Jumat, 20 Februari 2009

...belajar budaya jawa ttg kepemimpinan yukk...

Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.

1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.

Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.

Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.

Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.

sumber : http://netlog.wordpress.com/

Kamis, 19 Februari 2009

Mahasiswa UI kok ga ada yang masuk finalis LKTI??

Barusan iseng-iseng liat website DIKTI, eh pas nginceng2 beberapa menit nemu pengumuman LKTI. Wah ini LKTI untuk dosen apa mahasiswa ya? kalo dilihat dari nama2 yang tidak ditulis menggunakan gelar spertinya mereka itu mahasiswa..CMIIW. Anyway, saya sebagai alumni Universitas Indonesia (UI), yo langsung liat daftar yang masuk 10 besar ini. Eh lah, kemana UI? ternyata ga ada di list 10 besar. Yowis lah ini liat saja daftar 10 besar Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tingkat Nasional Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

1. Ali Topan (403,33)UNESA
2. Fuad Uli Addien (402,5)UGM
3. Decky Junihadi (401,6)UNTAN
4. Ramdhan Nugraha (400,33)UGM
5. Seztifa Miyasyiwi (398)IPB
6. Perwitasari (396,67)UIN Malang
7. Saevul Amri (395)UGM
8. Sulfahri (394,17)ITS
9. Kunto Wibowo (390)UGM
10. Ririn Masrina (387,2)IPB

Semoga lain waktu UI bisa masuk 10 besar, kalo perlu jadi juara....UI kepal jari tinju...bravo the yellow jackets;-)

Selasa, 17 Februari 2009

Ponari+ batu petir = sakti ???

Dua minggu terakhir setiap ngecek berita via online, saya dibuat heran dengan adanya berita heboh dukun sakti yang mengandalkan batu petir. Memang susah dinalar, dan saya mikir apakah gejala sosial tersebut merupakan wujud sakitnya masyarakat Indonesia ? Lha anak kecil yang katanya sakti dan memiliki tenaga luar biasa (seperti dijelaskan salah satu Profesor dari LIPI..CMIIW) dipaksa terus2an mengobati orang. Jika memang benar bocah itu sakti, seharusnya pengobatan yang dilakukan menggunakan schedule yang logis dengan tidak merampas hak si bocah tersebut sebagai anak usia belajar dan bermain yang wajar. Namun di satu sisi ironis juga, karena para ulama di negeri ini tidak tanggap untuk meluruskan fenomena sosial bocah sakti itu. Lha kok ulama dibawa2? ya iyalah, karena fenomena sosial tersebut dekat dengan (atau bahkan sudah ya..?...) penyembahan atau penyekutuan Tuhan. Ulama kemana ya? apa masih sibuk membuat UU pengharaman rokok dan pengharaman golput? embuhlah....apa malah ulamanya juga berobat ke si bocah sakti dengan batu petirnya? wah jadi malah mbingungi kalo begini ;-)

Menurut pendapat saya pribadi, fenomena sosial ini secara jelas diberikan Tuhan buat para pemimpin dinegeri kita bahwa negara kita itu masyarakatnya memang sakit. Perlu diobati dengan hal2 yang rasional, agamis, dan pendidikan yang baik. Bukan di cekoki dengan masalah politik yang keblinger. Jadinya ya masyarakat nambah depresi....ono-ono wae....Seharusnya kita (pemerintah, ulama, wakil rakyat, pihak dephan, dll) langsung memberikan perhatian khusus dengan hal2 yang tidak lumrah tersebut (e.g. uji dulu kebenaran melalui "riset" dan pengamatan multidisiplin) sebelum terlanjur menjadi konsumsi masyarakat. Terlebih lagi sudah dikonsumsi oleh public sehingga menimbulkan energi sugesti yang besar dan banyak kepentingan.

Hayo kita semua kembali ke jalan Tuhannya masing2...supaya nggak bingung lihat hitam putihnya kehidupan yang ruwet bin semrawut nggawe ngelu...

Kamis, 12 Februari 2009

kontribusi bersama "Iwan-Ican"

Baru saja datang dari dinner, eh saya langsung dapet kabar dari Bro Ican bahwa tulisan kita yang ditulis pada waktu2 senggang bisa dimuat di :














Ini sedikit banyak menjadikan pelipur lara ketika saya masih berjuang untuk publish paper di jurnal internasional sebagai first author ;-) Maklumlah sampai saat ini baru jadi co author dan fisrt author di level confrences....