Senin, 09 Maret 2009

Pendidik bukan seorang pemburu.....

Artikel yang dimuat pada : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/07/03214961/pendidik..bukan.pemburu, membuat saya banyak merenung. Memang studi di Singapur kita dituntut untuk berpacu menghasilkan sebuah karya ilmiah yang populer. Namun ini cukup beralasan karena Singapur telah memberikan reword besar juga buat para pelajar dari level undergrad sampai postgrad. Nah permasalahannya adalah, mampukah kedua belah pihak (dosen dan mahasiswa) memiliki komunikasi yang positif? Ini sangat tergantung dari kedua belah pihak, tentu keduanya harus memiliki knowledge dan wisdom serta mengerti posisi masing-masing. Dosen/Prof harus mampu menjadi guru (bukan hanya sebagai bos yang menuntut target2 tertentu) sehingga dapat mengoptimalkan hasil riset secara bijaksana, dan mahasiswa harus pula mampu mengukur diri dan menyadari posisinya sebagai siswa yang bertanggung jawab.

Tentang kasus David (alm) yang terjadi di NTU, saya tidak bisa banyak komentar dan berpeskulasi. Well, mari kita simak saja tulisan karya Dr. Rhenald Kasali, tulisan beliau baik sekali buat kita sebagai pendidik, orang tua, kakak, dan orang yang merasa peduli dengan pendidikan di lingkungan sosial masyarakat kita.

