Selasa, 28 Agustus 2007

Belajar dari Prof. Yohanes Surya

Yohanes Surya : Padi yang tergoda Fisika
Muhammad Sulhi dan Dharnoto

Boleh jadi ia menghayati betul "ilmu padi". Pria kelahiran Jakarta, 6 November 1963, ini selalu cool dan rendah hati. Padahal, ia tak ubahnya Einstein kelahiran Indonesia.

Suaranya tipis, susunan kata-katanya selalu runtut. Ditambah kacamata minus dan tubuh tinggi semampai, Yohanes Surya Ph.D. begitu pas dengan predikatnya sebagai ilmuwan kawakan di negeri ini. Yo - begitu dia biasa disapa - jelas bukan sembarang orang. Gelar S1 Fisika diperolehnya dari FMIPA UI dengan predikat sangat memuaskan. Di usia 27 tahun, dia sudah meraih M.Sc. Fisika di College of William and Mary, Virginia, AS. Empat tahun kemudian, gelar Ph.D. direngkuhnya dari kampus yang sama. Hebatnya, dua gelar itu diembel-embeli predikat cum laude!

Tak kalah fenomenal, kiprahnya sebagai lokomotif Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Dua tahun terakhir, prestasi TOFI sedang meroket. Di Bali, Juli 2002, pada Olimpiade Fisika Internasional XXXIII TOFI menyabet tiga emas (dari total 20 yang diperebutkan), satu perak, dan satu perunggu. Sedangkan di Olimpiade Fisika Asia ke-4 di Bangkok, April 2003, mereka menyabet enam emas dan dua honorable mention, sekaligus "merampok" gelar juara umum!

Lucunya, Yo sebenarnya masuk Jurusan Fisika karena terpaksa. "Saat itu enggak ada pilihan lain," kata blasteran ayah Bandung dan ibu Ciamis ini.

Gairah turun naik

Ceritanya, selepas SMA kondisi ekonomi keluarga Yo sangat memprihatinkan. Ayahnya yang pensiunan tentara cuma punya warung kecil di Pulo kambing, Jakarta Timur. Tak heran enam kakaknya terpaksa tidak kuliah. Yo sendiri (anak ketujuh dari sembilan bersaudara) bisa kuliah melalui jalur PMDK. Meski begitu, batin Yo muda belum sepenuhnya gembira.

Bapaknya bilang, sarjana fisika paling banter cuma bisa jadi dosen atau guru. "Saya dari keluarga miskin. Kalau akhirnya jadi miskin juga, 'kan enggak ada perubahan," kenang Yo getir. Susahnya, tak ada pilihan lain. Akhirnya, dibantu bea-siswa Supersemar, jadilah ia mahasiswa UI.

Selama kuliah, gairah belajar Yo agak kempes. "Habisnya, dari tahun ke tahun, saya cuma ketemu rumus-rumus," imbuhnya diiringi tawa renyah. Padahal, waktu di SMAN 12, pelajaran fisika menjadi cinta pertamanya. "Pak Handoyo (mantan guru fisika Yo, kini almarhum - Red.) pintar menghubungkan berbagai gejala fisika dengan kejadian sehari-hari," kenang suami Christina (34) serta ayah Chrisanthy Rebecca (12) dan Marie Felicia (4) ini.

Walaupun masa SMA lebih manis ketimbang jadi anak kampus, ia tetap lulus UI dengan predikat "sangat memuaskan". Sempat menjadi guru SMA selama dua tahun, pada 1988 Yo mendapat beasiswa S2 di College of William & Mary.

Di kampus baru ini, minat fisikanya mekar kembali. Kesempatan untuk mempelajari intisari fisika, meneliti, dan membaca banyak buku dimanfaatkan maksimal. Beberapa bulan kuliah, ia sudah dipekerjakan sebagai teaching assistant. "Lumayan, saya jadi punya meja," ucapnya riang. Di negeri Paman Sam, ia juga sempat menjadi konsultan theoretical physics di TJNAF/CEBAF (Continous Electron Beam Accelerator Facility), Virginia.

Di College of William & Mary pula, sekitar 1992, ia membaca berita soal Olimpiade Fisika Internasional. "Kok Indonesia belum pernah ikut, ya, padahal kegiatan itu sudah ada sejak 1967," batinnya bertanya. Segera Yo mengajak rekannya, Agus Ananda membidani kelahiran Tim Olimpiade Fisika Indonesia. Setelah diadakan seleksi di UI, terpilih lima siswa yang akan di-training selama dua bulan di AS.

