Di bawah ini saya menampilkan sebuah cerita mini yang diambil dari : http://ww1.indosiar.com/v7/lomba-cermin/read.htm?id=14
Cerita tersebut menggambarkan perjuangan seorang wanita muda yang berjuang untuk melawan kemiskinan dengan cara mendapatkan pendidikan yang baik.
Memang pendidikan tidak menjamin kita menjadi orang kaya secara materi. Namun lebih dari itu, dengan pendidikan kita paling tidak mendapatkan kemungkinan untuk hidup layak lebih besar. Pendidikan juga akan mampu mengubah mentalitas diri kita menjadi sosok manusia yang lebih berbudaya dan wise dalam menghadapi segala masalah.
Untuk lebih jelasnya silahkan menikmati cerima mini berikut ini :
Fatimah, Imazahra
Episode Ibunda guru Amiroh
Aku berasal dari pulau Kalimantan, yang SD nya saja sekarang telah rata dengan tanah. Namun aku punya mimpi ingin sekolah setinggi-tingginya! Aku menggenggam bara asa walau duka lara silih berganti menyapa. Alasan yang sangat klasik tapi nyata, kemiskinan membelitku seperti remukan ular kobra! Kepapaan dan tanggung jawabku sebagai anak pertama juga pernah membuatku berhenti ingin menaklukkan dunia!
Tertatih-tatih aku lawan kejamnya dunia kapitalis. Aku pastikan diri, kemiskinan tidak akan membuatku berhenti sekolah. Meski Abah menentang dan memintaku pulang. Saat itu aku duduk di bangku kelas tiga tsanawiyah di jantung Jogja. Sepucuk surat jatuh ke pangkuanku,
“Nak, pulanglah…! lulus tsanawiyah sudah cukup untukmu. Saat ini. kebangkrutan mendera Abah, menghabiskan segalanya, seperti kobaran api yang membakar rumput kering di musim kemarau. Abah sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan video tua barang peninggalan dari Saudi sudah dijual untuk mengganjal perut. Alangkah egois jika kamu memilih bertahan di Jogja, sementara ading-adingmu di rumah membanting tulang membantu orang tua. Kalau kamu di sana Abah tidak tahu kamu bisa makan atau tidak, tapi kalau kamu di sini, makan tidak makan, kita hidup bersama.” Intinya, Abah menginginkanku pulang ke Banjarmasin. Berkumpul dengan keluarga berbagi derita miskin bersama-sama.
Waktu itu darah mudaku menggelegak. Aku memilih bertahan. Mengabaikan permintaan Abah. Walau aku belum tahu, kepada siapa aku bisa minta tolong?
Ketika aku menghadap ibu guru BP yang sholihah, Ibu Amiroh, pertahananku jebol. Aku tersedu-sedu di sudut ruang BP, menangis di pangkuan beliau atas pahitnya kefakiran yang ingin merenggutku dari bangku sekolah. Sampai kemudian beliau menjanjikan sesuatu,
“Nak, kalau kamu berhasil meraih ranking 1 paralel (nilai tertinggi di antara peraih juara 1 dari kelas 1 tsanawiyah s/d kelas 3 Aliyah), ibu akan usahakan agar kamu diberi beasiswa bebas SPP tahun ajaran selanjutnya. Walau saat ini kamu baru berhasil meraih rangking 3 dan 2 di semester-semester sebelumnya, ibu yakin kamu bisa!” Sambil mengucapkan kata-kata penyemangat itu, beliau menatap mataku lekat!
Masih kuingat, saat itu aku langsung menggenggam tangan beliau kuat-kuat. Seakan-akan aku tegaskan pada beliau, kemiskinan ini tidak akan membuatku berhenti! Kemiskinan ini malah akan menjadi bara abadi, bahwa aku bisa ‘mengalahkan’nya dengan pendidikan setinggi-tingginya!
Sejak itu, siang malam aku belajar seperti orang gila. Aku ‘kesetanan’ ingin membuktikan kalau aku juga bisa menjadi juara 1 paralel! Meski dalam sejarah pesantrenku selama belasan tahun, belum pernah ada juara 1 paralel dari pulau Kalimantan.
