijaya 100% di belakang Bung Karno, Ibrahim Adjie dari Siliwangi adalah Sukarnois tulen. Pejah Gesang Melu Bung Karno (Hidup Mati di Belakang Bung Karno) menjadi jargon untuk melawan bibit-bibit Neo Imperialisme yang sudah menyusup ke Jakarta. Hanya saja Bung Karno yang jago politik itu sudah ngerti, bila dia melawan situasi maka sama saja menjerumuskan Indonesia ke dalam perang Vietnam. Amerika memang sengaja memancing agar terjadi perang saudara seperti di Vietnam. Pertimbangan penting ini membuat Bung Karno harus memutuskan hal buruk dari yang terburuk. Menuruti kemauan Suharto untuk turun dan menolak pembubaran PKI sampai kematiannya di tahun 1970.
Mengapa Bung Karno mau menuruti kemauan Suharto-Nasution untuk turun? Faktor yang paling penting adalah armada Amerika-Inggris sudah berada di depan mulut Indonesia. Selama politik konfrontasi Malaya Inggris terus menerus memperkuat tentaranya. Setidak-tidaknya kalau ada legitimasi untuk masuk maka Sumatera-Kalimantan akan jadi bancakan Inggris untuk memperkuat rangkaian negara persemakmuran Malaysia-Singapura. Sementara Jawa bisa saja cuman jadi tempat ajang perang saudara seraya Indonesia Timur dipreteli oleh Amerika-Australia. Sampai sekarang pun Australia ngiler dengan Indonesia Timur, di awal-awal Reformasi 1999 TNI kita pernah menangkap seorang intelijen Australia dengan peta lengkap saat situasi Timtim dan Ambon memanas.
Satu-satunya yang masih utuh adalah Angkatan Darat sebagai kekuatan riil politik di Indonesia, semuanya masih bingung bahkan PKI mengalami pagebluk politiknya. Bila Angkatan Darat pecah dari dalam maka Indonesia akan pecah dengan sendirinya. Untuk itu Bung Karno memilih mundur dan membiarkan Angkatan Darat maju. Satu hal : dia ingin menyelamatkan Persatuan Indonesia, alasan terbesar kenapa dia memperjuangkannya semenjak usia belasan tahun.
Sukarno menolak pembubaran PKI, karena ia ingin tahu apa prolog dan bagaimana epilognya. Ia tidak bisa mengadili PKI bersalah karena memang gerakan itu masih acak adut, bingung siapa yang memainkannya. DN Aidit sendiri keburu ditembak mati oleh anak Jasir Hadibroto (yang katanya di Jawa Tengah, sampai sekarang kematian DN Aidit masih misteri sejarah) sementara di luar DN Aidit tokoh-tokoh PKI lainnya bingung tentang Gerakan itu. Banyak sejarawan mengatakan gerakan itu adalah hubungan antara Biro Chusus di dalam PKI dengan perwira progresif. Tokoh Sjam Kamaruzaman adalah tokoh penting yang disebut-sebut memerintahkan tembak mati Jenderal-Jenderal Angkatan Darat, sampai saat ini dimana Sjam belum jelas. Kabarnya dia malah masih hidup dan bebas.Jadi ada missing link disana, ada mata rantai yang hilang yang bisa menjelaskan apa dan kenapa Gerakan itu membunuhi para Jenderal.
Tapi sama seperti misteri siapa yang menggerakkan Untung, namun jelas sejelas-jelasnya bagi anak kecil yang baru belajar sejarah siapa yang jadi Presiden akibat perbuatan Untung. Mengapa Jenderal-Jenderal dibunuhi ini juga misteri, tapi kenapa 2-3 juta dibunuhi adalah jelas. Pembantaian 2-3 juta orang Indonesia, adalah ketakutan dan histeria massa yang ditiup-tiupkan oleh media massa yang mendukung Angkatan Darat pro Suharto. Diberitakan dengan asumsi spekulatif yang luar biasa, bahwa dimana-mana sudah disediakan sumur-sumur untuk dijadikan tempat dibunuhinya orang-orang Kontra Revolusi bila Dewan Revolusi Untung berhasil. Jenderal-Jenderal di kuliti dan disiksa diluar kemanusiaan –belakangan hal ini dibantah oleh tim medis yang memeriksa jenazah Jenderal-Jenderal tersebut- lalu ada pesta tak bermoral dari Gerwani dengan ikon-nya Djamilah yang melakukan Orgy dengan apa yang dinamakan ‘Pesta Harum Bunga’ dengan para Pemuda Rakyat. Djamilamisme inilah yang kemudian menjadi kekuatan paling besar dalam menghancurkan Organisasi perempuan paling berani di Indonesia “Gerwani” dan digantikan dengan objektivisasi perempuan Indonesia di dalam kekuasaan patriakal “Dharma Wanita”. Bukan kaum wanita Indonesia saja yang mengalami kerugian sejarah dengan penghancuran besar-besaran akibat histeria massa 1965-1967. Intelektualitas Indonesia-pun dibungkam habis-habisan dihancurkan sehancur-hancurnya. Monumen penghantaman intelektualitas Indonesia sekaligus lambang daya juang dari kemampuan bertahan hidup orang Indonesia di jaman yang tidak benar ada pada diri : Pramoedya Ananta Toer. Pram hanyalah satu dari ribuan intelektual yang dihajar Orde Baru diantara mereka ada yang mati terbunuh, dipenjarakan, di Pulau Buru-kan atau menjadi eksil.
Namun akibat terbesar dari pembantaian manusia Indonesia 1965-1966 adalah hancurnya keluarga-keluarga di Indonesia. Hancurnya keluarga ini mendorong sikap apatis terhadap politik Indonesia, ketakutan bersuara benar, dan menjadi manusia yang gemar membeo. Dari sinilah kemudian Suharto membangun pelan-pelan landasan kekuasaannya.
Awalnya kaum muda modernis Indonesia dengan gegap gempita mendukung Suharto. Mereka menganggap jatuhnya Bung Karno dan naiknya Suharto menjadi awal keterbukaan Indonesia terhadap modernisasi dunia barat. Kaum muda Indonesia yang juga kebanyakan terpengaruh pemikiran PSI (dan landasan PSI adalah Marxisme) yang menempatkan pembebasan manusia sebagai pondasi kokoh membangun bangsa. Sudjatmoko sendiri dedengkot PSI membuka gambaran idealisme Indonesia ke depan sebagai dua mata mutiara yang tidak bisa dipisahkan “Pembangunan Dan Kebebasan” dengan tema-tema humanisme, pluralistik, Negara Birokrasi Modern sebagai kendaraan transformasi sosial, hak-hak manusia, bantuan ekonomi luar negeri, globalisasi dan yang terpenting Pembangunan sebagai pembebasan manusia menjadi tolak pikir penting bagi gagasan-gagasan kaum muda Indonesia. Namun kekecewaan menjadi hadiah paling awal diberikan oleh Suharto bagi kaum muda modernis itu. Awalnya adalah Soe Hok Gie yang kemudian menyadari bahwa ada yang tidak beres dalam landasan kekuasaan Orde Baru yang bila didiamkan akan menjadi sebuah kekuasaan yang menakutkan. Ia menulis tentang pembantaian yang terjadi di Bali di tahun 1967, tapi sayang Gie mati muda ia belum sempat memperjuangkan penyadaran manusia Indonesia lebih lanjut terhadap selubung kebohongan kekuasaan Orde Baru.
Bila kita percaya akan kata-kata orang Perancis ‘Histoire se repete’ sejarah selalu berulang, maka kita bisa menengok mobilitas kekuasaan Sultan-Sultan Jawa dalam proses suksesinya. Perjanjian Giyanti 1755 merupakan contoh bagaimana kekuatan asing memainkan peran dalam usaha pencaplokan wilayah-wilayah Jawa pesisir. Kekuasaan Jawa dijual habis-habisan pada Belanda dan Sultan-Sultan itu diberikan candu kapitalis agar tidak memiliki kesadaran untuk memberontak.
Begitu juga dengan proses suksesi politik antara Sukarno-Suharto yang jalan lakonnya mirip permainan wayang kulit semalam suntuk, berbelit-belit khas Jawa. Kemudian puncaknya menjadi sepucuk surat yang lantas berubah menjadi kekuatan gaib dengan nama sakral ‘Supersemar’. Mitologi Supersemar (fakta keberadaan suratnya sendiri masih gelap) menjadi awal dari Mitos-mitos kekuasaan Orde Baru yang dibangun dengan landasan alam pikir kekuasaan Jawa era Tengahan dimana ketakutan psikologis menjadi senjata paling mematikan.
Nama PKI sendiri kemudian dijadikan senjata Pasopati untuk menakuti-nakuti bangsa Indonesia dan langgengnya kekuasaan termasuk menghancurkan kekuatan pendukung Sukarno. Hal ini lebih jelas dalam cerita yang ditulis Daniel Dhakidae dalam bukunya “Negara dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru” disitu Daniel Dhakidae mensitir anekdot dari Abdulrachman Suryomihardjo, sejarawan LIPI dan memberikan komentar terhadap anekdot ini :
“Seorang dikejar oleh kelompok keamanan, tetapi pihak keamanan tidak mampu melewati untuk menangkapnya. Akhirnya karena putus asa mereka berteriak “Tangkap itu PKI !!!!!....” akhirnya orang yang dikejar tersebut berhenti, dan berteriak berbalik kepada orang yang mengejarnya dan berkata “saya bukan PKI.., saya tukang copet ....” dia tidak menyerahkan diri.
Ketakutan menjadi PKI begitu merasuk mental semua orang Indonesia. Maka lebih baik dia ditangkap menjadi maling daripada dituduh menjadi PKI. Dengan menjadi maling dia hanya menanggung satu laknat, lebih ringan hukumannya, itupun kalau mereka bisa mengejar dan membekuknya. Tetapi dengan menjadi PKI maka dia menanggung tiga laknat sekaligus ; pertama, menjadi maling; kedua, menjadi maling yang PKI dan yang ketiga menjadi maling, PKI-Pengkhianat negara. Hanya satu yang dipahaminya, yaitu : “maling” dan dua yang berada di luar akalnya, terlalu besar untuk dipahami, tetapi terlalu nyata untuk ditanggung konsekuensinya karena tidak ada bedanya antara yang benar-benar PKI dan yang seperti PKI, karena kedua-duanya adalah busa-busa busuk dan kerak-kerak neraka dalam suatu masyarakat, yang harus dihapus dari muka bumi, terbukti atau tidak terbukti kesalahannya.
(Catatan kaki buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde Baru, hal.432-433)
Disini Orde Baru membangun mitos raksasa tentang PKI kemudian melabur sehitam-hitamnya PKI yang bisa digunakan untuk menghancurkan kemanusiaan seseorang yang tidak menyukai Orde Baru atau memiliki kesadaran sejarah bahwa Orde Baru berlumuran darah.
Dan pemikiran Karl Marx ini menjadi warisan intelektual yang paling berdarah-darah dalam mitologi kekuasaan Orde Baru. Kekayaan intelektual Marxisme dengan cabang-cabang pemikirannya yang luar biasa didegradir hanya menjadi tiga huruf : PKI.
Degradasi intelektual ini bahkan bukan saja memperbodoh rakyat awam bahkan sampai pada lapisan intelektualnya. Ketakutan ketika mendengar PKI mereka langsung panas dingin, tanpa sekalipun dengan otak dingin membuka-buka buku Das Kapital, German Ideology atau The Poverty of Philosophy. Disinilah kemudian kaum Kapitalisme membangun mitos-mitosnya untuk memperkuat daya cengkeram eksploitasi karena tidak ada lawan yang rasional menentang mereka yang praktis punya kekuatan riil politik di Indonesia. Jadilah Orde Baru merupakan anak haram dari perzinahan Mitos Kekuasaan dan Mitos Kapital yang lahir dari situasi bunting tua 1965.
Saya tidak akan membuka lapisan topeng Orde Baru dengan pikiran Marx katakanlah yang diinterpretasi oleh pemikir-pemikir kiri yang tidak mendapatkan legitimasinya dalam kekuasaan anti intelektual Orde Baru. Tapi saya akan mencoba dengan mengupas Orde Baru dengan statement Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang cendikiawan ekonomi besar yang mendapat legitimasi dari Orde Baru. Supaya dengan ini bahwa Marxisme bukanlah pikiran haram jadah tapi merupakan penjelas dari teori ekonomi yang sampai saat ini masih diakui paling jenial dalam menjelaskan kerja masyarakat dan membentuk sejarah masyarakat. Menurut Pak Mitro dalam bukunya ‘Perkembangan Pemikiran Ekonomi’ hal yang paling benar dari Karl Marx : Akumulasi dan Konsentrasi Kapital mengakibatkan akan mulainya terjadi krisis yang mengarah pada ketidakseimbangan ekonomi (disequilibrium) yang kemudian oleh Pak Mitro sesuai dengan paham Schumpeterian sebagai bagian dari siklus ekonomi dan untuk menyelamatkannya kadang-kadang dibutuhkan peran negara. Sebagai catatan Schumpeter saja menggambarkan sejauh ini ilmuwan ekonomi yang paling jenius adalah Karl Marx yang kemudian diamini oleh Juglar dalam ketepatan Karl Marx meramalkan keruntuhan kapitalisme yang terlalu matang. Walaupun Pak Mitro tidak percaya akan arah dari ramalan Karl Marx dengan alasan kaum Kapitalisme melakukan reformasi sosial namun dengan mengadopsi titik akumulasi dan konsentrasi kapital dalam usahanya mengisolir distribusi kekayaaan rakyat menjadi relevan di Indonesia.
Dengan melandaskan pada Akumulasi dan Konsentrasi Kapital dalam wacana Marxian, mari kita lihat perekonomian Orde Baru. Suharto membuka pintu investasi asing besar-besaran. Namun sebelum penelanjangan diri pada asing ia memberikan kesempatan untuk tumbuhnya mesin bisnis konglomerasi. Liem Sioe Liong, Djohar Sutanto, Sudwikatmono (adik sepupu Suharto) dan Ibrahim Risjad mendirikan CV Waringin yang kemudian mendapat kredit raksasa dari pemerintah. Dari CV Waringin ini merambat kemana-mana mulai ke PT Mega lalu ke Bank NV Bank Asia yang kemudian bertransformasi menjadi Bank Central Asia terus kasih kredit Bogasari. Dari benih-benih perusahaan yang dekat dengan kekuasaan kemudian Suharto membentuk konglomerasinya. Konglomerasi pertama kali yang berhasil dibentuk Suharto adalah Pertamina dimana Ibnu Sutowo menjadi rajanya. Pertamina dijadikan role model untuk perusahaan multinasional gaya Indonesia dengan multiusaha tapi kemudian gagal gara-gara pengelolaan keuangan yang tidak benar dan terlalu banyaknya hutang. Namun kemudian perekonomian Orde Baru bangkit tapi sirkulasi kekayaan hanya berputar pada kelompok itu-itu saja. Ada ruang vakum yang steril dari ekonomi rakyat. Konglomerasi ingon-ingon (Setan Peliharaan) Suharto meminjam duit kesana kemari, hutang swasta menumpuk sementara pengusaha lapisan menengah dan bawah tidak mendapat akses modal. Suharto sendiri menumpuki utang negara untuk membiayai seakan-akan pembangunannya berhasil. Bensin murah, Beras Murah lebih diperhatikan ketimbang lahirnya generasi yang cerdas.
Kaum Sosialis moderat melihat bahwa masa kehancuran kapitalis bisa dihindari dengan membangun koperasi-koperasi yang dapat digunakan sebagai akses modal supaya barisan cadangan pengangguran tidak terlempar menjadi proletar yang ganas maka dibangun kanal-kanal ekonomi berupa koperasi. Di Indonesia koperasi hanyalah alat propaganda belaka bahkan sering dijadikan ladang korupsi Orde Baru.
Orde Baru mengalami pembusukan dalam sistem Kapitalisme yang coba diadopsinya dari sistem Amerika ‘Free Fight Liberalism’. Suharto bermimpi lahirnya ekonomi-ekonomi raksasa akan meneteskan rejeki ke kalangan ekonomi menengah-bawah sehingga bisa menggerakkan pertumbuhan Tapi semua ternyata hanya omongan kosong khas Orde Baru. Mesin-mesin bisnis raksasa digunakan sebagai penopang alat kekuasaan, membiayai operasi-operasi politik dan menjadi mesin pensuplai dana haram. Kebusukan inilah yang kemudian hari akan menciptakan kontradiksi-kontradiksi internal yang meruntuhkan tatanan masyarakat Orde Baru.
Akumulasi dan Konsentrasi tanpa diiringi oleh perluasan akses modal untuk mendapatkan keseimbangan baru akan menghancurkan tatanan ekonomi dan itu kejadian di tahun 1997/1998. Habis sudah Orde Baru tapi belum habis mentalitasnya.
Penipuan-Penipuan Kapital Yang Berkelindan
Pesta pora Orde Baru dipermulus dengan nasib baik Suharto yang terus menerus. Boom Minyak 1973 akibat boikot OPEC menjadi tiang pancang kokoh memperkuat kekuasaan dengan landasan mitos-mitosnya. Para mahasiswa pro modernisme yang tadinya mendukung Suharto dalam mendirikan Orde Baru lalu berbalik melawannya. Yang tidak punya kesadaran sejarah dan mau hidup enak memilih menjadi sekutu Suharto. Arif Budiman (Kakak Kandung Gie) adalah ikon dari perlawanan terhadap Orde Baru yang terus menerus dialah mencetuskan kesadaran sejarah bahwa ada “dependensia ekonomi” ketergantungan ekonomi untuk terus menghisap candu kapital. Dependensia ekonomi ini kemudian menjadi sumber utama kita tidak merdeka. Bahkan Arif Budiman mengeluarkan hipotesisnya tentang pergerakan mahasiswa untuk meruntuhkan Orde Baru dengan tiga prakondisi : Adanya konsep atau ideologi alternatif, adanya momentum sejarah dan adanya organisasi yang teratur dan rapi.
Memang apa yang dikatakan banyak ahli sejarah banyak benarnya “Senjata tak akan kuat melawan Pena” inilah kenapa rezim Suharto takut sekali dengan Wiji Thukul yang memperkuat barisan penyadar untuk menghantam Orde Baru dengan kata-kata terakhir dari puisinya : LAWAN. Dan kemudian ternyata Suharto bisa tersingkirkan. Tukang becak seperti Wiji Thukul adalah biji-biji yang sudah disemaikan pada tembok kekuasaan Orde Baru, biji-biji itu bertaburan seperti : Marsillam Simandjuntak, Sjahrir, Louis Wangge, Dorodjatun Kuntjorojakti kemudian dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda seperti : Sri Bintang Pamungkas, Nuku Sulaiman, Fajroel Rakhman, Budiman Soedjatmiko, anak-anak muda HMI MPO yang menolak penafsiran Pancasila ala Suharto kemudian menjadi tanaman yang merambat dan melapukkan tembok kekuasaan Orde Baru. Tapi dibalik tembok Orde Baru yang kokoh namun akhirnya melapuk ada tembok baja yang jauh lebih besar. Tembok Kapitalisme Asing!
