Jumat, 07 Agustus 2009

Mengenang sang penyair WS Rendra....

selang dua hari meninggalnya Mbah Surip, pada hari Jumat tanggal 7 Agustus 2009, sang Penyair besar WS Rendra dipanggil kehadirat Illahi Rabbi. Beliau berdua di makamkan di komplek pemakaman Bengkel Teater WS Rendra...Sungguh kejadian yang langka, karena dalam 2 hari berturut-turut bangsa Indonesia kehilangan orang2 yang dicintai oleh rakyatnya.

Mari kita mengenang WS Rendra melalui salah satu pemikiran beliau ketika pengukuhan doktor honoris causa di UGM....

Pemikiran WS Rendra melampaui zamannya

sumber : http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19796&Itemid=47

YOGYA - Sang penyair WS Rendra kali ini berpenampilan lain. Dia tak berpakaian seadanya. Tapi, dia mengenakan toga dan mengumbar senyum bangga. Betapa tidak! Karena hari itu, Selasa (4/3), Si Burung Merak menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) di bidang sastra dari UGM Yogyakarta. Seperti seorang begawan, Rendra menyampaikan perenungan dalam pidato pengukuhan.
Dia mengkaitkan ramalan pujangga besar Ronggowarsito dengan keadaan kekinian. Katanya, setelah zaman Kalatida dan Kalabendu akan tiba masa Kalasuba yakni zaman stabilitas dan kemakmuran, yang ditegakkan Ratu Adil.
Hanya saja, Rendra mengaku berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya Kalasuba. "Kalasuba pasti akan tiba. Karena dalam setiap chaos secara built-in" ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan," katanya.
Tapi, kestabilan belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani,rohani, sosial, intelektual dan budaya.
Harus usahaDalam sejarah kita, kata Rendra, kita mengenal kenyataan. Setelah chaos Revolusi Prancis, lahirlah kestabilan pemerintah Napoleon yang diktator. Menurut Rendra, harus ada usaha kita yang lain. Kita tak sekedar sabar dan tawakal. Kita, tidak menghendaki Kalasuba dikuasai diktator. Tidak juga dikuasai asing seperti Timor Laste.
Tapi, kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk menadesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan. "Sehingga menjadi lebih baik daya hidup dan daya cipta bangsa," kata Rendra.
Situasi seperti itu tak tergantung hadirnya Ratu Adil. Tapi tergantung pada hukum, mandiri dan tawakal, Rendra nenutup renungannya berjudul "Megatruh Kambuh. Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu ".
Tampak hadir dalam penganugerahan gelar Doktor HC kepada Rendra seperti Ahmad Syafii Maarif, Eep Saifullah, Joko Pekik, Djaduk Ferianto, Gunawan Muhammad, Sri Edy Swasono, Hariman Siregar, Sultan Ternate. Yang tidak tampak sahabat Rendra yakni Setiawan Djodi.
Apa komentar mantan Ketua MPR, Amien Rais ? Katanya;"Kalau saya ikut menguji tentu akan memberi nilai A plus. Karena isi pidato Rendra sangat akademis serta relevan dengan kondisi sosial dan politik bangsa saat ini,".
"Penganugerahan Doktor HC semakin meneguhkan Rendra sebagai mainstream teater moderen Indonesia," kata Butet Kertarejasa seraya mengatakan sudah semestinya Rendra menerima penghargaan ini. Karena pemikirannya tak kalah dengan doktor-doktor formal.
Lalu apa kata budayawan Emha Ainun Nadjib ? Cak Nun, panggilan akrab Emha mengakui Rendra memang seorang penyair yang memiliki pemikiran melampui zamannya.
"Hanya saja, pemikiran Rendra yang disampaikan dalam penganugerahan Doktor HC adalah pemikiran yang pernah dikemukakan dan didiskusikan sekitar 1970-an," kata Cak Nun. K-16/ad

Mengambil hikmah dari lika liku hidup Mbah Surip

Mbah Surip meninggal pada hari Selasa tanggal 4 Agustus 2009. Dari perjalanan hidupnya yang penuh lika liku hingga menjadi penyanyi fenomenal, menurut saya banyak sekali hikmah yang patut kita ambil. Semoga amal baik Mbah Surip menjadi teman sejati dipangkuan Illahi..amiin

Mbah Surip Digendong Tuhan


Oleh Saratri Wilonoyudho (Peneliti dan Dosen Universitas Negeri Semarang)