Akhir tahun ajaran tiba. Setelah sekian pengumuman dibacakan, tiba-tiba namaku dipanggil ke atas panggung di acara anugerah juara-juara kelas yang disaksikan oleh ribuan santri dari seluruh penjuru tanah air. Saat itu kakiku seperti tidak menapak tanah,
“Ananda Fatimah binti Chairi, dari kelas III B meraih juara 1 kelas IIIB daaan… Juara 1 Paralel. Kepada Ananda, kami persilahkan ke depan menerima penghargaan!” Suara bariton Pak Rusydi hampir-hampir tenggelam oleh sorak sorai teman-teman dari daerah Kalimantan. Semua mengelu-elukan aku. Mataku pun basah. Beliau berhasil menghidupkan kembali harapanku sekaligus menyelamatkanku dari putus sekolah.
Belakangan aku baru tahu, bahwa beliaulah yang mengusulkan pembebasan SPP selama satu tahun penuh untukku di hadapan sidang dewan guru dan pembina Madrasah. Beliau ternyata tidak hanya menyemangati saja, tapi sungguh-sungguh membela masa depanku.
***
Episode Teh Merlyna Lim
Setiap tahun aku tepati janji pada motivatorku, Ibu guru Amiroh. Aku nikmati masa-masa sekolah berasrama penuh prestasi, bahkan aku menjadi ketua OSIS.. Biarpun kemiskinan belum menjauh, Ibu Amiroh telah membukakan pintu untukku: Berprestasi dalam pendidikan adalah senjata ampuh melawan cengkeraman kemiskinan!
Lulus dari Madr. Mu’allimaat, aku bulat hati melanjutkan ke bangku kuliah, walau tanpa dukungan finansial memadai dari orang tua. Tersendat-sendat kujalani kuliah.
Di saat temanku menikmati kiriman bulanan dari orang tua mereka, aku berjibaku. Mulai menjadi guru TK sampai berdagang kue dan batik kulakoni asal halal.
Sampai pada sebuah titik, aku kehabisan energi! Aku bahkan terdesak ‘mengemis’ belas kasihan temanku karena waktu itu aku kelaparan dan sudah dua hari tidak makan.
Pada sahabatku aku mengeluh, “Rasanya belitan kemiskinan ini menakdirkanku untuk tidak berhasil meraih gelar sarjana. Aku seperti pungguk merindukan bulan!”
Aku mengalami musibah dan kekecewaan beruntun di tahun 2000. Aku mempertanyakan keadilan Tuhan. Aku lelah dan ingin menyerah. Kalah. Pulang ke Banjarmasin meski tidak membawa gelar sarjana adalah pilihan paling realistis saat itu. Apalagi banyak lulusan sarjana disekitarku malah nganggur!
Hingga suatu ketika, aku temukan tulisan-tulisan moderator yang menggawangi milis Beasiswa yang ‘menampar’ jiwaku! Seri tulisannya singkat tapi menyentuh relung-relung kesadaran. Mengingatkan janjiku pada Ibunda guru Amiroh: kemiskinan harus dilawan dengan prestasi! Membangunkanku kembali pada mimpi terbesarku. Meraih pendidikan setinggi-tingginya, sebagai salah satu kunci menghentikan kemiskinan yang menderaku.
Di milis teh Merlyna membagikan ilmunya yang sangat berharga. Tips dan triks dalam melamar beasiswa sekaligus memenangkannya. Ribuan jam kuhabiskan mengubek-ubek isi milis, ketika aku baru selesai Kuliah Kerja Nyata di Gunung Kidul.
Nama Merlyna Lim sangat tersohor di dunia maya karena ia salah satu moderator milis yang cepat tanggap atas pertanyaan dan kesulitan membernya. Hebatnya lagi, itu semua dilakukannya ditengah-tengah jam kuliah dan penelitiannya yang padat antara Belanda, Hawaii dan Bandung!
Dari milis, aku beranjak mencari tahu tentang dirinya dengan meng-google namanya. Ratusan link muncul menunjukkan siapa dirinya. Luar biasa, Teh Merlyna adalah achiever sejati! Dia telah meraih aneka penghargaan nasional dan internasional dan saat itu dia sedang menempuh program Doktoral di Twente University, Belanda dengan beasiswa internasional yang sangat prestisius. Academic papernya juga telah dipresentasikan di puluhan negara. Aku terbius!