Sepanjang jalan Sudirman kalau anda lihat perusahaan-perusahaan yang bercokol disana nyaris semuanya milik asing. Bank-Bank kita semuanya milik asing. Jika dulu istilah Jalan Jenderal Sudirman dikenal dengan istilah : The Smugglers of Boulevard (Jalan Raya para penyelundup) sekarang bertambah lagi menjadi :The Foreign Capital Boulevard karena tak ada lagi perusahaan milik nasional yang berskala besar disana, semuanya asing. Kini yang marak bisnis Hedge Fund dengan dana asing mereka melalui orang kita beli perusahaan-perusahaan bangkrut. Seluruh asset utama Indonesia sudah mutlak dikuasai asing. Hal yang bertahan tinggal perasaan berbangsa dan bertanah air itupun juga sudah mulai merosot melalui penipuan-penipuan kapital.
Pilkada sampai Pilpres pun berbau busuk dana asing. Pernyataan Amien Rais yang menyebut SBY-JK dibiayai asing mustinya ditindak lanjuti, namun sayang Amien Rais mundur dan meminjam istilah Che Guevara, :’Mundur adalah Penkhianatan’. Tapi wajar saja walau berani lawan Suharto, Amien Rais bukan politisi bermental Sukarnois yang tahan banting. Dia lebih memilih hidup nyaman ketimbang menyuarakan kebenaran. Tidak ada kamus ‘perjuangan permanen’ dalam dada politisi dari Solo itu.
Kekuatan-kekuatan Kapital berkelindan merasuki segala hal. Intelektual-Spiritual-Relijius. Sekolah-sekolah kita bukan menjadi ladang mencari ilmu tapi lebih dari objek bisnis para kapitalis yang mungkin saja berjubah guru atau kepala sekolah. Kebudayaan yang memperkaya kegiatan spiritual menjadi arena cari duit. Sastra-sastra kita berubah menjadi chicklit yang menggema, sastra seks dengan alasan pembenaran yang aneh menjadi berjaya seakan-akan otak sastrawan itu hanya berkisar selangkangan wanita dan laki-laki, dominasi kebudayaan massa oleh kelompok tertentu, pembentukan benteng-benteng kapitalis dalam dunia seni sehingga mempersulit rasa kesenian yang tinggi dengan membenturkannya pada modal, sekali lagi modal. Agama-agama sering dijadikan objek cari duit ketimbang mencari rasa keTuhanan, Sabda Tuhan-pun bertransformasi menjadi akumulasi Kapital. Para pendakwah mengejar rating di televisi, ramai-ramai bersolek dalam keshalihan sosial tanpa tahu persoalan masyarakat yang sesungguhnya. Tak ada yang lebih baik dalam menjelaskan selubung Kapital rumah ibadah dari pernyataan sinikal Samuel Mulia, penulis kolom Parodi tetap Kompas Minggu yang mencibiri sebuah rumah ibadah karena aksi minta diskon untuk biaya gereja tapi tetap minta biaya sesuai standar pada jemaahnya. Ini sama dengan statement Karl Marx dalam kata pengantar Das Kapital “Gereja Inggris akan lebih memaafkan serangan terhadap 38 dari 39 ayat-ayat kepercayaannya daripada 1/39 pendapatan atau penghasilannya. Di Bulan Ramadhan lebih ramai kuis-kuis yang tidak berhubungan dengan pencerahan agama ketimbang renungan agama, para da’i berlomba seperti selebriti, atau selebriti mendadak sontak berubah menjadi da’i. Ini semua karena Kapital. Sinetron-sinetron bodoh terus pegang kuasa dalam kebudayaan massa, Raja Sinetron menunjuk rating sebagai alasan, sementara rakyat tidak punya pilihan. Jutaan orang Indonesia harus tunduk pada Kapital ketika Rupert Murdoch melalui Astro mengkudeta English Premier League (EPL). Tidak ada lagi Chelsea, Tidak ada lagi MU yang ada kamu harus punya Uang!
Orientasi uang/kapital inilah yang kemudian mengasingkan kita pada lingkungan sendiri, mengasingkan kita pada masyarakat, dan mengalienasi kita pada makna kehidupan. Kapital menyeret orang untuk menjadi buas tanpa mengindahkan kebersamaan sosial, dan penipuan kapital juga membutakan manusia pada asalnya, pada akarnya, pada sejarahnya. Maka benarlah kebingungan Max Lane (penterjemah buku-buku Pram) tentang orang Indonesia yang tidak sadar sejarah sehingga berakibat tidak sadar negerinya dikangkangi modal asing :
"Masih banyak kekayaan revolusi yang perlu digali kembali termasuk ideologi kerakyatan yang terkandung dalam tulisan-tulisan karya Kartini, Tirto Adi Suryo, Soekarno, dan lain-lain dalam bidang politik maupun sastra”. Sayangnya, karya-karya besar seperti tulisan Soekarno "Nasionalisme, Islam dan Marxisme," atau karya Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, tidak pernah dibaca anak-anak sekolah Indonesia. "Bagaimana Indonesia bisa menghadapi ancaman Barat jika hasil kekayaan revolusi nasionalnya sendiri tidak diketahui oleh bangsanya?"
Kapital telah menjadikan dunia sebagai ladang kerakusan. Apalagi kapitalisme yang sedang berlangsung terus menerus di Indonesia, dimana bait Rhoma Irama menemukan kebenarannya dalam persoalan distribusi ekonomi “ Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin” dan Mahatma Gandhi pernah berkata “ Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang yang ada di dunia ini, tapi kurang bila memenuhi kerakusan satu orangpun”
Sebagai orang Indonesia kita tidak boleh mundur apalagi langsung memiliki psikologi pecundang yang melahirkan pemikiran-pemikiran dan perbuatan pecundang. Ada kesempatan untuk bangkit kembali, memetakan masalah, membangkitkan kesadaran Nasionalisme, merebut semua yang sudah dikangkangi asing, menyusun barisan dan membangun kekuasaan berdasarkan ide-ide awal dimana alasan kenapa Indonesia harus ada. Untuk itu demi Indonesia Raya yang sebenar-benar Indonesia, bangkitlah dan Bekerjalah !
ANTON
sumber:http://www.apakabar.ws/index.php?option=com_content&task=view&id=1265&Itemid=99999999
Ariel Heryanto, Asal Usul Buruh, Kompas, 24-06-07
Kasus Kedungombo, PLTN Muria, Kenaikan Tarif Jalan Tol, Ancaman bom waktu TKI Indonesia di Malaysia, Perampasan Hak-Hak tanah rakyat, Pembiaran Lapindo, Perlindungan terhadap Koruptor BLBI (Baik oleh oknum pemerintah RI maupun Pemerintahan Singapura), Masuknya Saudagar-saudagar kakap pada mesin pemerintahan, Ketergantungan pada IMF, Ketidakdisiplinan bangsa, Konflik antar Agama dan suku yang direkayasa serta segudang persoalan lainnya yang membelenggu bangsa Indonesia intinya adalah permasalahan Kapital. Sebelum kita masuk dan membedah masalah-masalah yang sering menjadi headline di koran-koran itu kita harus kembali pada kepada persoalan pokok, pada akar dari semua persoalan dan akar tersebut adalah sistem Kapitalis yang tidak benar dengan kata lain adanya penguasaan Kapital terhadap kelompok tertentu yang kemudian memperbudak sebagian besar kelompok lain. Jaring-jaring penguasa Kapital itu berkelindan menggunakan apa saja yang bisa dijadikan senjata untuk mematikan pergerakan rakyat yang mencari tempat, pergerakan rakyat yang mengklaim hak-haknya dan menuntut kebijakan yang memanusiakan kemanusiaan. Penguasaan kapital ini sudah menjelma sampai ke darah daging bagi kelas pemegang akses kekuasaan, informasi dan modal sehingga kedudukannya itu tidak bisa digoyahkan oleh tuntutan hak-hak yang seharusnya. Dari sinilah kemudian muncul banyak konflik dengan seribu satu pemicu. Selama bangsa Indonesia mengkhianati Sila ke Lima Pancasila : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, selama itu pula konflik-konflik akan terus membara. Salah satu jalan untuk menyingkap dasar-dasar permasalahan bangsa ini adalah ‘Mengupas sejarah sedetil-detilnya dengan menggunakan pisau analitis Marx” dan memahami Marx pongkolnya ada di Das Kapital baru dari situ kita bisa tahu bagaimana Ilmu Ekonomi bekerja juga bagaimana Pancasila itu tercipta dengan melampaui gagasan Karl Marx seperti yang dikatakan Bung Karno di depan wartawan upgrading wartawan PWI 12 Februari 1966 “Setuju apa tidak setuju tetapi Das Kapital adalah salah satu buku Fundamenteel, salah satu buku fundamenteel tentang ekonomi. Tidak semua orang bisa membaca buku besar ini. Saya tanya pernahkah engkau pernah membaca ‘Communist Manifest?, juga belum...coba! belum pernah membaca Communist Manifest. Padahal saya telah mengatakan di dalam pidato saya, Pancasila adalah salah satu hogere optrekking (Tingkat lebih tinggi, bhs Belanda) daripada Declarace of Independence Thomas Jefferson dan Communist Manifest. Hogere Optrekking. Tapi bagaimana kau akan bisa mengerti Hogere Optrekking ini, kalau engkau belum pernah membaca Declaration of Independence Thomas Jefferson dan belum pernah membaca Communist Manifest yang ditulis oleh Karl Marx”..
Selain masih ada residu cuci otak gaya Orde Baru terhadap hantu mitologis Marxisme, pemahaman marxisme sebagai Filsafat raksasa juga kerap beradu dengan pemahaman naif dan dangkal yang menyerang filsafat itu dan ini tidak aneh bahkan Francis Fukuyama-pun dengan perenungannya yang dalam melonjak dari tempat duduknya dan berteriak “Eureka!!!” lalu mengumumkan pada dunia ..”saya menemukan bahwa Kapitalisme-Liberal adalah The End of History” ia melihat tembok berlin runtuh, Negara Soviet berantakan dan kapitalisme mengglobal. Mata Fukuyama berbinar-binar dengan yakin bahwa ia sudah menemukan ruang akhir sejarah seperti hal-nya Karl Popper saat menegaskan masyarakat terbuka,’open society’ yang diikuti oleh murid paling fanatiknya George Soros bahwa dunia telah menemukan kisah akhir proses sejarah, kapitalisme liberal adalah sebuah ideologi yang tidak bisa diutak atik lagi, dengan demikian mereka berdua menganggap bahwa laju gerak sejarah sudah memasuki ruang kosong. Nihil menemukan bentuk sejarah baru, dan sosialisme sudah punah, ideologi alternatif hanyalah impian kosong. Konsepsi determinasi yang dipisahkan dengan relativitas (kenisbian) dalam dialektika sejarah masyarakat menimbulkan semua penyelewengan baik mereka komunis, kapitalis maupun teokrasi. Melihat hal ini Fukuyama mencapai tahapan fatalistik dalam menemukan kebenaran filsafatnya. Dengan abrakadabra dia menghentikan laju sejarah, melemparkannya ke ruang bejana vakum lalu meninggalkan laboratorium sembari tertawa merasa sudah menemukan inti kebenaran.
Tatkala Chavez dan Evo Morales berhasil menasionalisasi perusahaan-perusahaan dalam negerinya dan menantang ekonomi global bentukan Kapitalis, dunia tersentak. Kaum saudagar dan antek-antek kapitalis menyerang Chavez dan Morales tapi dunia tidak berdiam diri, gerakan-gerakan sosialisme terus tumbuh dimana-mana Michelle Bachelet menang di Chile, Rakyat Mexico menunggu kekuatan sosialisme baru dan nyaris memenangkan Pemilu, kekuatan-kekuatan penting Eropa Barat dari garis Sosialisme sudah memperkuat diri di Jerman kelompok Sosialisme sudah membangun barikade-barikade politik untuk melawan kapitalisme global, Di Perancis kaum Post Marxism bergerak terus diusung pemikir-pemikir brillian macam Alan Badiou, Ernesto Lanchau dan Chantal Mouffe sementara RRC adalah negara nomor satu di dunia dengan suarnya Vietnam gaung sosialisme bergema keras disini. Korea Utara memang sudah jadi fosil karena kepala batunya yang menolak usul RRC dan berpihak pada Stalinis, ketika Stalinis runtuh Korut malah mengisolasi diri, di Korut Marxisme di hinakan menjadi sampah dari monarki absolut peninggalan Kim Il Sung.
Ketika Sosialis bangkit dimana-mana menantang ekonomi global tentu pemahaman terhadap Marx menjadi bangkit lagi. Memang banyak orang berteriak Marx adalah barang lama, bungkus baru..tapi mereka lupa Kapitalis justru barang paling lama dengan bungkus yang diperbaharui terus menerus tanpa jeda dan hasilnya tetap sama ‘penindasan sekelompok komunitas yang memiliki akses pada kekuasaan, informasi dan modal terhadap kelompok besar yang tidak memiliki akses tersebut’ kalau istilah Bung Karnonya “L exploitation l’homme par l’homme”
Gerak Laju Sosialisme di Negara-Negara Dunia Ketiga
Memahami Marxisme adalah memahami gerak pikir Sosialisme dari jaman ke jaman. Itu berarti kita juga mengingat-ingat lagi tentang idealisme Hegelian, teori anti hak milik Proudhon, Tafsiran berapi-api dari Engels, Teori Revolusi Lenin, Kesadaran Kelas dan Historis yang melahirkan Gerakan New Left dari Georg Lukacs sampai pada teori Being and Event Alain Badiou yang menafsirkan Marx dari filsafat Matematika.
Namun dari semua itu bila membicarakan apa itu Marxisme, bagaimana Marxisme mengkritik Kapital dan membongkar mistifikasi-mistifikasi tentang modal maka mau tidak mau kita harus berucap “Pada awalnya adalah Marx”
Kritik Marx terhadap Kapitalisme memang kritik khas abad 19. Jalan pikiran Marx tidak bisa lepas dari dialektika revolusi Eropa 1848 yang merupakan kelanjutan dari rangkaian mata api revolusi kaum Borjuis Paris 1789 dan Revolusi separuh jalan Sosialisme 1830. Walaupun memang harus diakui ada beberapa ramalan Marx tentang kontradiksi-kontradiksi kapitalis yang akhirnya akan menghancurkan dirinya tidak tepat malah bergerak ke arah lain, namun penyingkapan mistifikasi hubungan antara manusia dengan komoditi dan relasi-relasi antar komoditi memiliki arti penting dan membuka pencerahan baru bagi peradaban dimana salah satunya adalah perjuangan pembebasan kolonialisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Selatan.
Marx memfokuskan pada cara kerja kapitalis Inggris dan Perancis sembari menuding tuan tanah-tuan tanah Jerman “De Te Fabula Narratur!” (Itu adalah tentang dirimu) artinya : apa yang terjadi di Perancis dan Inggris akan terjadi pula di Jerman dimana Industrialisasi dan Kapitalisme menemukan kontradiksi-kontradiksinya. Memahami Das Kapital (Vol.1 bab 1-9) memang cukup sulit diawalnya –bab tersebut menguliti sistem Kapitalis- ini merupakan khas dari cara berfilsafat orang Jerman yang terkenal rumit apabila dilihat orang yang sudah terbiasa membaca filsafat Inggris dan Perancis. Hegel, Immanuel Kant, Nietszche bahkan sampai Heidegger memiliki tingkat kerumitan dengan bahasa yang berbelit-belit. Marx memang berkaitan erat dengan Hegel, namun kaitannya itu merupakan perlawanan terhadap Hegel tentang konsep ‘ide’. Hegel mengatakan “Ide adalah pencipta dunia nyata, dan dunia nyata merupakan penampil dari Ide tersebut” disinilah awal pangkal Metafisika dalam proses berpikir ala Hegelian yang sampai saat ini kuat pengaruhnya di kalangan Filosof. Marx menjungkirbalikkan konsep Ide ini dengan menganggap ‘bahwa yang ideal itu tak lain dan tak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran” Kerumitan memahami pemikiran Karl Marx ini memang cukup berdampak luas. Kaum yang bergerak dalam tataran kiri dan melawan Kapital yang menindas kemanusiaan malah sering terjebak pada kekurang pahaman Marxisme yang rumit. Di Indonesia sendiri, bahkan pada masa jayanya PKI di tahun 1955-1965, Das Kapital jarang menjadi rujukan utama. Kaum Intelektual lebih senang bergelut dengan Camus, meneriakkan revisionis baik itu Trotskys maupun pertobatan Georg Lukacs jarang mereka membedah Das Kapital secara detil, kecuali menjadi catatan kaki dari tulisan-tulisan DN Aidit. Kekurangpahaman terhadap Karl Marx ini kemudian malah menjebak Marxisme kedalam kurungan kekuasaan Orde Baru, Marxisme dihakimi sebagai monopoli Partai Komunis Indonesia, mereka lupa bahwa PNI, Murba, PSI dan Partai-Partai dengan landasan Sosialis lainnya, mendasarkan pada diri Marx. PNI gaya baru dengan sangat memalukan ketika Bung Karno jatuh selain tidak mau mengakui Bung Karno sebagai Bapak Marhaenis dengan alasan kultus Individu dan mengingkari Marx sebagai teori pembebas. Apa yang dilakukan PNI gaya baru hanya sekedar minta pengakuan politik dari Orde Baru untuk mendapat hak hidup. Dan sampai sekarang ajaran Marxisme diharamkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Inilah satu-satunya pemerintahan yang mengingkari warisan intelektual dunia, sementara ilmu perdukunan yang irrasionil boleh dipelajari, Marx sebagai ajaran rasional malah dihinakan.
Bung Karno sendiri pernah mengakui bahwa memang rumit langsung membaca Marx, untuk itu di usia 16-17 tahun dia baca interpretator dan commentator dari Marx, dia sendiri membaca Marx setelah berusia 25-26 tahun. Itu Bung Karno yang besar di jaman kolonialisme tentunya membaca Marx dengan bahasa Jerman atau Belanda, belum ada terjemahan Marx dengan bahasa Melayu. Di jaman Orde Baru untuk baca Karl Marx harus sembunyi-sembunyi, para mahasiswa yang cerdas-cerdas sering mengistilahkan Marx itu dengan istilah ‘Mbah Jenggot’. Pembaca Marx jadi sangat terbatas di Indonesia, para mahasiswa ekonomi Indonesia hanya mengenal satu sistem ekonomi yaitu : ekonomi liberal yang memvakumkan ‘ruang sosial’ sehingga logika mereka dalam berpikir sampai ke tulang sumsum adalah logika kapital yang meniadakan humanisme dan sensitivitas sosial sehingga tidak heran bila kebijakan-kebijakan penggede birokrasi ekonom kita tidak bersifat merakyat, berorientasi Liberal, Percaya penuh pada pasar bebas dan kecanduan IMF. Soemitro Djojohadikusumo sendiri pernah agak merasa menyesal karena mengirim mahasiswa-mahasiswa pongkol UI ke University California Barkeley yang dipandang liberalisme, ia sebenarnya lebih menginginkan mengirim mahasiswa-mahasiswanya ke London School of Economics (LSE) karena disana ada Harold Lasky yang berorientasi pada Sosialisme. Di Eropa atmosfer Marxisme sangat terasa dalam memadukan konsep-konsep ekonomi ketimbang ekonomi buas gaya Amerika Serikat, inilah kenapa Kwik Kian Gie yang lulusan Rotterdam itu sering berantem dengan anak turun Barkeley.
