Jumat, 21 Desember 2007

Renungan akhir tahun....


hhhmmmm....tahun 2007 bagi saya adalah tahun yang penuh dengan sejarah bagi hidup saya. Di awal tahun 2007, hal bersejarah dimulai ketika saya dinyatakan lulus seleksi untuk mengikuti program doktoral di School of Electrical and Electronical Engineering, Nanyang Technological University, Singapore. Saat itu saya gembira dan merasa lebih optimis dalam menjalani hidup ini. Awal tahun tersebut sebenarnya saya sudah diminta langsung datang untuk melakukan research. Namun karena pertimbangan berbagai hal saya meminta kepada Profesor Sun Xiaowei untuk menunda hingga bulan July. Alhamdulillah permintaan saya dikabulkan.

Kegiatan saya sejak awal tahun hingga bulan awal bulan Juli 2007, lebih tercurah pada kegiatan praktikum Fisika Lanjutan, mengajar di Fakultas Teknik UI untuk bidang Fisika Dasar, pembinaan guru madrasah di Propinsi Banten dan olimpiade sain nasional tingkat DKI. Sedangkan aktivitas lain selain kegiatan kampus, saya masih disibukkan dengan urusan sertifikat rumah yang tak kunjung selesai hingga sekarang. Ya kebetulan saya membeli rumah di tengah pemukiman padat penduduk di daerah Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis Depok. Mengapa saya memilih perumahan biasa di tengah pemukiman penduduk yang traditional? alasan saya simple saja, di lingkungan itu kita akan lebih merasa hidup dengan penuh dinamika sosial yang beragam. Sempat saya melihat-lihat perumahan yang berkelas real estate, namun saya kurang sreg dengan gaya hidup mereka yang terkesan kurang bernuansa kebersamaan atau lebih individualis dan lebih kapitalis.

Suasana di perumahan yang saya tempati sejak pertengahan tahun 2006 sungguh unik. Mereka pada umumnya berasal dari daerah. Kadang kalau sedang berkumpul dengan Bapak-bapak di perumahan tersebut saya merasa enjoy, kadang bermain catur bersama, ngobrol tentang pola hidup, saling menasihati, dsb. Bila saya berkaca pada pengalaman saya yang terbiasa menjadi anak rumahan ketika saya memiliki rumah sendiri di lingkungan masyarakat yang heterogen, saya kadang sanksi untuk bisa bisa bermasyarakat dengan baik. Namun, dengan perjalanan waktu saya bisa menyesuaikan diri untuk bisa memahami bagaimana hidup bermasyarakat itu. Dari pengalaman itu saya banyak belajar tentang karakter masyarakat yang heterogen, ada yang pasif, emosional, ingin menonjolkan diri, ramah, rajin ke masjid, senang bermain, senang ngobrol, dll. Karakter mereka tentu menjadi catatan penting buat saya untuk lebih bisa melakukan komunikasi karena saya paham bahwa tingkat pemahaman masyarakat juga berbeda, tingkat pendidikan berbeda, budaya berbeda, dsb. Sejak saya tinggal di perumahan baru itu, ada kesan yang sampai sekarang saya ingat. Begini, ada tetangga di luar perumahan yang heran kepada saya, dia mempertanyakan kenapa saya sudah s2 dan lulusan luar negeri mau ngobrol dan berbaur sama mereka. Memang bila di lihat, masyarakat di luar perumahan tersebut dari jenjang pendidikan tidak begitu tinggi. Banyak dari mereka bekerja sebagai tukang ojek, tukang bangunan, penjual bakso keliling, buruh pabrik, satpam, dsb. Nah, ketika itu saya menjawab pertanyaan tetangga saya dengan menyadarkan beliau bahwa meski saya berpendidikan s2 dan lulusan luar negeri, saya adalah manusia biasa dan butuh pertolongan orang lain. Jadi tidak ada alasan buat saya untuk sombong dan bangga diri dengan membatasi pergaulan secara kaku dengan lingkungan. Dalam bergaul di lingkungan masyarakat, secara pribadi saya berusaha fair, hidup tidak neko-neko, dan berusaha untuk tidak mencampuri serta membicarakan apa yang tetangga miliki dan tetangga kerjakan. Dari pengalaman hidup di perumahan itu, saya semakin sadar bahwa kita lahir dan dibesarkan dengan budaya yang berbeda, budaya yang kita miliki berpengaruh juga pada pemahaman pengetahuan yang kita dapatkan, nah apabila kita mampu mengambil hikmah secara positif semua itu, saya kira dengan semakin tingginya pendidikan yang diperoleh, kita akan dapat lebih mengerti keadaan lingkungan yang ada dan menjadikan diri kita baik di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan keluarga, saya selalu mendidik istri supaya jangan terlalu sering mengobrol hal-hal yang tidak perlu. Hal itu dengan alasan untuk menjaga hati kita dari sifat riya, dengki, iri, dan penyakit hati lainnya seperti yang sering di dengar pada ceramah Aa Gym.

Pada bulan Juni 2007, bulan itu juga peristiwa bersejarah bagi adik saya yang baru menikah pada bulan November 2006 dengan perwira karir angkatan laut, Letda Drg Freddy Budi Darmawan. Adik saya bernama Ade Ratnawati, dia baru saja lulus menjadi dokter gigi pada bulan Maret 2007 dari Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Ohya, kebetulan kami adalah dua bersaudara yang dibesarkan oleh didikan orang tua yang cukup mengedapankan pentingnya mengejar pendidikan. Sejak kecil orang tua saya selalu tegas dan disiplin dalam mengatur kami untuk belajar. Alhamdulillah didikan beliau berdua, mampu menjadikan kami juga sadar dengan baik betapa ilmu pengetahuan dan pendidikan itu memang sebuah modal yang amat berharga. Nah di bulan Juni itulah, saya dan ibu saya mengantarkan adik ke tempat tugas suaminya yang berada di daerah Sulawesi Utara, tepatnya di daerah Bitung. Baru pertama kali bagi saya menapakkan kaki di daerah pulau Sulawesi. Di sana saya menjadi lebih sadar bahwa bangsa Indonesia memang bangsa yang besar secara geografis. Di Bitung, saya melihat budaya yang sangat berbeda dengan dengan daerah di pulau Jawa. Di sana alamnya masih hijau, mayoritas penduduk beragama Kristen, kehidupan masyarakat cukup aman, toleransi beragama terasa baik, dan yang pasti saya tidak melihat kemacetan seperti yang sering saya alami di Jakarta. Kebetulan rumah dinas yang di tempati oleh adik saya berada di tengah kota Bitung dan dekat dengan pelabuhan, jadi setiap hari selama saya disana saya selalu menikmati sibuknya masyarakat kota pelabuhan dengan aneka kegiatannya. Bitung adalah kota pelabuhan di Sulawesi Utara, dan di sanalah markas angkatan laut berada. 3 hari di Bitung saya lalui dengan jalan-jalan di kota itu, jalan-jalan ke pangakalan angkatan laut dan kita juga jalan-jalan ke kota Manado yang ditempuh dalam waktu 1 jam menggunakan mobil pribadi dari kota Bitung. Manado tentunya lebih modern dan ramai bila dibanding Bitung. Ya, secara garis besar saya menilai 2 kota tersebut cukup membuat saya ingin berkunjung lagi ke sana....

Pada bulan Juli 2007, saya berangkat ke Singapur untuk melanjutkan studi doktoral. Alhamdulillah semua urusan administrasi cukup lancar saya urus. Hebatnya ketika saya datang saya hanya confirm saja semua yang sudah saya urus melalui online dari website NTU, dan untuk urusan imigrasi, saya juga mengurusnya melalui online, ketika tiba di Singapur semua sudah ok. Sungguh luar biasa sistem yang diterapkan oleh pemerintah Singapore. Ketika pertama kali saya aktif riset dan kuliah, kesan saya adalah bangga dan senang. Bangga karena saya bisa bergabung di bawah bimbingan Profesor yang bijaksana dan memiliki teman-teman yang rajin, baik, pekerja keras. Senang karena infra struktur dan budaya pendidikan serta riset sukup kondusif, jauh bila saya bandingkan dengan Indonesia. Semua itu merupakan hal yang tiada ternilai.

Di tahun 2007 pula tepatnya dalam kurun waktu bulan Agustus-Desember ini, saya harus memilih tempat untuk mengabdi sekembalinya saya ke Indonesia. Saya dalam waktu yang bersamaan mengikuti dua tes menjadi dosen di Universitas Indonesia, UI (almamater saya) dan Universitas Negeri Jakarta, UNJ. Dua universitas tersebut secara status berbeda, UI adalah universitas otonom (BHMN) sedangkan UNJ adalah universitas negeri yang masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dalam tes yang saya ikuti, dari info yang saya peroleh bahwa hasil tes sikologi saya di UI cukup baik, namun karena tahapan tes yang harus dilalui memakan waktu yang panjang maka saya tidak mengikuti tes kedua. Bersamaan dengan itu, saya mengikuti tes pula di UNJ dikarenakan saya berusaha untuk realistis dan tidak mau bermain dadu dengan umur dan waktu. Alhamdulillah, atas kehendaknya jua, saya berhasil lulus seleksi menjadi dosen di UNJ dengan proses yang cepat.

Nah begitulah secara garis besar hal bersejarah yang saya alami di tahun 2007. Semoga di tahun 2008 kelak, kita dapat melangkah menuju hal yang lebih baik sesuai dengan pepatah hari esok harus lebih baik, hari kemarin jadikanlah pelajaran. Hanya orang merugilah apabila merasa sudah berlari cepat namun kenyataannya masih ditempat, hal itu bagai marmut yang berlari kencang di roda berputar.

Akhirnya saya ucapkan happy new year 2008, best wishes for all of you....