Kematian Michael Jackson dan Mbah Surip boleh saja ditafsirkan bahwa Tuhan tengah mempertunjukkan pelajaran kepada manusia tentang apa sesungguhnya batas-batas kewajaran. Di tengah-tengah nafsu perebutan kekuasaan di berbagai level, baik nasional maupun daerah, Tuhan sedang memberi "intermezzo" sebuah refrein lagu kematian. Semua yang ada di dunia tidak ada yang abadi, kenapa orang terus mengejar harta dunia dan kepemilikan sampai lupa daratan?
Mbah Surip dan Jacko adalah dua sosok yang bertolak belakang. Kesamaan mereka adalah kekayaan yang luar biasa untuk ukurannya. Tentu saja hasil ring tone Mbah Surip sekitar Rp 5 miliar, itu hanya "uang jajan" Jacko. Namun, bagi Mbah Surip, uang itu luar biasa banyaknya.
Sebaliknya, kekayaan Jacko mencapai angka triliunan rupiah. Ironisnya, Jacko justru kesepian dan menderita hingga akhirnya meninggal dalam kesengsaraan, sebaliknya Mbah Surip meninggal dalam kedamaian. Tak mudah orang meninggal mendadak seperti ia.
Fenomena Michael Jackson banyak kita jumpai. Di negeri ini juga banyak orang "sukses" namun menderita lahir batin. Ini adalah sebuah ironi.
Fenomena Mbah Surip dan Michael Jackson mengajarkan tentang "ilmu kematian" dan "ilmu kewajaran". Kemiskinan yang berlebihan juga akan membunuh manusia, bukan hanya jasadnya, namun juga mentalnya. Demikian pula kekayaan yang luar biasa yang melebihi batas juga akan mematikan kreativitas mentalnya karena segala sesuatunya dapat dia beli.
Ilmu kehidupan itu ialah menyadari ilmu kematian. Kepemilikan apa saja di dunia ini tak akan dapat dibawa mati. Emha Ainun Nadjib pernah bercerita tentang kematian Pugra, ia meninggal ketika sedang pentas tari Bali di Sasonomulya, Solo. Sebagaimana laiknya orang Bali, anak dan dua keponakannya dengan tenang menyaksikan kematiannya. Kematian tak layak disedihkan karena kematian adalah berangkat ke kehidupan yang lebih tinggi. Apalagi mereka yakin Pugra mengetahui saat kematiannya hingga ia memilih di atas pentas ketika menari.
Mbah Surip semoga termasuk seniman yang menyadari bahwa menjadi seniman bukan untuk kesenangan tujuan popularitas atau tujuan kekayaan material belaka. Banyak kasus calon-calon artis berbondong-bondong mendatangi sutradara dan menawarkan diri: "Berpose telanjang juga boleh, tidak apa-apa, asal wajar sesuai tuntutan skenario". Bagaimana mungkin telanjang kok "wajar"? Inilah kesenimanan yang tidak menyatu dengan jiwa dan ruhnya.
Semoga kesenimanan Mbah Surip menyatu dengan jiwanya, dan jiwa tak dapat dilepaskannya kecuali jika ia dikhianati. Kesenimanan baginya adalah kebahagiaan cinta (I Love You Full, katanya) dan kesejatian dan bukan keglamoran atau nafsu. Mbah Surip barangkali sadar bahwa jiwa kesenimanan jika dikhianati maka akan terjerambab. Berapa banyak seniman dan artis kita yang jatuh ke jurang nista justru setelah sampai pada puncak ketenaran seperti Jacko, baik karena narkoba, selingkuh, dan tindakan amoral lainnya?
Kesenimanan bagi Mbah Surip adalah kesetiaan dan bukan kemegahan. Kesenimanan harus teguh mempertahankan prinsip bahwa seni itu untuk kemanusiaan serta untuk memuji kebesaran Tuhan dan ciptaan-Nya. Perkara mendapat uang miliaran, ini adalah "risiko", dan bukan tujuannya. Kalau seniman tidak memiliki sikap seperti ini, berarti dia bukan seniman tapi pedagang.
Ilusi kesuksesan hidup
Pelajaran lain dari Jacko adalah tentang ilusi kesuksesan hidup. Orang barangkali heran mengapa para pejabat dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan, dengan berbagai fasilitas luar biasa, hingga kekayaannya mencapai angka puluhan miliar rupiah, toh masih tega juga mengorupsi uang rakyat. Pertanyaannya, mengapa orang yang bertambah kekayaannya justru semakin haus untuk mereguk yang lainnya?
Pertanyaan ini dijawab dengan baik oleh ekonom Inggris Fred Hirsch. Menurut Hirsch, justru dengan semakin kaya seseorang akan merangsang nafsunya untuk terus menambah kekayaannya. Penjelasan Hirsch cukup simpel: orang yang bertambah kekayaannya terus akan mengejar kekayaan yang lain karena orang lain di sekitarnya juga terus menangguk "kesuksesan" hidup. Dalam posisi seperti ini, kekayaan yang ia dapatkan seolah-olah tidak berarti baginya.
Mereka yang dicontohkan di atas tergolong orang-orang yang terbelenggu oleh kemilau duniawi. Padahal, kata para sufi seperti Abdul Qodir Jaelani, Jalaluddin Rumi, jika seseorang sudah "berjumpa" dengan Tuhannya, maka ia akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Keinginan yang terbesar orang yang sudah sampai pada tataran atau maqom ini adalah: "tidak ingin memiliki keinginan sama sekali".
Kalaupun ia dianugerahi kekayaan dari Tuhan, ia enjoy saja. Kekayaan itu tidak akan membelengggunya. Ia akan menafkahkan kepada siapa saja, menaburkan kepada alam semesta, kepada sesama, tanpa beban dan tanpa harapan untuk "pahala". Ia akan menggunakan secukupnya (tentu sesuai standar normal orang hidup), dan sisanya yang terbesar akan dikembalikan kepada pemilik-Nya, lewat amal jariyah yang terus mengalir tiada henti, tanpa takut ia akan jatuh miskin.
Orang yang sudah sampai tataran "hilangnya" keinginan (duniawi) akan tenteram jiwanya. Ia sangat menikmatui "perjumpaannya" dengan Sang Khalik, dan orang Jawa bilang sudah dapat menuju ke arah "manunggaling kawula Gusti". Tuhan senantiasa ada di dalam hatinya dan selalu memberi berkah.
Barangkali ilmu ini yang dimiliki Mbah Surip, terbukti ia tidak silau dengan rezeki nomplok. Ia tetap bersahaja, dan sebaliknya Jacko yang tidak bersyukur. Jacko malu sebagai orang hitam dengan jalan operasi plastik. Sebaliknya Mbah Surip justru "menjelek-jelekkan" namanya sendiri karena nama aslinya adalah Urip Ariyanto. Mbah Surip tidak ganti nama menjadi Ary atau Ariel, layaknya artis-artis kita yang tak pernah percaya diri sehingga harus mengganti namanya.
Mbah Surip juga tidak serta-merta mengubah penampilannya. Tetap rambut gimbal ke mana-mana naik ojek dan tidak jual mahal atau angkuh. Mbah Surip seakan tidak merasakan apa arti uang Rp 5 miliar. Padahal, berapa banyak pejabat yang kelihatannya terhormat dan "religius" ternyata amat rakus melihat angka-angka rupiah seperti ini.
Wajar jika Tuhan segera menggendong Mbah Surip agar orang ini "terselamatkan" oleh kemilau dunia yang barangkali akan menjeratnya seperti Michael Jackson atau artis-artis lain yang tidak kuat "ditempati derajat dan pangkat" (Ora kuat kanggonan drajad pangkat kata orang Jawa).

sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/06/11193244/mbah.surip.digendong.tuhan.

Kamis, 16 Juli 2009

~ Charles C. Finn, September 1966

Please Hear What I'm Not Saying Don't be fooled by me.
Don't be fooled by the face I wear for I wear a mask, a thousand masks, masks that I'm afraid to take off, and none of them is me.
Pretending is an art that's second nature with me, but don't be fooled, for God's sake don't be fooled.
I give you the impression that I'm secure, that all is sunny and unruffled with me, within as well as without, that confidence is my name and coolness my game, that the water's calm and I'm in command and that I need no one, but don't believe me.

My surface may seem smooth but my surface is my mask, ever-varying and ever-concealing. Beneath lies no complacence.
Beneath lies confusion, and fear, and aloneness.
But I hide this.
I don't want anybody to know it.
I panic at the thought of my weakness exposed.
That's why I frantically create a mask to hide behind, a nonchalant sophisticated facade, to help me pretend, to shield me from the glance that knows.
But such a glance is precisely my salvation, my only hope, and I know it.
That is, if it's followed by acceptance, if it's followed by love.
It's the only thing that can liberate me from myself, from my own self-built prison walls, from the barriers I so painstakingly erect.

It's the only thing that will assure me of what I can't assure myself, that I'm really worth something.
But I don't tell you this.
I don't dare to, I'm afraid to.
I'm afraid your glance will not be followed by acceptance, will not be followed by love.
I'm afraid you'll think less of me, that you'll laugh, and your laugh would kill me.
I'm afraid that deep-down I'm nothing and that you will see this and reject me.
So I play my game, my desperate pretending game, with a facade of assurance without and a trembling child within.
So begins the glittering but empty parade of masks, and my life becomes a front.
I tell you everything that's really nothing, and nothing of what's everything, of what's crying within me.
So when I'm going through my routine do not be fooled by what I'm saying.
Please listen carefully and try to hear what I'm not saying, what I'd like to be able to say, what for survival I need to say, but what I can't say.