Pikiran paling khas dari Marxisme adalah memahami gerak sejarah dengan memperhatikan dialektika antara manusia dengan realitas termasuk teori hak milik dan penyingkapan selubung-selubung mistis nilai komoditi sebagai bagian awal membuka pengertian bagaimana pikiran Marxisme bekerja. Sejarah kepemilikan dalam struktur masyarakat yang dicetuskan oleh Marx-Engels dalam bukunya German Ideology harus diakui adalah historisitas khas Eropa, Marx dan Engels menjelaskan secara gamblang proses hak milik dari masyarakat primitif yang alamiah sampai masyarakat kapitalis melalui tahapan-tahapan gelombang sejarah. Marx memang pernah menyerang Proudhon yang mengatakan “Milik adalah Pencurian” secara gaib apa yang dipunyai dan dihasilkan oleh alam dan tenaga kerja memiliki konsep ‘milik’ dan konsep ‘milik’ secara tidak jelas dibahas dalam pamflet Proudhon, namun pamflet Prodhon tersebut merupakan tautologi (pengulangan kata tanpa makna baru) dari apa yang dipikirkan pemikir-pemikir sosialis sebelumnya. Maksud Marx dalam polemik Proudhon ini, ia ingin membuka kesadaran supaya kaum Sosialisme mendasari pada pemikiran ilmiah dan menyingkap apa-apa yang disebutnya sebagai mistifikasi karena kekurangpahaman kaum filosof dalam memahami cara dunia bekerja. Dari sinilah kemudian sosialisme memasuki tahapan ilmiahnya, dan Kapitalisme kemudian menyelamatkan dirinya dengan ancaman Marx dalam prognosisnya yaitu masa Zummenbruch (keruntuhan).
Kenapa kemudian Kapitalisme lalu berhasil menyelamatkan dirinya dari keruntuhan yang diramalkan Marx? Banyak pandangan menyebutkan bahwa Kapitalisme melakukan koreksi-koreksi internalnya dengan mengikuti proses dialektika ilmiah Marx, - dimana Karl Marx mengatakan menjelang masa Zummenbruch ada masa Die verelendung (Kesengsaraan yang meluas)- dimana perimbangan-perimbangan antar kelas saling menajam, dititik inilah Kapitalisme terus melakukan koreksi-koreksi atas tindakannya terhadap kaum proletar yang menurut Marx “tidak memiliki apa-apa lagi kecuali tenaganya” supaya terhindar dari keruntuhannya dengan memindahkan penyakit-penyakit kapitalisme ke negara jajahan. Pada akhir abad 19 demam Marx melanda Eropa Barat sebelum akhirnya mencapai kemenangan politik di Russia (sebuah negara yang sama sekali bukan bagian dari prognosis Marx). Parlemen-parlemen Eropa barat dipenuhi oleh kelompok Sosialisme yang keranjingan Marx, di Belanda sendiri muncul Van Kol dan Domela Nieuwenhuys dedengkot kaum Sosialis Belanda yang baru bangkit mengimbangi kaum Liberal. Van Kol banyak memperhatikan bagaimana kapitalisme itu memperbudak orang-orang Hindia Belanda melalui kunjungan-kunjungannya ke Hindia Belanda pasca pagebluk Van Den Bosch. Van Kol sendiri bukan merupakan Marxisme Orthodoks, ia bersama Stokvis, Koch dan Rutgers merupakan tipikal Marxisme Eropa Barat yang cenderung kompromistis. Dari serangan-serangan kaum Sosialis kemudian mendorong penyadaran bahwa kolonialisme gaya Van Den Bosch merupakan kebiadaban luar biasa di Hindia Belanda dan serialnya merupakan bagian dari prognosis Marx. Untuk itulah kemudian kaum penguasa di Eropa Barat sadar bahwa memang ramalan Marx benar adanya, tapi mereka masih memerlukan akumulasi kapital yang terus menerus supaya mendapat ‘kelestarian modal’ di masa depan. Konsep kelestarian modal inilah yang kemudian memindahkan kekejaman kapitalisme ke negara-negara jajahan dan mengurangi terjadi resiko buruh yang semainya sudah ditabur tahun 1830 dan 1848 di Paris. Koreksi ini berhasil, Amerika Serikat sendiri bahkan mampu berkelit dari ramalan Marx yang sudah nyaris terjadi pada jaman bangkrutnya Wall Street 1929 dengan menggunakan senjata Keynes ‘intervensi peran negara’ disinilah kemudian tonggak dari kemampuan negara-negara barat menghindari keruntuhan kapitalisme, tapi ‘enak di mereka nggak enak di negara-negara jajahan’. Di negara-negara jajahan kapitalisme masih berlangsung dalam bentuknya yang asli bahkan setelah masa-masa perang kemerdekaan negara-negara jajahan masih dijajah kapitalisme dalam bentuk vulgar, tidak ada sama sekali politik perimbangan sosial seperti yang dilakukan negara-negara maju dalam mengerem Die Verelendung itu. Kaum cerdik pandai dari dunia liberal menggerakkan barisan cadangan kerja - yang menurut Marx merupakan barisan yang tergusur dari sistem akumulasi dan konsentrasi kapital - ke dalam serikat-serikat pekerja yang memiliki nyaris kekuasaan yang sama dengan pemilik modal (kelak dikemudian hari barisan serikat pekerja ini dari lapisan kelas menengah memicu fasisme sebagai ekstremisitas dari Kapitalisme), petani-petani di Eropa Barat dan Amerika Serikat mendapat perlindungan luar biasa dari negara bahkan sangat dimanjakan, koperasi-koperasi yang digunakan untuk akses modal dari kalangan borjuis kecil berjalan baik di Skandinavia. Koperasi ini digunakan sebagai bumper dari gerakan akumulasi kapital dan konsentrasi kerja pada perusahaan-perusahaan raksasa. Agar menghindarkan terlemparnya kaum borjuis kecil ke dalam ‘barisan cadangan tenaga kerja’ yang merupakan bibit-bibit ganas proletariat.
Nah, faktor-faktor penyelamat Die Verelendung tidak boleh terjadi di negara-negara jajahan kalau sampai terjadi maka yang ada adalah hilangnya nilai surplus paling fantatis bagi negara Kapitalis. Negara jajahan dilarang untuk memahami bahwa Marxisme sebagai teori pembebasan, itulah kenapa pelajar-pelajar kita ‘jaman jebot’ (1905-1942) saat belajar di Rotterdam, Amsterdam, Den Haag bahkan sampai Breda dispioni terus oleh Raadsman. Sekali tercium aroma Marx atau terpengaruh Soviet, maka uang kiriman dari orang tuanya di hentikan, bahkan sampai ada seorang pelajar kita disana ditemukan mati kelaparan dalam musim dingin di kamarnya karena tidak ada uang. Sekali kena cap Komunis baik di Belanda maupun di Indonesia maka habis riwayatnya. Namun gerakan-gerakan penyadaran Marxisme sebagai alat kritik dan penyadaran bahwa kita dijajah terus berlanjut. HOS Tjokroaminoto, penggerak pergerakan rakyat paling populer itu mengatakan di kongres Sarekat Islam tahun 1918 : “Menentang pemerintah Hindia Belanda dalam tindakannya melindungi Kapitalisme dan akan menggerakkan semua organisasi bangsa Indonesia untuk menentang Kapitalisme. Sarekat Islam akan mengorganisasikan kaum buruh”. Di rumah Pak Tjokro inilah kemudian bersemai bunga-bunga bangsa yang kemudian menggerakkan sejarah Indonesia dengan warna-warni pelangi dari Sukarno sampai Kartosuwiryo, dari Agus Salim sampai Musso. Setidak setuju apapun terhadap gagasan Marx sangat sulit bagi kaum pergerakan Indonesia tidak menggunakan landasan Marx untuk mengetahui makna penindasan. Bagaimanapun teori Marx merupakan penjelasan dari pertanyaan-pertanyaan pejuang bangsa Indonesia dalam melihat realitas lalu terjadilah proses interaksi antara pikiran mereka dengan alam kenyataan sesuai yang dikatakan Marx ‘‘bahwa yang ideal itu tak lain dan tak bukan hanya dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran”. Apa yang dilihat Tan Malaka pada perbudakan kuli-kuli kontrak Deli, yang dirasakan Bung Karno saat dihina di depan orang tua pacarnya yang belanda totok atau dikeroyok oleh sinyo-sinyo Belanda saat dia mau main bola ke lapangan yang dilarang bagi kulit berwarna, apa yang diresapi dari pandangan Bang Amat (DN Aidit) saat melihat betapa timpangnya kehidupan buruh di GMB (Gemeentschaape Maatschappij Biliton) Pulau Bangka dengan staf-staf kulit putih, apa yang membuat Tjiptomangunkusumo urut dada liat Sunan Solo PB X yang memakai banyak tanda jasa mirip boneka supaya mirip raja-raja Eropa, atau apa yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantoro untuk menutup pintu rumahnya dan merenungi sambil berucap pelan-pelan “Ik Nederlaander was”, andai aku orang Belanda dan mengenang 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol. Dari situlah mereka semua mempelajari Marx, memahami dialektika ilmiah dan proses perkembangan sejarah. Lalu mereka menyadari bahwa bangsa mereka dijajah pasti ada akarnya, ada alasannya dan mereka menemukan sebab musabab Kolonialisme itu adalah dari kejahatan KAPITAL.
Disinilah awal mula pergerakan kemerdekaan Indonesia menemui landasannya. Gerakan konyol pemberontakan PKI 1926/1927 justru mematikan Komunisme dalam ruang sejarah Hindia Belanda menjelang keruntuhan negara kolonial itu di tahun 1942. Pejuang-pejuang Marxist dibuang ke Boven Digoel, mereka survival disana kelak dikemudian hari sejarah terulang intelektual-intelektual besar yang paham Marx, mencintai Sukarno dan berjuang demi independensi Indonesia pada kekuatan kapitalis asing dibuang ke Pulau Buru pada tahun-tahun kelam Orde Baru. Pemberontakan PKI merupakan awal dari kemunduran besar gerakan kebangsaan karena Gubernemen Hindia Belanda memiliki kesempatan untuk menangkapi semua pemimpin pergerakan, mau Marxis, Islam, atau Nasionalis semua diciduk. Kemudian mulailah ‘hantu Komunisme’ menjadi ketakutan yang ditiupkan oleh kekuasaan Belanda.
Sampai kemerdekaan 1945 Belanda masih menuding bahwa Sukarno dan rombongan 17 Agustusnya adalah kaum Komunis yang juga ternoda sebagai kolaborator Jepang. Disini Belanda ingin meraup keuntungan politisnya dari tuduhan itu ingin mendapat simpati golongan agama, mendapat dukungan Amerika yang sudah berjarak dengan Stalin dan mencap bahwa Sukarno-Hatta adalah pendosa karena berpihak pada Jepang. Namun semua itu gagal total Sukarno kadung dicintai rakyat Indonesia, dia dipandang sebagai pembuka dari kehormatan rakyat yang pernah dicap sebagai “Bangsa Kuli diantara bangsa-bangsa”. Sukarno berkonsentrasi pada ladang rakyat banyak, ia membangun imaji tentang Indonesia, ia membentangkan Flag Nationalism, dan ia terus memompa bahwa masa depan Indonesia adalah kemakmuran bagi rakyatnya. Disini Sukarno terus bergerak, ditengah jaman yang berderak-derak.
Pergulatan pertama kali Indonesia dalam ruang pertarungan politik justru terjadi di antara kaum Sosialis sendiri. Hatta dan Sjahrir yang merupakan penganut Sosialisme Kanan (Soska) yang berasal dari golongan menengah intelektual dan paham semua teori revisionis non Stalin tiba-tiba dihadapkan pada kelompok Amir dan Musso yang setia pada garis Soviet lewat sebuah peristiwa yang sesungguhnya bukan peristiwa penting tapi mendapat nilai fantastik politik yaitu : Peristiwa Madiun 1948. Hatta dan Sjahrir menuduh Amir-Musso ingin mendirikan negara Soviet baru di tanah Madiun ( Tanah Madiun yang juga sepanjang sejarahnya merupakan tanah perlawanan terhadap kekuasaan Mataram). Peristiwa Madiun merupakan rangkaian dari geger Solo yang menolak gagasan Hatta dan Sri Sultan untuk melakukan ReRa dimana banyak perwira-perwira yang berasal dari PETA dan Lasykar Rakyat dirugikan. Jenderal Sudirman juga agak kurang senang dengan cara berpolitik Hatta-Sjahrir yang terlalu banyak main kompromi dengan Belanda. Kemudian ada desas-desus tentang Red Drive Proposal 1948 di Sarangan (Sebuah konferensi antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang membahas nasib Kaum Komunis garis keras di Indonesia dan janji dukungan AS bila pemerintah RI bisa membereskan kaum merah itu) yang disebut-sebut sebagai prolog kehancuran kelompok Amir-Musso juga kemudian penghilangan Tan Malaka di tahun 1949 karena menolak untuk berdiplomasi dengan Belanda dan meneruskan peperangan dengan jargon Merdeka 100%.
Dalam pertarungan itu Sukarno memang menyingkir keluar arena setelah sebelumnya sempat masuk ke dalam dan berteriak “Pilih Musso dengan PKI-nya yang akan membangkrutkan Indonesia atau Sukarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memerdekakan Indonesia dari negara asing manapun,Lekas rebut Madiun ke tangan kita kembali!” setelah peristiwa Madiun dan gagalnya Sukarno mengendalikan pembunuhan-pembunuhan pada tokoh-tokoh politik Amir Sjarifudin cs yang ditembak mati di Ngaliyan, Boyolali membuat ia seakan-akan mundur dari dunia politik praktis, urusan politik dipegang Hatta-Sjahrir yang sudah tidak ada lawan berarti menyusul habisnya Tan Malaka. Kini konstelasi pertarungan adalah pada kubu Sukarno disatu pihak dan Hatta-Sjahrir di pihak lain, namun kedua kubu masih dalam naungan Marxisme, cita-citanyapun Sosialisme Indonesia.
Sepanjang 1949 Sukarno dikunci dalam kamar sejarah, bahkan tahun sebelumnya ia seakan-akan mendapat dosa politik karena tidak ikut bergerilya bersama Jenderal Sudirman dan memilih menyerah, bagi perwira-perwira TNI orthodoks apa yang dilakukan Sukarno adalah separuh pengkhianatan, mereka melihat menyerahnya Sukarno sebagai takluknya pemimpin Indonesia pada musuh, bukan bagian taktik diplomasi, padahal Sukarno melakukan ini agar di PBB Palar punya senjata diplomatiknya dengan menuduh Belanda telah melakukan kejahatan Internasional. Memang pada akhirnya Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda tapi harus membayar kompensasi perang sebesar 4,6 milyar Gulden, padahal uang itu oleh Belanda digunakan untuk membiayai mesin perangnya melawan Republik Indonesia.
Setelah itu RI memasuki jaman demokrasi liberal. Disebut jaman Demokrasi Liberal karena para elite politik bertarung kekuasaan dalam sistem Parlementer yang meniru sistem pemerintahan Negeri Belanda. Pada masa ini PKI mengalami revitalisasi dari anak-anak muda berhaluan Sukarno dan segera mendapat keuntungan politik setelah Sukarno membubarkan konstituante lalu tahun berikutnya membredel Masyumi dan PSI lalu membentuk barisan politik Nasakom. Nasakomisasi di segala bidang adalah jargon paling terkenal diantara jargon-jargon politik ala Sukarno lainnya yang berpusar pada Revolusi.
Di Bawah Bendera Revolusi
Untuk memahami penggiringan arus kekuasaan di dalam kendali Sukarno yang di gawangi dua pancang anak Revolusinya : PKI dan Angkatan Darat ada baiknya mencoba menganalisa apa yang terjadi dalam konstelasi dunia Internasional, dan apa yang menjadi pikiran Sukarno dalam proses dialektisnya terhadap perkembangan sejarah dunia. Untuk itu saya mencoba mengupas sejarah dengan pisau analitis Marx.
Setelah selesainya kontrak politik antara Churchill-FDR-Stalin yang sebelumnya bersama-sama mengeroyok Hitler di dua front Eropa, maka tidak ada lagi hubungan yang berarti antara Barat (Inggris dan AS) dengan Timur (Uni Soviet). Churchill memang sudah menegaskan bahwa dirinya tidak mau terlibat lebih jauh dengan Stalin pasca runtuhnya Hitler dan memperkirakan perang selanjutnya setelah era Hitler adalah perang antara kaum Kapitalis dengan kaum Komunis. Setelah perang brutal 1939-1945, Inggris dan Amerika Serikat sadar bahwa imperialisme yang dilakukan negara-negara barat sejak abad 16 akan memancing ketidakseimbangan dunia, karena perebutan wilayah-wilayah tersebut akan terus menerus menjadi pokok soal dari perang yang berlarut-larut di segala sudut dunia. Perang yang panjang akan menurunkan tingkat produktivitas dan penurunan tingkat produktivitas akan melemahkan surplus dimana akumulasi modal menjadi lemah. Bila Inggris mencaplok India, maka Jepang dan Jerman berminat juga mencaplok India, bila Inggris ada di tanah Libya, maka Italia akan menghajar Inggris di Tripoli. Disinilah para kapitalis-kapitalis itu sadar bahwa perang tidak berguna, harus ada cara baru untuk menggantikan perebutan wilayah, mentransformasikan imperium wilayah yang sistemnya sudah dikenal sejak Alexander the great atau Julius Caesar menjadi imperialisme modal dimana nasionalisme ala borjuis-borjuis Venesia menjadi ketinggalan jaman berubah bentuknya secara mendasar menjadi mobilitas modal yang tidak mengenal batas wilayah. Imperialisme modal itu memiliki bala tentaranya sendiri, Perusahaan-perusahaan raksasa, atau Multi National Corporation (MNC) dan kelak dikemudian hari ada panglima kapitalisme yang luar biasa tangguh yaitu : aliran-aliran dana global yang maha besar dan menghancurkan batas-batas negara yang gelombangnya bisa membangun atau menghancurkan ekonomi sebuah negara.
Para kapitalis raksasa Amerika sangat sadar terhadap pangsa pasar yang besar berada di Asia dimana konsentrasi penduduk dunia terdapat, alokasi industri dengan biaya-biaya produksi murah, titik suply bahan mentah secara kontinu, sumber demand terbesar bagi produknya dan tempat yang baik untuk memindahkan masalah-masalah internal kapitalis dari Amerika supaya ‘great depression’ jangan sampai terulang lagi. Great Depression 1929 merupakan situasi susut produksi usaha-usaha raksasa dimana moneter juga mengalami kehancuran akibat overestimasi investasi di bidang properti, pasar modal dan spekulasi tanah besar-besaran yang dilakukan baik oleh individu, kolektivitas dana masyarakat non bank maupun bank, dana yang diinvestasikan tidak memiliki nilai tambah untuk memperbesar daya beli masyarakat sementara barang berlimpah disinilah kemudian terjadi ledakan pengangguran dan teori Karl Marx berjalan dengan sempurna pada tahap ledakan pengangguran yang mengarah pada masa die verelendung (Kesengsaraan yang meluas) bahkan bukan Amerika Serikat saja, Uni Soviet sendiri melakukan large cut terhadap industrinya untuk mendapatkan keseimbangan baru, Hindia Belanda juga frustrasi karena terjadi barisan pengangguran dimana-mana akibat produk gula dan perkebunan hancur di pasaran, walaupun kemudian harus diakui great depression arahnya bukan Keruntuhan Kapitalisme namun merupakan sebuah bentuk mencari keseimbangan baru diantara rangkaian keseimbangan disequilibrium menuju equilibrium diantara rangkaian equilibrium. Dan pemecahannya mengadopsi teori Keynes dalam The General Theory and Employment, Interest and Money dimana ketika usaha-usaha raksasa mencapai titik kulminasi produksi dan mulai tidak adanya tingkat daya beli maka pemerintah harus mengintervensi. Syaratnya? Ya pemerintah harus punya uang untuk memperkerjakan pengangguran pada proyek-proyek infrastruktur raksasa seperti : membangun dam raksasa, membangun jalan-jalan antar negara bagian, terowongan-terowongan yang justru mengkatalisator pergerakan ekonomi ke arah yang lebih tinggi sehingga keseimbangan baru (new equilibrium) terjadi dalam posisi yang lebih tinggi. Oleh FDR gagasan Keynes menjadi program kerjanya yang utama dengan jargon yang terkenal ‘New Deal’ sejak keberhasilan FDR membangun kesadaran bahwa perlombaan imperialisme dalam artian vulgar menjadi tidak bermakna lagi. Imperialisme harus dengan cara halus, imperialisme yang kasar akan memancing peperangan sementara imperialisme halus malah bisa menumbuhkan tingkat perekonomian dunia secara signifikan.
