oleh : Iwan
Dalam kurun waktu 2 tahunan ini saya melihat sudah puluhan bencana yang menimpa negeri Indonesia....masih di dalam ingatan saya ketika membaca ratusan orang tewas akibat karamnya kapal di laut Majene, dan kini hal yang terduga adalah tragedi jebolnya tanggul situ Gintung.
Di sini saya tertarik untuk sedikit menganalisis kenapa tanggul tersebut bisa jebol. Dari pemberitaan media, dan ungkapan para pimpinan negeri ini, peristiwa tersebut adalah murni bencana. Pertanyaan yang membuat saya ingin berkomentar adalah, bila dikatakan bencana, termasuk ke dalam ranah bencana alamkah? atau bencana akibat kelalaian pemerintah?
Mari kita coba analisis, tanggul tersebut adalah tanggul yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintah kolonial Belanda.Belanda membangun tanggul tersebut, karena posisi situ yang berada di daerah lebih tinggi dari permukaan tanah disekitar areal tersebut. Sehingga areal yang berada di permukaan lebih rendah dapat dimanfaatkan sebagai areal buat kepentingan lain, seperti perkebunan, dsb, serta tidak kuatir dengan sistem pengairan/irigasi.
Bagaimana dengan kondisi sebelum bencana menimpa ? Terakhir kali saya pernah mengunjungi daerah situ Gintung di dekat perumahan dosen UI pada tahun 2002an. Di sana saya melihat memang daerah di sekitar situ merupakan pemukiman padat penduduk. Bisa dibayangkan, tanggul yang berumur ratusan tahun yang menjaga situ dengan luas kurang lebih 20 hektar berada di daerah padat penduduk.
Pertanyaan saya, begitu percayakah masyrakat dengan bangunan ujur? apakah inspeksi semacam non destructive testing periodik dilakukan? merujuk pada pertanyaan pertama, mungkin saya akan menilai, masyrakat daerah tersebut sangat percaya dengan kinerja pemerintah dalam memelihara kualitas tanggul atau memang mereka tidak tahu apa-apa.
Apa sih non destructive testing (NDT) ? ini merupakan suatu inspeksi yang tidak merusak terhadap suatu material atau bahan. Tekniknya macam-macam, ada liquid penetrant, magnetic particle inspection, arus eddy, radiography, dan ultrasonic testing. Nah, menurut saya jika inspeksi terhadap tanggul dilakukan secara periodik. Mungkin kita bisa melihat dan menganalisis ada atau tidaknya crack/retakan di tanggul. Bila crack dapat di monitor dari waktu ke waktu, tentu bisa disegerakan untuk memperbaikinya.
Nasi sudah menjadi bubur, hikmah yang diambil adalah, pemerintah dan masyrakat harus lebih paham tentang teknologi dan sadar dengan mekanisme perawatan. Perawatan sepertinya terlihat ribet dan mahal secara ekonomi, namun bila timbul masalah, biaya perbaikan tentu akan lebih mahal. Belum lagi bila masalah itu menyangkut nyawa, tentu harganya tidak ternilai....
At last but not least, saya doakan agar korban meninggal kibat tanggul situ Gintung di terima di sisi sang Khalik sang Illahi rabbi....dan korban selamat agar diberi kesabaran dan ketabahan...Amiiinn....
Jumat, 27 Maret 2009
Senin, 09 Maret 2009
Pendidik bukan seorang pemburu.....