ZnO nanocomb

Here, I uploaded one of report on ZnO application as biosensor. My Professor explained some uniques properties of ZnO nanocomb.

taken from :http://www.nanowerk.com/spotlight/spotid=614.php

A zinc oxide nanocomb biosensor for glucose detection
(Nanowerk Spotlight) New research shows that ZnO nanostructures are suitable for electrochemical biosensors. The enzyme used for glucose detection, glucose oxidase, was attached to ZnO nanocombs which resulted in a biosensor that exhibits a high affinity, high sensitivity, and fast response for glucose detection. This simple method of fabricating a ZnO based biosensor can be extended to immobilize other enzymes and other bioactive molecules on various 1D metal oxide nanostructures, and form versatile electrodes for biosensor studies.
This first report of constructing ZnO nanostructure glucose biosensors, titled "Zinc oxide nanocomb biosensor for glucose detection" was published in the June 5, 2006 issue of Applied Physics Letters.
Professor Xiaowei Sun from the School of Electrical and Electronic Engineering at Nanyang Technological University in Singapore, one of the report's authors, explains to Nanowerk: "We found that ZnO nanostructures, nanocombs in our case, can effectively modify the gold electrodes in the application of electrochemical biosensing." Sun explains several unique aspects of ZnO:
(1) A large isoelectric point (IEP) of 9.5, which allows it to attract low IEP proteins in a neutral solution by electrostatic attraction. This is a strong force that makes ZnO a better material to immobilize proteins (in our case, glucose oxidase);
(2) ZnO is a transparent conductor traditionally used as transparent electrodes for flat panel displays and solar cells, meaning it is a good electron communicator which can collect electrons generated in oxidizing glucose very efficiently and send them to the gold electrodes;
(3) ZnO nanostructures have large surface areas, indicating the device is sensitive and has fast response; in particular our nanocomb forms a dense network for large loading of enzyme and charge transferring channels;
(4) Other advantages include nontoxicity, chemical stability, and preserving the activity of the enzyme loaded.
SEM image of a ZnO nanocomb (Reprinted with permission from the American Institute of Physics)
"Typical electrochemical glucose biosensors using gold electrodes have low sensitivity" explains Sun. "Using our ZnO nanocomb electrodes, high loading of enzyme can be realized to enable a high sensitivity biosensor. Moreover, our ZnO nano electrodes can be used for other biosensors by changing the enzyme."
"Historically, we have been working on ZnO and its nanostructures, and we are constantly looking for new applications of these nanostructures" says Sun. "Looking ahead, we can expect a cheap and high sensitivity biosensor as a result of our work. Of course, we need to do more experiments to test out the durability and some manufacturing issues."
By Michael Berger, Copyright 2006 Nanowerk LLC. All rights reserved.

Rabu, 19 Desember 2007

loyalkah saya terhadap almamater.....

Tulisan ini dibuat sebagai alasan mengapa saya menjadi PNS di Universitas Negeri Jakarta.

"Tiada motivasi lain untuk terjun ke dunia pendidikan selain panggilan jiwa, tiada motivasi lain untuk tidak loyal dengan institusi yang membesarkan saya selain realitas yang saya alami, semua ini saya tentukan mengingat waktu yang berlalu dengan cepat sehingga menuntut kita cepat pula untuk bertindak"

Semenjak lulus sarjana Fisika pada tahun 2001, saya memutuskan untuk terjun dalam dunia pendidikan dan riset. Bagi saya dunia pendidikan dan riset adalah dunia yang mulia dan penuh dengan amal kebaikan. Perjalanan karir saya dimulai dengan aktif menjadi asisten mengajar dari beberapa dosen di lingkungan Departemen Fisika seperti Dr. Supriyanto, Dr. Budhy Kurniawan, Dr. M. Hikam, (Almh)Dra. Sri Soejati M.Sc, Dra. Ganijanti, M.Si, Dr. Rachmat W. Adi, Dr. Cuk Imawan dan Dr. Djoko Triyono. Sedangkan selain aktif menjadi asisten mengajar saya juga aktif menjadi asisten di laboratorium Fisika Dasar, Fisika Lanjutan, dan asisten peneliti di laboratorium electron spin resonance (ESR). Suka duka menjadi asisten selama kurun waktu 2001-2004 saya jalani dengan penuh kesabaran. Dari tahun 2001 hingga 2002, saya benar-benar hidup dengan mengandalkan honor sebagai asisten yang besarannya jika dirata-rata hanya Rp. 800.000,00, honor sejumlah itu saya dapatkan bila saya mengajar sebagai asisten di fakultas teknik dan di program diploma instrumentasi elektronika. Beruntung pada tahun 2002 ketika itu saya mendapatkan kesempatan mendapatkan beasiswa BPPS pada program s2 magister Fisika 2002/2003. Beasiswa itu dapat membuat saya sedikit bernapas lega. Dalam kurun waktu 2002-2004, aktivitas saya sebagai asisten masih berjalan paralel dengan kuliah s2 Fisika yang saya jalani namun tentunya jam mengajar sebagai asisten pastinya berkurang. Bersyukur kuliah s2 bagi saya tidak banyak menemui kesulitan, sehingga dalam dua semester saya bisa melunasi beban kuliah yang diwajibkan. Dan pada tahun 2003/2004, saya sudah memulai riset s2 dengan bimbingan Dr. Budhy Kurniawan. Saat itu beliau juga masih memegang jabatan sebagai sekretaris Departemen Fisika.

Semasa saya aktif di dunia pendidikan dan riset di lingkungan Departemen Fisika wacana tentang universitas otonom cukup menjadi bahan perbincangan yang hangat dikalangan para staf honorer baik staf pengajar maupun staf non akademik. Saya dapat maklumi, karena meski Universitas Indonesia (UI) adalah salah satu Universitas besar namun masih banyak permasalahan yang perlu dibenahi dalam menjadikan dirinya universitas yang benar-benar otonom (BHMN=badan hukum milik negara).

Hingga pada tahun 2004, tepatnya bulan Agustus, saya lulus mendapatkan gelar Master dan pada bulan Agustus ditahun yang sama saya harus terbang ke Italia untuk melanjutkan studi post magister di the Abdus Salam International Centre for Theoretical Physics (ICTP), Trieste. Dalam tulisan ini saya ucapkan terima kasih lagi kepada Bapak Dr. Rachmat W Adi (Beliau adalah orang yang sangat berjasa dalam memotivasi saya untuk studi hingga saya mendapatkan posisi s3 di divisi mikroelektronik, EEE-NTU, Singapur). Ketika saya lulus dan berangkat ke Italia, UI masih dalam proses perubahan dan perbaikan sistem menjadi sebuah universitas BHMN.

Sekembalinya saya dari Italia pada tahun 2005, dalam kurun waktu 2 bulan saya mengalami kesulitan ekonomi karena saya belum punya penghasilan dan masih mencari peluang ngajar private lagi. Beruntung saat itu saya dapat pertolongan Dr. Rachmat W. Adi yang cukup perhatian dengan saya. Beliau memberikan kepercayaan pada saya untuk turut terlibat dalam even pembinaan Fisika di DKI Jakarta. Saat itu saya mengalami kekecewaan terhadap institusi yang membesarkan saya, karena mereka seolah cuek dengan kepulangan saya. Akhirnya demi menunjang hidup saya yang kebetulan juga sudah berkeluarga, sejak kepulangan saya dari Italia saya aktif membantu dalam pembinaan Fisika di daerah DKI. Sementara sebagian orang mungkin memandang bahwa saya tidak memiliki loyalitas. Ironis, mengapa saya katakan demikian? ketika orang menjustifikasi bentuk loyalitas seharusnya orang tersebut berkaca pada realita yang ada. Jadikanlah realita yang ada sebagai referensi sebelum menjustifikasi orang lain tidak loyal atau loyalitasnya dipertanyakan. Ketika itu kehidupan ekonomi saya sungguh sulit, sementara lingkungan masyarakat, keluarga, teman, dll memandang saya sebagai dosen di UI bergelar Master dan post Master dari ICTP. Tapi bagaimana realitasnya? mendapatkan honor dari UI pun pada awal kepulangan saya dari Italia tidak. Bahkan saya saat itu harus sibuk mencari tambahan dengan mengajar private. Dan pada Desember 2005, saya mendapatkan kesempatan mengikuti tes Hitachi untuk melanjutkan studi ke Jepang. Namun saat itu semua kandidat dari UI gagal diterima oleh Hitachi. Ketika itu saya sedikit kecewa, karena saya harus memikirkan bagaimana survive dengan keadaan saya yang belum jelas. Pada bulan Desember saat itu kebetulan Dr. Budhy Kurniawan yang masih menjabat sebagai sekretaris Departemen Fisika UI menunaikan ibadah Haji. Akhirnya beberapa tanggung jawab beliau saya turut bantu untuk menyelesaikannya. Saya berusaha mengerjakan semua yang diamanahkan oleh beliau sebaik yang saya bisa. Tentu saya kerjakan dengan berbagi waktu dengan kegiatan saya mengajar di tempat lain (privat). Ketika itu satu semester saya tidak dapat honor dari UI, pun dapat hanya dari honor yang saya peroleh ketika menggantikan dosen yang berhalangan tidak hadir atau menjaga ujian. Akhir bulan Desember terjadi pergantian pimpinan di lingkungan FIsika UI. Pimpinan FIsika saat itu adalah Prof. Dr. Djarwani, sebelum beliau habis masa jabatannya, UI memebrikan kesempatan untuk para staf honorer mengikuti tes menjadi pegawai BHMN. Nama saya kebetulan masuk daftar untuk ikut tes tersebut. Namun pada akhirnya nama saya dicoret dengan alasan bahwa status saya yang masih belum jelas berpijak ke peminatan material dan loyalitas saya yang masih dipertanyakan. Akhirnya saya gagal mengikuti tes pegawai BHMN. Jujur ketika itu saya cukup kecewa dengan kebijakan dan realitas yang saya hadapi. Saya merasa sudah memberikan loyalitas, dengan sabar tidak mendapatkan honor dari Fisika UI dalam mengerjakan beberapa tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinan. Pada bulan Februari 2006, akhirnya saya dibantu oleh Dr. Abd Haris untuk membantu beliau di divisi riset dan pengabdian masyarakat (DRPM) FMIPA UI atas dukungan senior saya Kak Dede. Sejak itu saya aktif di DRPM membantu mengerjakan proyek pembinaan olimpiade sain se DKI Jakarta dan pembinaan guru-guru madrasah se Propinsi Banten. Karena bulan itu adalah awal dari semester genap, sehingga saya juga mendapatkan jatah ngajar di Fakultas Teknik yang diberikan oleh Ibu Ganijanti (Ibu Ganijanti adalah dosen yang paling saya sayangi setelah meninggalnya Ibu Sri Soejati). Alhamdulillah kegiatan tersebut mengobati kekecewaan saya selama 1 semester sejak September 2005-Januari 2006. Perlu diketahui bahwa perkenalan saya dengan Pak Haris sudah terjalin sejak tahun 1998/1999. Beliau bagi saya seperti teman dan Kakak, jadi hubungan kita bisa dikatakan cukup dekat. Selama aktif di DRPM pula saya mengenal sosok wanita yang baik menurut saya, beliau adalah Mbak Vicky, saya menganggap beliau seperti kakak saya yang kadang menjadi tempat curhat bila saya ada masalah pribadi.