Penemuan teori Imperialisme cara halus ini menguntungkan Amerika Serikat karena mereka bisa menjalani paham Jeffersonian yang mengagung-agungkan kebebasan sekaligus pelan-pelan melakukan infiltrasi untuk menyebar benih imperialisme secara internal ke dalam otak elite-elite sebuah bangsa. “kebebasan hak asasi manusia, demokrasi Liberal, budaya massa, bantuan militer, bantuan kemanusiaan dan pendidikan serta segala bentuk wajah humanis lainnya” menjadi senjata imperialisme cara halus terbaik bagi Amerika Serikat kemudian diikuti sepupunya Inggris untuk tetap menguasai dunia secara total. Semua jualan Amerika Serikat yang berwatak humanis itu hanya punya satu tujuan fundamental yaitu : KAPITAL dan perluasan kapital ini gunanya untuk mencapai equlibrium-equilibrium baru dalam tingkatannya yang lebih baik namun equilibrium itu hanya mengisolir pada lapisan elite yang dekat dengan AS dan tidak menyejahterakan rakyat banyak. Coba perhatikan ketika tendensi kapital mereka tersentuh maka mereka bisa bersikap dua wajah. AS adalah pendukung HAM paling garang, tapi ketika Suharto yang menjilat pantat AS berkuasa dan melakukan penindasan HAM sontak mereka melakukan standar ganda, begitu juga dengan demokrasi liberal ketika kepentingan Israel terganggu maka Hamas yang memenangkan Pemilu dipecundangi maka mereka membela kepentingannya begitu juga bantuan militer dan bantuan kemanusiaan serta pendidikan selalu di tunggangi kepentingan memperkuat pengaruh Amerika Serikat untuk kepentingan mereka. Bush menginfiltrasi Irak dengan alasan selain dicurigai menyimpan senjata pemusnah massal, karena tidak ada demokrasi liberal di Irak, lha..kalau alasannya menegakkan demokrasi liberal kenapa AS tidak mencaplok Arab Saudi yang jelas-jelas tidak ngeh demokrasi liberal, karena ya bangsawan-bangsawan Arab itu nyuplai minyak terus menerus ke Amerika Serikat. Tuhan pemerintahan Amerika Serikat adalah Kapital, titik! Mereka bisa bekerjasama dengan setan paling kejampun asal demi akumulasi kapital. Mereka bisa rangkul Cina yang katanya Komunis, mereka bisa Soviet, kini merangkul Vietnam. Simbiosis Mutualisma terhadap sikap Amerika Serikat ini harus ada keberanian win-win solution yaitu kekuatan internal di dalam tubuh negara yang bersangkutan, seperti RRC-AS, India-AS (kasus nuklir India tidak berani diutak-atik Amerika asal India tidak menutup pintu kapital) tapi giliran negara menutup pintu kapitalnya maka negara itu digempur habis, Iran sekarang sedang menjadi lakon kegemblungan Amerika Serikat. Dan apa yang terjadi pada Iran pernah terjadi di Indonesia pada era Sukarno.
Amerika Serikat dengan gagah menjadi role model sebagai hasil dari eksperimen negara buatan Washington-Jefferson yang paling berhasil di dunia, dan memang mereka berhasil tapi sisi gelap Amerika Serikat harus diungkap. Apakah Indonesia kemudian bisa seperti Amerika Serikat? Kalau Indonesia seperti Amerika Serikat layaknya Jepang, Singapura, Eropa Barat maka tidak ada lagi pangsa pasar yang diperbodohi, bung! Seperti halnya Belanda, Amerika Serikat tidak akan membiarkan negara yang sumber daya alamnya besar menjadi pintar bahkan tumbuh seperti RRC dan Jepang yang menjadi kekuatan Independen. Amerika Serikat membangun etalase-etalase role model keberhasilannya seperti di Singapura, Malaysia dan Australia yang mengelilingi Indonesia, Thailand dan Filipina ini digunakan sebagai alat untuk buat kaum terdidik berorientasi barat ngiler dan menganggap apapun yang berbau Amerika itu hebat. Negara-negara etalase itu sekaligus dijadikan benteng-benteng pertahanan militer Amerika-Inggris agar jangan sampai bangsa besar ini menjadi benar-benar besar dan melakukan politik ekspansi karena secara historis memang Indonesia memiliki watak ekspansionis dan itu disadari oleh Amerika Serikat.
Bung Karno memang dianugerahi kecerdasan yang tinggi, dan jenis kecerdasan yang seakan-akan bisa melampaui ruang dan waktu. Ia bisa meramalkan Indonesia akan mencapai kemerdekaan politik ketika pecah perang Pasifik dan itu diucapkannya dalam pidato-pidatonya di akhir tahun 20-an dan sekitar tahun 30-an awal sebelum ia dibuang ke Flores. Padahal Amerika Serikat sendiri sudah memperkirakan Jepang tidak akan berani menyerang Amerika Serikat karena sudah diusahakan politik diplomasi yang maksimal agar Jepang menjadi sekutu AS bila saatnya mereka akan masuk dalam perang Eropa yang dipicu Hitler. Yang separuh mistis akan kecerdasan Bung Karno adalah dia tahu perang akan berakhir tahun 1945 dan disitulah Indonesia akan merdeka untuk itu Bung Karno pernah membuat sandiwara/tonil di Flores tahun 1930-an dengan judul ‘Indonesia Agustus 1945’ properti tonil itu masih tersimpan baik di rumah museum Bung Karno di Flores.
Bung Karno menggunakan pisau Marx untuk mengupas sejarah, ketika ia disarankan untuk meninggalkan teori Marx dalam ekonomi karena sudah ada bantahan terhadap teori Marx mengenai surplus yang menjadi mentah karena adanya teori Marginalisme dan Utilitas lalu keberhasilan Keynes dalam menghidarkan prognosis Marx, maka dengan lantang Bung Karno teriak “Ilmuwan-ilmuwan yang dicekoki Keynes!” persoalan dalam teori Marx adalah persoalan teori bukan dogmatis dan determinisme, Bung Karno tidak pernah menjadikan teori Marx sebagai dogma bahkan dialah revisionis terbesar dalam ajaran Marx, yaitu menggabungkan kekuatan-kekuatan yang dimata dunia tak mungkin yaitu : Nasionalisme-Agama-Marxisme karena semua ideologi basis itu saling bertentangan, saling contradictio in termina. Marxisme jelas pada akhirnya akan menyingkirkan negara yang dianggap alat borjuasi, Nasionalisme merupakan persepsi borjuasi yang bentukannya berasal dari saudagar-saudagar anti feodal dan pasti bertentangan dengan konsep Internasionalisme Marxisme sementara agama adalah lapisan berkabut bagi ajaran Marx (Karl Marx sendiri tidak mempedulikan agama, tapi tidak menentang agama justru penentangan agama terjadi dalam ruang pikiran Lenin). Disinilah Bung Karno melakukan terobosan ide yang laboratoriumnya adalah Indonesia. Bung Karno menganut paham ini sejak berumur 26 tahun dan coba terus menerus dikerjakan eksperimen negara Nasakom dengan landasan paling fenomenalnya (yang sampai saat ini masih dianut secara fanatik oleh manusia Indonesia) PANCASILA.
Kesadaran Bung Karno akan mulai adanya intervensi Amerika-Inggris ke dalam tubuh Indonesia setelah persoalan Belanda selesai (Amerika dan Inggris pun dengan licik menyingkirkan Belanda dari Indonesia, mereka tidak mau membantu sekutunya itu –yang bukan anglo – untuk berhadapan dengan Indonesia karena Amerika-Inggris punya kepentingan sendiri untuk menjadikan Indonesia ladang subur sumber eksploitasi mereka. Konspirasi Amerika ini terjadi pada KMB 1949 dan penolakan membantu Belanda di Irian Barat 1962) apalagi sudah ada prolognya pada saat peristiwa PRRI/Permesta maka Bung Karno harus bertindak tegas. Lobang-lobang infiltrasi justru ada di kekuatan yang mengedepankan modernisasi namun terjebak pada Amerikanisasi PSI dan Masyumi membuat jarak seakan-akan Sukarno berada di garis kiri. Bung Karno memang sedari awalnya Kiri ia memperkuat itu dalam pidatonya di tahun 1961 : “Revolusi kita sedari awalnya adalah Revolusi Kiri” Bung Karno juga tahu benar apa yang dikerjakannya dalam memerdekakan Indonesia, bersimbah keringat di lapangan-lapangan rakyat mempertaruhkan nyawa di bawah todongan senapan mesin Belanda ia tahu benar itu untuk apa dan bagaimana revolusinya berjalan dan siapa yang memainkan. Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu tidak ada (TNI belum terbentuk sampai beberapa bulan setelah proklamasi), bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan. Maka untuk itu kepada siapa kemerdekaan itu diberikan. “Kepada Rakyat” itu prinsip Bung Karno.
Dan tanda-tanda Imperialisme asing sudah bergerak, akhirnya Bung Karno menggunakan sistem pemerintahan darurat untuk memperkecil kemungkinan infiltrasi asing dan pengaruh asing mempermainkan kekuatan-kekuatannya di Indonesia, orang bilang saat itu Bung Karno haus kuasa, lha kalau haus kuasa kenapa tidak pas 17 Oktober 1952 saat AH Nasution mendesak Bung Karno bubarkan parlemen dan menjadi diktator bahkan di depan para Kolonel-Kolonel itu Bung Karno berteriak “Kamu ingin saya jadi diktator?, saya tidak ingin jadi diktator!” . Disamping itu memang ada impian Bung Karno terhadap tanggung jawabnya untuk membebaskan bangsa-bangsa Asia-Afrika. Akhirnya pemerintahan terseret pada sistem pemerintahan yang aneh di mata barat Presiden Sukarno dibantu Waperdam-Waperdamnya, posisi Hatta bagi Bung Karno tidak bisa tergantikan untuk itu dia membuka lowongan Wakil Perdana Menteri (Apakah ini sama dengan Hayam Wuruk yang menggantikan posisis Gadjah Mada dengan tiga posisi kepatihan?).Tapi dengan sistem yang aneh di mata barat, Bung Karno dengan efektif mengendalikan pemerintahannya, praktis tidak ada kekuatan asing yang masuk dan mengeksploitasi Indonesia, munculnya semangat revolusioner, harga diri bangsa tinggi sekali minimal psikologi orang Indonesia pada waktu itu yang memandang dirinya sendiri dengan terhormat (Coba bandingkan dengan sekarang, ketika saudara-saudara kita digebuki sampai mati di Malaysia, dihinakan kemanusiaannya banyak orang kita bilang “ya karena kita goblok, bangsa miskin” kesadaran martabatnya sama sekali tak tersentuh) Bung Karno berhasil membangkitkan kesadaran bahwa kita bangsa besar, rakyat Indonesia dibawah bendera revolusi memiliki psikologi sebagai bangsa pemenang bukan psikologi pecundang. Yang dihadapi kita pada konfrontasi Malaysia bukanlan melayu-melayu Malaya anak buah Tunku Abdurrahman Putra tapi Inggris! Karena Borneo yang sesungguhnya hak milik kesultanan Sulu, dan ingin merdeka sendiri merupakan proyek terakhir Imperialisme Inggris di Asia Tenggara, di Borneo ini yang akan bisa menjadikan pintu terbuka untuk menginfiltrasi Indonesia. Dan ini terbukti sekarang, berapa banyak kayu dan kekayaan alam Indonesia diangkut ke Malaysia dari Kalimantan menuju Kalimantan Utara?
Bung Karno yang keberaniannya legendaris itu dan karya kerjanya membangun bangsa yang segini besar hanya takluk pada satu hal : Penyakit Lever. Penyakit inilah yang kemudian menjadi titik didih dalam rangkaian peristiwa yang ujung-ujungnya mendongkel Bung Karno.
Siapa yang menyuruh Letkol Untung melakukan gerakan konyol 1 Oktober 1965 dini hari dan membunuhi Jenderal-Jenderal loyalis Sukarno? Itu pertanyaan terbesar dalam misteri sejarah Indonesia. Tapi anak kecil pun bisa menjawab siapa yang menjadi Presiden dari akibat perbuatan Letkol Untung?.
Mundurnya Sukarno dengan diiringi sikap kurang ajar memperlakukan Bung Karno di tempat karantinanya (seakan-akan BK adalah binatang yang berbahaya sehingga tahanan rumah disebut karantina) merupakan sebuah kemenangan besar bagi Imperialisme Amerika, kemenangan besar yang menjadi titik pangkal dari American spirit untuk terus menginfiltrasi negara-negara manapun di dunia ini. Suharto menjadi bintang terbesar dalam kasus boneka politik Imperialisme.
Orde Baru : Hasil Persenggamaan Mitos Kekuasaan dan Mitos Kapital
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 Suharto sudah sangat paham bahwa perbuatan Letkol Untung adalah perbuatan PKI. Sementara Jenderal-Jenderal lainnyapun masih bertanya-tanya ini siapa melakukan apa? Untuk apa? Semua orang masih bingung, termasuk Bung Karno sendiri yang dijemput ajudannya Saelan bingung ketika ajudan-ajudannya bersikap panik. . Bung Karno bertanya dalam bahasa Belanda: “wat wil je met me doen?” saya mau dikemanakan? Dijawab oleh Saelan “Sementara kita tunggu di sini saja dulu, Pak! Kami segera mencari keterangan ke luar, mengenai berita-berita tersebut dan menanyakan tentang situasi”.
Pertanyaan Bung Karno: „wat wil je met me doen?“, menunjukkan bahwa Bung Karno sama sekali belum tahu apa yang telah terjadi. Hebatnya Suharto sudah ngerti ini ‘mainan PKI’. Ada adagium lama “Siapa yang tahu informasi dialah pemenang” Suharto menurut keterangan Kolonel Latief (Wakil Letkol Untung dalam gerakan) sudah tahu akan ada pencidukan Jenderal-Jenderal, Latief sendiri yang melaporkan sebelum diadakan aksi penculikan. Hubungan Latief sangat dekat dengan Suharto. Latief adalah perwira Suharto dari jaman Serangan Fajar 1949 eks pelarian Madiun yang ditampung WK X. Sementara Letkol Untung sendiri adalah perwira Banteng Raiders yang merupakan anak emas Suharto. Suharto pernah marah-marah saat Letkol Untung ditempatkan di Tjakrabirawa (Sementara LB Mordani menolak tawaran Bung Karno ditaruh di Tjakrabirawa, inilah yang kemudian membedakan nasib dua perwira penerima Bintang Sakti 1962).
Gerakan mahasiswa 1966 kemudian bergerak, kaum intelektual yang kagum dengan kebebasan ala Amerika Serikat dan memiliki cita-cita Indonesia modern menjadi pihak pendukung Orde Baru yang gemanya diciptakan think-tank Angkatan Darat pro Suharto. Di titik inilah nama Bung Karno terjebak pada ‘orang tua diktatorial dan tidak bermoral’ bahkan lebih jauh Bung Karno disuruh bertanggung jawab terhadap kerusakan moral bangsa Indonesia. Lha, Moral manusia kok menjadi sebuah tanggung jawab satu orang, benar-benar tudingan keji. (Ketika Suharto turun pemimpin-pemimpin Indonesia yang pengecut hanya berani menuntut yayasan korup tapi tidak sampai pertanggung jawaban kehancuran mentalitas manusia Indonesia sebagai bangsa, di jaman Bung Karno moralitas dibawa-bawa).
Pada hakikatnya tumbangnya Bung Karno karena bukan dia tidak didukung rakyat lagi. Yang teriak-teriak anti Bung Karno hanya segelintir manusia di dalam kota yang kemudian hari ikut pesta pora dalam bancakan Orde Baru, lalu setelah kenyang ketika Suharto jatuh mereka juga ikut-ikutan ngentutin Suharto (benar-benar tipe manusia rendahan!). KKO Angkatan Laut di Surabaya (Marinir sekarang) tinggal tunggu perintah Bung Karno untuk melakukan pembelaan, Divisi Brawijaya 100% di belakang Bung Karno, Ibrahim Adjie dari Siliwangi adalah Sukarnois tulen. Pejah Gesang Melu Bung Karno (Hidup Mati di Belakang Bung Karno) menjadi jargon untuk melawan bibit-bibit Neo Imperialisme yang sudah menyusup ke Jakarta. Hanya saja Bung Karno yang jago politik itu sudah ngerti, bila dia melawan situasi maka sama saja menjerumuskan Indonesia ke dalam perang Vietnam. Amerika memang sengaja memancing agar terjadi perang saudara seperti di Vietnam. Pertimbangan penting ini membuat Bung Karno harus memutuskan hal buruk dari yang terburuk. Menuruti kemauan Suharto untuk turun dan menolak pembubaran PKI sampai kematiannya di tahun 1970.
Mengapa Bung Karno mau menuruti kemauan Suharto-Nasution untuk turun? Faktor yang paling penting adalah armada Amerika-Inggris sudah berada di depan mulut Indonesia. Selama politik konfrontasi Malaya Inggris terus menerus memperkuat tentaranya. Setidak-tidaknya kalau ada legitimasi untuk masuk maka Sumatera-Kalimantan akan jadi bancakan Inggris untuk memperkuat rangkaian negara persemakmuran Malaysia-Singapura. Sementara Jawa bisa saja cuman jadi tempat ajang perang saudara seraya Indonesia Timur dipreteli oleh Amerika-Australia. Sampai sekarang pun Australia ngiler dengan Indonesia Timur, di awal-awal Reformasi 1999 TNI kita pernah menangkap seorang intelijen Australia dengan peta lengkap saat situasi Timtim dan Ambon memanas.
Satu-satunya yang masih utuh adalah Angkatan Darat sebagai kekuatan riil politik di Indonesia, semuanya masih bingung bahkan PKI mengalami pagebluk politiknya. Bila Angkatan Darat pecah dari dalam maka Indonesia akan pecah dengan sendirinya. Untuk itu Bung Karno memilih mundur dan membiarkan Angkatan Darat maju. Satu hal : dia ingin menyelamatkan Persatuan Indonesia, alasan terbesar kenapa dia memperjuangkannya semenjak usia belasan tahun.