Artikel yang dimuat pada : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/07/03214961/pendidik..bukan.pemburu, membuat saya banyak merenung. Memang studi di Singapur kita dituntut untuk berpacu menghasilkan sebuah karya ilmiah yang populer. Namun ini cukup beralasan karena Singapur telah memberikan reword besar juga buat para pelajar dari level undergrad sampai postgrad. Nah permasalahannya adalah, mampukah kedua belah pihak (dosen dan mahasiswa) memiliki komunikasi yang positif? Ini sangat tergantung dari kedua belah pihak, tentu keduanya harus memiliki knowledge dan wisdom serta mengerti posisi masing-masing. Dosen/Prof harus mampu menjadi guru (bukan hanya sebagai bos yang menuntut target2 tertentu) sehingga dapat mengoptimalkan hasil riset secara bijaksana, dan mahasiswa harus pula mampu mengukur diri dan menyadari posisinya sebagai siswa yang bertanggung jawab.
Tentang kasus David (alm) yang terjadi di NTU, saya tidak bisa banyak komentar dan berpeskulasi. Well, mari kita simak saja tulisan karya Dr. Rhenald Kasali, tulisan beliau baik sekali buat kita sebagai pendidik, orang tua, kakak, dan orang yang merasa peduli dengan pendidikan di lingkungan sosial masyarakat kita.
Oleh *RHENALD KASALI*
Hari Senin, 2 Maret 2009, David H Wijaya, mahasiswa pintar asal Indonesia,tewas di Nanyang Tech University, Singapura.Semula, diberitakan ia kepepet, menusuk profesornya, lalu bunuh diri.Kejadian seperti ini sering dilihat dari sisi kriminalitas (urusan polisi).Namun, benarkah demikian?Kalau David masih hidup, para pendidik bisa belajar banyak darinya. Versilain menyebutkan, David bukan pencemas, kurang pandai bergaul, atau rendahkecerdasan sosialnya. Akan ada versi-versi lain yang perlu dilihat darikacamata pendidikan.Naluri saya yang bergelut di bidang pendidikan selama lebih dari 20 tahunmengatakan sebaliknya. Besar kemungkinan mereka adalah korban dari sistemdan perilaku pemburu dalam pendidikan. Apalagi Pemerintah Singapura amatberkepentingan memburu anak-anak pintar etnis tertentu untuk mengimbangipopulasi bangsanya.Jadi, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan versi awal yang tidakdilandasi pada cara berpikir dari kacamata pendidikan.*Pemburu bukan pendidik*Bangku sekolah tentu bukan hutan belantara yang didiami aneka satwa liarnan buas. Sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidupdalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan ataukebahagiaan.Namun, entah mengapa, sekolah telah berubah menjadi lembaga yang meresahkananak didik. Bukan pemburu bersenjata, melainkan guru yang menuntut bekerjatertib, berkompetisi, dan prestasi akademis.Daripada menghargai keunikan masing-masing, kita membuat standar, lalumenempatkan mereka dalam struktur dan ranking. Akibatnya, bersaing mengejarranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, danpenghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh meski dimasyarakat terbukti sukses dan karya- karya mereka amat dihargai.Guru, atau dosen, yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalahpemburu, dan bagi saya pemburu bukan pendidik. Pemburu menatap tajam anakdidiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa. Di televisisering kita saksikan rekaman gambar guru yang menyiksa murid-muridnya.Anak-anak pintar pun tak luput dari ”penyiksaan” pemburu. Mereka dituntutmenunjukkan kehebatan dan selesai lebih cepat dari jadwal. Keunikanmasing-masing tidak diterima sebagai kehebatan.Saat mengepalai program doktor, saya sering terpaksa menggeser penguji,bukan karena mereka kurang hebat, tetapi karena lebih cocok jadi pemburu.Pemburu membombardir anak didiknya dengan berbagai pertanyaan sinis, out ofcontext, dengan tujuan menjatuhkan daripada membantu mereka menemukan masadepannya.