Kamis, 05 Juli 2007

Getting charged by walking

February 2007 Here is a common dorm prank: On a day with low humidity, you walk quietly up behind a friend and reach a finger out toward his ear lobe. When your finger is close to the lobe, a spark jumps between the two surfaces and your friend jumps up into the air with a shriek of surprise. Obviously you became charged as you walked toward him, but why?
Unless you live in continuously humid conditions, you have probably been shocked by a spark after walking over certain types of floors and then reaching for a computer, door knob, faucet, or some other conducting object. In those sparking circumstances, walking over the floor charges you up and then the charge can be neutralized with a spark. The process can also be described in terms of electric potential (or voltage). As you walk, the electric potential of your body increases. When you reach for a conducting object, the electric field between you and the object becomes large enough to ionize some of the air molecules (tear electrons out of the molecules). Then the air becomes conducting and electrons can move along a path between you and the object. Those moving electrons collide with the air molecules along the way. The molecules emit light, and the energy dumped into the air along the spark’s path causes the air to rapidly expand, which sends out the sound of the spark.
This much has been known for a long time, but the lingering question has been, “Why does your body become charged and the electric potential increase?” Here is a recently published explanation by T. Ficker of the Technical University of Brno in the Czech Republic, based on his measurements on someone walking over a nonconducting floor (electrons cannot easily move through the floor). Suppose you wear shoes with rubber soles and walk on such a floor. Electrons can move from the sole of the shoe onto the floor, leaving the sole positively charged and the floor negatively charged.
The culprits. If both the sole and the floor do not conduct well (charge cannot move through them easily), the charges stay put. But your body and the floor support are both conducting. So electrons come down from your body to your foot, to be near the positive charge on the sole. And electrons in the floor support move away from the floor surface. You get two double layers (closely lying layers of positive and negative charge): (1) the sole and your foot, (2) the floor surface and just below the surface.
Walking. As you walk, you leave the double layer on the floor in your trail but your shoe continuously touches fresh points on the floor and loses even more electrons. The result is that the double layer of charge of the sole and your foot grows stronger. Moreover, each time you raise your foot, the increased distance from the floor increases the electric potential (the voltage) on your body. So, you become more and more charged and each step increases the electric potential. If the air humidity is high, the water moisture quickly neutralizes the charge, and then putting your finger near the ear lobe of a friend is just weird. But if the air humidity is low, you eventually become charged enough to send a spark between finger and ear lobe.
Walking in place. If you walked in place, touching the same points on the floor, you would not lose so many electrons and your electric potential would not increase very much. If you walked barefooted across the floor, you wouldn’t become charged at all because, with the foot conducting, you cannot build up a double layer of charge.
Cats. Oh, by the way, you might enjoy sparking to a friend but never ever spark to a cat because its claws will extend outward by 20 cm (like Wolverine in X-Men) and then it will slice the clothes from your body, which is very embarrassing to explain to the emergency medical crew (and then to the animal protection agency).

Ficker, T., “Charging by walking,” Journal of Physics D: Applied Physics, 39, 410-417 (2006)
Ficker, T., “Electrification of human body by walking,” Journal of Electrostatics, 64, 10-16 (2006)

Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan

TAHUN 2004 The Times Higher Education Supplement memilih 200 universitas terhebat di dunia. Sepuluh terhebat adalah Harvard University, University of California Berkeley, Massachusetts Institute of Technology, California Institute of Technology, Oxford University, Cambridge University, Stanford University, Yale University, Princeton University, dan ETH Zurich (Swiss).

Yang mengagumkan adalah masuknya empat universitas tetangga terdekat kita, yaitu National University of Singapore (ke-18), Nanyang University (ke-50), Malaya University (ke-89), dan Sains Malaya University (ke-111). Urutan itu ditentukan oleh skor yang diperoleh dalam lima hal, yaitu penilaian oleh sejawat (peer reviewing), jumlah dosen asing, jumlah mahasiswa asing, rasio dosen-mahasiswa, dan citations yakni jumlah karya tulis dosen yang dikutip di forum dunia.

Kelima hal ini mencerminkan keunggulan dalam pengajaran, penelitian, dan reputasi internasional. Sebagai bahan perbandingan, universitas riset di AS misalnya kini mendominasi beasiswa dan penelitian dunia, memiliki 450.000 mahasiswa asing, dan mempekerjakan dosen dari berbagai negara. Sementara itu PT kita cenderung mengangkat dosen dari lulusannya sendiri, sesuatu yang sangat dihindari di AS. Para birokrat kampus tidak menyadari bahwa praktik (malpractice) ini tidak kondusif bagi reproduksi ilmu pengetahuan.