Sukarno menolak pembubaran PKI, karena ia ingin tahu apa prolog dan bagaimana epilognya. Ia tidak bisa mengadili PKI bersalah karena memang gerakan itu masih acak adut, bingung siapa yang memainkannya. DN Aidit sendiri keburu ditembak mati oleh anak Jasir Hadibroto (yang katanya di Jawa Tengah, sampai sekarang kematian DN Aidit masih misteri sejarah) sementara di luar DN Aidit tokoh-tokoh PKI lainnya bingung tentang Gerakan itu. Banyak sejarawan mengatakan gerakan itu adalah hubungan antara Biro Chusus di dalam PKI dengan perwira progresif. Tokoh Sjam Kamaruzaman adalah tokoh penting yang disebut-sebut memerintahkan tembak mati Jenderal-Jenderal Angkatan Darat, sampai saat ini dimana Sjam belum jelas. Kabarnya dia malah masih hidup dan bebas.Jadi ada missing link disana, ada mata rantai yang hilang yang bisa menjelaskan apa dan kenapa Gerakan itu membunuhi para Jenderal.
Tapi sama seperti misteri siapa yang menggerakkan Untung, namun jelas sejelas-jelasnya bagi anak kecil yang baru belajar sejarah siapa yang jadi Presiden akibat perbuatan Untung. Mengapa Jenderal-Jenderal dibunuhi ini juga misteri, tapi kenapa 2-3 juta dibunuhi adalah jelas. Pembantaian 2-3 juta orang Indonesia, adalah ketakutan dan histeria massa yang ditiup-tiupkan oleh media massa yang mendukung Angkatan Darat pro Suharto. Diberitakan dengan asumsi spekulatif yang luar biasa, bahwa dimana-mana sudah disediakan sumur-sumur untuk dijadikan tempat dibunuhinya orang-orang Kontra Revolusi bila Dewan Revolusi Untung berhasil. Jenderal-Jenderal di kuliti dan disiksa diluar kemanusiaan –belakangan hal ini dibantah oleh tim medis yang memeriksa jenazah Jenderal-Jenderal tersebut- lalu ada pesta tak bermoral dari Gerwani dengan ikon-nya Djamilah yang melakukan Orgy dengan apa yang dinamakan ‘Pesta Harum Bunga’ dengan para Pemuda Rakyat. Djamilamisme inilah yang kemudian menjadi kekuatan paling besar dalam menghancurkan Organisasi perempuan paling berani di Indonesia “Gerwani” dan digantikan dengan objektivisasi perempuan Indonesia di dalam kekuasaan patriakal “Dharma Wanita”. Bukan kaum wanita Indonesia saja yang mengalami kerugian sejarah dengan penghancuran besar-besaran akibat histeria massa 1965-1967. Intelektualitas Indonesia-pun dibungkam habis-habisan dihancurkan sehancur-hancurnya. Monumen penghantaman intelektualitas Indonesia sekaligus lambang daya juang dari kemampuan bertahan hidup orang Indonesia di jaman yang tidak benar ada pada diri : Pramoedya Ananta Toer. Pram hanyalah satu dari ribuan intelektual yang dihajar Orde Baru diantara mereka ada yang mati terbunuh, dipenjarakan, di Pulau Buru-kan atau menjadi eksil.
Namun akibat terbesar dari pembantaian manusia Indonesia 1965-1966 adalah hancurnya keluarga-keluarga di Indonesia. Hancurnya keluarga ini mendorong sikap apatis terhadap politik Indonesia, ketakutan bersuara benar, dan menjadi manusia yang gemar membeo. Dari sinilah kemudian Suharto membangun pelan-pelan landasan kekuasaannya.
Awalnya kaum muda modernis Indonesia dengan gegap gempita mendukung Suharto. Mereka menganggap jatuhnya Bung Karno dan naiknya Suharto menjadi awal keterbukaan Indonesia terhadap modernisasi dunia barat. Kaum muda Indonesia yang juga kebanyakan terpengaruh pemikiran PSI (dan landasan PSI adalah Marxisme) yang menempatkan pembebasan manusia sebagai pondasi kokoh membangun bangsa. Sudjatmoko sendiri dedengkot PSI membuka gambaran idealisme Indonesia ke depan sebagai dua mata mutiara yang tidak bisa dipisahkan “Pembangunan Dan Kebebasan” dengan tema-tema humanisme, pluralistik, Negara Birokrasi Modern sebagai kendaraan transformasi sosial, hak-hak manusia, bantuan ekonomi luar negeri, globalisasi dan yang terpenting Pembangunan sebagai pembebasan manusia menjadi tolak pikir penting bagi gagasan-gagasan kaum muda Indonesia. Namun kekecewaan menjadi hadiah paling awal diberikan oleh Suharto bagi kaum muda modernis itu. Awalnya adalah Soe Hok Gie yang kemudian menyadari bahwa ada yang tidak beres dalam landasan kekuasaan Orde Baru yang bila didiamkan akan menjadi sebuah kekuasaan yang menakutkan. Ia menulis tentang pembantaian yang terjadi di Bali di tahun 1967, tapi sayang Gie mati muda ia belum sempat memperjuangkan penyadaran manusia Indonesia lebih lanjut terhadap selubung kebohongan kekuasaan Orde Baru.
Bila kita percaya akan kata-kata orang Perancis ‘Histoire se repete’ sejarah selalu berulang, maka kita bisa menengok mobilitas kekuasaan Sultan-Sultan Jawa dalam proses suksesinya. Perjanjian Giyanti 1755 merupakan contoh bagaimana kekuatan asing memainkan peran dalam usaha pencaplokan wilayah-wilayah Jawa pesisir. Kekuasaan Jawa dijual habis-habisan pada Belanda dan Sultan-Sultan itu diberikan candu kapitalis agar tidak memiliki kesadaran untuk memberontak.
Begitu juga dengan proses suksesi politik antara Sukarno-Suharto yang jalan lakonnya mirip permainan wayang kulit semalam suntuk, berbelit-belit khas Jawa. Kemudian puncaknya menjadi sepucuk surat yang lantas berubah menjadi kekuatan gaib dengan nama sakral ‘Supersemar’. Mitologi Supersemar (fakta keberadaan suratnya sendiri masih gelap) menjadi awal dari Mitos-mitos kekuasaan Orde Baru yang dibangun dengan landasan alam pikir kekuasaan Jawa era Tengahan dimana ketakutan psikologis menjadi senjata paling mematikan.
Nama PKI sendiri kemudian dijadikan senjata Pasopati untuk menakuti-nakuti bangsa Indonesia dan langgengnya kekuasaan termasuk menghancurkan kekuatan pendukung Sukarno. Hal ini lebih jelas dalam cerita yang ditulis Daniel Dhakidae dalam bukunya “Negara dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru” disitu Daniel Dhakidae mensitir anekdot dari Abdulrachman Suryomihardjo, sejarawan LIPI dan memberikan komentar terhadap anekdot ini :
“Seorang dikejar oleh kelompok keamanan, tetapi pihak keamanan tidak mampu melewati untuk menangkapnya. Akhirnya karena putus asa mereka berteriak “Tangkap itu PKI !!!!!....” akhirnya orang yang dikejar tersebut berhenti, dan berteriak berbalik kepada orang yang mengejarnya dan berkata “saya bukan PKI.., saya tukang copet ....” dia tidak menyerahkan diri.
Ketakutan menjadi PKI begitu merasuk mental semua orang Indonesia. Maka lebih baik dia ditangkap menjadi maling daripada dituduh menjadi PKI. Dengan menjadi maling dia hanya menanggung satu laknat, lebih ringan hukumannya, itupun kalau mereka bisa mengejar dan membekuknya. Tetapi dengan menjadi PKI maka dia menanggung tiga laknat sekaligus ; pertama, menjadi maling; kedua, menjadi maling yang PKI dan yang ketiga menjadi maling, PKI-Pengkhianat negara. Hanya satu yang dipahaminya, yaitu : “maling” dan dua yang berada di luar akalnya, terlalu besar untuk dipahami, tetapi terlalu nyata untuk ditanggung konsekuensinya karena tidak ada bedanya antara yang benar-benar PKI dan yang seperti PKI, karena kedua-duanya adalah busa-busa busuk dan kerak-kerak neraka dalam suatu masyarakat, yang harus dihapus dari muka bumi, terbukti atau tidak terbukti kesalahannya.
(Catatan kaki buku Cendikiawan dan Kekuasaan dalam negara Orde Baru, hal.432-433)
Disini Orde Baru membangun mitos raksasa tentang PKI kemudian melabur sehitam-hitamnya PKI yang bisa digunakan untuk menghancurkan kemanusiaan seseorang yang tidak menyukai Orde Baru atau memiliki kesadaran sejarah bahwa Orde Baru berlumuran darah.
Dan pemikiran Karl Marx ini menjadi warisan intelektual yang paling berdarah-darah dalam mitologi kekuasaan Orde Baru. Kekayaan intelektual Marxisme dengan cabang-cabang pemikirannya yang luar biasa didegradir hanya menjadi tiga huruf : PKI.
Degradasi intelektual ini bahkan bukan saja memperbodoh rakyat awam bahkan sampai pada lapisan intelektualnya. Ketakutan ketika mendengar PKI mereka langsung panas dingin, tanpa sekalipun dengan otak dingin membuka-buka buku Das Kapital, German Ideology atau The Poverty of Philosophy. Disinilah kemudian kaum Kapitalisme membangun mitos-mitosnya untuk memperkuat daya cengkeram eksploitasi karena tidak ada lawan yang rasional menentang mereka yang praktis punya kekuatan riil politik di Indonesia. Jadilah Orde Baru merupakan anak haram dari perzinahan Mitos Kekuasaan dan Mitos Kapital yang lahir dari situasi bunting tua 1965.
Saya tidak akan membuka lapisan topeng Orde Baru dengan pikiran Marx katakanlah yang diinterpretasi oleh pemikir-pemikir kiri yang tidak mendapatkan legitimasinya dalam kekuasaan anti intelektual Orde Baru. Tapi saya akan mencoba dengan mengupas Orde Baru dengan statement Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang cendikiawan ekonomi besar yang mendapat legitimasi dari Orde Baru. Supaya dengan ini bahwa Marxisme bukanlah pikiran haram jadah tapi merupakan penjelas dari teori ekonomi yang sampai saat ini masih diakui paling jenial dalam menjelaskan kerja masyarakat dan membentuk sejarah masyarakat. Menurut Pak Mitro dalam bukunya ‘Perkembangan Pemikiran Ekonomi’ hal yang paling benar dari Karl Marx : Akumulasi dan Konsentrasi Kapital mengakibatkan akan mulainya terjadi krisis yang mengarah pada ketidakseimbangan ekonomi (disequilibrium) yang kemudian oleh Pak Mitro sesuai dengan paham Schumpeterian sebagai bagian dari siklus ekonomi dan untuk menyelamatkannya kadang-kadang dibutuhkan peran negara. Sebagai catatan Schumpeter saja menggambarkan sejauh ini ilmuwan ekonomi yang paling jenius adalah Karl Marx yang kemudian diamini oleh Juglar dalam ketepatan Karl Marx meramalkan keruntuhan kapitalisme yang terlalu matang. Walaupun Pak Mitro tidak percaya akan arah dari ramalan Karl Marx dengan alasan kaum Kapitalisme melakukan reformasi sosial namun dengan mengadopsi titik akumulasi dan konsentrasi kapital dalam usahanya mengisolir distribusi kekayaaan rakyat menjadi relevan di Indonesia.
Dengan melandaskan pada Akumulasi dan Konsentrasi Kapital dalam wacana Marxian, mari kita lihat perekonomian Orde Baru. Suharto membuka pintu investasi asing besar-besaran. Namun sebelum penelanjangan diri pada asing ia memberikan kesempatan untuk tumbuhnya mesin bisnis konglomerasi. Liem Sioe Liong, Djohar Sutanto, Sudwikatmono (adik sepupu Suharto) dan Ibrahim Risjad mendirikan CV Waringin yang kemudian mendapat kredit raksasa dari pemerintah. Dari CV Waringin ini merambat kemana-mana mulai ke PT Mega lalu ke Bank NV Bank Asia yang kemudian bertransformasi menjadi Bank Central Asia terus kasih kredit Bogasari. Dari benih-benih perusahaan yang dekat dengan kekuasaan kemudian Suharto membentuk konglomerasinya. Konglomerasi pertama kali yang berhasil dibentuk Suharto adalah Pertamina dimana Ibnu Sutowo menjadi rajanya. Pertamina dijadikan role model untuk perusahaan multinasional gaya Indonesia dengan multiusaha tapi kemudian gagal gara-gara pengelolaan keuangan yang tidak benar dan terlalu banyaknya hutang. Namun kemudian perekonomian Orde Baru bangkit tapi sirkulasi kekayaan hanya berputar pada kelompok itu-itu saja. Ada ruang vakum yang steril dari ekonomi rakyat. Konglomerasi ingon-ingon (Setan Peliharaan) Suharto meminjam duit kesana kemari, hutang swasta menumpuk sementara pengusaha lapisan menengah dan bawah tidak mendapat akses modal. Suharto sendiri menumpuki utang negara untuk membiayai seakan-akan pembangunannya berhasil. Bensin murah, Beras Murah lebih diperhatikan ketimbang lahirnya generasi yang cerdas.
Kaum Sosialis moderat melihat bahwa masa kehancuran kapitalis bisa dihindari dengan membangun koperasi-koperasi yang dapat digunakan sebagai akses modal supaya barisan cadangan pengangguran tidak terlempar menjadi proletar yang ganas maka dibangun kanal-kanal ekonomi berupa koperasi. Di Indonesia koperasi hanyalah alat propaganda belaka bahkan sering dijadikan ladang korupsi Orde Baru.
Orde Baru mengalami pembusukan dalam sistem Kapitalisme yang coba diadopsinya dari sistem Amerika ‘Free Fight Liberalism’. Suharto bermimpi lahirnya ekonomi-ekonomi raksasa akan meneteskan rejeki ke kalangan ekonomi menengah-bawah sehingga bisa menggerakkan pertumbuhan Tapi semua ternyata hanya omongan kosong khas Orde Baru. Mesin-mesin bisnis raksasa digunakan sebagai penopang alat kekuasaan, membiayai operasi-operasi politik dan menjadi mesin pensuplai dana haram. Kebusukan inilah yang kemudian hari akan menciptakan kontradiksi-kontradiksi internal yang meruntuhkan tatanan masyarakat Orde Baru.
Akumulasi dan Konsentrasi tanpa diiringi oleh perluasan akses modal untuk mendapatkan keseimbangan baru akan menghancurkan tatanan ekonomi dan itu kejadian di tahun 1997/1998. Habis sudah Orde Baru tapi belum habis mentalitasnya.
Penipuan-Penipuan Kapital Yang Berkelindan
Pesta pora Orde Baru dipermulus dengan nasib baik Suharto yang terus menerus. Boom Minyak 1973 akibat boikot OPEC menjadi tiang pancang kokoh memperkuat kekuasaan dengan landasan mitos-mitosnya. Para mahasiswa pro modernisme yang tadinya mendukung Suharto dalam mendirikan Orde Baru lalu berbalik melawannya. Yang tidak punya kesadaran sejarah dan mau hidup enak memilih menjadi sekutu Suharto. Arif Budiman (Kakak Kandung Gie) adalah ikon dari perlawanan terhadap Orde Baru yang terus menerus dialah mencetuskan kesadaran sejarah bahwa ada “dependensia ekonomi” ketergantungan ekonomi untuk terus menghisap candu kapital. Dependensia ekonomi ini kemudian menjadi sumber utama kita tidak merdeka. Bahkan Arif Budiman mengeluarkan hipotesisnya tentang pergerakan mahasiswa untuk meruntuhkan Orde Baru dengan tiga prakondisi : Adanya konsep atau ideologi alternatif, adanya momentum sejarah dan adanya organisasi yang teratur dan rapi.
Memang apa yang dikatakan banyak ahli sejarah banyak benarnya “Senjata tak akan kuat melawan Pena” inilah kenapa rezim Suharto takut sekali dengan Wiji Thukul yang memperkuat barisan penyadar untuk menghantam Orde Baru dengan kata-kata terakhir dari puisinya : LAWAN. Dan kemudian ternyata Suharto bisa tersingkirkan. Tukang becak seperti Wiji Thukul adalah biji-biji yang sudah disemaikan pada tembok kekuasaan Orde Baru, biji-biji itu bertaburan seperti : Marsillam Simandjuntak, Sjahrir, Louis Wangge, Dorodjatun Kuntjorojakti kemudian dilanjutkan oleh generasi yang lebih muda seperti : Sri Bintang Pamungkas, Nuku Sulaiman, Fajroel Rakhman, Budiman Soedjatmiko, anak-anak muda HMI MPO yang menolak penafsiran Pancasila ala Suharto kemudian menjadi tanaman yang merambat dan melapukkan tembok kekuasaan Orde Baru. Tapi dibalik tembok Orde Baru yang kokoh namun akhirnya melapuk ada tembok baja yang jauh lebih besar. Tembok Kapitalisme Asing!
Sepanjang jalan Sudirman kalau anda lihat perusahaan-perusahaan yang bercokol disana nyaris semuanya milik asing. Bank-Bank kita semuanya milik asing. Jika dulu istilah Jalan Jenderal Sudirman dikenal dengan istilah : The Smugglers of Boulevard (Jalan Raya para penyelundup) sekarang bertambah lagi menjadi :The Foreign Capital Boulevard karena tak ada lagi perusahaan milik nasional yang berskala besar disana, semuanya asing. Kini yang marak bisnis Hedge Fund dengan dana asing mereka melalui orang kita beli perusahaan-perusahaan bangkrut. Seluruh asset utama Indonesia sudah mutlak dikuasai asing. Hal yang bertahan tinggal perasaan berbangsa dan bertanah air itupun juga sudah mulai merosot melalui penipuan-penipuan kapital.
Pilkada sampai Pilpres pun berbau busuk dana asing. Pernyataan Amien Rais yang menyebut SBY-JK dibiayai asing mustinya ditindak lanjuti, namun sayang Amien Rais mundur dan meminjam istilah Che Guevara, :’Mundur adalah Penkhianatan’. Tapi wajar saja walau berani lawan Suharto, Amien Rais bukan politisi bermental Sukarnois yang tahan banting. Dia lebih memilih hidup nyaman ketimbang menyuarakan kebenaran. Tidak ada kamus ‘perjuangan permanen’ dalam dada politisi dari Solo itu.
Kekuatan-kekuatan Kapital berkelindan merasuki segala hal. Intelektual-Spiritual-Relijius. Sekolah-sekolah kita bukan menjadi ladang mencari ilmu tapi lebih dari objek bisnis para kapitalis yang mungkin saja berjubah guru atau kepala sekolah. Kebudayaan yang memperkaya kegiatan spiritual menjadi arena cari duit. Sastra-sastra kita berubah menjadi chicklit yang menggema, sastra seks dengan alasan pembenaran yang aneh menjadi berjaya seakan-akan otak sastrawan itu hanya berkisar selangkangan wanita dan laki-laki, dominasi kebudayaan massa oleh kelompok tertentu, pembentukan benteng-benteng kapitalis dalam dunia seni sehingga mempersulit rasa kesenian yang tinggi dengan membenturkannya pada modal, sekali lagi modal. Agama-agama sering dijadikan objek cari duit ketimbang mencari rasa keTuhanan, Sabda Tuhan-pun bertransformasi menjadi akumulasi Kapital. Para pendakwah mengejar rating di televisi, ramai-ramai bersolek dalam keshalihan sosial tanpa tahu persoalan masyarakat yang sesungguhnya. Tak ada yang lebih baik dalam menjelaskan selubung Kapital rumah ibadah dari pernyataan sinikal Samuel Mulia, penulis kolom Parodi tetap Kompas Minggu yang mencibiri sebuah rumah ibadah karena aksi minta diskon untuk biaya gereja tapi tetap minta biaya sesuai standar pada jemaahnya. Ini sama dengan statement Karl Marx dalam kata pengantar Das Kapital “Gereja Inggris akan lebih memaafkan serangan terhadap 38 dari 39 ayat-ayat kepercayaannya daripada 1/39 pendapatan atau penghasilannya. Di Bulan Ramadhan lebih ramai kuis-kuis yang tidak berhubungan dengan pencerahan agama ketimbang renungan agama, para da’i berlomba seperti selebriti, atau selebriti mendadak sontak berubah menjadi da’i. Ini semua karena Kapital. Sinetron-sinetron bodoh terus pegang kuasa dalam kebudayaan massa, Raja Sinetron menunjuk rating sebagai alasan, sementara rakyat tidak punya pilihan. Jutaan orang Indonesia harus tunduk pada Kapital ketika Rupert Murdoch melalui Astro mengkudeta English Premier League (EPL). Tidak ada lagi Chelsea, Tidak ada lagi MU yang ada kamu harus punya Uang!