*Sisi anak didik*David mungkin saja tidak memiliki kecerdasan sosial dan emosional sepertikata sejumlah kalangan. Namun, para guru di BPK Penabur mengatakan, Davidbukan penyendiri. Di kampus, ia juga aktif dalam kegiatan olahraga danmenjadi utusan Indonesia dalam Olimpiade Matematika di Meksiko. Karena Davidsudah tiada, mungkin kita bisa belajar dari David-David lain.Di Orinda, California, pada tahun 1985, seorang anak perempuan membunuhteman sekelasnya yang pintar dan populer. Saat diinterogasi polisi dandiperiksa kesehatan jiwanya, diketahui ia merasa tertekan karena dirinyanothing, invisible (tak ada yang menghiraukan) , dan worthless (takbernilai).Perasaan dan pikiran yang demikian membentuk keyakinan (belief). MatthewMcKay dan Patrick Fanning (1991) bahkan menyebutkan, banyak sekali anakdidik yang memiliki keunikan menjadi prisoners of belief (narapidanakeyakinan) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit mengendalikan diri.Pada masa krisis kita akan banyak bergulat dengan narapidana-narapida nakeyakinan yang terbelenggu dan sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan,dan aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi maupun kepemimpinanatasan yang buruk. Mereka memaksa dirinya masuk dalam standar dan menyangkalkeunikan dirinya semata-mata karena belenggu sekolah.Keyakinan inti (core-belief) tak pernah disentuh para pendidik karenabanyak sebab. Pertama, tak sedikit pendidik yang juga menjadi narapidanakeyakinan. Kedua, diperlukan therapy, dan therapy ini bukan kurikulum intiyang dianggap penting oleh pengelola pendidikan. Ketiga, tak banyak orangpaham men-therapy belief seseorang.*10 elemen*Saya pernah memasukkannya, dan hingga kini masih menggunakannya untukmembongkar belenggu-belenggu yang mengikat anak didik, tetapi pengalamanmengatakan, implementasinya banyak menemui hujatan dari para ”pemburu”.Untuk mencegah kasus David-David lain, kita harus memeriksa core-beliefinventory yang tersembunyi di balik pikiran anak-anak didik dan parapendidik. Inventory ini terdiri dari 10 elemen, yaitu percaya diri, rasanyaman, kontrol diri, cinta, otonomi, keluarga, rasa adil, kinerja,perubahan, kepercayaan (trust).Elemen-elemen itu dapat dibagi tiga: rasa percaya, hubungan personal, danpengendalian hidup. Ketiganya memengaruhi tingkat kecemasan, pengambilankeputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan/kecemasa n, dankeberhasilan hidup.Kategori pertama diwakili oleh percaya diri dan perasaan bernilai, percayakepada orang lain, dan merasa diperlakukan adil. Monolognya mengalir dalampernyataan seperti ”saya cukup bernilai”, ”mereka dapat dipercaya”, ”merekamemperlakukan saya dengan adil”.Kategori kedua, kenyamanan, cinta (love), dan keluarga (belonging).Orang-orang yang hidupnya seimbang cenderung penuh cinta dan ada yangmemikirkan. Kata mereka, ”Kalau hari ini saya hilang, pasti ada yangkehilangan dan menangisi kepergian saya.”Kategori ketiga, kemampuan kita mengendalikan diri sendiri,pekerjaan/sekolah (kinerja), kemandirian, dan pengambilan risiko(perubahan). Kelompok terakhir ini dapat disimpulkan dengan pernyataan ”sayabisa mengendalikan dorongan-dorongan liar dalam jiwa saya”, ”saya punyaprestasi”, ”saya cukup punya otoritas”, serta ”kalau menjadi lebih baik,mengapa takut menghadapi perubahan”.Andaikan David masih ada dan polisi Singapura cukup terbuka, mungkin kitabisa menemukan jawabnya dengan memeriksa kesepuluh elemen itu, baik padaDavid maupun dosen pembimbingnya.Dari pengalaman anak-anak didik yang dianggap bermasalah oleh para gurunya,diyakini David bukan anak jahat atau lemah kecerdasan sosialnya. David telahmenjadi ”narapidana keyakinan” yang tersudut dalam hutan perburuan dan kitatak memberikan ruang untuk membebaskan atau menghargai keunikannya.*Rhenald Kasali* *Pengajar di Universitas Indonesia*
Tentang kasus David (alm) yang terjadi di NTU, saya tidak bisa banyak komentar dan berpeskulasi. Well, mari kita simak saja tulisan karya Dr. Rhenald Kasali, tulisan beliau baik sekali buat kita sebagai pendidik, orang tua, kakak, dan orang yang merasa peduli dengan pendidikan di lingkungan sosial masyarakat kita.