Secara spesifik laporan itu (halaman 13) menyebutkan Indonesia tidak termasuk dalam daftar, padahal penduduknya menempati urutan terbesar keempat. Artinya dalam lima aspek di atas, tidak satu pun dari PT di Indonesia diperhitungkan dunia. Tulisan ini hanya menyoroti aspek produksi karya tulis, yang cenderung dianggap enteng oleh birokrat kampus, dinilai tidak sepenting stadion olah raga atau laboratorium mikrobiologi. Padahal bagaimanapun hebatnya fasilitas fisik yang dimiliki, bila dosennya tidak berbudaya tulis, tetap saja PT itu dianggap memble.

Reproduksi pengetahuan

Reproduksi ilmu adalah olah-ulang iptek yang didapat dari sumber-sumber lain. Indikator reproduksi ini antara lain adanya jurnal terakreditasi baik nasional maupun internasional, jumlah tulisan dosen di media massa, jurnal ilmiah dan buku teks, berkembangnya University Press, dan sejauh mana tulisan ilmuwan kita dikutip ilmuwan di negara lain.

Reproduksi ilmu memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, reproduksi disajikan dalam bahasa nasional. Artinya, para ilmuwan seyogianya menuliskan pemahamannya dalam buku teks dan jurnal berbahasa Indonesia. Ini akan bermanfaat bagi mayoritas yang belum menguasai bahasa asing.

Di samping itu, penulisan buku teks sesungguhnya merupakan langkah cendekiawan bahasa, yakni memberdayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa iptek. Banyak ilmuwan yang mengkritik rendahnya kualitas terjemahan buku teks dalam bahasa Indonesia, sementara mereka sendiri tidak pernah menerjemahkan atau menulis buku teks sendiri dalam bahasa Indonesia.

Kedua, reproduksi adalah penulisan pemahaman dalam konteks lokal. Artinya, kebenaran iptek yang universal itu seyogianya dipijakkan pada kasus-kasus lokal Indonesia. Ini penting karena melalui buku teks, pembaca dilibatkan untuk memahami fenomena lokal dalam konteks kebenaran universal. Ini menumbuhkan kepenasaranan intelektual dan apresiasi terhadap fenomena dan nilai-nilai lokal; sekaligus sebagai upaya pelestarian budaya sendiri. Inilah satu tafsir tematis terhadap think globally, act locally.

Komponen reproduksi

Ada sejumlah komponen mesin reproduksi pengetahuan sebagai berikut. Pertama, iklim yang kondusif bagi kegiatan tulis-menulis. Manajemen PT kurang memberikan penghargaan terhadap para penulis, berbeda dengan kepada pejabat struktural. Karena itu banyak dosen lebih memilih jabatan struktural daripada meneliti atau menulis. Kebijakan pemerintah pun kurang kondusif bagi publikasi. Berbeda dengan Indonesia, Malaysia tidak menarik pajak dari honor pengarang dan penjualan buku.

Kedua, adanya puspa ragam sumber. Semakin banyak sumber informasi yang tersedia di PT semakin besar kesempatan dosen dan mahasiswa untuk mendapat ilmu baru. Sekarang sudah saatnya, mahasiswa dibiasakan mengakses informasi dari internet dengan tidak mengabaikan sumber-sumber dalam bentuk cetakan. Teknologi ini menawarkan konsep, teori, dan model yang merupakan bahan mentah untuk diracik untuk menghasilkan ilmu baru. Atau setidaknya kemasan baru yang Indonesian-friendly.

Ketiga, kemampuan membaca kritis. Tanpa kemampuan ini, pembaca dan penjelajah dunia maya akan kebanjiran "sampah", bukannya ilmu. Ilmu itu pada hakikatnya adalah buah dari proses berpikir yang didokumentasikan secara telaten dan terus-menerus tanpa henti. Pemerolehan ilmu bergantung pada kemampuan mengikat makna, yakni mendokumentasikan demi keperluan publik. Kelemahan kaum intelektual kita adalah rendahnya keprigelan menulis, sehingga ilmu yang dimiliki mereka berhenti di situ. Tak ada reproduksi.

Keempat, wacana akademik demokratis untuk membantu mahasiswa dan dosen junior agar mampu menulis sesuai dengan kriteria keilmuan yang berlaku secara internasional. Kasus penjiplakan karya tulis oleh pejabat tinggi negara beberapa waktu lalu menunjukkan lemahnya kemampuan menulis akademik, sekaligus bukti gagalnya pendidikan bahasa, khususnya pengajaran menulis di Indonesia.

Di Jepang dan AS ada paguyuban dosen dan mahasiswa, khususnya mahasiswa S-2 dan S-3, yang memiliki minat sama yang secara terjadwal berdiskusi. Diskusi dan dokumentasi yang terus-menerus ini adalah reproduksi ilmu yang berbuahkan buku atau artikel jurnal. Jadi, penulisan buku tidak dipersepsi sebagai beban berat yang harus didanai pemerintah, tetapi sebagai rutinitas akademik, layaknya mandi dan sarapan pagi.