Orientasi uang/kapital inilah yang kemudian mengasingkan kita pada lingkungan sendiri, mengasingkan kita pada masyarakat, dan mengalienasi kita pada makna kehidupan. Kapital menyeret orang untuk menjadi buas tanpa mengindahkan kebersamaan sosial, dan penipuan kapital juga membutakan manusia pada asalnya, pada akarnya, pada sejarahnya. Maka benarlah kebingungan Max Lane (penterjemah buku-buku Pram) tentang orang Indonesia yang tidak sadar sejarah sehingga berakibat tidak sadar negerinya dikangkangi modal asing :
"Masih banyak kekayaan revolusi yang perlu digali kembali termasuk ideologi kerakyatan yang terkandung dalam tulisan-tulisan karya Kartini, Tirto Adi Suryo, Soekarno, dan lain-lain dalam bidang politik maupun sastra”. Sayangnya, karya-karya besar seperti tulisan Soekarno "Nasionalisme, Islam dan Marxisme," atau karya Sutan Sjahrir, Muhammad Natsir, HOS Cokroaminoto, tidak pernah dibaca anak-anak sekolah Indonesia. "Bagaimana Indonesia bisa menghadapi ancaman Barat jika hasil kekayaan revolusi nasionalnya sendiri tidak diketahui oleh bangsanya?"
Kapital telah menjadikan dunia sebagai ladang kerakusan. Apalagi kapitalisme yang sedang berlangsung terus menerus di Indonesia, dimana bait Rhoma Irama menemukan kebenarannya dalam persoalan distribusi ekonomi “ Yang Kaya Makin Kaya, Yang Miskin Makin Miskin” dan Mahatma Gandhi pernah berkata “ Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang yang ada di dunia ini, tapi kurang bila memenuhi kerakusan satu orangpun”
Sebagai orang Indonesia kita tidak boleh mundur apalagi langsung memiliki psikologi pecundang yang melahirkan pemikiran-pemikiran dan perbuatan pecundang. Ada kesempatan untuk bangkit kembali, memetakan masalah, membangkitkan kesadaran Nasionalisme, merebut semua yang sudah dikangkangi asing, menyusun barisan dan membangun kekuasaan berdasarkan ide-ide awal dimana alasan kenapa Indonesia harus ada. Untuk itu demi Indonesia Raya yang sebenar-benar Indonesia, bangkitlah dan Bekerjalah !
ANTON
sumber:http://www.apakabar.ws/index.php?option=com_content&task=view&id=1265&Itemid=99999999
Minggu, 04 November 2007
Cara meningkatkan waktu respon dari LCD
Ways to improve response time of liquid crystal display (LCD)
by Iwan
Abstract
Liquid crystal display (LCD) has main potential role in the market. Even though, LCD has some limitations such as color accuracy, viewing angle, response time, motion blur, black details reproduction and video processing delay. According to these, in this paper I am reviewing some basics understanding of liquid crystal display (LCD) technology and the way to improve response time.
1. Introduction
In the earlier time, the display technology was identically by tube television, its called cathode ray tube (CRT). Since the CRT invention in 1879 by German physicist Karl Ferdinand Braun, the development of the display technology was take into account. Now, in the daily life we cannot avoid the display technology role. Therefore, recently the display technology becomes one of the most important technologies in the world. Many scientists from different background and institution or company are investigating the display technology using variety methods according to the CRT weakness such as large, heavy and relatively fragile. In the development of display technology the CRT technology displaced by liquid crystal display (LCD), plasma display, field emission display (FED), organic light emitting display (OLED), etc.
2. Liquid crystal display (LCD)
Liquid crystals are materials that are not quite solid, also not liquid. Reinitzer an Austrian botanist discovered them in 1888 . In 1963, a scientist from Radio Corporation of America (RCA) at New Jersey, United State of America (USA) discovered that liquid crystals in their natural state allow light to flow straight through liquid crystal . However, when liquid crystal is given an electrical charge they redirect, or bend the light. That exposure provided the first indication that liquid crystals could used in a new form of display device. Then, there are two things about liquid crystals which interesting. First, they were small, so display devices using them potentially are extremely thin. Secondly, unlike CRTs, displays using liquid crystals would be non-emissive. In other words, they would not generate their own light. Instead, they could utilize external lighting, including, among other things, ambient light. Therefore, they would use small amounts of power.
In the improvement of liquid crystal technology, several additional insights made. First, it was apparent that the rod-shaped (calamitic) liquid crystals had to be fashioned into a screen. The other shape is disk like shape, which is currently as new material for viewing angle enhancement . Next, polarizing filters added to the device. LCD displays utilize two sheets of polarizing material with a liquid crystal solution between them. An electric current passed through the liquid causes the crystals to align so that light cannot pass through them. A polarizing filter works somewhat like a shutter, leasing light in or blocking it out, depending upon the angle of the light.
Colored display in LCD technology is formed by positioning matrices of red, green and blue pixels. Those are very close in distance. Then, to control the pixels, and to form the image required, are used either 'passive' or 'active' matrix driver methods. The active matrix LCD is known as a thin film transistor (TFT) display. The passive matrix LCD has a grid of conductors with pixels located at each intersection in the grid. A current is sent across two conductors on the grid to control the light for any pixel. An active matrix has a transistor located at each pixel intersection, requiring less current to control the luminance of a pixel. For this reason, the current in an active matrix display can be switched on and off more frequently improving the screen refresh time, for example our mouse will appear to move better across the screen.
3. Response time improvement
Response time of a LCD technology is certainly an important specification to consider when we make a choice among various LCD monitor models available in market. Response time means how fast the pixels are able to make transition between two states. In other words, how fast they go from black to white or vice versa. LCD technology uses liquid crystals, which allow and block light provided by backlight device. Response time estimated in milliseconds or ms.
LCD has two types of response time, on and off response times1. For on response time, it mainly depends on rotational viscosity and the LC dynamics due to different electric field dependent dynamics. For off response time, it mainly depends on rotational viscosity, cell gap and elastic constants of the LC.
In this part is presented of response time improvement. To make the LCDs faster, the developments of low viscosity LC, lowering cell gap and control of the liquid crystal (LC) dynamics in a well defined way are important. T. Miyashita et all , showed the offset codebook mode (OCB) can improved response time intrinsically. Figure 1 shows molecular dynamics dependent on applied voltage. The first liquid crystal molecules in splay alignment then transits to twist state. Finally it goes through to bend state as increasing voltage. The black and white states are controlled in bend state. In this device, the same flow direction in switching accelerates response time and it is below 10 ms in all grey levels though the rotational viscosity of nematic LC used is larger than 90 mPa S.
Fig 1. Voltage dependent dynamic of OCB device4 Fig 2. Scheme of fringe-field switching (FFS)
S.H. Hong et all, reported the response time can be improved using four domain vertical alignment (VA) . In the VA mode, the LC molecules are vertically aligned so that the polarization state of linearly polarized light passed through a polarizer does not change while an analyzer blocks propagating through the cell, and thus the light. Four domains VA cell has the concept of in-plane field in vertical and horizontal directions. The liquid crystal director tilts down in four directions. As the result, owing to fully self-compensation effects, the device shows wide viewing angle over 60° and excellent color characteristics, also shows faster response time < 40 ms.
Table 1. Response time dependence of four domain VA cell on the cell gap6
S.H. Lee et all reported that fringe-field switching (FFS) in the nematic liquid crystal used a positive LC with low value of rotational viscosity and optimized light efficiency in a maximum way by optimizing rubbing direction and retardation of the cell, its called ultra-FFS device. Ultra FFS can achieved response time 28 ms, high image quality like cathode ray tube (CRT), best among existing thin film transistors (TFTs)-LCD. The scheme of ultra FFS can be seen in the figure 2.
4. Conclusion
The response time one of the main key to enhance the image quality of LCD. The response time can be achieved using several method even though has an intrinsic difficulty. At present, every industry is aggressively working on improvement of response time as small as possible.
References
S.H. Lee et all, Journal of the Korean Physical Society, Vol. 39, pp. S42_S48, 2001
http://www.brighthand.com/default.asp?newsID=12036
Sun Xiaowei, (Assoc. Prof), Lecture notes on liquid crystal display, NTU, 2007
T. Miyashita and T. Uchida, IEICE TRANS. ELECTRON. E79 C, 1076, 1996
S.H. Hong, J. Appl. Phys., Vol. 87, No. 12, 15 June 2000
S. H. Lee et al, Int. Symp. Liq. Cryst. 20, 2000
by Iwan
Abstract
Liquid crystal display (LCD) has main potential role in the market. Even though, LCD has some limitations such as color accuracy, viewing angle, response time, motion blur, black details reproduction and video processing delay. According to these, in this paper I am reviewing some basics understanding of liquid crystal display (LCD) technology and the way to improve response time.
1. Introduction
In the earlier time, the display technology was identically by tube television, its called cathode ray tube (CRT). Since the CRT invention in 1879 by German physicist Karl Ferdinand Braun, the development of the display technology was take into account. Now, in the daily life we cannot avoid the display technology role. Therefore, recently the display technology becomes one of the most important technologies in the world. Many scientists from different background and institution or company are investigating the display technology using variety methods according to the CRT weakness such as large, heavy and relatively fragile. In the development of display technology the CRT technology displaced by liquid crystal display (LCD), plasma display, field emission display (FED), organic light emitting display (OLED), etc.
2. Liquid crystal display (LCD)
Liquid crystals are materials that are not quite solid, also not liquid. Reinitzer an Austrian botanist discovered them in 1888 . In 1963, a scientist from Radio Corporation of America (RCA) at New Jersey, United State of America (USA) discovered that liquid crystals in their natural state allow light to flow straight through liquid crystal . However, when liquid crystal is given an electrical charge they redirect, or bend the light. That exposure provided the first indication that liquid crystals could used in a new form of display device. Then, there are two things about liquid crystals which interesting. First, they were small, so display devices using them potentially are extremely thin. Secondly, unlike CRTs, displays using liquid crystals would be non-emissive. In other words, they would not generate their own light. Instead, they could utilize external lighting, including, among other things, ambient light. Therefore, they would use small amounts of power.
In the improvement of liquid crystal technology, several additional insights made. First, it was apparent that the rod-shaped (calamitic) liquid crystals had to be fashioned into a screen. The other shape is disk like shape, which is currently as new material for viewing angle enhancement . Next, polarizing filters added to the device. LCD displays utilize two sheets of polarizing material with a liquid crystal solution between them. An electric current passed through the liquid causes the crystals to align so that light cannot pass through them. A polarizing filter works somewhat like a shutter, leasing light in or blocking it out, depending upon the angle of the light.
Colored display in LCD technology is formed by positioning matrices of red, green and blue pixels. Those are very close in distance. Then, to control the pixels, and to form the image required, are used either 'passive' or 'active' matrix driver methods. The active matrix LCD is known as a thin film transistor (TFT) display. The passive matrix LCD has a grid of conductors with pixels located at each intersection in the grid. A current is sent across two conductors on the grid to control the light for any pixel. An active matrix has a transistor located at each pixel intersection, requiring less current to control the luminance of a pixel. For this reason, the current in an active matrix display can be switched on and off more frequently improving the screen refresh time, for example our mouse will appear to move better across the screen.
3. Response time improvement
Response time of a LCD technology is certainly an important specification to consider when we make a choice among various LCD monitor models available in market. Response time means how fast the pixels are able to make transition between two states. In other words, how fast they go from black to white or vice versa. LCD technology uses liquid crystals, which allow and block light provided by backlight device. Response time estimated in milliseconds or ms.
LCD has two types of response time, on and off response times1. For on response time, it mainly depends on rotational viscosity and the LC dynamics due to different electric field dependent dynamics. For off response time, it mainly depends on rotational viscosity, cell gap and elastic constants of the LC.
In this part is presented of response time improvement. To make the LCDs faster, the developments of low viscosity LC, lowering cell gap and control of the liquid crystal (LC) dynamics in a well defined way are important. T. Miyashita et all , showed the offset codebook mode (OCB) can improved response time intrinsically. Figure 1 shows molecular dynamics dependent on applied voltage. The first liquid crystal molecules in splay alignment then transits to twist state. Finally it goes through to bend state as increasing voltage. The black and white states are controlled in bend state. In this device, the same flow direction in switching accelerates response time and it is below 10 ms in all grey levels though the rotational viscosity of nematic LC used is larger than 90 mPa S.
Fig 1. Voltage dependent dynamic of OCB device4 Fig 2. Scheme of fringe-field switching (FFS)
S.H. Hong et all, reported the response time can be improved using four domain vertical alignment (VA) . In the VA mode, the LC molecules are vertically aligned so that the polarization state of linearly polarized light passed through a polarizer does not change while an analyzer blocks propagating through the cell, and thus the light. Four domains VA cell has the concept of in-plane field in vertical and horizontal directions. The liquid crystal director tilts down in four directions. As the result, owing to fully self-compensation effects, the device shows wide viewing angle over 60° and excellent color characteristics, also shows faster response time < 40 ms.
Table 1. Response time dependence of four domain VA cell on the cell gap6
S.H. Lee et all reported that fringe-field switching (FFS) in the nematic liquid crystal used a positive LC with low value of rotational viscosity and optimized light efficiency in a maximum way by optimizing rubbing direction and retardation of the cell, its called ultra-FFS device. Ultra FFS can achieved response time 28 ms, high image quality like cathode ray tube (CRT), best among existing thin film transistors (TFTs)-LCD. The scheme of ultra FFS can be seen in the figure 2.
4. Conclusion
The response time one of the main key to enhance the image quality of LCD. The response time can be achieved using several method even though has an intrinsic difficulty. At present, every industry is aggressively working on improvement of response time as small as possible.
References
S.H. Lee et all, Journal of the Korean Physical Society, Vol. 39, pp. S42_S48, 2001
http://www.brighthand.com/default.asp?newsID=12036
Sun Xiaowei, (Assoc. Prof), Lecture notes on liquid crystal display, NTU, 2007
T. Miyashita and T. Uchida, IEICE TRANS. ELECTRON. E79 C, 1076, 1996
S.H. Hong, J. Appl. Phys., Vol. 87, No. 12, 15 June 2000
S. H. Lee et al, Int. Symp. Liq. Cryst. 20, 2000
Sabtu, 03 November 2007
Mengenang sejarah kota tumpah darahku
Banten, Indahnya Peninggalan Masa Lalu
sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/18/latar/292014.htm
MENGINGAT nama Banten pada masa lalu, terbayang kejayaan bandar antarpulau dan negara. Nama yang tersangkut di dalamnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa, pahlawan nasional asal Kerajaan Banten yang terkenal gigih melawan pemerintahan kolonial Belanda.
BANTEN memang kaya peninggalan sejarah dari zaman megalitik sampai penjajah Jepang, meskipun bila kita ke sana saat ini banyak prasarana umum yang tertinggal. Ragam peninggalan di sana mencerminkan tingginya peradaban nenek moyang, luasnya pergaulan orang Banten sampai di tingkat internasional dengan rasa toleransi begitu tinggi antaretnis dan agama saat itu.
Banten bukan hanya sosok Sultan Ageng Tirtayasa atau Jendral Daendels yang memaksa rakyat mengerjakan pembangunan jalan 1.000 kilometer dari Anyer hingga ke Panarukan di Jawa Timur. Ia lebih dari itu. Banten tua memiliki kekayaan ilmu pengetahuan yang mengagumkan, menjadi sumber sejarah tak habis-habisnya untuk dikupas sebab wilayah itu berhubungan erat dengan wilayah Jawa bagian tengah dan barat yang pada masa lalu dikenal lewat Kerajaan Demak (Jawa Tengah), Pajajaran (Jawa Barat), atau Bogor dengan Kerajaan Pakuan.
HAWA panas pada pertengahan April lalu begitu terasa. "Kalau di tempat lain pukul 16.00 sudah mulai terasa adem, di sini masih panas seperti ini," kata seorang staf Kantor Peninggalan Sejarah dan Purbakala (PSP) Banten yang tengah mengawasi pekerja membersihkan tanaman liar di bekas Keraton Surasowan. Sekalipun panas menyengat, tetapi begitu melihat sisa reruntuhan keraton tersebut, rasa ingin tahu mengalahkan ketakutan kulit akan terbakar sinar mentari.
Kawasan seluas empat hektar yang dikelilingi benteng setinggi dua meter itu menyisakan bekas bangunan, seperti pintu gerbang keraton berbentuk bulat, kolam pemandian, hingga sistem saluran air dalam keraton. Semula, menurut Kepala Suaka PSP Banten Endjat Djaenuderadjat, wilayah itu tertutup tanah. Yang tampak hanya gundukan tanah bercampur potongan batu bata. Setelah digali, tampak lebih jelas bekas reruntuhan keraton yang menurut berbagai sumber dibangun pada abad ke-16.
Keterbatasan anggaran membuat untuk sementara upaya penggalian terhenti, namun keindahan istana itu sudah mulai terlihat. Tiga tangga istana berbentuk setengah lingkaran dari batu bata dan pemandian Roro Denok yang sampai sekarang masih mengeluarkan air menjadi bukti keindahan Keraton Surasowan.
Kemajuan peradaban juga bisa disaksikan dari sisa bangunan di sana. Pada tahun 1552, ketika keraton itu mulai dibangun, nenek moyang kita ternyata sudah mengembangkan teknologi penyaringan air bersih. Pada bagian belakang istana-jika bagian depan istana diasumsikan bangunan yang ada tangganya-terdapat saluran air. Di depannya ada enam keran (dulu terbuat dari besi berwarna kuning sehingga tempat itu disebut Pancuran Emas) untuk mengambil air bersih yang sudah disaring.
Air bersih bersumber dari mata air Tasik Ardi, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Keraton Surasowan. Sebelum digunakan untuk minum, air itu harus melalui tiga penyaringan (peninggilan). Sumber air Tasik Ardi hingga kini masih tetap asri dan menjadi salah satu tempat wisata dalam kawasan Banten Lama, walau debit air yang dikeluarkan jauh lebih kecil. Sementara, pipa saluran air menuju keraton tetap terpelihara baik walau sebagian tertutup tanah dan jalan.
Di dalam wilayah eks Karesidenan Banten (sejak tahun 2000 menjadi provinsi sendiri, pisah dari Provinsi Jabar) itu ada beberapa kawasan situs dan peninggalan sejarah. Ada Banten Girang yang menyimpan situs zaman megalitik, ada Banten Lama di mana terdapat bekas Keraton Surasowan, Keraton Kaibon, Vihara Avalokitesvara, bekas benteng Speelwijk yang dibangun VOC Belanda, terletak 10 km arah utara Kota Serang.