Sejak aktifnya saya di DRPM, selentingan-selentingan tajam yang menyatakan kekurang loyalitasan saya terhadap Departemen Fisika semakin membuat saya gerah. Mengapa loyalitas dijadikan suatu argumen untuk mengkambingkan hitamkan seseorang? ketika aktif di DRPM pun nama Fisika turut harum. Ketika kita presentasi di kalangan masyarakat nama Fisika UI lekat di nama saya. Ketika proyek berhasil diamanahkan di DRPM FMIPA UI, proyek itu pun buat kesejahteraan bersama di lingkungan FMIPA UI. DRPM FMIPA UI pun turut menggandeng sejumlah dosen Fisika untuk terlibat, dan itu bukti bahwa keterlibatan saya di DRPM juga sebagai ujud loyalitas saya ke Departemen Fisika UI. Aktifnya saya dalam menjalankan laboratorium Fisika Lanjutan bersama Dr. Djoko Triyono itu pun sebagai ujud loyalitas saya. Aktifnya saya dalam membantu riset mahasiswa s2 di bawah bimbingan Dr. Budhy Kurniawan itu pun ujud dari loyalitas, dan masih banyak lagi bentuk loyalitas yang menurut saya sudah tercurah buat almamater tercinta dengan menomorduakan uang/honor. Walau kadang apa yang menurut saya ujud loyalitas, orang lain menafsirkan berbeda.

Ketika terdengar kabar akan ada tes pegawai BHMN berikutnya, saya diminta untuk lebih memberikan loyalitas ke Departemen Fisika UI. Saat itu saya dipanggil pimpinan terpilih Dr. Azwar Manaf dan Dr. Yunus Daud. Saya diminta untuk bergabung dalam tim promosi Fisika UI. Dengan sikap terbuka saya menjelaskan tentang aktivitas saya di DRPM, karena saya dituntut lebih banyak waktu di Departemen Fisika UI, maka saya secara terus terang minta ke Pak Haris agar waktu saya di DRPM dikurangi. Alhasil sebagai konsekuensi logis, penghasilan yang saya peroleh berkurang dari DRPM. Namun bagi saya itu tidaklah penting, yang penting adalah membuktikan bahwa saya cukup loyal kepada institusi dan almamater saya.

Tes pegawai BHMN yang saya tunggu tidak juga ada, hingga akhirnya saya berangkat meneruskan studi s3 di Singapur. Pada bulan Agustus, saya diminta pulang oleh pimpinan Departemen Fisika untuk mengikut tes pegawai BHMN. Alhamdulillah saya bisa datang untuk mengikuti tes tersebut. Namun saya cukup kecewa dengan proses administrasi yang cukup lama. Saya berpikir, kenapa institusi sebesar UI tidak mampu menyelenggrakan proses seleksi yang profesional. Dan kenapa dalam proses penerimaan pegawai UI kebijakan UI sangat arogan? itu membuat saya tidak habis pikir. Mengapa saya katakan arogan, sebagai contoh, banyak para staf honorer yang sudah berumur dan mempunyai keluarga gagal dalam proses seleksi tersebut. Jika dilihat kebelakang, mereka sudah cukup mengabdi memberikan yang terbaik buat UI. Mengapa UI tidak memberikan balasan yang setimpal dengan menerima saja mereka menjadi pegawai UI, karena dengan gagalnya mereka di tes banyak faktor yang mempengaruhi. Mereka tidak muda lagi, stamina sudah berkurang dan mereka harus berkompetisi dengan staf yang berumur lebih muda. Toh barometer layak atau tidaknya seseorang menjadi dosen tidak hanya digantungkan pada proses seleksi yang melihat hanya dari beberapa sisi saja. Pun akhirnya mereka yang gagal tes masih terlibat dalam aktivitas pendidikan dan riset di lingkungan UI sendiri. Jika terjadi sesuatu dengan keluarga mereka siapa yang bertanggung jawab? sanggupkah bagian dari UI bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup mereka? Mereka sudah berkorban umur, namun mereka tersia-sia oleh besarnya nama UI. Saya harapkan, UI dapat lebih bijak lagi membuat keputusan. Berbuatlah bijak sebesar nama besarmu.

Dua minggu setelah saya mengikuti tes 1 pegawai BHMN UI, saya mendapatkan ucapan selamat dapat kembali mengajar di UI dari Ibu Sri Fatma melalui email (psikolog yang menginterview saya). Saya berpikir kenapa beliau mengucapkan selamat? mungkin karena saya lulus tes pertama dan bisa mengikuti tes kedua. Namun tes kedua saya tidak bisa datang dikarenakan waktu pemberitahuan yang cukup pendek, sedangkan saya kala itu sudah menyiapkan tiket untuk pulang lebaran. Pada pemberitahuan tes kedua saya pun dikejutkan dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh para dosen honorer untuk tes itu. Saya berpikir mengapa Departemen tidak membiayai saja? ataukah dengan membayar sendiri merupakan barometer loyalitas? toh besarannya pun tidak akan merugikan departemen. Sungguh aneh? Akhirnya saya hanya mengikuti tes tahap pertama saja, dikarenakan waktu yang pemberitahuan yang pendek, masalah keuangan, dan waktu tes bersamaan dengan seminar di Institute of materials research and engineering (IMRE), Singapore.

Mungkinkah hal ini menjadi kisah akhir saya berada dalam lingkungan civitas akademis di UI? Wallahu alam. Realitanya, sekarang saya sedang menempuh s3 bidang mikroelektronik. Dan beberapa bulan lalu saya disupport untuk mengikuti tes di UNJ untuk membangun Fisika UNJ. Tawaran tersebut saya terima karena saya berpikir realistis, mengingat setelah saya tidak mengikuti tes tahap 2 di UI, di masa depan tidak ada jaminan buat saya bisa menjadi pegawai UI. Akankah saya bermain dadu dengan umur yang kian bertambah? akankah saya bermain dadu dengan masa depan yang gaib? Tidak loyalkah saya pada akhirnya dengan almamater? menurut saya pertanyaan terakhir cukup dilematis, bila saya balik sanggupkah almamater menjamin saya menjadi tanggungjawabnya?

Alhamdulillah proses seleksi menjadi dosen UNJ yang meliputi tes nasional dan lokal dapat saya tempuh dengan lancar. Akhirnya saya berhasil lulus tes dengan baik menjadi staf dosen di Fisika UNJ. Mungkin UNJ akan menjadi nuansa baru dalam dinamika hidup saya di masa depan. Di sana saya juga sudah memiliki kolega yang saya kenal baik seperti Dr. Bambang Heru Iswanto, Dr. Erfan Handoko, dan dari Kimia UNJ Arif Rahman M.Sc (Alumni KIMIA UGM dan sahabat saya).Semoga apa yang saya pilih adalah yang terbaik dariNYa.

Buat segenap pimpinan Departemen Fisika UI (Dr. Azwar Manaf dan Dr. Yunus Daud), pimpinan FMIPA UI, dan senior-senior saya yang mungkin mengharapkan saya kembali ke UI, saya mohon maaf bila saya tidak cukup bersabar menunggu menjadi staf tetap di UI. Khususnya buat Bapak Dekan FMIPA UI, Dr Adi Basukriadi saya haturkan maaf apabila saya tidak bisa mengikuti nasihat Bapak kembali menjadi staf tetap UI dan saya haturkan terima kasih atas jamuan makan siang bersama sebelum saya berangkat ke Singapur. Buat Pak Rachmat W Adi, saya akan tetap membantu Bapak bila saya dibutuhkan, walaupun status saya kini adalah staf di UNJ. Buat Pak Cuk Imawan, terima kasih Pak atas segala motivasi dan pemikiran Bapak yang membangun diri saya. Buat Ibu Adne, terima kasih atas motivasinya. Buat Ibu Ocha selamat atas gelar Profesornya, saya akan komit membantu kerjasama antara UI dan NTU, dan saya sudah buktikan bahwa saya komit dengan pilihan untuk hidup dalam pahitnya dunia pendidikan dan riset di Indonesia. Buat Pak Djoko, terima kasih Pak atas kepercayaan yang sudah diberikan kepada saya untuk bersama-sama menjalankan laboratorium Fisika Lanjutan. Buat Pak Syamsu, terima kasih atas nasihat dan wejangannya selama terlibat pembinaan guru madrasah. Buat Pak Imam, saya jujur senang kerja bareng Bapak, sukses selalu Pak. Buat Ibu Sri Soejati almarhum, maaf Bu, saya tidak bisa sabar di UI, saya doakan Ibu bahagia di akhirat, saya sedih dan terharu serta bangga ketika sebelum berangkat ke Italia, Ibu sempat memeluk dan mencium saya, saya akan ingat terus Bu. Buat Pak Budhy, sabar Pak saya yakin Bapak akan mendapatkan yang terbaik sesuai apa yang Bapak citakan di UI dan untuk UI. Buat Ibu Ganijanti, saya akan berusaha jadi dosen yang baik kelak, dan tidak akan pernah sombong, saya sayang Ibu dan sudah menganggap Ibu sebagai eyang saya. Buat teman-teman staf muda di Fisika UI (Surya, Supri, dll), saya harapkan sikap besar hati, saling memiliki dengan menjauhkan sikap yang negatif harus dipupuk untuk kemajuan Fisika UI. Semoga sikap saya ini dapat menjadikan hikmah yang baik buat kemajuan Fisika UI.

At last but not least, Saya banyak mengambil hikmah dari semua yang pernah saya jalani dan alami. Semua kenangan baik indah dan buruk semua terekam diotak saya, namun semua saya ambil hal positifnya untuk mengimprove diri saya, yang negatif saya jadikan referensi untuk tidak berbuat dendam dan tidak dialami oleh orang lain. Ketika kita memperoleh pendidikan tinggi bukalah cakrawala berpikir sehingga kita lebih berpengetahuan dan berbudaya. Jadikanlah itu sebagai modal untuk menjadikan kita lebih bijak dan berpikir arif melihat segala masalah. Mohon maaf apabila segala apa yang saya tuangkan ini kurang berkenan namun itu saya ulangi lagi semata2 dimaksudkan untuk diambil hikmahnya.

oleh : Iwan Sugihartono

Saya alumni Fisika UI ;-)

Physics UI alumni go abroad 2007

http://www.fisika.ui.ac.id/?q=node/686

This year has been quite generously providing for those physics alumni who aspire to study in places far away from home. Thanks to Allah that has blessed us all. Duly we should also congratulate them all and wish them well in their studies.