Oleh *RHENALD KASALI*
Hari Senin, 2 Maret 2009, David H Wijaya, mahasiswa pintar asal Indonesia,tewas di Nanyang Tech University, Singapura.Semula, diberitakan ia kepepet, menusuk profesornya, lalu bunuh diri.Kejadian seperti ini sering dilihat dari sisi kriminalitas (urusan polisi).Namun, benarkah demikian?Kalau David masih hidup, para pendidik bisa belajar banyak darinya. Versilain menyebutkan, David bukan pencemas, kurang pandai bergaul, atau rendahkecerdasan sosialnya. Akan ada versi-versi lain yang perlu dilihat darikacamata pendidikan.Naluri saya yang bergelut di bidang pendidikan selama lebih dari 20 tahunmengatakan sebaliknya. Besar kemungkinan mereka adalah korban dari sistemdan perilaku pemburu dalam pendidikan. Apalagi Pemerintah Singapura amatberkepentingan memburu anak-anak pintar etnis tertentu untuk mengimbangipopulasi bangsanya.Jadi, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan versi awal yang tidakdilandasi pada cara berpikir dari kacamata pendidikan.*Pemburu bukan pendidik*Bangku sekolah tentu bukan hutan belantara yang didiami aneka satwa liarnan buas. Sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidupdalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan ataukebahagiaan.Namun, entah mengapa, sekolah telah berubah menjadi lembaga yang meresahkananak didik. Bukan pemburu bersenjata, melainkan guru yang menuntut bekerjatertib, berkompetisi, dan prestasi akademis.Daripada menghargai keunikan masing-masing, kita membuat standar, lalumenempatkan mereka dalam struktur dan ranking. Akibatnya, bersaing mengejarranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, danpenghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh meski dimasyarakat terbukti sukses dan karya- karya mereka amat dihargai.Guru, atau dosen, yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalahpemburu, dan bagi saya pemburu bukan pendidik. Pemburu menatap tajam anakdidiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa. Di televisisering kita saksikan rekaman gambar guru yang menyiksa murid-muridnya.Anak-anak pintar pun tak luput dari ”penyiksaan” pemburu. Mereka dituntutmenunjukkan kehebatan dan selesai lebih cepat dari jadwal. Keunikanmasing-masing tidak diterima sebagai kehebatan.Saat mengepalai program doktor, saya sering terpaksa menggeser penguji,bukan karena mereka kurang hebat, tetapi karena lebih cocok jadi pemburu.Pemburu membombardir anak didiknya dengan berbagai pertanyaan sinis, out ofcontext, dengan tujuan menjatuhkan daripada membantu mereka menemukan masadepannya.*Sisi anak didik*David mungkin saja tidak memiliki kecerdasan sosial dan emosional sepertikata sejumlah kalangan. Namun, para guru di BPK Penabur mengatakan, Davidbukan penyendiri. Di kampus, ia juga aktif dalam kegiatan olahraga danmenjadi utusan Indonesia dalam Olimpiade Matematika di Meksiko. Karena Davidsudah tiada, mungkin kita bisa belajar dari David-David lain.Di Orinda, California, pada tahun 1985, seorang anak perempuan membunuhteman sekelasnya yang pintar dan populer. Saat diinterogasi polisi dandiperiksa kesehatan jiwanya, diketahui ia merasa tertekan karena dirinyanothing, invisible (tak ada yang menghiraukan) , dan worthless (takbernilai).Perasaan