Di Kota Serang sendiri ada beberapa gedung yang masuk kategori cagar budaya yang perubahannya tak bisa dilakukan sembarangan. Setidaknya di sana ada empat gedung bersejarah. Gedung negara (kini kantor Gubenur Banten), dulu kantor Residen Banten yang dibangun pada tahun 1800-an, gedung Joang (kini tempat organisasi massa berkantor), bekas sekolah Mulo (kini Polres Serang), dan bekas markas marsose Belanda dibangun pada tahun 1900-an (kini menjadi markas Korem 064 Maulana Yusuf Banten).
Kondisi gedung-gedung itu relatif masih bagus. Akan tetapi, penjara serta bangunan lain yang menjadi asrama polisi harus dirawat dan dibersihkan. Penjara empat pintu yang umurnya diperkirakan satu abad tersebut kini menjadi rumah tahanan Polres Serang. Kapolres Serang Komisaris Besar Polisi Harydono yang baru dua minggu menjabat di sana tengah memikirkan membuat rumah tahanan baru di dekat ruang reserse. Ia sadar, peninggalan sejarah tersebut bisa menjadi obyek wisata yang didatangi pengunjung.
Bagaimana persisnya sejarah kerajaan di Banten sejak abad ke-16 sampai abad ke-19, sampai sekarang belum terpecahkan. Buku Sejarah Banten yang disusun Drs Yoseph Iskandar dan kawan-kawan dengan pengantar Prof Dr H Ayatrohaedi yang memuat bagian Banten pada masa silam dan Kesultanan Surasowan pun mengakui upaya maksimal telah dilakukan para sejarawan pendahulu, tetapi hasil penelitian baru menghasilkan potongan dari sosok Banten masa silam.
Penyusun menyimpulkan, sosok sejarah Banten hingga saat ini belum terwujud utuh. Penggalan yang dikaji para ahli arkeologi baru mata rantai yang terputus-putus. Walau demikian, hasil penelitian tersebut menjadi bukti Banten memiliki nilai sejarah. Bukti keberadaan Kerajaan Banten antara lain terdapat pada naskah kuno Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke-17 Masehi yang diteliti tim pimpinan Prof Dr Edi S Ekadjati dari Program Kerja Yayasan Pembangunan Jabar 1989-1991.
SEPERTI apakah kejayaan Banten masa silam? Silakan menyaksikan Museum Banten Lama, depan bekas Keraton Surasowan yang dikelola Kantor Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banten. Di sana terdapat lukisan dua duta besar Keraton Banten yang dikirim ke Inggris pada tahun 1682. Dua utusan diplomatik itu adalah Kiai Ngabehi Wira Pradja dan Kiai Abi Yahya Sendana.
Archaeological Remains of Banten Lama yang dibuat Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1984 menyatakan, sejarah Banten terutama terjadi pada abad ke-16 ke atas. Antara abad ke-12 sampai ke-15 Banten sudah dikenal sebagai pelabuhan untuk Pemerintah Inggris di Sunda. Pertumbuhan wilayah itu maju pesat. Bandar yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari pusat Pemerintahan Banten Lama disinggahi pedagang dari Gujarat (India), Tionghoa, Melayu, Portugal, dan Belanda.
Waktu itu, arus barang keluar-masuk pelabuhan sangat lancar sehingga perekonomian Banten maju pesat. Pada zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai eksportir lada. Produk rempah-rempah mengundang banyak pedagang dari berbagai negara datang lalu tinggal di sana. Tak aneh bila di kawasan itu berdiri bangunan berusia di atas 100 tahun seperti vihara, mesjid Lama Banten, serta bekas kampung Arab, India, dan Cina.
Banyak hal bisa digali dari kawasan ini. Anda ingin rekreasi tapi bosan ke pantai dan gunung ? Datanglah ke Serang. Selain bisa melepas ketegangan di akhir pekan, pengetahuan mengenai sejarah Banten akan bertambah. (SOELASTRI SOEKIRNO)
sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/18/latar/292014.htm
MENGINGAT nama Banten pada masa lalu, terbayang kejayaan bandar antarpulau dan negara. Nama yang tersangkut di dalamnya adalah Sultan Ageng Tirtayasa, pahlawan nasional asal Kerajaan Banten yang terkenal gigih melawan pemerintahan kolonial Belanda.
BANTEN memang kaya peninggalan sejarah dari zaman megalitik sampai penjajah Jepang, meskipun bila kita ke sana saat ini banyak prasarana umum yang tertinggal. Ragam peninggalan di sana mencerminkan tingginya peradaban nenek moyang, luasnya pergaulan orang Banten sampai di tingkat internasional dengan rasa toleransi begitu tinggi antaretnis dan agama saat itu.
Banten bukan hanya sosok Sultan Ageng Tirtayasa atau Jendral Daendels yang memaksa rakyat mengerjakan pembangunan jalan 1.000 kilometer dari Anyer hingga ke Panarukan di Jawa Timur. Ia lebih dari itu. Banten tua memiliki kekayaan ilmu pengetahuan yang mengagumkan, menjadi sumber sejarah tak habis-habisnya untuk dikupas sebab wilayah itu berhubungan erat dengan wilayah Jawa bagian tengah dan barat yang pada masa lalu dikenal lewat Kerajaan Demak (Jawa Tengah), Pajajaran (Jawa Barat), atau Bogor dengan Kerajaan Pakuan.
HAWA panas pada pertengahan April lalu begitu terasa. "Kalau di tempat lain pukul 16.00 sudah mulai terasa adem, di sini masih panas seperti ini," kata seorang staf Kantor Peninggalan Sejarah dan Purbakala (PSP) Banten yang tengah mengawasi pekerja membersihkan tanaman liar di bekas Keraton Surasowan. Sekalipun panas menyengat, tetapi begitu melihat sisa reruntuhan keraton tersebut, rasa ingin tahu mengalahkan ketakutan kulit akan terbakar sinar mentari.
Kawasan seluas empat hektar yang dikelilingi benteng setinggi dua meter itu menyisakan bekas bangunan, seperti pintu gerbang keraton berbentuk bulat, kolam pemandian, hingga sistem saluran air dalam keraton. Semula, menurut Kepala Suaka PSP Banten Endjat Djaenuderadjat, wilayah itu tertutup tanah. Yang tampak hanya gundukan tanah bercampur potongan batu bata. Setelah digali, tampak lebih jelas bekas reruntuhan keraton yang menurut berbagai sumber dibangun pada abad ke-16.
Keterbatasan anggaran membuat untuk sementara upaya penggalian terhenti, namun keindahan istana itu sudah mulai terlihat. Tiga tangga istana berbentuk setengah lingkaran dari batu bata dan pemandian Roro Denok yang sampai sekarang masih mengeluarkan air menjadi bukti keindahan Keraton Surasowan.
Kemajuan peradaban juga bisa disaksikan dari sisa bangunan di sana. Pada tahun 1552, ketika keraton itu mulai dibangun, nenek moyang kita ternyata sudah mengembangkan teknologi penyaringan air bersih. Pada bagian belakang istana-jika bagian depan istana diasumsikan bangunan yang ada tangganya-terdapat saluran air. Di depannya ada enam keran (dulu terbuat dari besi berwarna kuning sehingga tempat itu disebut Pancuran Emas) untuk mengambil air bersih yang sudah disaring.
Air bersih bersumber dari mata air Tasik Ardi, berjarak sekitar 2,5 kilometer dari Keraton Surasowan. Sebelum digunakan untuk minum, air itu harus melalui tiga penyaringan (peninggilan). Sumber air Tasik Ardi hingga kini masih tetap asri dan menjadi salah satu tempat wisata dalam kawasan Banten Lama, walau debit air yang dikeluarkan jauh lebih kecil. Sementara, pipa saluran air menuju keraton tetap terpelihara baik walau sebagian tertutup tanah dan jalan.
Di dalam wilayah eks Karesidenan Banten (sejak tahun 2000 menjadi provinsi sendiri, pisah dari Provinsi Jabar) itu ada beberapa kawasan situs dan peninggalan sejarah. Ada Banten Girang yang menyimpan situs zaman megalitik, ada Banten Lama di mana terdapat bekas Keraton Surasowan, Keraton Kaibon, Vihara Avalokitesvara, bekas benteng Speelwijk yang dibangun VOC Belanda, terletak 10 km arah utara Kota Serang.
Di Kota Serang sendiri ada beberapa gedung yang masuk kategori cagar budaya yang perubahannya tak bisa dilakukan sembarangan. Setidaknya di sana ada empat gedung bersejarah. Gedung negara (kini kantor Gubenur Banten), dulu kantor Residen Banten yang dibangun pada tahun 1800-an, gedung Joang (kini tempat organisasi massa berkantor), bekas sekolah Mulo (kini Polres Serang), dan bekas markas marsose Belanda dibangun pada tahun 1900-an (kini menjadi markas Korem 064 Maulana Yusuf Banten).
Kondisi gedung-gedung itu relatif masih bagus. Akan tetapi, penjara serta bangunan lain yang menjadi asrama polisi harus dirawat dan dibersihkan. Penjara empat pintu yang umurnya diperkirakan satu abad tersebut kini menjadi rumah tahanan Polres Serang. Kapolres Serang Komisaris Besar Polisi Harydono yang baru dua minggu menjabat di sana tengah memikirkan membuat rumah tahanan baru di dekat ruang reserse. Ia sadar, peninggalan sejarah tersebut bisa menjadi obyek wisata yang didatangi pengunjung.
Bagaimana persisnya sejarah kerajaan di Banten sejak abad ke-16 sampai abad ke-19, sampai sekarang belum terpecahkan. Buku Sejarah Banten yang disusun Drs Yoseph Iskandar dan kawan-kawan dengan pengantar Prof Dr H Ayatrohaedi yang memuat bagian Banten pada masa silam dan Kesultanan Surasowan pun mengakui upaya maksimal telah dilakukan para sejarawan pendahulu, tetapi hasil penelitian baru menghasilkan potongan dari sosok Banten masa silam.
Penyusun menyimpulkan, sosok sejarah Banten hingga saat ini belum terwujud utuh. Penggalan yang dikaji para ahli arkeologi baru mata rantai yang terputus-putus. Walau demikian, hasil penelitian tersebut menjadi bukti Banten memiliki nilai sejarah. Bukti keberadaan Kerajaan Banten antara lain terdapat pada naskah kuno Pangeran Wangsakerta Cirebon abad ke-17 Masehi yang diteliti tim pimpinan Prof Dr Edi S Ekadjati dari Program Kerja Yayasan Pembangunan Jabar 1989-1991.
SEPERTI apakah kejayaan Banten masa silam? Silakan menyaksikan Museum Banten Lama, depan bekas Keraton Surasowan yang dikelola Kantor Peninggalan Sejarah dan Purbakala Banten. Di sana terdapat lukisan dua duta besar Keraton Banten yang dikirim ke Inggris pada tahun 1682. Dua utusan diplomatik itu adalah Kiai Ngabehi Wira Pradja dan Kiai Abi Yahya Sendana.
Archaeological Remains of Banten Lama yang dibuat Pusat Penelitian Arkeologi Nasional tahun 1984 menyatakan, sejarah Banten terutama terjadi pada abad ke-16 ke atas. Antara abad ke-12 sampai ke-15 Banten sudah dikenal sebagai pelabuhan untuk Pemerintah Inggris di Sunda. Pertumbuhan wilayah itu maju pesat. Bandar yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari pusat Pemerintahan Banten Lama disinggahi pedagang dari Gujarat (India), Tionghoa, Melayu, Portugal, dan Belanda.
Waktu itu, arus barang keluar-masuk pelabuhan sangat lancar sehingga perekonomian Banten maju pesat. Pada zaman pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten dikenal sebagai eksportir lada. Produk rempah-rempah mengundang banyak pedagang dari berbagai negara datang lalu tinggal di sana. Tak aneh bila di kawasan itu berdiri bangunan berusia di atas 100 tahun seperti vihara, mesjid Lama Banten, serta bekas kampung Arab, India, dan Cina.
Banyak hal bisa digali dari kawasan ini. Anda ingin rekreasi tapi bosan ke pantai dan gunung ? Datanglah ke Serang. Selain bisa melepas ketegangan di akhir pekan, pengetahuan mengenai sejarah Banten akan bertambah. (SOELASTRI SOEKIRNO)
Informasi model terbaru teknologi manufaktur Semikonduktor
A New Model For Semiconductor Manufacturing
source : http://www.semiconductor-technology.com/features/feature948/
Soaring manufacturing costs have seen the industry's major players team up to undertake design and production jointly. Jim McGregor, In-Stat, outlines the successful coming together of three industry leaders.
The cost of semiconductor manufacturing continues to climb and drive changes in the market. Not only have state-of-the-art 90nm and 65nm fabs now reached an average cost of nearly $5bn, but the cost of developing the process technology also continues to rise with each generation. Likewise, the expense of manufacturing continues to increase. The cost of developing mask sets, which are unique to every product and usually every fab, exceeds $1m a set and is expected to continue to increase exponentially with each process node.
"With production costs rising, three major alliances have formed between electronics groups."
These rising costs and other market dynamics have combined in the past to drive the separation between fabless semiconductor companies and foundry models that are predominant today.
The same trends are shrinking the number of semiconductor companies with fabs and foundries to below 40. Many semiconductor manufacturers and foundries have turned to joint process technology development, which addresses one side of the cost equation. There are at least three major alliances aimed at developing advanced CMOS process technology: IBM's SOI Alliance, Crolles2 alliance and the Advanced SoC Platform Corporation (ASPLA).
Chartered Semiconductor Manufacturing, IBM and Samsung have now developed a new model that addresses both the cost of fab capacity and process development, while providing a cohesive design ecosystem through their Common Platform™ technology.
They have extended their joint bulk CMOS development alliance to include joint manufacturing capability. The Common Platform technology partners have generated a number of new benefits for clients, including:
* Full product development, manufacturing and product lifecycle support from three leaders in semiconductor design, process technology and manufacturing
* Multi-sourcing a single design through GDSII compatibility to globally diverse synchronised fabs for risk mitigation and/or upside support
* Choice of design enablement resources (libraries, IP, reference flows, EDA tools and packaging), including a robust set of design-for-manufacturing (DFM) tools jointly supported by multiple tool vendors, design centres and foundry partners
* Engineering services and support from three companies with expertise in every aspect of semiconductor design and manufacturing
The Common Platform technology alliance has established a new model for semiconductor design and manufacturing through a new level of collaboration among industry leaders.
MANUFACTURING CAPACITY AND EFFICIENCY
The Common Platform technology collaboration was formed on a key transition point for the industry: 300mm wafers. This is a boundary that precludes many smaller players from entering or continuing in the manufacturing realm, but provides a significant increase in capacity for those that can. Just the use of 300mm wafers provides an average increase of two-and-a-half times in volume of chips per wafer.
"Common Platform technology has been developed by an alliance as a means of controlling fabrication costs."
Only 21 companies have announced plans to build 300mm fabs, and of the 18 in operation, the combined manufacturing capacity of the Common Platform technology partners with the current fabs fully ramped represents 22% of total capacity and 60% of foundry-only capacity. In addition, both Chartered and Samsung have indicated that they are considering further expansions of their existing 300mm fabs to 70,000 wafers a month and/or the construction of additional fabs in the future.
The fact that the three entities are all focused on continuously improving yields has led to improved fab efficiency at all three foundry partners. IBM and Chartered have already benefited from the relationship through the development of an advanced set of technology elements at the 90nm node, and all three companies are reaping the benefits from this learning at the 65nm and 45nm nodes.
Although Samsung has dedicated the S1 fab to the Common Platform technology, it continues to invest in additional 300mm fab capacity for its other semiconductor product lines, which could potentially be used for foundry purposes if necessary. For the client, the current and potential capacity at three companies translates into quicker time to market, higher delivery reliability and greater elasticity to handle demand swings.
UNMATCHED PROCESS EXPERTISE
Although the Common Platform technology is aimed at semiconductor manufacturing, it is an extension of the IBM CMOS development alliance. Through its industry-leading expertise in process technology and other relationships, IBM brings a wealth of knowledge and expertise to the development process.
Overall, there are seven semiconductor foundries and IDM companies working on developing new process technologies together in Fishkill, New York, which is unmatched by any other development alliance or individual company.
On 29 August 2006, the CMOS development alliance, consisting of Chartered, IBM, Infineon and Samsung, announced the first circuits manufactured on a 45nm process and the availability of early design kits. The process will be one of the first in the industry to use immersion lithography.
Although the use of immersion lithography adds additional challenges to manufacturing, the 45nm CMOS process will be installed and qualified at Chartered, IBM and Samsung by the end of 2007. Other semiconductor vendors, such as Intel, have indicated that they will not be using immersion lithography until a later process node, but that it will likely be required. The 45nm process development effort included 200 engineers from the four development partners.
INCREASED ENGINEERING RESOURCES
Just as the global diversity of the manufacturing sites mitigates risk, it also provides more manufacturing and engineering support. With the fabs located in Singapore, South Korea and the East Coast of the US, multiple engineering teams at multiple fabs can work to resolve issues and improve manufacturing efficiency around the clock, rather than a single fab and engineering team in the traditional foundry model.
"The Microsoft Xbox 360 processor demonstrates IBM's and Chartered's fab syncronisation capabilities."
With knowledge in different products, the Common Platform technology partners also offer a wide range of expertise and experience. This knowledge and support can be critical during the ramp of a new product. With three distinct companies joining together to coordinate yield ramps, various resources have been cross-geographically leveraged. Such resources include wafers and indigenous processes for yield learning and engineering talent and have led to cost reductions and industry-leading ramp times.
In addition, when a change is introduced or one location experiences a problem, engineers from all three locations can work to resolve the issue and prevent the complete shutdown of individual or multiple lines. The result is a constant flow of information that has the potential to provide both current and future benefits to the fabless semiconductor customers.
COMMON RESOURCES
Another key advantage to the Common Platform technology is the common resources that are available, including intellectual property (IP), libraries and tools. As IDMs, Samsung and IBM naturally have a considerable amount of IP available. Likewise, as foundries, Chartered and IBM have a considerable amount of licensable IP available.
Since the processes and fabs are synchronised, once the IP is qualified at one fab, it is qualified for all of the fabs. In a similar manner, the Common Platform technology has licensed third-party libraries from both ARM (formerly Artisan) and Virage Logic for the 90nm process node and ARM for the 65nm and 45nm process node.
The importance of tight links between the EDA tool vendors and the technologies that are being used for chip design is becoming evident at 65nm. It is no longer acceptable to add margin to simple corner-based models and force designers to close timing, noise, power and yield targets by working around impossible guard bands.
The Common Platform technology partners are including process and manufacturing data, not just to ensure good DFM practice, but also to work with the leaders in the EDA industry to ensure that chip designers are able to understand the impact that subtle shifts in the process will have on their designs' functionality and specs.
This is achieved by all the partners working with Cadence, Magma, Synopsys and others, so that these effects can be modelled in an open fashion. Having reference flows from these companies that take into account the effects seen by the process experts is a requirement for anyone contemplating design at 65nm and beyond.
"The number of semiconductor companies with fabs and foundries has shrunk to below 40."
The final shared resource is tools. A critical attribute of the Common Platform technology is a common suite of third-party DFM tools. The purpose of the DFM tools is to bring the critical aspects and considerations of the desired manufacturing process earlier into the planning and design process of the product.