Pada keikutsertaan pertama ini, kebetulan diselenggarakan di AS, tim darurat bikinan Yo meraih satu perunggu. "Lumayan. Langsung dapat medali," bilang penulis 68 buku (30 diantaranya sudah diterbitkan). Sayang, pada tahun berikutnya di Cina, bertepatan dengan kesibukan Yo mengerjakan tesis, Tim Indonesia pulang tanpa membawa satu medali pun.

November 1994, Yo mendapat greencard untuk tinggal dan bekerja di Amerika. Namun, mimpi mengharumkan nama bangsa lewat fisika terus menggoda. "Saya merasa sangat terpanggil," ujarnya serius. Tahun 1998 ia balik ke Tanah Air. "Sempat jadi calon PNS, yang gajinya Rp 65.000,- sebulan. Buat taksi sekali jalan, dari rumah di Bekasi ke Salemba dan Depok saja udah habis," kenang lelaki yang kini tinggal di Lippo Karawaci, Tangerang itu.

Meski menghadapi tantangan berat, kiprah Yo pantang surut. Pada Olimpiade Fisika Internasional 1995 di Australia, anak-anak asuhnya mempersembahkan satu perak. Pria yang mengaku menghabiskan Rp 40 juta per tahun untuk membeli buku ini pun mulai yakin, datangnya medali emas cuma soal waktu. Penyuka buku-buku fisika, ekonomi, sosial, kependudukan, dan fiksi ilmiah ini juga mulai rajin menggugah kepedulian Depdiknas.

Toh hingga Olimpiade 1996 di Kanada dan 1997 di Norwegia, TOFI masih berkutat pada raihan perak dan perunggu. Sedangkan 1998, aktivitas terhenti sama sekali lantaran kerusuhan Mei yang meluluhlantakkan Jakarta. "Banyak orang mulai mengejek, emasnya mana?" sambung Yo lirih. Tahun 1999, ia mulai gemas, menantang Depdiknas membiayai training anak-anak asuhnya selama tujuh bulan penuh.

Hasilnya luar biasa, TOFI pulang menggondol satu emas, satu perak, dan dua perunggu.

Sejak itu, prestasi TOFI kian bersinar. Puncaknya, seperti disebut di muka tadi. "Di Asia, kita berhasil menggeser Taiwan. Merekalah selama ini saingan berat kita," papar Yo bangga.

Bapak fisika Indonesia ?

Yo adalah fisika. Begitu pasti komentar mereka yang dekat dengan kolumnis di sejumlah media massa ini. Maklum, hampir seluruh umur dosen Universitas Pelita Harapan, Karawaci, ini didedikasikan buat ilmu fisika. Selain memotivasi masyarakat umum lewat media, Yo juga menulis berbagai buku ringan untuk murid SD, SMP, dan SMU. Agar fisika tak lagi dipandang sebagai zombie yang menakutkan. "Mereka tak hanya mempelajari, tapi juga menikmati rumus-rumus," sambung pengurus Himpunan Fisika Indonesia (HFI) ini.

Ia bahkan sudah mempersiapkan sistem baku untuk menggembleng calon fisikawan masa depan. "Siapa pun kelak yang menggantikan saya, TOFI akan tetap mendapat emas," janjinya penuh semangat. Konon, buku pegangan training untuk peserta olimpiade fisika itu disiapkan selama 10 tahun. "Soal-soalnya selevel dengan apa yang dipelajari di program S2," imbuh Yo.

Anggota Dewan Kurator Museum Iptek TMII ini juga giat memperkaya pengetahuan fisikanya. Kini ia tengah gandrung pada Fisika Keuangan, yang menghubungkan fisika dengan ilmu ekonomi. Ilmu ini baru berkembang tahun 1994. "Saya sendiri mulai tertarik sejak 2001," tegas Yo. Salah satu manfaat yang ia temukan adalah rumus-rumus untuk memprediksi fluktuasi harga saham, sekaligus memprakirakan trend pasar modal.

Konon, banyak yang bisa diotak-atik dari rumus-rumus fisika. "Misalnya, formula Black & Scholes yang banyak digunakan dalam ilmu ekonomi, ternyata sama dengan rumus perpindahan aliran panas di fisika," jelas Ketua Panitia Olimpiade Fisika Asia I tahun 2000 di Karawaci ini. Masih kata Yo, sejatinya ilmu ekonomi memang banyak menggunakan rumus fisika. Tapi para ekonom banyak yang enggak tahu dari mana asal rumus itu.