Two alumni have found their way to Department of Physics, National Chongbuk University in Republic of Korea starting last May. (Mr. Dede Djuhana and Miss. Karina) News has been good and they are performing very well.

Iwan Soegihartono, a staff member of Department of Physics, finally found his place in Electrical Engineering Department, Nanyang Technological University in Singapore. Iwan will continue his research in thin film fabrication using Metallorganic Chemical Vapour Deposition for electronic device application. This shows that a good physicist is always welcome in any good electrical engineering department.

Yayan Sofyan, another staff member of Physics Department is also leaving for Kyushu University to do Phd program in geothermal monitoring. Geothermal is a new "renewable energy" highly sought after by power / utility industries and is coming to Indonesia with much higher speed during the last decade. University of Indonesia is determined to a major player in the new energy business and under the leadership of Dr. Yunus Daud has sent some staff to Kyushu University, a world leader in geothermal research and education.

Heribertus Bayu Hartanto has left for US. He will be joining Department of Physics, Florida State University. He will receive full scholarship under the scheme of teaching assistantship. Bayu will join 12 of our alumni who have been studying there. His acceptance shows how strong our alumni performance there and how confident FSU is with UI’s excellence in physics education.

Nowo Riveli has also left for Italy to attend one year post graduate program in High Energy Physics in the Abdussalam International Center for Theoretical Physics (ICTP). This program is very prestigious and usually their alumni will have no problem in applying to any universities of the world. He too will join several others alumni who has experience in ICTP.

Salvienti Makarim (F 92) who is already working in the Ministry of Marine and Fisheries (DKP) was accepted for advanced study in the field of marine / oceanography physics in Utrecht University, the Netherlands, particularly in studies of global climate change that also affects ocean and ocean’s life. Prior to her entrance to the Ministry of Marine and Fisheries, she was working with the Center for Marine Studies, Faculty of Mathematics and Sciences, University of Indonesia under the leadership of Dr. A. Harsono as a researcher and staff.

Still in the Netherlands, Asido Patar Nainggolan (F ’97) was accepted in Hogeschool van Arnhmem en Nijmegen (HAN University) in Department of Control System Engineering. He got a scholarship that pays his tuition in HAN University but he is working in KEMA an engineering company in Arnhem that will pay a salary for life expenses. Before his leave Asido was working for LEMIGAS in the field of remote sensing, GIS and digital mapping. He was also involved in designing Wireless Seismic Detection System there. Prior to his LEMIGAS duties, he was working with Center for Computing and Information Technology (PUSKOM), Faculty of Mathematics and Natural Sciences University of Indonesia also as a hardware programmer. He was one of very few alumni of physics instrumentation who, after very hard work, is very successful in engineering work and enters an engineering school despite his average GPA (2.6). We believe so many others students like him exist in our department.

A last minute news has arrived that Iin Lidiya Zafina who is an academic staff of Gunadharma University (F'94) is following similar program as Asido in the Netherland (Control System Engineering). Another smart girl of Physics, Pongky Ivo who has just finished Master in University of Groningan, the Netherland has left again Indonesia to do PhD program in one of Berlin Advanced Physics Laboratories doing research with GaN (Gallium Nitride), a very sought after materials for laser / photonics. Brava!

Assorted by
Dr. Rachmat Widodo Adi

Senin, 17 Desember 2007

Fenomena Mobil Mewah di Negeri Miskin....(bener2 lucu bangsa kita ini, hehehehe)

Fenomena Mobil Mewah di Negeri Miskin

dari :
Majalah Saksi No. 16 Tahun VII 11 Mei 2005

Walau masuk dalam deretan negeri termiskin (dan terkorup) di dunia,
gaya hidup pejabat Indonesia amatlah glamour. Ada kisah menarik dari
Prof. Nurcholish madjid. Kala masih sehat. Menjelang pemilu
legislative 2004 lalu, Cak Nur menyempatkan diri berkunjung ke
Redaksi Pikiran Rakyat, Bandung. Saat itu Cak Nur didaulat berbagai
komponen masyarakat untuk mencalonkan diri jadi presiden. Dalam
kesempatan itu, Cak Nur menyinggung gaya hidup para pejabat tinggi
Indonesia yang sering jadi bahan perbincangan sinis para petinggi
negara-negara lain. "Mereka bilang, Indonesia itu dikenal sebagai
negara yang utang luar negerinya sangat besar, tapi gaya hidupnya
mewah," ujar Cak Nur.

Ia memberi contoh konkret. Ketika para pejabat tinggi kita melawat
ke luar negeri untuk menghadiri sidang-sidang bilateral,
multilateral atau berskala internasional lainnya. Rombongan delegasi
kita itu datang ke tempat sidang dengan mengendarai mobil mewah.
Sebaliknya delegasi dari negara-negara lain yang juga datang ke
sidang yang sama justru mengendarai trem atau kendaraan
umum. "Padahal mereka adalah para pejabat tinggi dari negara-negara
kaya, termasuk yang memberi utang kepada Indonesia," ujar Cak Nur.

Orang asing pun heran melihat kenyataan sehari-hari di Indonesia
pada tahun-tahun awal krisis moneter yang berlanjut jadi krisis
ekonomi. Dalam suasana krisis pun, mobil mewah tetap berseliweran di
jalanan kota-kota besar di negeri ini. Sebagian masyarakat tetap
menjalani hidup mewah layaknya tanpa suasana krisis.

Sense of crisis agaknya memang barang teramat langka yang dimiliki
pejabat kita. Belum kering daratan Aceh akibat terjangan tsunami
tiga bulan lalu, pemerintah SBY-kalla sudah menghambur-hamburkan
uang rakyat untuk membeli 60 unit mobil Toyota Camry untuk pejabat
negara senilai Rp 21 miliar, yang awalnya dipakai untuk mobil
delegasi peserta KTT Asia Afrika di Bandung kemarin. Padahal Aceh
dan pelosok negeri, masih teramat banyak orang kelaparan.

Setelah digunakan untuk kegiatan KTT Asia Afrika, semua mobil itu
akan dijadikan mobil dinas pejabat negara. Sekretaris Negara Yusril
Ihza Mahendra memaparkan, 18 unit mobil akan digunakan oleh ketua
dan wakil ketua lembaga negara, 35 unit untuk para menteri, satu
unit untuk pejabat setingkat menteri, dua unit untuk isteri presiden
dan wapres, serta empat unit untuk cadangan.

"Anggarannya akan diambil dari APBN," ucapnya enteng. Tidak
dikatakan bahwa APBN itu asalnya uang rakyat yang dipajakin negara.
Dengan kata lain, rakyat Indonesia gajinya dipotong guna membelikan
para pejabat yang sudah makmur itu, termasuk isteri SBY dan isteri
Kalla yang sebenarnya tidak ikut dipilih rakyat, sebuah mobil Camry
luks berikut biaya perawatan dan segala aksesorisnya.

Walau "hanya" seharga Rp 350 juta per unit, hal ini juga dianggap
pemborosan. Sebab, mobil dinas para pejabat yang sekarangpun
sebenarnya masih sangat bagus.
Kalau pun untuk `menjamu' kepala negara delegasi KTT, maka mengapa
tidak menyewa mobil secara harian saja. Harga rental mobil mewah
hanya sekitar 5 juta perhari lengkap dengan supir dan biaya
perawatan. Dengan sewa 60 unit mobil mewah hanya butuh biaya Rp 300
juta. Bukankah ini jauh lebih murah ketimbang harus merogoh kocek Rp
21 miliar? Banyak kalangan menyatakan ini hanyalah akal-akalan
pejabat negara untuk ganti mobil baru. Gila, memang.

Sikap rezim SBY-Kalla tidak ada bedanya dengan kelakuan rezim-rezim
sebelumnya. Saat Mega berkuasa, saat KTT ASEAN di Bali 7-8 Oktober
2003, pemerintah memborong mobil BMW Seri 7 untuk para kepala negara
dan Seri 5 untuk pejabat setingkat menteri.

Harga BMW Seri 7 yang termurah (735Li) adalah Rp 1,88 miliar, sedang
harga termurah BMW Seri 5 (tipe 530) adalah Rp. 815 juta. Dengan
demikian, dana yang diperlukan minimal sekitar Rp. 50 miliar. Ini
taksiran terendah dan belum termasuk biaya pemeliharaan dan
sebagainya.

Waktu Gus Dur menghuni istana negara, ia juga bersikap sama.Pada KTT
G15 (konperensinya negara-negara miskin) pemerintahan Gus Dur
menyediakan 50 mobil mewah (dari rencana sebelumnya 400 unit) yang
terdiri dari Mercedes Benz Seri S-500, S-600, ML-320, Audi A-6,
Nissan Patrol, dan VW Caravelle. Puluhan miliar rupiah uang rakyat
dihambur-hamburkan. Negara dirugikan Rp 140 miliar dari kasus ini.

Di era Soeharto, untuk para kepala ekonomi negara-negara APEC pada
pertemuan di Istana Bogor (1994), 200 mobil mewah seperti Mercedes
Benz S-600 dan BMW 740 diimpor. Sebelumnya, pada KTT ke-10 Nonblok
tahun 1992, Soeharto juga mengimpor mobil luks built-up Mercedes
Benz 300 SEL (110 unit), Volvo 960 (210 unit), Nissan Patrol (210
unit), dan VW Caravelle (210 unit) untuk para delegasi.

Tabiat pejabat negara ternyata dengan amat baik diteladani oleh
pejabat daerah. Baru-baru ini, Gubernur Riau Rusli Zainal dikabarkan
membeli dua unit Mercedes Benz yang hanya akan dipakai selagi
berdinas di Jakarta. Hal ini menuai protes. Ketua LSM Forum
Masyarakat Peduli Indragiri Hulu (FMPI) Dedi Yusnianto menuntut agar
pembelian dua unit Mercedes Benz senilai Rp 2 miliar itu diusut.

