Jumat, 07 Agustus 2009

Mengenang sang penyair WS Rendra....

selang dua hari meninggalnya Mbah Surip, pada hari Jumat tanggal 7 Agustus 2009, sang Penyair besar WS Rendra dipanggil kehadirat Illahi Rabbi. Beliau berdua di makamkan di komplek pemakaman Bengkel Teater WS Rendra...Sungguh kejadian yang langka, karena dalam 2 hari berturut-turut bangsa Indonesia kehilangan orang2 yang dicintai oleh rakyatnya.

Mari kita mengenang WS Rendra melalui salah satu pemikiran beliau ketika pengukuhan doktor honoris causa di UGM....

Pemikiran WS Rendra melampaui zamannya

sumber : http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19796&Itemid=47

YOGYA - Sang penyair WS Rendra kali ini berpenampilan lain. Dia tak berpakaian seadanya. Tapi, dia mengenakan toga dan mengumbar senyum bangga. Betapa tidak! Karena hari itu, Selasa (4/3), Si Burung Merak menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) di bidang sastra dari UGM Yogyakarta. Seperti seorang begawan, Rendra menyampaikan perenungan dalam pidato pengukuhan.
Dia mengkaitkan ramalan pujangga besar Ronggowarsito dengan keadaan kekinian. Katanya, setelah zaman Kalatida dan Kalabendu akan tiba masa Kalasuba yakni zaman stabilitas dan kemakmuran, yang ditegakkan Ratu Adil.
Hanya saja, Rendra mengaku berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya Kalasuba. "Kalasuba pasti akan tiba. Karena dalam setiap chaos secara built-in" ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan," katanya.
Tapi, kestabilan belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani,rohani, sosial, intelektual dan budaya.
Harus usahaDalam sejarah kita, kata Rendra, kita mengenal kenyataan. Setelah chaos Revolusi Prancis, lahirlah kestabilan pemerintah Napoleon yang diktator. Menurut Rendra, harus ada usaha kita yang lain. Kita tak sekedar sabar dan tawakal. Kita, tidak menghendaki Kalasuba dikuasai diktator. Tidak juga dikuasai asing seperti Timor Laste.
Tapi, kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk menadesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan. "Sehingga menjadi lebih baik daya hidup dan daya cipta bangsa," kata Rendra.
Situasi seperti itu tak tergantung hadirnya Ratu Adil. Tapi tergantung pada hukum, mandiri dan tawakal, Rendra nenutup renungannya berjudul "Megatruh Kambuh. Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu ".
Tampak hadir dalam penganugerahan gelar Doktor HC kepada Rendra seperti Ahmad Syafii Maarif, Eep Saifullah, Joko Pekik, Djaduk Ferianto, Gunawan Muhammad, Sri Edy Swasono, Hariman Siregar, Sultan Ternate. Yang tidak tampak sahabat Rendra yakni Setiawan Djodi.
Apa komentar mantan Ketua MPR, Amien Rais ? Katanya;"Kalau saya ikut menguji tentu akan memberi nilai A plus. Karena isi pidato Rendra sangat akademis serta relevan dengan kondisi sosial dan politik bangsa saat ini,".
"Penganugerahan Doktor HC semakin meneguhkan Rendra sebagai mainstream teater moderen Indonesia," kata Butet Kertarejasa seraya mengatakan sudah semestinya Rendra menerima penghargaan ini. Karena pemikirannya tak kalah dengan doktor-doktor formal.
Lalu apa kata budayawan Emha Ainun Nadjib ? Cak Nun, panggilan akrab Emha mengakui Rendra memang seorang penyair yang memiliki pemikiran melampui zamannya.
"Hanya saja, pemikiran Rendra yang disampaikan dalam penganugerahan Doktor HC adalah pemikiran yang pernah dikemukakan dan didiskusikan sekitar 1970-an," kata Cak Nun. K-16/ad

Mengambil hikmah dari lika liku hidup Mbah Surip

Mbah Surip meninggal pada hari Selasa tanggal 4 Agustus 2009. Dari perjalanan hidupnya yang penuh lika liku hingga menjadi penyanyi fenomenal, menurut saya banyak sekali hikmah yang patut kita ambil. Semoga amal baik Mbah Surip menjadi teman sejati dipangkuan Illahi..amiin