I don't like hiding.
I don't like playing superficial phony games.
I want to stop playing them.
I want to be genuine and spontaneous and me but you've got to help me.
You've got to hold out your hand even when that's the last thing I seem to want.
Only you can wipe away from my eyes the blank stare of the breathing dead.
Only you can call me into aliveness.
Each time you're kind, and gentle, and encouraging, each time you try to understand because you really care, my heart begins to grow wings-- very small wings, very feeble wings, but wings! With your power to touch me into feeling you can breathe life into me.

I want you to know that.
I want you to know how important you are to me, how you can be a creator--an honest-to-God creator-- of the person that is me if you choose to.
You alone can break down the wall behind which I tremble, you alone can remove my mask, you alone can release me from my shadow-world of panic, from my lonely prison, if you choose to. Please choose to.
Do not pass me by.
It will not be easy for you.

A long conviction of worthlessness builds strong walls.
The nearer you approach to me the blinder I may strike back.
It's irrational, but despite what the books say about man often I am irrational.
I fight against the very thing I cry out for.
But I am told that love is stronger than strong walls and in this lies my hope.
Please try to beat down those walls with firm hands but with gentle hands for a child is very sensitive.

Who am I, you may wonder?
I am someone you know very well.
For I am every man you meet and I am every woman you meet.

Dokter yang bersahaja

sumber : http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/07/16/09405225/dokter.lo.siaw.ging.tak.sudi.berdagang

Kamis, 16 Juli 2009 09:40 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Sonya Helen Sinombor

Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang banyak?”Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.Kerusuhan 1998Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.AnugerahMenjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana,” ujarnya.Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?” ujar Lo.Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan.”

DATA DIRI• Nama: Lo Siaw Ging • Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 • Istri: Maria Gan May Kwee (62) • Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 • Profesi: - Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo

Rabu, 24 Juni 2009

Merenung yukk....(ilmu bagai cahaya rembulan)

Penulis : Bapak Rois Fathoni
(PhD candidate dari Department of Chemical EngineeringUniversity of Waterloo, Kanada dan dosen di Teknik Kimia, Univ Muhammadiyah Surakarta)

Al ‘ilmu Nuurun. Ilmu itu bagaikan cahaya. Manfaat Ilmu pengetahuan bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan adalah bagaikan cahaya yang membebaskan manusia dari kegelapan. Sedemikian besar kedudukan ilmu ini bagi keselamatan dan kesejahteraan manusia, hingga Allah swt mendahulukan perintah menuntut ilmu ini sebelum perintah perintah yang lainnya (Al ’Alaq (96) : 1-5).
Alqur’an menggunakan dua kata yang berbeda untuk melukiskan cahaya matahari dan rembulan: dhiyaa’un untuk matahari, dan nuurun untuk rembulan (Yunus (10) : 5). Hal ini sesuai dengan perbedaan karakter alami dari keduanya: matahari bersinar karena ia menghasilkan sinarnya sendiri, sedangkan rembulan bercahaya karena ia hanya memantulkan sinar yang sampai kepadanya.
Maka “al’ilmu nuurun” sesungguhnya akan lebih tepat jika diartikan “ilmu itu bagaikan cahaya rembulan.” Dan jika merujuk pada karakter cahaya rembulan yang berbeda dengan cahaya matahari, akan kita dapati paling tidak ada dua hal yang bisa dijadikan nasehat bagi orang yang berilmu.

Pertama, orang berilmu harus menyebarkan ilmunya kepada orang lain. Manfaat cahaya rembulan tidak akan pernah bisa dirasakan oleh penduduk bumi jika rembulan tidak mau memantulkan sinar matahari yang sampai kepadanya. Ilmu pengatahuan tidak akan bisa dirasakan oleh umat manusia jika orang yang memilikinya tidak mau menyampaikannya kepada orang lain. Keharusan penyampaian ilmu ini bukan hanya untuk kepentingan manusia yang lain, tetapi justru yang lebih utama adalah untuk kepentingan pribadi orang berilmu tersebut. Jika rembulan tidak memantulkan sinar matahari yang sampai kepadanya, maka energy sinar itu akan terakumulasi di dalam dirinya, dan kelak suatu saat ia akan hancur luluh karena tidak kuat menahan akumulasi energy itu. Maka, demi kemaslahatan diri dan orang lain, orang berilmu harus menyebarkan ilmunya kepada orang lain.