Dedi menilai, hal itu amat menyakitkan hati warga Riau. Sebab,
selama ini Rusli Zainal dalam acara-acara resmi pemerintahan, selalu
mengklaim angka kemiskinan di Riau lebih dari 40 persen. Tapi aneh,
di tengah kemiskinan rakyatnya, Rusli tega membeli mobil mewah.

"Ini aneh, tiap kali bicara, selalu saja rakyat Riau miskin. Tapi
mobil dinasnya di Jakarta harganya malah lebih mahal dari mobil
dinas menteri yang hanya Toyota Camry seharga Rp 350 juta,"kata Dedi.

Yang anehnya lagi, kata Dedi, mobil dinas gubernur di Pekanbaru saja
hanya sebuah mobil Toyota Crown. Itu artinya, dalam aktivitas sehari-
hari di Riau, Rusli Zainal ingin menunjukan kesederhanaan pada
rakyatnya.

"Eh, giliran berdinas di Jakarta, dia malah pakai Mercy. Ini
menyakitkan hati masyarakat Riau. Tega-teganya ditengah kemiskinan
warganya dia enak-enakan di Jakarta pakai Mercy. Ini baru setahun
dia menjabat, bagaimana empat tahun lagi?"sindir Dedi.

Di tahun 2003, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Asmawi Agani
mengusulkan pembelian empat mobil mewah senilai Rp 5,7 milyar dalam
RAPBD 2003. Usulan ini mendapat reaksi keras. Di kalangan DPRD
Kalteng, ada yang pro ada pula yang kontra.

Menurut informasi yang ada, yang ingin dibeli adalah dua unit Volvo
SERI 960 dengan nilai Rp 3 miliar, satu unit Jeep Land Rover
Discovery (4x4) senilai Rp 1,5 miliar, dan sebuah bus eksekutif
seharga Rp 1 miliar. Total Rp 5,7 miliar.

Usulan ini timbul di tengah kondisi masyarakat Kalteng yang
mengenaskan. Dari 394.354 keluarga yang ada, sekitar 118.306
keluarga (30%) masih hidup dibawah garis kemiskinan.

Di Kalimantan Timur, di bulan Mei 2003, pejabat dan anggota DPRD
Kabupaten Panajam Paser Utara yang baru terbentuk 10 bulan juga
dikecam lantaran mendahulukan membeli mobil mewah seperti Nissan
Terano untuk dinas, ketimbang mendahulukan pengerjaan pelayanan
kepada masyarakat seperti menyediakan air bersih, jaringan listrik,
dan pembangunan jalan menuju permukiman.

"Sudah puluhan tahun kami tinggal disini, tetapi belum mendapatkan
aliran listrik dan air bersih," ujar seorang warga Desa Sebakung,
Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Untuk penerangan, selama puluhan tahun mereka terpaksa menggunakan
lampu minyak tanah. Sedang air bersih sangat sulit diperoleh
sehingga warga terpaksa membeli air pikulan seharga Rp 2.500 per
jerigen isi 20 liter.

Menurut penduduk, keluhan soal air bersih dan listrik serta
pembelian mobil mewah oleh aparat pemerintah kabupaten sudah
disampaikan kepada Wakil Gubernur Kalimantan Timur Bidang
Kesejahteraan Rakyat Yurnalis Ngayoh, saat mengunjungi Desa Gunung
Intan yang lokasinya berdekatan dengan Desa Sebakung.

Wakil Gubernur menyarankan agar penduduk jangan mengandalkan
sambungan air ledeng, tetapi berupaya membuat pompa air sendiri,
sedang listrik memang belum ada jaringan. "Justru masalahnya disini
tidak ada listrik sehingga tidak mungkin membuat pompa air," tukas
seorang warga.

Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat pada April 2003, DPRD setempat juga
memberi izin Pemkab Ciamis untuk membeli mobil mewah jenis Land
Rover Discovery seharga lebih dari Rp 1 miliar untuk kendaraan dinas
Bupati.

Ironisnya, hal tersebut terjadi saat Kabupaten Ciamis masih
mempunyai pekerjaan rumah yang terbengkalai di sana-sini. Menurut
catatan Pemkab sendiri, Ciamis saat itu masih ada 17.000 balita
kekurangan gizi, 400 balita bergizi buruk, lebih dari 113 bangunan
SD rusak berat, 75% puskesmas rusak, dan masih banyak sarana serta
fasilitas umum lain yang rusak dan memerlukan perhatian.

Dari Padang, pada Oktober 2004 pimpinan DPRD -nya malah meminta
fasilitas mobil baru. Pos pengadaan kendaraan bermotor pada
sekretariat daerah bertambah bengkak Rp 2,9 miliar. Anggaran itu
dialokasikan untuk membeli 13 unit mobil. Satu unit Toyota Camry
untuk ketua DPRD dan 3 unit Toyota Altis untuk wakil-wakilnya.

Cirebon tidak mau ketinggalan. Di awal Desember 2004 DPRD Kabupaten
Cirebon berniat membeli sejumlah kendaraan beroda empat yang
dikatakan untuk keperluan kendaraan operasional atau dinas. Pos
anggaran untuk keperluan pembelian mobil mewah itu sudah dirancang
dan besarnya mencapai Rp 1,5 miliar.

Mobil itu diperuntukkan bagi unsur pimpinan, dari mulai wakil ketua
sampai ketua fraksi dan ketua komisi-komisi. Untuk dua wakil ketua
dewan, direncanakan diberi jantah sedan Toyota Altis seri terbaru
yang harganya di atas Rp 250 juta.

Saat dikonfirmasikan wartawan, Ketua DPRD Cirebon Tasiya Soemadi Al-
Gotas,S.E., menyatakan hal itu sebenarnya wajar. "Lihat saja,
Majalengka yang PAD-nya jauh lebih kecil dari Cirebon saja
(kendaraan dinasnya) sudah sekelas Nissan Terrano dan (Mitsubishi)
Kuda," ujarnya.

Sikap yang lebih pede datang dari Bekasi. Pada Oktober 2004, Wakil
Ketua DPRD Kota Bekasi Dadang Asgar Noor menuntut fasilitas
kendaraan dinas Nissan Terrano untuk pimpinan dewan. Alasannya,
menurut undang-undang, pimpinan dewan memiliki derajat sama dengan
walikota. Dengan begitu, strata sosialnya lebih tinggi dibandingkan
masyarakat biasa sehingga berhak memiliki mobil mewah.

"Kita minta hanya sesuai dengan porsinya, masa wakil rakyat nanti
hanya diberi mobil Toyota Avanza," kata Dadang dari Fraksi Partai
Demokrat, daerah pemilihan Kelurahan Jati Asih.

Sebenarnya Bagian Perlengkapan DPRD Kota sudah menawarkan kendaraan
dinas Suzuki Escudo yang sebelumnya digunakan Wakil Ketua DPRD
periode 1999-2004, Salim Musa, tapi Dadang menolak mentah-mentah.

Dadang tetap berkukuh mendapatkan mobil mewah. Mengenai gerakan anti
mobil mewah yang saat ini mulai berdengung secara nasional, Dadang
mengaku tidak perduli. "Kami mintanya yang tidak malu-maluinlah,
saya ini mewakili 25 ribu orang di daerah saya," kata dia.

Hanya saja Dadang tidak sadar, ke 25 ribu orang yang
merupakan `tuannya' kebanyakan belum mampu beli mobil, mosok
wakilnya saja minta mobil mewah. Ini sungguh-sungguh memalukan!

Kegilaan pejabat Indonesia terhadap mobil mewah bisa dilihat dari
temuan yang terjadi di Jakarta Motor Show (JMS) 2004 di Senayan.
Dalam acara yang banyak memajang mobil super mewah itu, antara lain
mobil Bentley seharga Rp 5 miliar per unitnya, pada posisi tanggal 9
September 2004 sudah tercatat belasan orang yang membeli mobil
Bentley tersebut dengan cara indent!

Berita ini kurang menggema di masyarakat Indonesia karena tersaput
berita bom besar yang meledak di depan Kedubes Australia di
Kuningan pada tanggal yang sama.

Fenomena mobil mewah yang banyak digilai para pejabat Indonesia -
untuk membelinya pakai uang rakyat- menggambarkan betapa para
pejabat kita sama sekali tidak berpihak pada rakyatnya melainkan
berpihak pada hawa nafsunya semata. "Dari sepuluh peraturan yang
dikeluarkan birokrat, sembilan buahnya berpihak pada kantongnya,"
tulis Sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia dalam
sebuah bukunya.

Satu contoh yang paling baik tentang 'kepedulian' pemerintah
terhadap rakyatnya adalah perbandingan besarnya anggaran untuk
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan anggaran untuk Komisi Nasional
Perlindungan Anak.

RAPBD DKI Tahun 2005 telah mengesahkan dana belanja Sutiyoso selama
satu tahun adalah sebesar Rp 4,429 miliar. Dana itu antara lain
terdiri dari pos biaya baju Gubernur Sutiyoso Rp 40 juta, alat tulis
gubernur Rp 151 juta, pemeliharaan ruangan kerja gubernur Rp 400
juta, dan sebagainya.

Coba bandingkan besarnya belanja Sutiyoso itu dengan jatah untuk
Komnas Perlindungan Anak. Untuk biaya operasional Komnas
Perlindungan Anak, yang berasal dari APBN, satu tahun pemerintah
hanya memberikan dijatah Rp 22 juta! Inilah contoh bagus bentuk
kepedulian pemerintah kita terhadap rakyatnya.

Majalah Saksi No. 16 Tahun VII 11 Mei 2005

Rabu, 12 Desember 2007

Geng Motor, tanggung jawab siapa?

oleh : Iwan (ditulis sebagai ujud rasa mirisnya hati anak bangsa akibat hal2 negatif yang selalu terjadi di negeri Indonesia)

Akhir-akhir ini saya sering membaca tentang aksi kekerasan yang dilakukan oleh anak muda di daerah Bandung yang tergabung dalam geng motor. Saya menilai, sebenarnya mereka itu adalah korban dari kesalahan didik orang tua, kurang kontrol orang tua terhadap pergaulan anak, himpitan ekonomi, kontrol pemerintah yang memble, kepentingan sejumlah oknum penegak hukum, dan mudahnya akses mendapatkan narkoba atau minuman keras. Semua faktor itu sangat mudah mempengaruhi stabilitas jiwa anak muda yang sedang bingung akan jati dirinya. Rasa pengakuan dari kelompok tertentu meskipun negatif membuat mereka bangga dan merasa eksis.