Using DFM allows designers to make decisions in the design that may affect various attributes of the product in manufacturing, such as power, thermal, timing and signal integrity, as well as minimising the die size and time to market. Achieving desired cost, performance and yields often requires trade-offs in many of these attributes.
At the 90nm and 65nm process nodes, the Common Platform technology offers a design enablement kit and DFM rule and utility kit, both designed jointly by the group. The kits provide design lines for developing products for the manufacturing process.
RISK MITIGATION
The three fabrication partners have inherent differences in goals from the alliance and distinct cultures. Yet they have embraced the complexity of synchronising a single process across multiple fabs with due diligence. They are working to resolve geographical and equipment-related differences. Thus far, however, Chartered, IBM and Samsung have integrated their processes, teams and strategies very efficiently.
Companies with multiple fabs typically follow a copy-exact mantra to eliminate most factors that could introduce variance in the manufacturing process. As the largest semiconductor manufacturer in the world, Intel has almost perfected this effort, which often leaves environmental conditions as the only potential issue.
Although the Common Platform technology partners work together in evaluating equipment, fab equipment is often different, due to variations at the time the fabs are equipped, and differences in contractual agreements and service and support from the equipment vendors. In addition, each company uses some elements of IBM's SiView fab automation tools, but each vendor customises it to their own requirements.
The partners are working, however, to reduce the variance as much as possible. Approximately 70% of the equipment used by IBM's 323 Fab, Samsung's S1 Fab and Chartered's Fab 7 is the same, including critical lithography systems. The existing differences do not pose risks with respect to process-matching. The differences between tools from various equipment vendors are, however, being reduced as more of the operational specifications are being driven by process development alliances, such as the two being led by IBM for bulk CMOS and SOI.
DIFFERENT MASK SETS
Although the processes at each fab are GDSII-compatible, each fab requires a different mask set for each product that is not compatible between fabs. This adds the cost of additional mask sets, which average over $1m a chip for the 90nm process node.
"Many semiconductor manufacturers and foundries have turned to joint process technology development."
The use of different mask sets, however, mitigates schedule risk with the development of the masks and allows for easier debugging of masks if one set passes and another fails, as IBM and Chartered found with the first- and second-generation Xbox 360 processors. The additional cost of different mask sets, however, may be minimised by the internal mask development resources at IBM and Samsung.
The cost may also be quickly offset by the rapid ramp in product volume at multiple fabs. Going forward, the Common Platform technology partners are working to use similar mask designs to collaborate on yield ramps and process integration.
DIFFERENT COMPANIES
The fact that each of the partners has a different business model adds a layer of complexity as well as versatility. IBM, which has been a leader in semiconductor process technology, has recently moved to a model that combines foundry manufacturing with ASIC and server development along with other engineering services.
Chartered is a pure-play foundry, and it is continually expanding its expertise in process development, even solidifying a relationship with Amkor, a leading packaging company, after selling its Fab 1 building to Amkor for on-site package development and packaging services.
Samsung, on the other hand, is one of the largest electronics conglomerates, with significant success in Plasma TVs, LCDs and mobile phones over the past five years, in addition to its leadership in semiconductor memory. Samsung has recently announced that it will be offering engineering and logic foundry services.
Although the different goals of the companies would seem to be at odds, they are actually very symbiotic. Just as IBM looks to target high-volume applications, the company can use Chartered and Samsung for foundry resources in addition to its own capacity.
In a similar manner, as Chartered does not offer the product development engineering services, it can look to IBM and Samsung for that expertise. This also extends to the future strategies of each partner. Both IBM and Chartered admit that they could not have won the Microsoft Xbox 360 processor contract without their common manufacturing and fab ramp initiatives. Chartered could not have supplied the product development resources and IBM could not have supported the manufacturing requirements. Now other existing customers and partners of the Common Platform technology group are reaping the benefits as well.
"Automated data sharing techniques are being set up between all three partners."
Although the current agreement for the Common Platform technology extends through 2007, discussions are already underway for further extensions of this relationship.
The high investment in process development; resources allocated to evaluate equipment, fab ramp and synchronisation fabs efforts; and the benefits each partner stands to reap from the relationship provide strong justification for a long-term relationship. If anything, it increases the possibility of other partners in the future, a scenario that none of the existing partners will rule out.
DIFFERENT CULTURES
The cultural differences would appear to be by far the most challenging obstacle to overcome. Not only is each company located in a different region with a different culture and language, but each company is also a major competitor in their respective segments of the semiconductor market.
Many of these barriers have been overcome with time and close working relationships. During the ramp of the 90nm process at Chartered and the ramp of the Xbox 360 processor, Chartered and IBM employees maintained continuous contact through on-site meetings, and rigorous use of test vehicles for synchronising the performance of the fabs. Although Samsung entered the programme at a later stage, similar relationships have been developed, as all three companies work jointly on a new product effort for QUALCOMM, a leader in communications technology.
These close working relationships have also overcome delays customers would expect in dealing with more than one company by having project leads from each partner assisting in coordinating communications. Automated data sharing techniques are being set up between all three partners for continuous communication and troubleshooting.
The presence of development engineering teams from all three companies in Fishkill provides a great melting pot for assimilating cultural differences and focusing on the broader common goal of winning in the marketplace.
A SUCCESSFUL ALLIANCE
With the formation of several major technology alliances aimed at developing future process technology, there is a clear trend toward the co-mingling of development resources that are becoming part of the new semiconductor business model.
Chartered, IBM and Samsung have accomplished what would have seemed impossible a decade ago because of the difficulty of combining the resources of three companies with different products, market strategies and cultures, and extending the development model to include joint manufacturing capabilities.
"There is a clear trend toward the co-mingling of development resources."
However, necessity driven by increasing development and manufacturing costs has proven to be a catalyst for industry change once again.
This new model is gaining tremendous momentum with at least 14 design tool / EDA / IP partners joining to provide a comprehensive design ecosystem plus the industry-leading packaging vendor, Amkor. In the latest report on fab synchronisation, all three factories are centred on all 65nm low-power device parameters within less than 5% deviation.
The Microsoft Xbox 360 processor demonstrates IBM's and Chartered's fab synchronisation and manufacturing capabilities. Subsequently QUALCOMM is leveraging the platform's benefits for 90nm production and beyond. The Common Platform technology also has a strong roadmap for future technology development and capacity expansion.
First published 1 February 2007
source : http://www.semiconductor-technology.com/features/feature948/
Soaring manufacturing costs have seen the industry's major players team up to undertake design and production jointly. Jim McGregor, In-Stat, outlines the successful coming together of three industry leaders.
The cost of semiconductor manufacturing continues to climb and drive changes in the market. Not only have state-of-the-art 90nm and 65nm fabs now reached an average cost of nearly $5bn, but the cost of developing the process technology also continues to rise with each generation. Likewise, the expense of manufacturing continues to increase. The cost of developing mask sets, which are unique to every product and usually every fab, exceeds $1m a set and is expected to continue to increase exponentially with each process node.
"With production costs rising, three major alliances have formed between electronics groups."
These rising costs and other market dynamics have combined in the past to drive the separation between fabless semiconductor companies and foundry models that are predominant today.
The same trends are shrinking the number of semiconductor companies with fabs and foundries to below 40. Many semiconductor manufacturers and foundries have turned to joint process technology development, which addresses one side of the cost equation. There are at least three major alliances aimed at developing advanced CMOS process technology: IBM's SOI Alliance, Crolles2 alliance and the Advanced SoC Platform Corporation (ASPLA).
Chartered Semiconductor Manufacturing, IBM and Samsung have now developed a new model that addresses both the cost of fab capacity and process development, while providing a cohesive design ecosystem through their Common Platform™ technology.
They have extended their joint bulk CMOS development alliance to include joint manufacturing capability. The Common Platform technology partners have generated a number of new benefits for clients, including:
* Full product development, manufacturing and product lifecycle support from three leaders in semiconductor design, process technology and manufacturing
* Multi-sourcing a single design through GDSII compatibility to globally diverse synchronised fabs for risk mitigation and/or upside support
* Choice of design enablement resources (libraries, IP, reference flows, EDA tools and packaging), including a robust set of design-for-manufacturing (DFM) tools jointly supported by multiple tool vendors, design centres and foundry partners
* Engineering services and support from three companies with expertise in every aspect of semiconductor design and manufacturing
The Common Platform technology alliance has established a new model for semiconductor design and manufacturing through a new level of collaboration among industry leaders.
MANUFACTURING CAPACITY AND EFFICIENCY
The Common Platform technology collaboration was formed on a key transition point for the industry: 300mm wafers. This is a boundary that precludes many smaller players from entering or continuing in the manufacturing realm, but provides a significant increase in capacity for those that can. Just the use of 300mm wafers provides an average increase of two-and-a-half times in volume of chips per wafer.
"Common Platform technology has been developed by an alliance as a means of controlling fabrication costs."
Only 21 companies have announced plans to build 300mm fabs, and of the 18 in operation, the combined manufacturing capacity of the Common Platform technology partners with the current fabs fully ramped represents 22% of total capacity and 60% of foundry-only capacity. In addition, both Chartered and Samsung have indicated that they are considering further expansions of their existing 300mm fabs to 70,000 wafers a month and/or the construction of additional fabs in the future.
The fact that the three entities are all focused on continuously improving yields has led to improved fab efficiency at all three foundry partners. IBM and Chartered have already benefited from the relationship through the development of an advanced set of technology elements at the 90nm node, and all three companies are reaping the benefits from this learning at the 65nm and 45nm nodes.
Although Samsung has dedicated the S1 fab to the Common Platform technology, it continues to invest in additional 300mm fab capacity for its other semiconductor product lines, which could potentially be used for foundry purposes if necessary. For the client, the current and potential capacity at three companies translates into quicker time to market, higher delivery reliability and greater elasticity to handle demand swings.
UNMATCHED PROCESS EXPERTISE
Although the Common Platform technology is aimed at semiconductor manufacturing, it is an extension of the IBM CMOS development alliance. Through its industry-leading expertise in process technology and other relationships, IBM brings a wealth of knowledge and expertise to the development process.
Overall, there are seven semiconductor foundries and IDM companies working on developing new process technologies together in Fishkill, New York, which is unmatched by any other development alliance or individual company.
On 29 August 2006, the CMOS development alliance, consisting of Chartered, IBM, Infineon and Samsung, announced the first circuits manufactured on a 45nm process and the availability of early design kits. The process will be one of the first in the industry to use immersion lithography.
Although the use of immersion lithography adds additional challenges to manufacturing, the 45nm CMOS process will be installed and qualified at Chartered, IBM and Samsung by the end of 2007. Other semiconductor vendors, such as Intel, have indicated that they will not be using immersion lithography until a later process node, but that it will likely be required. The 45nm process development effort included 200 engineers from the four development partners.
INCREASED ENGINEERING RESOURCES
Just as the global diversity of the manufacturing sites mitigates risk, it also provides more manufacturing and engineering support. With the fabs located in Singapore, South Korea and the East Coast of the US, multiple engineering teams at multiple fabs can work to resolve issues and improve manufacturing efficiency around the clock, rather than a single fab and engineering team in the traditional foundry model.
"The Microsoft Xbox 360 processor demonstrates IBM's and Chartered's fab syncronisation capabilities."
With knowledge in different products, the Common Platform technology partners also offer a wide range of expertise and experience. This knowledge and support can be critical during the ramp of a new product. With three distinct companies joining together to coordinate yield ramps, various resources have been cross-geographically leveraged. Such resources include wafers and indigenous processes for yield learning and engineering talent and have led to cost reductions and industry-leading ramp times.
In addition, when a change is introduced or one location experiences a problem, engineers from all three locations can work to resolve the issue and prevent the complete shutdown of individual or multiple lines. The result is a constant flow of information that has the potential to provide both current and future benefits to the fabless semiconductor customers.
COMMON RESOURCES
Another key advantage to the Common Platform technology is the common resources that are available, including intellectual property (IP), libraries and tools. As IDMs, Samsung and IBM naturally have a considerable amount of IP available. Likewise, as foundries, Chartered and IBM have a considerable amount of licensable IP available.
Since the processes and fabs are synchronised, once the IP is qualified at one fab, it is qualified for all of the fabs. In a similar manner, the Common Platform technology has licensed third-party libraries from both ARM (formerly Artisan) and Virage Logic for the 90nm process node and ARM for the 65nm and 45nm process node.
The importance of tight links between the EDA tool vendors and the technologies that are being used for chip design is becoming evident at 65nm. It is no longer acceptable to add margin to simple corner-based models and force designers to close timing, noise, power and yield targets by working around impossible guard bands.
The Common Platform technology partners are including process and manufacturing data, not just to ensure good DFM practice, but also to work with the leaders in the EDA industry to ensure that chip designers are able to understand the impact that subtle shifts in the process will have on their designs' functionality and specs.
This is achieved by all the partners working with Cadence, Magma, Synopsys and others, so that these effects can be modelled in an open fashion. Having reference flows from these companies that take into account the effects seen by the process experts is a requirement for anyone contemplating design at 65nm and beyond.
"The number of semiconductor companies with fabs and foundries has shrunk to below 40."
The final shared resource is tools. A critical attribute of the Common Platform technology is a common suite of third-party DFM tools. The purpose of the DFM tools is to bring the critical aspects and considerations of the desired manufacturing process earlier into the planning and design process of the product.
Using DFM allows designers to make decisions in the design that may affect various attributes of the product in manufacturing, such as power, thermal, timing and signal integrity, as well as minimising the die size and time to market. Achieving desired cost, performance and yields often requires trade-offs in many of these attributes.
At the 90nm and 65nm process nodes, the Common Platform technology offers a design enablement kit and DFM rule and utility kit, both designed jointly by the group. The kits provide design lines for developing products for the manufacturing process.
RISK MITIGATION
The three fabrication partners have inherent differences in goals from the alliance and distinct cultures. Yet they have embraced the complexity of synchronising a single process across multiple fabs with due diligence. They are working to resolve geographical and equipment-related differences. Thus far, however, Chartered, IBM and Samsung have integrated their processes, teams and strategies very efficiently.
Companies with multiple fabs typically follow a copy-exact mantra to eliminate most factors that could introduce variance in the manufacturing process. As the largest semiconductor manufacturer in the world, Intel has almost perfected this effort, which often leaves environmental conditions as the only potential issue.
Although the Common Platform technology partners work together in evaluating equipment, fab equipment is often different, due to variations at the time the fabs are equipped, and differences in contractual agreements and service and support from the equipment vendors. In addition, each company uses some elements of IBM's SiView fab automation tools, but each vendor customises it to their own requirements.
The partners are working, however, to reduce the variance as much as possible. Approximately 70% of the equipment used by IBM's 323 Fab, Samsung's S1 Fab and Chartered's Fab 7 is the same, including critical lithography systems. The existing differences do not pose risks with respect to process-matching. The differences between tools from various equipment vendors are, however, being reduced as more of the operational specifications are being driven by process development alliances, such as the two being led by IBM for bulk CMOS and SOI.
DIFFERENT MASK SETS
Although the processes at each fab are GDSII-compatible, each fab requires a different mask set for each product that is not compatible between fabs. This adds the cost of additional mask sets, which average over $1m a chip for the 90nm process node.
"Many semiconductor manufacturers and foundries have turned to joint process technology development."
The use of different mask sets, however, mitigates schedule risk with the development of the masks and allows for easier debugging of masks if one set passes and another fails, as IBM and Chartered found with the first- and second-generation Xbox 360 processors. The additional cost of different mask sets, however, may be minimised by the internal mask development resources at IBM and Samsung.
The cost may also be quickly offset by the rapid ramp in product volume at multiple fabs. Going forward, the Common Platform technology partners are working to use similar mask designs to collaborate on yield ramps and process integration.
DIFFERENT COMPANIES
The fact that each of the partners has a different business model adds a layer of complexity as well as versatility. IBM, which has been a leader in semiconductor process technology, has recently moved to a model that combines foundry manufacturing with ASIC and server development along with other engineering services.
Chartered is a pure-play foundry, and it is continually expanding its expertise in process development, even solidifying a relationship with Amkor, a leading packaging company, after selling its Fab 1 building to Amkor for on-site package development and packaging services.
Samsung, on the other hand, is one of the largest electronics conglomerates, with significant success in Plasma TVs, LCDs and mobile phones over the past five years, in addition to its leadership in semiconductor memory. Samsung has recently announced that it will be offering engineering and logic foundry services.
Although the different goals of the companies would seem to be at odds, they are actually very symbiotic. Just as IBM looks to target high-volume applications, the company can use Chartered and Samsung for foundry resources in addition to its own capacity.
In a similar manner, as Chartered does not offer the product development engineering services, it can look to IBM and Samsung for that expertise. This also extends to the future strategies of each partner. Both IBM and Chartered admit that they could not have won the Microsoft Xbox 360 processor contract without their common manufacturing and fab ramp initiatives. Chartered could not have supplied the product development resources and IBM could not have supported the manufacturing requirements. Now other existing customers and partners of the Common Platform technology group are reaping the benefits as well.
"Automated data sharing techniques are being set up between all three partners."
Although the current agreement for the Common Platform technology extends through 2007, discussions are already underway for further extensions of this relationship.
The high investment in process development; resources allocated to evaluate equipment, fab ramp and synchronisation fabs efforts; and the benefits each partner stands to reap from the relationship provide strong justification for a long-term relationship. If anything, it increases the possibility of other partners in the future, a scenario that none of the existing partners will rule out.
DIFFERENT CULTURES
The cultural differences would appear to be by far the most challenging obstacle to overcome. Not only is each company located in a different region with a different culture and language, but each company is also a major competitor in their respective segments of the semiconductor market.
Many of these barriers have been overcome with time and close working relationships. During the ramp of the 90nm process at Chartered and the ramp of the Xbox 360 processor, Chartered and IBM employees maintained continuous contact through on-site meetings, and rigorous use of test vehicles for synchronising the performance of the fabs. Although Samsung entered the programme at a later stage, similar relationships have been developed, as all three companies work jointly on a new product effort for QUALCOMM, a leader in communications technology.
These close working relationships have also overcome delays customers would expect in dealing with more than one company by having project leads from each partner assisting in coordinating communications. Automated data sharing techniques are being set up between all three partners for continuous communication and troubleshooting.
The presence of development engineering teams from all three companies in Fishkill provides a great melting pot for assimilating cultural differences and focusing on the broader common goal of winning in the marketplace.
A SUCCESSFUL ALLIANCE
With the formation of several major technology alliances aimed at developing future process technology, there is a clear trend toward the co-mingling of development resources that are becoming part of the new semiconductor business model.
Chartered, IBM and Samsung have accomplished what would have seemed impossible a decade ago because of the difficulty of combining the resources of three companies with different products, market strategies and cultures, and extending the development model to include joint manufacturing capabilities.
"There is a clear trend toward the co-mingling of development resources."
However, necessity driven by increasing development and manufacturing costs has proven to be a catalyst for industry change once again.
This new model is gaining tremendous momentum with at least 14 design tool / EDA / IP partners joining to provide a comprehensive design ecosystem plus the industry-leading packaging vendor, Amkor. In the latest report on fab synchronisation, all three factories are centred on all 65nm low-power device parameters within less than 5% deviation.
The Microsoft Xbox 360 processor demonstrates IBM's and Chartered's fab synchronisation and manufacturing capabilities. Subsequently QUALCOMM is leveraging the platform's benefits for 90nm production and beyond. The Common Platform technology also has a strong roadmap for future technology development and capacity expansion.
First published 1 February 2007
Langganan:
Postingan (Atom)