Ilmu Fisika juga bisa diaplikasikan pada ilmu sosial. "Air yang dipanaskan, tekanannya meninggi. Pada saat itulah air berada pada kondisi kritis. Kalau suhunya dinaikkan sedikit saja, langsung jadi gas yang ringan sekali. Massa jenisnya mungkin hanya sekitar 0,01. Tapi diturunkan sedikit, menjadi air yang massa jenisnya jauh lebih besar. Jika digrafikkan, akan ketemu rumus 1/t (t menunjukkan suhu - Red.)."

"Nah, di ilmu sosial, jika kita menggambarkan grafik penduduk kota-kota, mulai dari yang terbanyak penduduknya hingga terkecil, juga akan menciptakan grafik seperti rumus 1/t di fisika. Ini menjadi bukti, berbagai data ilmu sosial dapat diaplikasikan ke dalam rumus-rumus fisika. Sekaligus menunjukkan, fisika punya banyak rumus dan model. Tapi kurang data seperti yang dimiliki ilmu ekonomi atau sosial," jelas Yo.

Bapak yang suka bermain dengan dua putrinya itu juga kerap berfisika ria dalam keluarga. Sampai-sampai, ada episode tertentu yang dihafal sang anak di luar kepala. Saat di atas kendaraan misalnya, Rebecca dan Marie sudah paham adanya dorongan ke arah berlawanan saat mobil hendak belok. "Namanya gaya sentrifugal, 'kan?" celetuk mereka. Marie bahkan punya lelucon yang pasti kurang nyambung dengan anak seusianya.

Kata bocah empat tahun itu, di dunia ini hanya ada tiga orang Marie yang pernah menerima hadiah Nobel. Yang pertama, Marie Curie, kemudian Marie Goepert Meyer. Yang ketiga? Ya, Marie Felicia, putrinya Yohanes Surya, he.. he.. he.... Sejatinya, hampir seluruh aktivitas santai Yo bersama keluarga memang berbau fisika. Tak heran kalau anaknya yang paling besar, Rebecca bercita-cita jadi fisikawati.

Buat Yo, dekat dengan anak-anak merupakan keharusan

"Mereka itu investasi buat masa depan. Di zaman mereka nanti, uang sekolah makin mahal. Kalau mereka pintar dan dapat beasiswa, 'kan meringankan beban?" Itu sebabnya, dia merasa lebih baik meluangkan waktu untuk anak-anak, ketimbang cari duit enggak karuan.

Omong-omong, tak adakah hal lain di benak Yo selain fisika dan fisika? Hmm, jawabnya tak kalah seram: matematika! Uniknya, penampilan Presiden Olimpiade Fisika Asia ini tak terlihat seperti ilmuwan yang kebanyakan bermain rumus, dengan ciri kepala botaknya. Yo tampak santai dan jauh lebih muda dari usianya. "Saya selalu berusaha hidup secukupnya. Tak mau memikirkan yang aneh-aneh. Paling penting, kalau kita banyak menolong sesama, bakal didoakan banyak orang," jelasnya.

Selain fisika dan matematika, Yo memang tak punya banyak hobi lain. Membaca bisa menenggelamkannya berjam-jam, di samping bermain sambil mengajari anak-anaknya fisika. Waktu luangnya, mulai pukul 21.00 - 01.00 digunakan untuk menulis buku dan artikel. Olahraganya hanya jalan kaki dari rumah ke kampus yang letaknya tak jauh. Waktu tidurnya rata-rata empat jam sehari. "Setiap pagi saya minum jus empat buah apel, plus segelas susu," tutur Yo.

Ia mengaku tak pernah makan suplemen untuk memperkuat otak. "Buat saya, otak itu seperti pisau, makin sering diasah, makin tajam." Membaca merupakan salah satu cara mengasah otak. Konon, Yo dapat "melumat" buku ratusan halaman berbahasa Inggris hanya dalam waktu empat jam!