Kedua, orang berilmu yang telah menunaikan kewajibannya, menyampaikan ilmunya kepada orang lain, tidak boleh berlaku sombong. Seterang - terangnya cahaya rembulan di bulan purnama, sesungguhnya cahaya yang tampaknya berasal dari rembulan itu hanyalah pantulan dari sinar matahari. Rembulan tidak pernah menghasilkan cahayanya sendiri. Ia “hanya” beredar mengelilingi bumi dan pada saat yang bersamaan, bersama bumi, mengelilingi matahari. Sepandai pandainya orang yang tampak berilmu di mata manusia, sesungguhnya ia hanya sekedar memantulkan ilmu yang datang kepadanya. Ia tidaklah memproduksi sendiri ilmu itu. Benar, bahwa manusia harus berikhtiar menuntut ilmu dan menyebarkan ilmunya, sebagaimana bulan beredar mengelilingi bumi dan matahari. Tetapi ikhtiar manusia tidak serta merta linier dengan ilmu yang ia dapatkan. Dua orang siswa yang memiliki tingkat kecerdasan yang sama, dengan tingkat ketekunan belajar yang sama, tidak akan menjamin bahwa keduanya akan memiliki tingkat pemahaman yang sama. Tingkat kefahaman itu di luar kendali manusia. Ia adalah anugerah dari Allah swt. Orang berilmu faham betul hal ini, dan sungguh tidak pantas bagi dirinya untuk menyombongkan diri atas ilmu yang ia peroleh dan ia sampaikan kepada orang lain karena sesungguhnya, seperti rembulan, ia hanya memantulkan kefahaman yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Benar, bahwa Allah menyuruh manusia menghormati orang berilmu, sebagaimana Beliau sendiri juga memuji dan menghormati orang berilmu (Al Mujaadalah (58): 11). Tetapi perintah ini berlaku bagi orang orang yang mendapatkan manfaat dari orang orang berilmu. Sanjungan dari Allah ini tidak boleh dijadikan dalil untuk merasa lebih tinggi dari manusia lain karena ilmu yang diberikan Allah kepada kita. Lagipula, bukankah semua orang pasti memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain? Petani, nelayan, penjahit, masinis, tukang batu, dokter, dosen, guru, pengelola sampah, dst., semua memiliki ilmunya masing - masing. Dengan ilmu dan keahlian merekalah hidup kita menjadi jauh lebih mudah.

Mudah mudahan Allah senantiasa melimpahkan semangat menuntut ilmu kepada kita, menambah ilmu dan kefahaman kepada kita, menganugerahi kita dengan kemampuan untuk menyampaikan kefahaman itu kepada orang lain, dan membersihkan hati kita dari sifat sombong karenanya. Mudah mudahan juga Allah memberikan kemampuan kepada kita untuk senantiasa melihat orang lain, siapapun dia, sebagai orang yang berilmu, mengambil manfaat dengan ilmunya, dan selalu bisa berterima kasih dan menghormatinya, Amiin.

Selasa, 16 Juni 2009

mengenal lebih jauh antimateri (sorry dont have time for translating)

sumber : http://public.web.cern.ch/Public/en/Spotlight/SpotlightAandD-en.html

Does CERN exist?

Well, yes, it does. You can see us to the left and slightly up from the centre of the city of Meyrin.
Is it located in Switzerland?
Part is in Switzerland, part in France across the border. CERN is not a Swiss institute, but an international organization. We are very close to Geneva's international airport.
What does the acronym CERN mean?
That is a long story, but the name CERN is derived from the French ‘Conseil Européen pour la Recherche Nucléaire’.

Does it consist of red brick buildings with white-frocked scientists running around carrying files?

No, that is rather far from reality; we have mostly white buildings made of concrete and the scientists wear everyday clothes and they mostly do not carry files.
Was the Web really invented at CERN as the book states?
Yes, indeed, the Web came from CERN, invented here by Tim Berners-Lee in 1989.

Does antimatter exist?

Yes, it does, and we produce it routinely at CERN. Antimatter was predicted by P.A.M. Dirac in 1928 and the first antiparticles were discovered soon after by Carl Anderson. CERN is not the only research institute to produce and study antimatter.

How is antimatter contained?

It is very difficult to contain antimatter, because any contact between a particle and its anti-particle leads to their immediate annihilation.
For electrically charged antimatter particles we know how to contain them by using ‘electromagnetic traps’. These traps make it possible to contain up to about 1012 (anti-) particles of the same charge. However, like charges repel each other. So it is not possible to store a much larger quantity of e.g. antiprotons because the repulsive forces between them would become too strong for the electromagnetic fields to hold them away from the walls.
For electrically neutral anti-particles or anti-atoms, the situation is even more difficult. It is impossible to use constant electric or magnetic fields to contain neutral antimatter, because these fields have no grip on the particles at all. Scientists work on ideas to use ‘magnetic bottles’ (with inhomogeneous magnetic fields acting on the magnetic moment), or ‘optical traps’ (using lasers) but this is still under development.