dan pikiran yang demikian membentuk keyakinan (belief). MatthewMcKay dan Patrick Fanning (1991) bahkan menyebutkan, banyak sekali anakdidik yang memiliki keunikan menjadi prisoners of belief (narapidanakeyakinan) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit mengendalikan diri.Pada masa krisis kita akan banyak bergulat dengan narapidana-narapida nakeyakinan yang terbelenggu dan sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan,dan aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi maupun kepemimpinanatasan yang buruk. Mereka memaksa dirinya masuk dalam standar dan menyangkalkeunikan dirinya semata-mata karena belenggu sekolah.Keyakinan inti (core-belief) tak pernah disentuh para pendidik karenabanyak sebab. Pertama, tak sedikit pendidik yang juga menjadi narapidanakeyakinan. Kedua, diperlukan therapy, dan therapy ini bukan kurikulum intiyang dianggap penting oleh pengelola pendidikan. Ketiga, tak banyak orangpaham men-therapy belief seseorang.*10 elemen*Saya pernah memasukkannya, dan hingga kini masih menggunakannya untukmembongkar belenggu-belenggu yang mengikat anak didik, tetapi pengalamanmengatakan, implementasinya banyak menemui hujatan dari para ”pemburu”.Untuk mencegah kasus David-David lain, kita harus memeriksa core-beliefinventory yang tersembunyi di balik pikiran anak-anak didik dan parapendidik. Inventory ini terdiri dari 10 elemen, yaitu percaya diri, rasanyaman, kontrol diri, cinta, otonomi, keluarga, rasa adil, kinerja,perubahan, kepercayaan (trust).Elemen-elemen itu dapat dibagi tiga: rasa percaya, hubungan personal, danpengendalian hidup. Ketiganya memengaruhi tingkat kecemasan, pengambilankeputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan/kecemasa n, dankeberhasilan hidup.Kategori pertama diwakili oleh percaya diri dan perasaan bernilai, percayakepada orang lain, dan merasa diperlakukan adil. Monolognya mengalir dalampernyataan seperti ”saya cukup bernilai”, ”mereka dapat dipercaya”, ”merekamemperlakukan saya dengan adil”.Kategori kedua, kenyamanan, cinta (love), dan keluarga (belonging).Orang-orang yang hidupnya seimbang cenderung penuh cinta dan ada yangmemikirkan. Kata mereka, ”Kalau hari ini saya hilang, pasti ada yangkehilangan dan menangisi kepergian saya.”Kategori ketiga, kemampuan kita mengendalikan diri sendiri,pekerjaan/sekolah (kinerja), kemandirian, dan pengambilan risiko(perubahan). Kelompok terakhir ini dapat disimpulkan dengan pernyataan ”sayabisa mengendalikan dorongan-dorongan liar dalam jiwa saya”, ”saya punyaprestasi”, ”saya cukup punya otoritas”, serta ”kalau menjadi lebih baik,mengapa takut menghadapi perubahan”.Andaikan David masih ada dan polisi Singapura cukup terbuka, mungkin kitabisa menemukan jawabnya dengan memeriksa kesepuluh elemen itu, baik padaDavid maupun dosen pembimbingnya.Dari pengalaman anak-anak didik yang dianggap bermasalah oleh para gurunya,diyakini David bukan anak jahat atau lemah kecerdasan sosialnya. David telahmenjadi ”narapidana keyakinan” yang tersudut dalam hutan perburuan dan kitatak memberikan ruang untuk membebaskan atau menghargai keunikannya.*Rhenald Kasali* *Pengajar di Universitas Indonesia*
Jumat, 06 Maret 2009
Benarkah lampu dioda hemat energy??