Oleh *RHENALD KASALI*

Hari Senin, 2 Maret 2009, David H Wijaya, mahasiswa pintar asal Indonesia,tewas di Nanyang Tech University, Singapura.Semula, diberitakan ia kepepet, menusuk profesornya, lalu bunuh diri.Kejadian seperti ini sering dilihat dari sisi kriminalitas (urusan polisi).Namun, benarkah demikian?Kalau David masih hidup, para pendidik bisa belajar banyak darinya. Versilain menyebutkan, David bukan pencemas, kurang pandai bergaul, atau rendahkecerdasan sosialnya. Akan ada versi-versi lain yang perlu dilihat darikacamata pendidikan.Naluri saya yang bergelut di bidang pendidikan selama lebih dari 20 tahunmengatakan sebaliknya. Besar kemungkinan mereka adalah korban dari sistemdan perilaku pemburu dalam pendidikan. Apalagi Pemerintah Singapura amatberkepentingan memburu anak-anak pintar etnis tertentu untuk mengimbangipopulasi bangsanya.Jadi, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan versi awal yang tidakdilandasi pada cara berpikir dari kacamata pendidikan.*Pemburu bukan pendidik*Bangku sekolah tentu bukan hutan belantara yang didiami aneka satwa liarnan buas. Sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidupdalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan ataukebahagiaan.Namun, entah mengapa, sekolah telah berubah menjadi lembaga yang meresahkananak didik. Bukan pemburu bersenjata, melainkan guru yang menuntut bekerjatertib, berkompetisi, dan prestasi akademis.Daripada menghargai keunikan masing-masing, kita membuat standar, lalumenempatkan mereka dalam struktur dan ranking. Akibatnya, bersaing mengejarranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, danpenghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh meski dimasyarakat terbukti sukses dan karya- karya mereka amat dihargai.Guru, atau dosen, yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalahpemburu, dan bagi saya pemburu bukan pendidik. Pemburu menatap tajam anakdidiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa. Di televisisering kita saksikan rekaman gambar guru yang menyiksa murid-muridnya.Anak-anak pintar pun tak luput dari ”penyiksaan” pemburu. Mereka dituntutmenunjukkan kehebatan dan selesai lebih cepat dari jadwal. Keunikanmasing-masing tidak diterima sebagai kehebatan.Saat mengepalai program doktor, saya sering terpaksa menggeser penguji,bukan karena mereka kurang hebat, tetapi karena lebih cocok jadi pemburu.Pemburu membombardir anak didiknya dengan berbagai pertanyaan sinis, out ofcontext, dengan tujuan menjatuhkan daripada membantu mereka menemukan masadepannya.*Sisi anak didik*David mungkin saja tidak memiliki kecerdasan sosial dan emosional sepertikata sejumlah kalangan. Namun, para guru di BPK Penabur mengatakan, Davidbukan penyendiri. Di kampus, ia juga aktif dalam kegiatan olahraga danmenjadi utusan Indonesia dalam Olimpiade Matematika di Meksiko. Karena Davidsudah tiada, mungkin kita bisa belajar dari David-David lain.Di Orinda, California, pada tahun 1985, seorang anak perempuan membunuhteman sekelasnya yang pintar dan populer. Saat diinterogasi polisi dandiperiksa kesehatan jiwanya, diketahui ia merasa tertekan karena dirinyanothing, invisible (tak ada yang menghiraukan) , dan worthless (takbernilai).Perasaan dan pikiran yang demikian membentuk keyakinan (belief). MatthewMcKay dan Patrick Fanning (1991) bahkan menyebutkan, banyak sekali anakdidik yang memiliki keunikan menjadi prisoners of belief (narapidanakeyakinan) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit mengendalikan diri.Pada masa krisis kita akan banyak bergulat dengan narapidana-narapida nakeyakinan yang terbelenggu dan sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan,dan aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi maupun kepemimpinanatasan yang buruk. Mereka memaksa dirinya masuk dalam standar dan menyangkalkeunikan dirinya semata-mata karena belenggu sekolah.Keyakinan inti (core-belief) tak pernah disentuh para pendidik karenabanyak sebab. Pertama, tak sedikit pendidik yang juga menjadi narapidanakeyakinan. Kedua, diperlukan therapy, dan therapy ini bukan kurikulum intiyang dianggap penting oleh pengelola pendidikan. Ketiga, tak banyak orangpaham men-therapy belief seseorang.*10 elemen*Saya pernah memasukkannya, dan hingga kini masih menggunakannya untukmembongkar belenggu-belenggu yang mengikat anak didik, tetapi pengalamanmengatakan, implementasinya banyak menemui hujatan dari para ”pemburu”.Untuk mencegah kasus David-David lain, kita harus memeriksa core-beliefinventory yang tersembunyi di balik pikiran anak-anak didik dan parapendidik. Inventory ini terdiri dari 10 elemen, yaitu percaya diri, rasanyaman, kontrol diri, cinta, otonomi, keluarga, rasa adil, kinerja,perubahan, kepercayaan (trust).Elemen-elemen itu dapat dibagi tiga: rasa percaya, hubungan personal, danpengendalian hidup. Ketiganya memengaruhi tingkat kecemasan, pengambilankeputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan/kecemasa n, dankeberhasilan hidup.Kategori pertama diwakili oleh percaya diri dan perasaan bernilai, percayakepada orang lain, dan merasa diperlakukan adil. Monolognya mengalir dalampernyataan seperti ”saya cukup bernilai”, ”mereka dapat dipercaya”, ”merekamemperlakukan saya dengan adil”.Kategori kedua, kenyamanan, cinta (love), dan keluarga (belonging).Orang-orang yang hidupnya seimbang cenderung penuh cinta dan ada yangmemikirkan. Kata mereka, ”Kalau hari ini saya hilang, pasti ada yangkehilangan dan menangisi kepergian saya.”Kategori ketiga, kemampuan kita mengendalikan diri sendiri,pekerjaan/sekolah (kinerja), kemandirian, dan pengambilan risiko(perubahan). Kelompok terakhir ini dapat disimpulkan dengan pernyataan ”sayabisa mengendalikan dorongan-dorongan liar dalam jiwa saya”, ”saya punyaprestasi”, ”saya cukup punya otoritas”, serta ”kalau menjadi lebih baik,mengapa takut menghadapi perubahan”.Andaikan David masih ada dan polisi Singapura cukup terbuka, mungkin kitabisa menemukan jawabnya dengan memeriksa kesepuluh elemen itu, baik padaDavid maupun dosen pembimbingnya.Dari pengalaman anak-anak didik yang dianggap bermasalah oleh para gurunya,diyakini David bukan anak jahat atau lemah kecerdasan sosialnya. David telahmenjadi ”narapidana keyakinan” yang tersudut dalam hutan perburuan dan kitatak memberikan ruang untuk membebaskan atau menghargai keunikannya.*Rhenald Kasali* *Pengajar di Universitas Indonesia*

1 komentar:

dy uli mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.