Mbah Surip Digendong Tuhan


Oleh Saratri Wilonoyudho (Peneliti dan Dosen Universitas Negeri Semarang)

Kematian Michael Jackson dan Mbah Surip boleh saja ditafsirkan bahwa Tuhan tengah mempertunjukkan pelajaran kepada manusia tentang apa sesungguhnya batas-batas kewajaran. Di tengah-tengah nafsu perebutan kekuasaan di berbagai level, baik nasional maupun daerah, Tuhan sedang memberi "intermezzo" sebuah refrein lagu kematian. Semua yang ada di dunia tidak ada yang abadi, kenapa orang terus mengejar harta dunia dan kepemilikan sampai lupa daratan?
Mbah Surip dan Jacko adalah dua sosok yang bertolak belakang. Kesamaan mereka adalah kekayaan yang luar biasa untuk ukurannya. Tentu saja hasil ring tone Mbah Surip sekitar Rp 5 miliar, itu hanya "uang jajan" Jacko. Namun, bagi Mbah Surip, uang itu luar biasa banyaknya.
Sebaliknya, kekayaan Jacko mencapai angka triliunan rupiah. Ironisnya, Jacko justru kesepian dan menderita hingga akhirnya meninggal dalam kesengsaraan, sebaliknya Mbah Surip meninggal dalam kedamaian. Tak mudah orang meninggal mendadak seperti ia.
Fenomena Michael Jackson banyak kita jumpai. Di negeri ini juga banyak orang "sukses" namun menderita lahir batin. Ini adalah sebuah ironi.
Fenomena Mbah Surip dan Michael Jackson mengajarkan tentang "ilmu kematian" dan "ilmu kewajaran". Kemiskinan yang berlebihan juga akan membunuh manusia, bukan hanya jasadnya, namun juga mentalnya. Demikian pula kekayaan yang luar biasa yang melebihi batas juga akan mematikan kreativitas mentalnya karena segala sesuatunya dapat dia beli.
Ilmu kehidupan itu ialah menyadari ilmu kematian. Kepemilikan apa saja di dunia ini tak akan dapat dibawa mati. Emha Ainun Nadjib pernah bercerita tentang kematian Pugra, ia meninggal ketika sedang pentas tari Bali di Sasonomulya, Solo. Sebagaimana laiknya orang Bali, anak dan dua keponakannya dengan tenang menyaksikan kematiannya. Kematian tak layak disedihkan karena kematian adalah berangkat ke kehidupan yang lebih tinggi. Apalagi mereka yakin Pugra mengetahui saat kematiannya hingga ia memilih di atas pentas ketika menari.
Mbah Surip semoga termasuk seniman yang menyadari bahwa menjadi seniman bukan untuk kesenangan tujuan popularitas atau tujuan kekayaan material belaka. Banyak kasus calon-calon artis berbondong-bondong mendatangi sutradara dan menawarkan diri: "Berpose telanjang juga boleh, tidak apa-apa, asal wajar sesuai tuntutan skenario". Bagaimana mungkin telanjang kok "wajar"? Inilah kesenimanan yang tidak menyatu dengan jiwa dan ruhnya.
Semoga kesenimanan Mbah Surip menyatu dengan jiwanya, dan jiwa tak dapat dilepaskannya kecuali jika ia dikhianati. Kesenimanan baginya adalah kebahagiaan cinta (I Love You Full, katanya) dan kesejatian dan bukan keglamoran atau nafsu. Mbah Surip barangkali sadar bahwa jiwa kesenimanan jika dikhianati maka akan terjerambab. Berapa banyak seniman dan artis kita yang jatuh ke jurang nista justru setelah sampai pada puncak ketenaran seperti Jacko, baik karena narkoba, selingkuh, dan tindakan amoral lainnya?
Kesenimanan bagi Mbah Surip adalah kesetiaan dan bukan kemegahan. Kesenimanan harus teguh mempertahankan prinsip bahwa seni itu untuk kemanusiaan serta untuk memuji kebesaran Tuhan dan ciptaan-Nya. Perkara mendapat uang miliaran, ini adalah "risiko", dan bukan tujuannya. Kalau seniman tidak memiliki sikap seperti ini, berarti dia bukan seniman tapi pedagang.