What is the future use of antimatter?

Anti-electrons (positrons) are already used in PET scanners in medicine (Positron-Emission Tomography = PET). One day it might be even possible to use antiprotons for tumour irradiation.
But antimatter at CERN is mainly used to study the laws of nature. We focus on the question of the symmetry between matter and antimatter. The LHCb experiment will compare precisely the decay of b-quarks and anti-b-quarks. Eventually we also hope to be able to use anti-hydrogen atoms as high-precision tools.

Do antimatter atoms exist?

The team of the PS210 experiment at the Low Energy Antiproton Ring (LEAR) at CERN made the first anti-hydrogen atoms in 1995. Then, in 2002 two experiments (ATHENA and ATRAP) managed to produce tens of thousands of antihydrogen atoms, later even millions. However, although "tens of thousands" may sound a lot, it's really a very, very small amount. You would need 10,000,000,000,000,000 times that amount to have enough anti-hydrogen gas to fill a toy balloon! If we could somehow store our daily production, it would take us several billion years to fill the balloon. But the universe has been around for only 13.7 billion years...So the Angels and Demons scenario is pure fiction.

Can we hope to use antimatter as a source of energy? Do you feel antimatter could power vehicles in the future, or would it just be used for major power sources?

There is no possibility to use antimatter as energy ‘source’. Unlike solar energy, coal or oil, antimatter does not occur in nature; we first have to make every single antiparticle, and we have to invest (much) more energy than we get back during annihilation.
You can imagine antimatter as a storage medium for energy, much like you store electricity in rechargeable batteries. The process of charging the battery is reversible with relatively small loss. Still, it takes more energy to charge the battery than you get back.
The inefficiency of antimatter production is enormous: you get only a tenth of a billion (10-10) of the invested energy back. If we could assemble all the antimatter we've ever made at CERN and annihilate it with matter, we would have enough energy to light a single electric light bulb for a few minutes.
I was hoping antimatter would be the future answer to our energy needs. It seems more research is needed for this to happen.
No, even more research will not change this situation fundamentally; antimatter is certainly not able to solve our energy problems. First of all, you need energy to make antimatter (E=mc2) and unfortunately you do not get the same amount of energy back out of it. (See above, the loss factors are enormous.)
Furthermore, the conversion from energy to matter and antimatter particles follows certain laws of nature, which also allow the production of many other, but very short-lived particles and antiparticles (e.g. muons, pions, neutrinos). These particles decay rapidly during the production process, and their energy is lost.
Antimatter could only become a source of energy if you happened to find a large amount of antimatter lying around somewhere (e.g. in a distant galaxy), in the same way we find oil and oxygen lying around on Earth. But as far as we can see (billions of light years), the universe is entirely made of normal matter, and antimatter has to be painstakingly created.
By the way, this shows that the symmetry between matter and antimatter as stated above does not seem to hold at very high energies, such as shortly after the Big Bang, as otherwise there should be as much matter as antimatter in the Universe. Future research might tell us is how this asymmetry came about.

Can we make antimatter bombs?

No. It would take billions of years to produce enough antimatter for a bomb having the same destructiveness as ‘typical’ hydrogen bombs, of which there exist more than ten thousand already.
Sociological note: scientists realized that the atom bomb was a real possibility many years before one was actually built and exploded, and then the public was totally surprised and amazed. On the other hand, the public somehow anticipates the antimatter bomb, but we have known for a long time that it cannot be realized in practice.

Why has antimatter received no media attention?

It has received a lot of media attention, but usually in the scientific press. Also, antimatter is not ‘new’. Antiparticles have been known and studied for 75 years. What is new is the possibility to produce anti-hydrogen atoms, but this is also mainly a matter of scientific interest.

Is antimatter truly 100% efficient?

It depends on what you mean by efficient. If you start from two equal quantities m/2 of matter and m/2 of antimatter, then the energy output is, of course, exactly E=mc2. Mass is converted into energy with 100% efficiency.
But that is not the point: how much effort do you have to put in to get m/2 grams of antimatter? Well, theoretically E=mc2 because half of the energy will become normal matter. So you gain nothing. But the process of creating antimatter is highly inefficient; when you dissipate energy into particles with mass, many different - also short-lived - particles and antiparticles are produced. A major part of the energy gets lost, and a lot of the stable antimatter-particles (e.g. positrons and antiprotons) go astray before you can catch them. Everything happens at nearly the speed of light, and the particles created zoom off in all directions. Somewhat like cooking food over a campfire: most of the heat is lost and does not go into the cooking of the food, it disappears as radiation into the dark night sky. Very inefficient.