Eric A Taub membuat sebuah ilustrasi sederhana di http://bits.blogs.nytimes.com/2009/02/13/
tentang bagaimana lampu dioda merupakan pilihan untuk menghemat energy untuk teknologi display masa depan. Di dalam tulisannya dia membandingkan tentang perbedaan lampu dioda dengan lampu fluoresensi dan lampu bulb (incandescent bulb).
Lebih jelasnya monggo disimak penjelasan berikut ini :
A number of readers of my LED posts have voiced skepticism as to the total energy savings that LED lamps have promised.
There’s no question that they use a fraction of the power used by standard incandescent bulbs to produce the same amount of light and last up to 25 times as long. But would the energy needed to create an LED lamp, plus the energy needed to power it, be less than the equivalent amount for a regular light bulb?
The short answer is, yes.
In what is apparently the first “life cycle assessment” of LED lights, researchers at Carnegie Mellon University looked at the energy needed for material and parts manufacturing, product manufacturing, and use of an LED light source and compared it with that of an incandescent bulb.
Carnegie Mellon calculated the amount of energy needed to manufacture and then run a light source (bulb or bulbs) for 25,000 hours.
They assumed an LED lamp would last 25,000 hours, and that the amount of light that could be created from a single LED source would approximate that from a compact fluorescent (in reality, LEDs hold the promise of producing even more). They also assumed that it would take three compact fluorescents or 25 incandescent bulbs to produce light for 25,000 hours.
In addition, the researchers assumed that LED manufacturing plants would be able to achieve a 50 percent yield rate; in other words, half the LED light sources created would be discarded.
The results: the energy needed for one of these “functional units” ranged from 1,500 kilowatt-hours for the standard incandescent bulbs to 320 kWh for the compact fluorescents and 280 kWh for the LED light source.
If these results hold up — and H. Scott Matthews, one of the researchers and a research director of the university’s Green Design Institute, acknowledged that the researchers could not get all the data they needed — it will be another valuable piece of information in proving the ability of LED lighting to significantly reduce the world’s power consumption.
tentang bagaimana lampu dioda merupakan pilihan untuk menghemat energy untuk teknologi display masa depan. Di dalam tulisannya dia membandingkan tentang perbedaan lampu dioda dengan lampu fluoresensi dan lampu bulb (incandescent bulb).
Lebih jelasnya monggo disimak penjelasan berikut ini :
A number of readers of my LED posts have voiced skepticism as to the total energy savings that LED lamps have promised.
There’s no question that they use a fraction of the power used by standard incandescent bulbs to produce the same amount of light and last up to 25 times as long. But would the energy needed to create an LED lamp, plus the energy needed to power it, be less than the equivalent amount for a regular light bulb?
The short answer is, yes.
In what is apparently the first “life cycle assessment” of LED lights, researchers at Carnegie Mellon University looked at the energy needed for material and parts manufacturing, product manufacturing, and use of an LED light source and compared it with that of an incandescent bulb.
Carnegie Mellon calculated the amount of energy needed to manufacture and then run a light source (bulb or bulbs) for 25,000 hours.
They assumed an LED lamp would last 25,000 hours, and that the amount of light that could be created from a single LED source would approximate that from a compact fluorescent (in reality, LEDs hold the promise of producing even more). They also assumed that it would take three compact fluorescents or 25 incandescent bulbs to produce light for 25,000 hours.
In addition, the researchers assumed that LED manufacturing plants would be able to achieve a 50 percent yield rate; in other words, half the LED light sources created would be discarded.
The results: the energy needed for one of these “functional units” ranged from 1,500 kilowatt-hours for the standard incandescent bulbs to 320 kWh for the compact fluorescents and 280 kWh for the LED light source.
If these results hold up — and H. Scott Matthews, one of the researchers and a research director of the university’s Green Design Institute, acknowledged that the researchers could not get all the data they needed — it will be another valuable piece of information in proving the ability of LED lighting to significantly reduce the world’s power consumption.
Langganan:
Postingan (Atom)