Dengan dedikasi dan jasa demikian besar buat perkembangan ilmu fisika di Indonesia, keberatankah jika orang menjuluki Anda Bapak Fisika Indonesia? Yo cuma tertawa sembari menukas, "Janganlah. Itu terlalu tinggi. Saya hanya fasilitator. Saya cukup senang ada anak-anak yang mendapat emas, bahkan Nobel," bilangnya mantap. Yo mengaku menikmati betul posisi dan peran yang disandangnya kini. "Tiap orang harus punya kesadaran itu," tutupnya, sedikit berfilosofi.

Begitulah Yo. Seperti padi, tak pernah teriak-teriak meski saban hari memberi makan separuh lebih penduduk Bumi.

Sumber : Intisari (Agustus 2003)

Selasa, 21 Agustus 2007

Great Teacher Prof. Chang Ngee Pong

As a student and person who has aspire and willing to be a good person, I couldn't hide my heart if I get something special. Yes of course, it has good sense. This morning, I was happy and salute to Prof. Chang, he is Profesor in Physics at NTU and CUNY College New York. His research field in High Energy Physics, eventhough he teach Physics for us generaly but deep. Inside of that, the main point what make me enjoy is he teach us to be a good person not only as engineer but rather. He doesn't like proud, and humble others.....Based on my experienced, very rare I met great person said the same thing....Thank you Profesor Chang, your suggested will be remembered by me.....(by Iwan, NTU, August 22, 2007)

Kamis, 16 Agustus 2007

Terharu.............

Sulit sekali diexpresikan ketika ada orang yang paling dihormati memberikan sebuah petuah dan suggest yang cukup bijaksana....ya, barusan saya alami itu ketika harus menentukan sikap, orang tersebut adalah Profesor Sun Xiaowei, beliau adalah ketua grup riset mikroelectronic, NTU.

Saya berharap banyak para Profesor atau pimpinan di Indonesia, negeriku, menjadi seorang pimpinan yang memiliki jiwa "tut wuri handayani"......semoga...

by iwan

Jumat, 10 Agustus 2007

Hidup???

Sebuah Pendapat tentang Hidup


Ya, kalo kita pelajari, hidup ini memang sudah bisa kita prediksikan siklusnya. Dalam prosesnya, sebagai manusia kita dituntut untuk jeli. Jeli disini, saya maksudkan adalah perlu kecerdasan untuk menyiasati bagaimana hidup kita agar memiliki arti yang optimal. Arti? Arti menurut saya sangat bergantung dari tiap individu yang menyikapinya. Tentu, arti itu merupakan sebuah parameter pencapaian yang ingin kita raih. Prosesnya kadang mengalir begitu saja, namun ada orang yang sudah dibekali skenario hidup sejak kecil entah dari lingkungan keluarga atau motivasi yang kuat dari orang tua yang menanamkan bentuk sebuah cita yang lebih konkret. Disini kita harus bijak menyikapinya, kehidupan yang kita jalani hakikatnya merupakan hasil dari sebuah proses. Nah, ketika kita melihat hasil pencapaian secara nyata tidak seperti yang diharapkan, banyak diantara kita menyesali hidupnya dengan berbagai cara yang negatif. Namun ada beberapa orang yang sadar dan dapat mengambil sebuah pemahaman sehingga dia mampu mengarahkan hidupnya ke arah yang lebih baik.

Dalam kamus hidup saya, saya menanamkan bahwa saya harus bisa, berpikir positif, be commit, kerja keras, dan bermimpi akan masa depan (tentu yang positif)...Ya, namun kadang ketika kita dihadapkan kepada hal yang bersifat human being, such as heart, itu tidak mudah bagi kita. Mengapa? Begini, ketika kita menyampaikan sesuatu yang menurut kita benar dan jujur, itu bukan berarti benar menurut orang lain. Hal inilah yang sering membuat friksi di dalam kehidupan. Akhirnya, yang perlu ditekankan adalah sebuah prinsip. Prinsip disini saya lebih mengartikan sebagai sebuah keyakinan akan fisi yang kita pilih tentu dengan argumentasi yang kuat.

Kadang saya juga merenung, ketika apa yang kita peroleh telah didapat, mimpi lain akan muncul. Hati kita lalu memprosesnya secara kimiawi dan dimanage oleh otak lalu merangsang diri kita untuk memiliki motivasi lagi mencapai dan mengkonkretkan mimpi....terus dan terus seperti itu. Hal ini sah-sah saja dan mungkin bagus, terutama untuk meningkatkan kinerja kita. Namun sampai kapan kita akan puas dalam menapaki hidup yang kita jalani????