Semenjak itu boleh dibilang aku terobsesi sekaligus ‘iri’ padanya. Jika dia bisa menempuh pendidikan setinggi itu gratis dengan beasiswa, kenapa aku tidak bisa? Kehebatannya di bidang akademik juga menyuntikkan bara: aku harus selesaikan pendidikan S1 ku, sesulit dan seberat apapun tantangan yang kuhadapi. Aku tidak akan bisa mendapatkan beasiswa S2 kalau aku belum menyelesaikan S1 ku!
Terminal Leuwi Panjang, Bandung
Hari itu aku berjanji untuk bertemu dengan Merlyna Lim! Setelah sekian lama aku hanyalah muridnya di dunia maya. Di email kuceritakan, aku mengagumi prestasinya yang mendunia di websitenya: http://www.merlyna.org/bio. Aku ingin menyedot langsung energi positif darinya.
Jelang keberangkatannya kembali ke Belanda, disela-sela kesibukannya mengurus penelitian doktoralnya, dia sisihkan waktu untukku, yang bukan siapa-siapa.
Sekitar setengah jam aku menunggu seperti anak ayam yang hilang karena gak tau Bandung. Akhirnya dari jauh kulihat seorang perempuan keluar dari mobil merah. Putih, cantik, menarik, sederhana dan ramah!
Sambil bersalaman, teteh menarik tanganku, “Ayo Ima, langsung naik mobil, kita cari café yang enak.” Aku tidak tahu mau dibawa kemana, tapi yang pasti, aku langsung menyukainya!
Kami tiba di café Atmosphere yang nyaman sekali. Pemandangan yang terhampar disekeliling bukan main indahnya. Angin Bandung sepoi-sepoi perlahan mengeringkan keringatku.
Gemetar kubuka obrolan sambil menyalakan tape recorder pinjaman. Dia bercerita tentang keluarganya, hobbynya, kenangan masa kecilnya yang lucu dan penuh semangat. ITB dan paduan suara kampusnya, penelitian-penelitiannya dan cintanya pada ilmu pengetahuan. Juga kisah travelingnya yang seru! Meski sudah membaca blog travelingnya, http://merlynatravel.blogspot.com, tetap saja mendengarkan langsung itu asik! Dia bahkan membawakan foto backpackingnya keliling dunia, yang sudah menjangkau hampir 30 negara lebih!
Dia salah satu perempuan cerdas tapi tidak sombong yang pernah kukenal. Dia pompakan jutaan gigabyte semangat untukku! Mulai siang itu, dia ‘kudaulat’ menjadi inspiratorku, selain Ibunda guru Amiroh!
Dia balik bertanya. Dia ingin tahu hidupku. Malu-malu kuceritakan siapa aku dan mimpi-mimpiku yang tertatih-tatih kuraih. Dia besarkan hatiku, “Coba terus, Dik, kamu tidak akan pernah tahu batas kemampuanmu kalau kamu sendiri tidak mencobanya, kita moderator di milis Beasiswa, siap membantu.”
Dia Mengajariku Membagi Ilmu
Dia membuktikannya! Ketika berulang kali aku mengontak dia untuk urusan applikasi beasiswa S2 ku ke berbagai lembaga, berulang-ulang juga emailnya datang memberikan masukan-masukan yang sangat berharga. Bahkan ketika dia sedang sibuk dan di ujung dunia paling jauh sekalipun!
Di penghujung tahun 2003, aku mendapatkan kepastian: memperoleh beasiswa S2 ke Inggris dari Ford Foundation. Pendidikan tak hanya memerdekakanku dari kemiskinan harta dan ilmu, tapi juga mengantarkanku ke berbagai negara, seperti inspiratorku!
Dia mengajariku satu hal yang sangat penting, kita tidak akan pernah kekurangan sekali pun kita membagi yang kita punyai. Sebaliknya kita malah akan semakin kaya karena memberi. Seperti pesan Nabi Mulia, “Al Yadul ‘ulya khairun minal yadis sufla.” Tangan di atas (jauh lebih) mulia dibanding tangan yang di bawah.”