Eksistensi mereka yang kini semakin anarkis adalah tanggung jawab kita semua, pemerintah harus bertindak dengan aktif bekerjasama dengan penegak hukum. Masyarakat harus semakin peduli terhadap kontrol pergaulan generasi muda. Dan sebagai generasi muda harus sadar bahwa masa depan kita, diri kitalah yang menentukan. Lingkungan adalah referensi buat diambil hikmah dan pelajaran yang positif buat mengimprove diri kita menjadi lebih maju.Miris hati saya tatkala selalu mendengar berita kejahtan melalui DETIK atau berita online lainnya, akan kemanakah bangsa kita ini melangkah? bila bangsa kita selalu direpotkan dengan masalah kekerasan, korupsi, politik, dsb. Wajar saja bangsa lain menghina kita semena2, hal itu juga disebabkan oleh perilaku bangsa kita yang masih belum becus mengurusi dirinya sendiri.

Bagaimana cara mengatasinya? menurut saya mengatasi geng motor yang memalukan itu, tiada kata lain selain harus ditindak tegas! Mereka saya pikir tidak cukup dihukum 2 atau 3 tahun kurungan. Yang lebih penting, selain dihukum kurungan mereka harus mendapatkan didikan mental yang intensif entah melalui pesantren atau tempat rehabilitasi yang mengkhususkan dalam pengembangan diri dan kejiwaan mereka. Proses didikan yang harus mereka terima juga harus selalu diawasi oleh ahli psikologi, agar mereka dapat dikontrol perkembangan jiwanya. Mengapa demikian, saya berasumsi bahwa mereka yang tergabung itu adalah anak muda yang tidak memiliki akar budaya kuat, secara kejiwaan mereka labil, dan mungkin sudah memiliki benih2 kejahatan atau penyakit hati seperti dendam. Yang apabila tidak ditindak oleh pemerintah maka mereka akan mengobarkan semangat dendamnya yang mungkin akan bertindak lebih anarkis merusak integritas bangsa.

Bagi teman2 yang masih sadar akan pentingnya hidup damai, tentram, aman, dan makmur, sadarlah bahwa pencarian jati diri itu harus berada dalam rel positif. Hal yang negatif tidak akan pernah membuat untung buat masa depan kita, mungkin yang ada adalah penyesalan. Penyesalan tiada berarti ketika umur kita sudah semakin tua, ingatlah bahwa waktu itu sangat cepat berganti, akankah kita hanya diam, menunggu, atau lari ditempat? Solusinya adalah, larilah secepat waktu berganti!

Senin, 10 Desember 2007

How to be great person (2)

"To love in spite of all is the secret of greatness" --> L. Ron Hubbard

From the previous part, there are some recomendation advice to follow even it is very difficult :

1. Start loving everyone you know at home and at work.

2. Whenever someone gives you a good reason to not love him or her, be great and love him or her anyway.

3. Whenever someone invites or provokes you to hate him or her, refuse to play the game. Instead, generate some understanding for the person and, if possible, some love.

4. Eliminate revenge as a purpose in your life. Who do you want to get even with? Change that decision to something positive, such as the desire for prosperity for yourself and others.

5. Whenever you feel depressed (sorrow) or a loss of hope (despair), find someone to love.

6. Make yourself happy by loving people. If you ever feel happy and then unhappy, find where you let some hate slip in. Your happiness will persist if you do not feel revenge or hate.

7. Make yourself mentally tough and strong by loving people. To maintain that strength, do not seek revenge or agree with reasons to hate.

How to be great person (1)

I think this is good reference to earn our self to be great person....

www.realhubbard.org.

You might find the recommendations in this article are nearly impossible to follow. However, the rewards of this success tip are unmatched. Those who can follow this advice rise to new levels of power.The advice in this article lowers stress and boosts intelligence. You can face extremely difficult situations with no fear. You are emotionally stable.You earn more money than those who do not use this advice as you are sane and logical regardless of what people try to do to you. Criticism and disrespect have minor effects on you. You waste little time in petty, emotional games that no one wins.What Is Greatness?"The hardest task one can have is to continue to love his fellows despite all reasons he should not.""For the one who can achieve this, there is abundant hope."For those who cannot, there is only sorrow, hatred and despair. And these are not the things of which greatness, or sanity or happiness are made."A primary trap is to succumb to invitations to hate."Never use what is done to one as a basis for hatred. Never desire revenge."It requires real strength to love man*. And to love him despite all invitations to do otherwise, all provocations and all reasons why one should not."Happiness and strength endure only in the absence of hate. To hate alone is the road to disaster. To love is the road to strength. To love in spite of all is the secret of greatness. And may very well be the greatest secret in this universe." -- L. Ron Hubbard (*Man: mankind; the human race.)Love, of course, does not need to be physical. You don't need to hug your boss or employee and say, "I love you Bob!" You simply like everyone as much as possible.Examples1. You are driving down the road enjoying some music and some idiot cuts in front of you making you slam on the brakes to avoid a collision. You send him a mental curse and hope he has a rotten life. This doesn't make you feel any better. In fact, you feel irritated and start driving recklessly yourself.You decide to be great. You try to love the person, but the best you can do is find a little understanding. You think, "He must be late for work" and decide to wish him well. Within seconds, you feel better and forget about it. You go back to enjoying your music.2. Two years ago, you and friend Jim bought a delivery van together. He used it during the day to make deliveries from his flower shop and you used it at night to deliver newspapers to your delivery people.One night, your delivery man calls and says, "The van's not at Jim's where I normally pick it up."You called Jim who said, "Oh, I sort of rented it to this guy." You said, "We need it to get the papers onto the streets."He said, "Well, actually I sold it because I had to pay off some bills. I'll pay you back, I promise!"You can't believe he did this to you. You yell at him and vow to never speak to him again. You jump in your car and spend all night moving newspapers.Every time you think about Jim and the van, you get upset. Even two years later, you feel the hatred every time you see your new van. It makes you unpleasant to be around. You plot revenge in several ways. You'll spray paint his store windows. You'll ruin his credit. You'll spread rumors about him.But after two years, you decide to be great about it. You call Jim. He apologizes again and you say, "Don't worry about it. I'm sorry too. Do you want to go fishing this weekend?"You feel better than you've felt in two years. Your employees like being around you again.3. Before you meet the new president of your business support group you dislike her. You've been hearing rumors and bad opinions about her all week. For example, you heard she doesn't like real estate agents and you're a real estate agent.During the group's social hour, you see the new president walking toward you. She doesn't smile when she looks at you. You feel snubbed. You decide to snub her back and you turn around and ignore her. Your feel your face turning red with anger. You start to plan how you can ruin her.But then you decide to be great. You ignore all the rumors and decide to love the new president.You get introduced and give your best smile. "Congratulations! I hope you enjoy your new position here!" You instantly treat her like a close friend.The new president is relieved to have a supporter. She confides in you. "I'm so nervous about this! I sure want to help the members of this group." You become good friends. You find out she manages five large apartment complexes.She sends you so many people who want to buy condominiums and houses that your sales double that year.4. You overhear one of your employees scream on the telephone, "Well, if you don't like my attitude, you can take your business elsewhere!" She slams down the telephone and then sees you standing there. You feel a little hatred as it appears she's turning away customers.Many bosses would say, "You treat a customer like that again and you're fired!"But you want to be a great boss and continue to love your staff even when you have reasons not to. You say, "What happened here?""This jerk asked me if I was new or just stupid.""So you yelled at him and told him we didn't want his business?""Right.""Well if we don't sell to jerks, we won't make any money and will have to lay off some staff. You need to deal with jerks if you want to succeed on this job. Can you do it?""Yea, I suppose. I'll bite my tongue and be polite no matter what they say from now on.""Do you need help learning how to do that?""No, I'll be fine. Thanks."Being great leads to a sane, cheerful, profitable operation.

Peneliti: Meninggalnya Syekh Siti Jenar Bukan Dieksekusi

disadur dari : http://www.kompas.com/gayahidup/news/0508/27/211624.htm

Syekh Siti Jenar yang merupakan wali kontroversial ternyata tidak wafat dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat Islam selama ini.
"Saya meneliti sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno yang tidak ada di perpustakaan, ternyata persepsi tentang Syekh Siti Jenar seperti selama ini tidak benar," kata Agus Sunyoto selaku penulis buku di Surabaya, Sabtu.
Ia mengungkapkan hal itu untuk meluruskan stigma jelek terhadap sosok Syekh Siti Jenar dalam bedah buku bertajuk "Susuk Malang Sungsang" yang berjumlah tujuh jilid di Toko Buku (TB) Togamas Surabaya.
Bedah buku karya Agus Sunyoto itu menampilkan pembahas Mohammad Sobary (mantan PU LKBN ANTARA/LIPI), Prof DR Setyo Yuwono Sudikan (budayawan/guru besar Universitas Negeri Surabaya), dan KH Agus Ali Masyhuri (PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo).
Menurut Agus Sunyoto, Syekh Siti Jenar juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) dan tidak mengajarkan "sasahidan" atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.
"Jadi, para pengikut beliau menganggap persepsi orang tentang Syekh Siti Jenar selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan," katanya.
Ajaran manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia), katanya, merujuk pada Al-Qur’an (firman Allah SWT) bahwa Allah SWT ada di mana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu atau Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.
"Ketika Nabi Muhammad SAW membangun ka’bah bukan berarti Tuhan itu ada di ka’bah tapi di tengah-tengah ka’bah ada ruang kosong. Nah, Tuhan selalu ada di dalam setiap ruang kosong, apakah di Timur Tengah, Indonesia, atau alam semesta ini," katanya.
Membedah buku karya Agus Sunyoto itu, budayawan Prof DR Setyo Yuwono Sudikan yang juga guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengatakan, Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi sosok Syekh Siti Jenar melalui buku.
"Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya," katanya.
Senada dengan itu, budayawan Mohammad Sobary menyatakan, karya Agus Sunyoto membuktikan bahwa sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tak selalu final.
"Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada, bahkan Agus Sunyoto juga berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar," katanya.
Namun, katanya, karya Agus Sunyoto akan lebih hebat lagi jika tidak hanya berhenti pada penampilan sosok Syekh Siti Jenar secara lebih adil, melainkan juga mendorong pembaca tertarik meneladani Syekh Siti Jenar dan akhirnya sujud kepada Allah SWT yang menciptakan tokoh seperti Syekh Jenar.
Catatan serupa juga dikatakan pengasuh Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, KH Agus Ali Masyhuri. "Agus Sunyoto memang mampu menjebol stigma jelek tentang sosok Syekh Siti Jenar," katanya.
Bahkan, katanya, pandangan bahwa Syekh Siti Jenar itu mampu mengubah diri seperti cacing atau anjing telah dibantah, karena pandangan seperti itu sama halnya dengan rekayasa untuk memojokkan seorang wali.