Do you make antimatter as described in the book?

No. The production and storage of antimatter at CERN is not at all as described in the book: you cannot stand next to the Large Hadron Collider (LHC) and see it come out, especially since the LHC accelerator is not yet in operation.
To make antiprotons, we collide protons at nearly the speed of light (to be precise, with a kinetic energy of about 25 GeV) with a block of metal, e.g. copper or tungsten. These collisions produce a large number of particles, some of which are antiprotons. Only the antiprotons are useful, and only those that fly out in the right direction. So that's where your energy loss goes: it is like trying to water a pot of flowers but with a sprinkler that sprays over the whole garden. Of course, we constantly apply new tricks to become more efficient at collecting antiparticles, but at the level of elementary particles this is extremely difficult.

Why then do you build the LHC?

The reason for building the LHC accelerator is not to make antimatter but to produce an energy concentration high enough to study effects that will help us to understand some of the remaining questions in physics. We say concentrations, because we are not talking about huge amounts but an enormous concentration of energy. Each particle accelerated in the LHC carries an amount of energy equivalent to that of a flying mosquito. Not much at all in absolute terms, but it will be concentrated in a very minute volume, and there things will resemble the state of the universe very shortly (about a trillionth of a second) after the Big Bang.
You should compare the concentration effect to what you can learn about the quality of a wooden floor by walking over it. If a large man wearing normal shoes and a petite woman wearing sharp stiletto heels walk over the same floor, the man will not make dents, but the woman, despite her lower weight, may leave marks; the pressure created by the stiletto heels is far higher. So that is like the job of the LHC: concentrate a little energy into a very minute space to produce a huge energy concentration and learn something about the Big Bang.

Does CERN have a particle accelerator 27 kilometres long?

The LHC accelerator is a ring 27 kilometres in circumference. It is installed in a tunnel about 100 m underground. You can see the round outline of it marked on a map of the area.

In fact, why do you make antimatter at CERN?

The principal reason is to study the laws of nature. The current theories of physics predict a number of subtle effects concerning antimatter. If experiments do not observe these predictions, then the theory is not accurate and needs to be amended or reworked. This is how science progresses.
Another reason is to get extremely high energy densities in collisions of matter and antimatter particles, since they annihilate completely when they meet. From this annihilation energy other interesting particles may be created. This was mainly how the Large Electron Positron (LEP) collider functioned at CERN until 2000, or the Tevatron currently operates at Fermilab near Chicago.

How is energy extracted from antimatter?

When a normal matter particle hits an antimatter particle, they mutually annihilate into a very concentrated burst of pure energy, from which in turn new particles (and antiparticles) are created. The number and mass of the annihilation products depends on the available energy.
The annihilation of electrons and positrons at low energies produces only two (or three) highly energetic photons. But with annihilation at very high energy, hundreds of new particle-antiparticle pairs can be made. The decay of these particles produces, among others, many neutrinos, which do not interact with the environment at all. This is not very useful for energy extraction.

How safe is antimatter?

Perfectly safe, given the minute quantities we can make. It would be very dangerous if we could make a few grams of it, but this would take us billions of years.

If so, does CERN have protocols to keep the public safe?

There is no danger from antimatter. There are of course other dangers on the CERN site, as in any laboratory: high voltage in certain areas, deep pits to fall in, etc. but for these dangers the usual industrial safety measures are in place. There is no danger of radioactive leaks as you might find near nuclear power stations.

Does one gram of antimatter contain the energy of a 20 kilotonne nuclear bomb?

Twenty kilotonnes of TNT is the equivalent of the atom bomb that destroyed Hiroshima. The explosion of a kilotonne (=1000 tonnes) of TNT corresponds to a energy release of 4.2x1012 joules (1012 is a 1 followed by 12 zeros, i.e. a million million). For comparison, a 60 watt light bulb consumes 60 J per second.

You are probably asking for the explosive release of energy by the sudden annihilation of one gram of antimatter with one gram of matter. Let's calculate it.
To calculate the energy released in the annihilation of 1 g of antimatter with 1 g of matter (which makes 2 g = 0.002 kg), we have to use the formula E=mc2, where c is the speed of light (300,000,000 m/s):
E= 0.002 x (300,000,000)2 kg m2/s2 = 1.8 x 1014 J = 180 x 1012 J. Since 4.2x1012 J corresponds to a kilotonne of TNT, then 2 g of matter-antimatter annihilation correspond to 180/4.2 = 42.8 kilotonnes, about double the 20 kt of TNT.
This means that you ‘only’ need half a gram of antimatter to be equally destructive as the Hiroshima bomb, since the other half gram of (normal) matter is easy enough to find.
At CERN we make quantities of the order of 107 antiprotons per second and there are 6x1023 of them in a single gram of antihydrogen. You can easily calculate how long it would take to get one gram: we would need 6x1023/107=6x1016 seconds. There are only 365 (days) x 24 (h) x 60 (min) x 60 (sec) = around 3x107 seconds in a year, so it would take roughly 6x1016 / 3x107 = 2x109 = two billion years! It is quite unlikely that anyone wants to wait that long.