Kamis, 29 Mei 2008
Rabu, 21 Mei 2008
Light emission moves into the blue
Good information for someone who interesting with optoelectronic technology...please read it..
Light emission moves into the blue
taken from : http://physicsworld.com/cws/article/print/1708
Many years of effort were needed to develop blue light-emitting diodes and lasers, but devices based on indium gallium nitride are now set to revolutionize optoelectronics
LIGHT-EMITTING devices based on semiconductors have had a huge impact on modern technologies. The brightness and durability of light-emitting diodes make them ideal for displays, while semiconductor lasers have been used in everything from optical communications systems to compact disc players. But these applications have been limited by the lack of materials that can emit blue light efficiently. Full-colour displays, for example, require at least three colours, usually red, green and blue, to produce any visible colour. Such a combination is also needed to make a white light-emitting device that would be more durable and use less power than conventional bulbs or fluorescent lamps.
Many other applications would benefit from blue light-emitting devices. The shorter wavelength means that the light can be focused more sharply, which would increase the storage capacity of magneto-optical and optical disks. Digital versatile disks, which came on the market in 1996, rely on red semiconductor lasers and have a data capacity of about 4.7 Gbyte, compared with 0.65 Gbyte for compact discs. By moving to blue wavelengths, the capacity could be increased to 15 Gbyte. Blue laser diodes could also improve the performance of laser printers and undersea optical communications.
Green light for blue lasers
Efficient blue-emitting devices were first demonstrated by my group at Nichia Chemical Industries in Japan in 1995, after about 30 years of research by groups around the world. Such was the need for these devices that blue and green light-emitting diodes based on indium gallium nitride are already being used in a variety of applications, such as traffic lights and full-colour displays. Blue semiconductor lasers were also introduced in 1995, and today can achieve a lifetime of 10 000 hours under continuous operation at room temperature.
Light from semiconductors
A light-emitting diode (LED) essentially consists of an "active" layer of semiconducting material sandwiched between n-type and p-type semiconductors. When a voltage is applied to the junction, electrons from the n-type material move into the conduction band of the active layer, while holes from the p-type semiconductor are injected into the valence band. Light emission takes place when electrons at the bottom of the conduction band spontaneously recombine with holes in the top of the valence band.
If many more electrons and holes are injected into the active layer, a "population inversion" takes place between the conduction and valence bands. By including mirrors at both sides of the active layer to form a so-called waveguide cavity, the emitted light can be amplified and strong stimulated emission is observed at the edges of the cavity. This device is called a laser diode.
The key point is that the wavelength of the emitted light, and hence its colour, is determined by the band gap of the active layer. The wavelength is given by l= hc /E g, where h is Planck's constant, c is the speed of light and E g is the band gap. The band gaps of compound semiconductors such as aluminium gallium arsenide and aluminium indium gallium phosphide make them suitable for fabricating efficient red and yellow light-emitting diodes, but until recently there have been no suitable materials for comparable blue light-emitting devices.
Although blue and green light-emitting diodes have been made from materials such as silicon carbide and gallium phosphide, they are not very efficient. These materials have an indirect band gap, which means that the electrons and holes have different momenta and can only recombine by scattering from lattice vibrations. In a material with a direct band gap, the electrons in the conduction band can recombine directly with holes in the valence band, making recombination much more efficient.
Band gaps of semiconductors
Although many researchers have investigated various direct-band-gap materials for blue and green light-emitting devices, it has proved extremely difficult to produce efficient and reliable devices. The most intense research has focused on II-VI materials such as zinc selenide and III-V nitrides such as gallium nitride, since these materials have a large enough band gap to emit light at blue and green wavelengths.
The advantage of II-VI compounds is that they can be deposited easily on a gallium arsenide (GaAs) substrate with a relatively low density of defects. This is because materials like zinc selenide have a similar lattice constant to GaAs. Any mismatch in lattice constant creates strain in the layers, which is generally released as misfit dislocations. In the case of red-emitting devices, aluminium gallium arsenide has almost the same lattice constant as GaAs, while aluminium indium gallium phosphide can be lattice-matched to gallium arsenide by altering its composition.