Minggu, 09 Desember 2007

biografi Prof Habibie.....

Terlepas dari masalah kedekatan Prof. Habibie dengan Pak Harto, saya tidak memandang orde baru adalah orde yang buruk. Semua sudah menjadi sejarah, nah belajarlah tuk reaslistis dan tidak dendam dan pelajarilah sejarah wisely. Perkayalah pengetahuan kita dan improve lah diri kita menjadi manusia yang berbudaya.

disini saya post kan tentang sejarah singkat Prof Habibie yang diambil dari :

Encyclopedia of World Biography on Bacharuddin Jusuf Habibie


selamat menikmati:


An aeronautical engineer who became Indonesia's minister of technical development and eventually its president, B.J. Habibie (born 1936) was a lifelong devotee of Indonesian dictator Suharto. When student riots and economic turmoil forced Suharto from office, he named Habibie as his successor.

Known as a big-government free-spender and a proponent of bizarre economic theories, Habibie seemed an unlikely candidate to bail out Indonesia from its severe economic crisis of the late 1990s. He was closely identified with Suharto's corrupt policies and distrusted by students, the military, and foreign investors. Yet he instituted reforms and steered the country toward free elections, remaining in power longer than most observers expected.



Father Figure

Bacharuddin Jusuf Habibie was born on June 25, 1936 in the sleepy seaside town of Pare Pare in the Indonesian state of South Sulawesi. The fourth of eight children, he was nicknamed "Rudy" at an early age. His father, Alwi Abdul Jalil Habibie, was a government agricultural official who promoted the cultivation of cloves and peanuts. His grandfather was a Muslim leader and an affluent landowner.

As a child Habibie liked swimming, reading, singing, riding his father's racehorses, and building model airplanes. In 1950, when Rudy was 13, his father suffered a heart attack and died. Suharto, then a young military officer billeted across the street, was present at his father's deathbed and became Habibie's protector and substitute father. Habibie later wrote of Suharto: "I regarded him as an idol, who could serve as an example for all people ... a young, taciturn brigade commander, with great humane feelings, and a fierce fighting spirit." Suharto's autobiography said Habibie "regards me as his own parent. He always asks for my guidance and takes down notes on philosophy."

Habibie's interest in building model planes continued while he excelled in science and mathematics at the Bandung Institute of Technology. His mother, R.A. Tuti Marini Habibie, arranged for him to continue his studies in Germany. At the Technische Hochschule of Aachen, Habibie studied aircraft construction engineering.

In 1962, on a visit home to Indonesia, he married H. Hasri Ainun Besari, a doctor. They had two children, Ilham Akbar and Thareq Kemal, both born in Germany. While Habibie was abroad, Suharto, who had become a general, succeeded General Sukarno as Indonesia's ruler in 1966.

After graduating with a doctoral degree from the Aachen Institute in 1965, Habibie joined the aircraft manufacturing firm Messerschmitt-Boelkow-Bluhm, rising to the rank of vice-president. As a research scientist and aeronautical engineer, he helped design several planes, including the DO-31, an innovative vertical takeoff and landing craft. He specialized in solutions for aircraft cracking, gaining the nickname "Mr. Crack" as one of the first scientists to calculate the dynamics of random crack propagation. He also became involved in international aircraft marketing activities and NATO's defense and economic development.

Indonesia's Technology Czar

In 1974, Suharto asked Habibie to return to Indonesia to help establish an industrial base. Habibie jump-started an aircraft construction industry and a state airline company. Soon he became Suharto's chief advisor for high-technology development. Habibie exploited the relationships he had developed in Germany and NATO to engineer a myriad of controversial deals involving aircraft, ships, heavy industry, and economic development.

As minister of research and technology, Habibie promoted the importation of high-tech goods and services. He liked to "leapfrog" over low-skill industries and move straight into high-tech ventures, spurning the basic development which might have brought needed employment to Indonesia's low-skilled masses. Habibie spent billions in public money on his strategic companies. His pet project was a national airplane, the propeller-driven N-250. Its producer was IPTN, a state company whose vice-president was Habibie's son. The national airplane venture consumed $2 billion in public funds, diverted from a project to save Indonesian forests.

Habibie often used his influence with Suharto to broker favorable deals for his family companies. For example, he pressured Merpati Airlines to buy 16 of IPTN's CN-235 airplanes, which were so poorly built they could fly for only an hour with a full load. Never popular with the military, Habibie angered officials by buying 100 German naval vessels without consulting top brass; the ships needed $1 billion in repairs.

For two decades, Habibie was a top insider in Suharto's corrupt, nepotistic regime. Like Suharto, whose family controlled much of Indonesia's economy, Habibie's relatives had their own business monopolies, often in partnership with Suharto's children. According toPhiladelphia Inquirer reporter Trudy Rubin, "The state set up Habibie's 'strategic industries' in fields such as steel, shipbuilding and, especially, aircraft manufacture. His relatives were all involved as middlemen, agents, and suppliers." Habibie's family came to control two conglomerates - the Timsco Group, named after his brother Timmy, and the Repindo Panca Group, headed by his second son, Tareq Kamal Habibie. The conglomerate's 66 companies benefited from lucrative government contracts awarded by minister Habibie.

Habibie was widely known as a free-spending eccentric and an advocate of expensive government programs. His high-tech ventures failed to strengthen Indonesia's economy. Many of his projects lost millions of dollars. A relentless self-promoter, Habibie was known for talking endlessly in shrill tones while gesturing wildly. When he visited Tokyo to talk to Japanese bankers about refinancing Indonesia's $80 billion debt, he lectured them for two hours about what was wrong with the Japanese economy and came home empty-handed.

A small, wiry man, Habibie enjoyed classical music, motorcycle riding and swimming in his pool at his home on Jalan Cibubur. A devout Muslim, he founded the Indonesian Association of Muslim Intellectuals in 1990.

Suharto's Man

Throughout his long tenure as technology minister, Habibie remained slavishly loyal to Suharto, and Suharto considered him his most reliable supporter. Habibie told Newsweek that Suharto was his "close friend" who "treated me like his own brother." Habibie often called the dictator "SGS," for "Super-Genius Suharto."

Eventually, Suharto's policies brought Indonesia's economy to the brink of disaster. In March 1998, as student demonstrations and civil unrest increased in intensity, Suharto installed Habibie as vice-president. As the economy collapsed, bloody student riots led to increasing calls from international allies for Suharto's resignation. Hundreds died in the civil unrest that finally forced Suharto from office in May 1998. Before he left the presidential palace, Suharto installed Habibie as his hand-picked successor.

The appointment of Habibie to head the troubled country seemed to appease no one. Protesters saw him as firmly tied to Suharto's system. Even after Suharto stepped down, the general's family members still controlled commerce and industry in the country. Foreign investors worried that Habibie's free-spending policies would exacerbate Indonesia's problems. The military distrusted him because, unlike previous Indonesian presidents, Habibie did not rise through their ranks.

On taking power, Habibie tried to distance himself somewhat from his lifelong idol. He pledged to build "a clean government, free from inefficiency, corruption, collusion, and nepotism." Soon after, Habibie's brother resigned from his leadership of an industrial development authority. He also freed high-profile political prisoners; lifted controls on the press, political parties and labor unions, and pledged negotiations to end the long conflict in the Indonesian state of East Timor.

Most observers doubted he could retain his power for several reasons. His reputation for wild spending came at a time when the failing Indonesian economy needed a bailout. The bankrupt Indonesian currency, the rupiah, fell in value by 36 percent when Habibie took office. Most of the country identified him closely with Suharto's regime and its policies, which had brought unbearable hyper-inflation and food lines.

"Indonesia's problems are so difficult to solve that not even an extraordinarily clever politician bolstered by overwhelming public support would find it easy to take over," observed Time magazine. "And Habibie ... seems the least likely candidate. He has no political base, nor can he necessarily count on the long-term backing of the powerful military. Economists and stock analysts around Asia question Habibie's ability to bring sensible change to Indonesia's choking economy..."

Many foreign investors found a Habibie presidency frightening. One reason was Habibie's advocacy of a strange "zig-zag theory" of economics. He believed that cutting interest rates, then doubling them, then slashing them again, would reduce inflation. Critics scoffed at his abilities. "He is a clown, a joker, an entertainer," said Jusuf Wanandi, director of the Centre for Strategic and International Studies in Jakarta. Yet Habibie managed to consolidate his control over the country, primarily because the opposition was fragmented and frequently squabbling. The military, involved in government at every level, was deeply divided. Never modest, Habibie told Time: "There are two ways of making history: from within the elite - or from the outside. Being inside doesn't mean you're a puppet."

As Habibie maintained a grip on power, the economic decline of his country worsened, with one-fifth of the work force unemployed by the end of 1998. Unrest continued, and there were reports of the torture of dissidents by the military and new assaults on rebel sympathizers in East Timor. During renewed demonstrations by student protesters against the government in November 1998, 16 people died. Habibie enraged students by arresting a small group of dissidents and blaming them for provoking soldiers. Protesters demanded that Habibie step down. The armed forces insisted only rubber bullets and blanks had been used against protesters, but it was discovered that at least one student had been killed by live ammunition, a "dum-dum" bullet outlawed under the Geneva Convention's international rules of warfare. The military then tried to appease the protesters by announcing prosecutions of 163 soldiers and police. Habibie tried to downplay the conflict. "Our society still has not had the chance to live under the rule of law," Habibie told Newsweek. "The police do not understand the limits, though they are learning."