Kelima, penguasaan bahasa Inggris. Pada umumnya lulusan SMU kita hanya menguasai kurang dari 1.500 kosa kata bahasa Inggris, padahal mereka telah belajar bahasa Inggris selama enam tahun. Bagaimana mungkin mereka akan mampu mencerna bacaan dalam bahasa Inggris. Kemampuan dosen pun bila diukur dengan TOEFL pada umumnya rata-rata di bawah 500. Jadi baik mahasiswa maupun dosen pada umumnya memang tidak siap untuk menulis akademik dalam bahasa Inggris.

Kemampuan menulis akademis atau technical writing lazimnya diperoleh dengan mudah oleh seorang calon ilmuwan setelah terbiasa menulis naratif, yakni menuliskan pengalaman sendiri atau orang lain. Begitu masuk PT, seorang mahasiswa seyogianya siap untuk membangun keterampilan menulis eksploratoris, setelah menguasai keterampilan menulis naratif yang dibangun di sekolah.

Tobat akademis dan langkah berani

Hakikat pembangunan mesin reproduksi ilmu adalah pembenahan manajemen keilmuan internal di PT. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa selama ini kita keliru melihat gelar Dr., Ph.D., M.A., M.Sc. atau Profesor sebagai indikator penting keberhasilan akademis, padahal yang dijadikan ukuran atau benchmarking pada forum internasional adalah citations, yakni karya tulis mereka. Pimpinan PT sering kali membuat kebijakan dengan menargetkan sekian persen dosennya bergelar Dr. atau Magister tanpa menargetkan pengembangan penerbitan kampus, jumlah artikel jurnal internasional, dan buku teks yang ditulis dosen.

Perlu ditempuh "hijrah" sikap secara kolektif terhadap fungsi publikasi dan pembinaan keterampilan menulis kepada dosen muda, misalnya dengan mewajibkan mengikuti perkuliahan academic writing dan Bahasa Inggris masing-masing sebanyak 4 sks pada program pascasarjana. Dan demi kualitas serta untuk menanamkan kepercayaan mahasiswanya, setiap dosen pascasarjana mesti menghasilkan sebuah buku teks sesuai bidang keahliannya. Mungkin juga, sudah saatnya perkuliahan S-3 bidang-bidang tertentu disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini merupakan terobosan berani agar ilmuwan kita siap makalangan dalam forum internasional.

PT seyogianya tidak terlampau berbangga diri dengan kesejarahan lembaga dan ribuan lulusannya, karena itu saja tidak cukup untuk diacungi jempol oleh dunia internasional. PT dinilai lewat prestasi yang dicapai lulusannya dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau perannya dalam membangun masyarakat.

Dari krisis ke paradigma baru

Sementara kita terseok-seok memasuki era industrial, memasuki abad ke-21 ini masyarakat Eropa memasuki masa transisi dari masyarakat industrial ke masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society), yakni masyarakat yang menempatkan manusia terdidik dan pengetahuan yang mereka produksi dan gunakan sebagai instrumen bagi kemantapan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Tidaklah berlebihan, dikatakan bahwa PT di Indonesia sebagai mesin reproduksi pengetahuan kini mengalami krisis reputasi internasional, dan untuk membangun reputasi ini perlu ditegakkan paradigma baru. Dalam pandangan Kuhn dalam bukunya yang terkenal The Structure of Scientific Revolution, di saat krisis perlu ada rekonstruksi yang mengubah beberapa pandangan teoretis mendasar serta metode pelaksanaan di lapangan.

Aplikasinya pada PT, perlu ada rekonstruksi pemahaman ihwal budaya tulis dengan mengubah asumsi mendasar ihwal menulis dan pembudayaannya di tingkat PT. Sebagai contoh, asumsi bahwa ilmuwan mampu menulis terbukti keliru. Buktinya mayoritas ilmuwan Indonesia tidak berkarya tulis, kalah produktif oleh ilmuwan Malaysia yang sama-sama berbudaya Melayu.

Fakta bahkan mayoritas ilmuwan linguistik dan sastra pun tidak mampu berkarya tulis menunjukkan bahwa (1) penguasaan teori bahasa tidak menjamin produktivitas tulisan dan (2) keterampilan menulis tidak mesti diajarkan oleh ilmuwan linguistik dan sastra, tetapi oleh seorang penulis. Mungkin perubahan sudut pandang seperti ini akan mengubah citra publikasi kaum akademisi Indonesia.***

Penulis, Gurubesar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.