Ilusi kesuksesan hidup
Pelajaran lain dari Jacko adalah tentang ilusi kesuksesan hidup. Orang barangkali heran mengapa para pejabat dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan, dengan berbagai fasilitas luar biasa, hingga kekayaannya mencapai angka puluhan miliar rupiah, toh masih tega juga mengorupsi uang rakyat. Pertanyaannya, mengapa orang yang bertambah kekayaannya justru semakin haus untuk mereguk yang lainnya?
Pertanyaan ini dijawab dengan baik oleh ekonom Inggris Fred Hirsch. Menurut Hirsch, justru dengan semakin kaya seseorang akan merangsang nafsunya untuk terus menambah kekayaannya. Penjelasan Hirsch cukup simpel: orang yang bertambah kekayaannya terus akan mengejar kekayaan yang lain karena orang lain di sekitarnya juga terus menangguk "kesuksesan" hidup. Dalam posisi seperti ini, kekayaan yang ia dapatkan seolah-olah tidak berarti baginya.
Mereka yang dicontohkan di atas tergolong orang-orang yang terbelenggu oleh kemilau duniawi. Padahal, kata para sufi seperti Abdul Qodir Jaelani, Jalaluddin Rumi, jika seseorang sudah "berjumpa" dengan Tuhannya, maka ia akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Keinginan yang terbesar orang yang sudah sampai pada tataran atau maqom ini adalah: "tidak ingin memiliki keinginan sama sekali".
Kalaupun ia dianugerahi kekayaan dari Tuhan, ia enjoy saja. Kekayaan itu tidak akan membelengggunya. Ia akan menafkahkan kepada siapa saja, menaburkan kepada alam semesta, kepada sesama, tanpa beban dan tanpa harapan untuk "pahala". Ia akan menggunakan secukupnya (tentu sesuai standar normal orang hidup), dan sisanya yang terbesar akan dikembalikan kepada pemilik-Nya, lewat amal jariyah yang terus mengalir tiada henti, tanpa takut ia akan jatuh miskin.
Orang yang sudah sampai tataran "hilangnya" keinginan (duniawi) akan tenteram jiwanya. Ia sangat menikmatui "perjumpaannya" dengan Sang Khalik, dan orang Jawa bilang sudah dapat menuju ke arah "manunggaling kawula Gusti". Tuhan senantiasa ada di dalam hatinya dan selalu memberi berkah.
Barangkali ilmu ini yang dimiliki Mbah Surip, terbukti ia tidak silau dengan rezeki nomplok. Ia tetap bersahaja, dan sebaliknya Jacko yang tidak bersyukur. Jacko malu sebagai orang hitam dengan jalan operasi plastik. Sebaliknya Mbah Surip justru "menjelek-jelekkan" namanya sendiri karena nama aslinya adalah Urip Ariyanto. Mbah Surip tidak ganti nama menjadi Ary atau Ariel, layaknya artis-artis kita yang tak pernah percaya diri sehingga harus mengganti namanya.
Mbah Surip juga tidak serta-merta mengubah penampilannya. Tetap rambut gimbal ke mana-mana naik ojek dan tidak jual mahal atau angkuh. Mbah Surip seakan tidak merasakan apa arti uang Rp 5 miliar. Padahal, berapa banyak pejabat yang kelihatannya terhormat dan "religius" ternyata amat rakus melihat angka-angka rupiah seperti ini.
Wajar jika Tuhan segera menggendong Mbah Surip agar orang ini "terselamatkan" oleh kemilau dunia yang barangkali akan menjeratnya seperti Michael Jackson atau artis-artis lain yang tidak kuat "ditempati derajat dan pangkat" (Ora kuat kanggonan drajad pangkat kata orang Jawa).

sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/06/11193244/mbah.surip.digendong.tuhan.