By Iwan, Graduate Hall, Friday 10, 2007

Rabu, 08 Agustus 2007

Coba direnungkan...

................
Many jobs require not just time, but full commitment from the employees. As money is no longer seen as the only good form of compensation for the dedication required, employees must draw motivation and interest from the job. Knowing what job or career is suitable for you is one of the most important decisions of your life. Why are you going through so many years of education? Why are you pursuing a university degree? What kind of job or career will give you the motivation and interest you will need to go to work each morning? Know and plan your career path as soon as possible. Start by managing your career even while you are completing your university education. (adopted from Career talks, NTU)
................

Senin, 06 Agustus 2007

Following the law

A guide for the perplexed graduate student doing research.


By. Irving P. Herman
Prof. of Applied Physics at Columbia University,
New York


Going to graduate school to pursue a doctorate is a major commitment of time and effort. It is not for everyone. Once in a graduate programme, choosing a research adviser is perhaps the most important decision a student can make. Likewise, choosing the right students is essential for the careers of advisers. It is obvious that mentors and students must have common research interests and compatible work habits. But it is sometimes less obvious that they must learn to communicate with each other. Developing a functional working relationship is important even between 'good' students and 'good' advisers, and this often takes some time.

In this spirit, I offer 20 'laws' as a guide to graduate students doing thesis research. Each contains sound advice about the facts of life in graduate research, particularly from the viewpoint of a thesis adviser. Several have been slightly exaggerated for effect, or are not to be taken too literally. Some clearly pertain to experimental research, although they have obvious counterparts for other types of research.

I developed these laws to help motivate some of the graduate students in my group, to explain how to be an effective student and to convince them that supervised research is a symbiotic (although not symmetric) interaction between student and adviser. I admit that I am not always successful in this endeavour.

Supervised research is a symbiotic (although not symmetric) interaction between student and adviser.

I also use these laws as general advice for graduate students in my department. All doctoral candidates in the department receive a copy of the laws when they enter our programme, to help them understand how to work with an adviser as they move from the undergraduate mode of taking courses to the graduate mode of conducting supervised research. These laws seem to resonate with my faculty colleagues, and several have posted them and used them.

Although the laws require no interpretation, students may understand them better by understanding their advisers better. Advisers, including my own students' adviser, love to recall the 'good old days' when they were graduate students. They all worked 20-hour days, seven days a week, and they never slept. They needed to build from scratch every instrument they used in their work and they thought of every idea in their theses. And, most importantly, they always, always, took to heart their advisers' every suggestion and acted on each promptly.

On a more serious note, there are some real overarching themes in the laws. In research, being right is paramount, and ideas and results must be evaluated using objective methods untainted by egos. Productive people are productive because they have good work habits. Students need to grow professionally and advisers need to assist them. The relationship between graduate student and adviser truly is symbiotic. (See box)

The Laws of Herman
1. Your vacation begins after you defend your thesis.

2. In research, what matters is what is right, and not who is right.

3. In research and other matters, your adviser is always right, most of the time.

4. Act as if your adviser is always right, almost all the time.

5. If you think you are right and you are able to convince your adviser, your adviser will be very happy.

6. Your productivity varies as (effective productive time spentper day)1,000.

7. Your productivity also varies as 1/(your delay in analysing acquired data)1,000.

8. Take data today as if you know that your equipment will break tomorrow.

9. If you would be unhappy to lose your data, make a permanent back-up copy of them within five minutes of acquiring them.

10. Your adviser expects your productivity to be low initially and then to be above threshold after a year or so.

11. You must become a bigger expert in your thesis area than your adviser.

12. When you cooperate, your adviser's blood pressure will go down a bit.

13. When you don't cooperate, your adviser's blood pressure either goes up a bit or it goes down to zero.

14. Usually, only when you can publish your results are they good enough to be part of your thesis.

15. The higher the quality, first, and quantity, second, of your publishable work, the better your thesis.

16. Remember, it's your thesis. You (!) need to do it.

17. Your adviser wants you to become famous, so that he/she can finally become famous.

18. Your adviser wants to write the best letter of recommendation for you that is possible.

19. Whatever is best for you is best for your adviser.

20. Whatever is best for your adviser is best for you.

These laws were inspired by the 'Laws of the House of God' from The House of God by Samuel Shem (Richard Marek, 1978), which provided a somewhat different brand of advice to medical interns. The author thanks Jonathan Spanier, Yigal Komem and other colleagues for suggestions.