Renewed hostilities by Islamic militants against Indonesia's ethnic Chinese Christian minority raised questions about Habibie's goals. His religious supporters dreamed of him instituting a fundamentalist Muslim state. But Habibie told Newsweek: "The burning of churches and mosques is a criminal act we all condemn. ... As a religious and intellectual man, I will be among the first who will fight against any attempt to make this country a religious state." Asked about Chinese Indonesians who feared an Islamic wave of repression, Habibie replied: "I wish we could change that like turning off the light. But it's not that easy. ... The Chinese, I love them as I love the others. I only hate criminals."

Against all odds, Habibie retained power. He vowed to continue investigating Suharto and his dealings. He also promised to hold parliamentary and presidential elections in the spring and summer of 1999. A popular Indonesian magazine, Tempo, showed only seven percent of those polled would vote for Habibie.

Displaying for the world his high self-regard, Habibie opened his own web site on the Internet, including an extensive list of awards and personal achievements. In a fawning account posted on the web site, B.J. Habibie: His Life and Career, biographer A. Makmur Makka wrote: "He is the idol and the dream of all parents, who wish their offspring to become another Habibie. ... He is an intelligent person, even a genius, and out of the 190 million inhabitants, there is only one B.J. Habibie." Makka also wrote: "B.J. Habibie seemed to possess supernatural power, which made him succeed in everything he did."

In October of 1999, after enduring months of personal attacks, corruption scandals and splits within his own party in a battle for his political future, Habibie stepped down as the Golkar (Golongan Karya, Functional Groups) presidential candidate and later overturned the Presidency to the elected candidate. In 2002, he underwent questioning for a $5.3 million graft case but maintained his innocence in the case. The accusation of corruption weakened his party.

Jumat, 07 Desember 2007

Belajar aja......


1.1 Konduksi di dalam zat padat

Adanya aliran arus listrik di dalam sebuah zat padat disebabkan karena pergerakan electron-elektron. Meskipun electron-elektron tersebut bermuatan negative berdasarkan kesepakatan para ilmuwan, aliran listrik dianggap mengalir dari kutub positif sebuah tegangan. Sehingga arah aliran listrik di dalam zat padat sebenarnya berlawanan dengan aliran electron-elektron. Maka pergerakan electron-elektron yang bermuatan tersebut didefinisikan sebagai arus I dengan satuan Ampere (A),

(1)

merupakan lambang dari perubahan jumlah muatan (satuan, Coulomb ( C )), merupakan lambang dari perubahan waktu dari aliran elektron-elektron (satuan, second ( s )).

Bila kita lihat model atom Bohr, dimana materi yang tersusun dari atom-atom, tiap atomnya terdiri dari muatan positif yang berasal dari proton dan neutron yang berada di dalam inti. Proton dan neutron tersebut dikelilingi oleh muatan negative yang berasal dari electron. Jumlah elektron yang mengorbit tersebut sama dengan jumlah proton. Peristiwa itu menyebabkan atom tersebut menjadi netral. Disini kita akan lihat sebuah contoh zat padat yang bersifat konduktor (metal) seperti Alumunium, Aluminium atom-atomnya tersusun membentuk struktur kristal. Di dalam Alumunium, elektron-elektron yang tersusun di dalam atom tersebut memiliki energi kinetik akibat dari gerakan dan energi potensial karena adanya gaya Coulomb diantara muatan positif dan muatan negatif.

Di dalam atom tunggal, berdasarkan teori atom Bohr, elektron memiliki energi berdasarkan keadaannya (state), biasa disebut state energi. Meskipun demikian dekatnya jarak antara atom tetangga di dalam materi konduktor tersebut memberikan pengaruh kepada energi potensial dari elektron yang mengorbit di dalam tiap atom. Di dalam sebuah zat padat kristal yang atom-atomnya tersusun secara teratur akan mengalami interaksi. Interaksi dari atom-atom tersebut menimbulkan pergeseran energi level. Sehingga dampaknya adalah tiap state energi di dalam atom akan mengalami pemisahan (splitting) energi yang tergantung pada jumlah atom tetangganya. Dengan demikian energi yang terpisah itu akan membentuk dua buah jenis pita energi yang terpisah oleh gap, sehingga disebut sebagai energi gap. Maka apabila ada elektron yang tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi energi minimumnya akan sama dengan energi gap. Jadi energi gap bisa juga diartikan sebagai energi minimum yang dibutuhkan oleh elektron yang berada di pita valensi untuk bergerak menuju pita konduksi. Energi gap antara pita valensi dan konduksi berada di dalam orde elektron volt (1 elektron volt (eV) = 1.6 x 10-19 Joule (J)). Energi valensi merupakan energi terbesar yang berada di pita valensi (valence band) di dalam sebuah atom. Elektron-elektron yang berada di orbit terluar dari pita valensi akan mengalami ikatan (bound) dengan elektron yang berasal dari atom tetangganya, elektron itu disebut elektron valensi. Elektron-elektron valensi itulah yang menentukan sifat kimia dari atom. Bila elektron valensi tersebut mendapatkan energi yang cukup untuk menembus energi gap, maka elektron-elektron tersebut akan bergerak ke level energi yang lebih tinggi (pita konduksi). Energi yang lebih tinggi itu biasa disebut sebagai energi konduksi (conduction band). Selama elektron yang berada di dalam pita konduksi tidak mengalami ikatan dengan atom lainnya, elektron tersebut akan bebas bergerak di dalam kristal. Gerakan dari elektron-elektron di dalam kristal akan memberikan kontribusi timbulnya arus listrik.

Dari karakteristik energy gap sifat materi dapat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu isolator, semikonduktor, dan konduktor. Energi gap dari ketiga sifat materi tersebut dapat dilihat pada gambar 1.

Di dalam sebuah metal, energi level dari elektron-elektron tersebut memiliki jarak yang berdekatan, sehingga terlihat kontinu dan energi gap antara pita valensi dan konduksinya cukup kecil atau bisa juga overlap. Sehingga apabila diberikan pengaruh medan listrik akan menimbulkan pergerakan elektron-elektron yang berada di dalam pita valensi atau pita konduksi. Fenomena ini memberikan juga kontribusi terhadap munculnya arus listrik di dalam metal. Untuk isolator, pita valensi terisi penuh (semua elektron mengisi orbital dengan keadaan energi yang sesuai) sementara itu pita valence kosong. Bagaimana dengan energi gapnya? Energi gap di dalam sebuah isolator memiliki jarak yang lebar, berada pada rentang kurang lebih 3 eV pada temperatur ruang. Mungkinkah memindahkan elektron yang berada di dalam pita valensi pada isolator? Untuk memindahkan elektron di dalam pita valensi dibutuhkan tingkat energi yang berasal dari luar (energi eksternal), tentunya energi tersebut haruslah lebih besar dari energi gap pada isolator tersebut. Ketika diberikan energi untuk memindahkan elektron dari pita valensi ke pita konduksi dimungkinkan terjadinya dielectric breakdown selama proses konduksi.

Pada tabel 1.1 ditampilkan besarnya energi gap dari beberapa bahan semikonduktor pada temperatur ruang (300 K).

Tabel 1.1

Kita kembali lihat fenomena yang terjadi di dalam metal, di dalam metal arus listrik sangat tergantung pada kecepatan aliran elektron-elektron. Pada temperatur ruang elektron-elektron tersebut memiliki cukup energi untuk masuk ke dalam pita valensi. Elektron-elektron yang bergerak di dalam pita konduksi elektron memberikan kontribusi kepada sifat konduksi metal. Di dalam metal gerakan elektron-elektron cenderung konstan bergerak di dalam kisi kristal. Dengan menggunakan teori kinetik gas, kecepatan rata-rata dari elektron-elektron tersebut dalam keadaan kesetimbangan temperatur (temperatur ruang) kira-kira mendekati 105 m/s (pembuktian diserahkan kepada pembaca). Atom-atom yang kehilangan elektron di dalam pita valensi disebut sebagai ion-ion. Ion-ion tersebut bervibrasi sesuai dengan kesetimbangannya di dalam kristal. Sebagai akibatnya berdasarkan dari model gas elektron, terdapat tumbukan elastik dan tidak elastik diantara lautan yang bebas dari pengaruh elektron dengan ion-ion yang bergerak stationer tersebut. Tumbukan yang dihasilkan tidak menimbulkan arus listik dikarenakan tidak ada jumlah aliran elektron per satuan waktu, dan elektron-elektron yang terpantul pada lautan gas juga tidak memberikan kontribusi pada arus listrik (mengapa?).

Ketika diberikan medan listrik uniform E (V/m) electron-elektron yang bergerak secara random akan mengalami kecepatan stabil (steady) berlawanan dengan arah medan. Peristiwa tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini, (SM Sze).

Gambar

Kecepatan yang berubah akibat adanya medan listrik menghasilkan jumlah aliran elektron, dari peristiwa tersebut aliran elektron yang berlawanan arah dengan medan listrik disebut kecepatan drift. Sedangkan untuk hole (muatan positif) geraknya searah dengan medan listrik. Dari fenomena tersebut dapat diformulasikan bahwa kecepatan drift adalah,

(2)

Kecepatan drift sebanding dengan konstanta (m2/Vs), yang disebut sebagai mobilitas elektron. Mobilitas dari elektron bergantung pada struktur fisis dari material, karena secara alamiah gerak random dari elektron-elektron dan energi yang ditransfer selama tumbukan dengan ion-ion hanya akan menghasilkan kecepatan drift dan mobilitas. Tentunya baik kecepatan drift dan mobilitas akan sangat bergantung dari jenis materialnya, contoh, mobilitas tembaga adalah , sedangkan mobilitas alumunium adalah .

Jika n adalah jumlah aliran elektron bebas yang melewati satuan volume dengan kecepatan drift v, kerapatan arus drift J dapat diekspresikan sebagai,

A/m2 (3)

dimana e adalah muatan dari elektron, dengan menggunakan persamaan (2) maka persamaan (3) menjadi,

(4)

Persamaan 4 tersebut adalah deskripsi dari Hukum Ohm, , dimana

(5)

s adalah konduktivitas dengan satuan Siemen/meter atau S/m (W-m)-1, sedangkan kebalikannya satuannya dalam m/S (W-m) adalah resistivitas dari material. Metal dapat dikarakterisasi dengan melihat konduktivitas yang besar dan resistivitas yang rendah. Insulator listrik seperti silicon diokside sebagai insulator maka memiliki resistivitas yang besar. Tabel 2.2 menunjukan karakteristik nilai dari konduktivitas dan resistivitas untuk beberapa material yang sudah dikenal.