Did CERN scientists actually invent the Internet?

No. The Internet was originally based on work done by Louis Pouzin in France, taken up by Vint Cerf and Bob Kahn in the US in the 1970s. However, the Web was invented and developed entirely by Tim Berners-Lee and a small team at CERN during 1989-1994. The story of the Internet and the Web can be read in ‘How the Web was born’. Perhaps not as sexy as Angels and Demons, but everything in ‘How the Web was born’ was first-hand testimony and research.
Does CERN own an X-33 spaceplane?
Unfortunately not.

Lampu dioda dari hibridisasi benang nano ZnO dengan polimer organik

Lampu dioda dari hibridisasi benang nano ZnO dengan polimer organik

oleh Iwan

Perkembangan teknologi lampu diode (LED) menggunakan bahan inorganic yang fleksibel dan lentur telah mampu direalisasikan dengan menggunakan ZnO yang berbentuk benang nano. Benang nano dari ZnO bertindak sebagai komponen optis.
Diawali oleh emisi sinar ultra violet(uv) dengan panjang gelombang 393 nm dari benang nano ZnO (ZnO Nanowire LEDs Have UV Output,” Photonics Spectra, January 2006, page 135), para peneliti kini telah menemukan spectrum yang berada pada rentang cahaya tampak hingga mendekati sinar infra merah (500-1100 nm) mampu dihasilkan oleh LED yang berbasiskan benang nano dari ZnO.
Gambar 1. Diagram dari struktur LED berbasis benang nano pada substrate plastik

Penemuan ini di pelopori oleh Prof. Rolf Könenkamp dari Portland State University in Oregon. Hasil penemuannya melaporkan bahwa LED dari bahan inorganic diprediksikan menjadi alternative masa depan untuk menggantikan semua perangkat elektronik dan photonic dari bahan organic.
Struktur dari divais LED berbasiskan benang nano yang lentur dapat di lihat pada gambar 1. Dari gambar tersebut benang nano ZnO ditumbuhkan diatas substrate polyethylene terephtalate (bahan plastic) yang telah dilapisi oleh indium tin okside (ITO). Kristal tunggal benang nano tersebut ditumbuhkan dengan metode elektrodeposisi dengan temperature 80oC di atas ITO. Proses penumbuhan kira-kira memakan waktu satu jam dengan arah tumbuh vertical dan homogeny. Dari hasil karakterisasi, panjang benang nano rata-rata 2 mm dan diameter 70-120 nm. Lalu benang-benang nano tersebut di lapisi dengan lapisan tipis polysterene sebagai isolator yang mengisi tiap celah diantara benang-benang nano. Lapisan tipis polysterene melapisi benang nano dengan ketebalan kira-kira 10 nm. Proses pengisian celah atau pelapisan benang-benang nano tersebut menggunakan metode spin coating. Lalu bagian atas dilapisi pula menggunakan poly(3,4-ethylene-dioxythiophene) poly(styrenesulfonate), PEDOT/PSS, selanjutnya dilapisi emas (sebagai kontak Ohmic) yang berperan sebagai anoda (elektroda positif). Gambar 2. Benang-benang nano ZnO yang berada dilapisi oleh lapisan tipis polystyrene

Dari penelitian lebih lanjut, ternyata benang-benang nano ZnO tersebut melekat sangat kuat diatas substrate meskipun dibengkokan dengan jari-jari kelengkungan <10 μm.Dari sisi intensitas cahaya yang diemisikan, LED benang nano yang berada diatas substrate plastic memancarkan cahaya dengan intensitas lebih rendah dibandingkan diatas substrate gelas. Namun demikian distribusi spectrum cahaya yang teramati dari elektroluminisensi memiliki kemiripan yaitu berada di rentang cahaya tampak.
Penemuan ini mengindikasikan bahwa hibridisasi teknologi nano dengan polimer organic memiliki potensi untuk dikembangkan dalam ranah aplikasi optoelektronika di masa depan.

Referensi :

Photonics Spectra, January 2006, page 135
Nano Letters, February 2008, pp. 534-537.