Materials based on zinc selenide have been studied intensively for use in blue- and green-emitting devices. Indeed, in 1991 Michael Haase and colleagues at 3M in the US demonstrated the first pulsed operation of green laser diodes based on II-VI materials. However, the lifetime of these laser diodes is only about 100 hours, a limitation that has prevented them from being commercialized.
These short lifetimes are thought to be due to crystal defects. Even though there are relatively few defects in II-VI materials, about 1000 cm-2, a single defect can cause others to propagate, disrupting the weak bonding in the material and causing the device to fail. This is not expected to be such a big problem in III-V nitrides because the bonding is much stronger.
Gallium nitride and other III-V nitrides also have a direct band gap that is suitable for blue light-emitting devices. The band-gap energy of aluminium gallium indium nitride varies between 6.2 and 2.0 eV, depending on the composition at room temperature. However, there is no lattice-matched substrate for the growth of gallium nitride. Sapphire is commonly used, despite a mismatch of 13.5%. Other options are silicon carbide and magnesium aluminate, which have mismatches of 3% and 9%, respectively.
Such large differences in lattice constant create misfit dislocations at the interface between the gallium nitride and the substrate. Although the number of defects can be as high as 1010 cm-2, these dislocations do not seem to reduce the efficiency of light emission and have not prevented the development of practical devices. Moreover, since these materials are bound much more strongly than the II-VI materials, devices based on gallium nitride are expected to be more reliable.
So far, only a ternary compound, indium gallium nitride, has been used as the active layer of blue and green light-emitting devices. As we shall see, the addition of indium to gallium nitride is vital for achieving strong light emission. The band gap of the material can be varied between 2.0 and 3.4 eV by altering the indium content, which corresponds to emission wavelengths between 620 and 365 nm.
Routes to blue devices
One of the main problems in the development of devices based on III-V nitrides was the lack of p-type materials. Although n-type gallium nitride is easy to produce, researchers had struggled to make p-type gallium nitride since the 1960s. The usual approach has been to dope the material with impurities such as zinc, magnesium and beryllium. These should accept electrons when positioned at gallium sites, and so generate large numbers of holes in the material. However, this approach did not produce p-type gallium nitride with good hole conductivity, and no-one understood why.
The breakthrough came in 1989, when Hiroshi Amano and colleagues at Nagoya University in Japan obtained thin films of p-type gallium nitride for the first time. They used metal organic chemical vapour deposition (MOCVD) to produce films doped with magnesium. Gases of trimethylgallium, ammonia (NH3) and bis-cyclopentadienyl magnesium were supplied to the sapphire substrate by a hydrogen carrier gas. The substrate was heated to 1000 °C, causing the precursor gases to react and form a thin film of gallium nitride on the surface. After growth, the films were irradiated with a low-energy electron beam, and the resulting film was found to be p-type, although the hole conductivity was poor.
It seems that the effect of the electron beam was to move the magnesium atoms to gallium sites. Before irradiation, the magnesium atoms cannot act as acceptors because they are not positioned at gallium sites. By moving the magnesium atoms with the electron beam, the impurities can act as acceptors and generate large numbers of holes. At the time, however, this mechanism was not fully understood and other groups were unable to produce p-type gallium nitride for another few years.
At Nichia, colleagues and I first obtained p-type gallium nitride films in 1992. Rather than treating films of magnesium-doped gallium nitride with an electron beam, we thermally annealed the layer in a nitrogen atmosphere at temperatures above 700 °C. Annealing was found to reduce the resistivity of the films from 106 W cm to just 2 W cm.
To help understand this change in resistivity, we tried two further annealing experiments. If the low-resistivity p-type films were further annealed in nitrogen at temperatures ranging between room temperature and 1000 °C, the resistivity remained almost constant at 2-8 W cm. However, if the films were annealed in ammonia at 600 °C, the resistivity increased to as much as 106 W cm.
So what causes the change in resistivity? The key seems to be the effect of atomic hydrogen, produced by the dissociation of ammonia at temperatures above 400 °C. Since dissociation occurs at the gallium nitride surface, hydrogen atoms can easily diffuse into the gallium nitride. Once inside the film, the hydrogen atoms form neutral complexes with the magnesium impurities and stop them from acting as acceptors.
This hydrogenation process is probably responsible for the surprisingly high resistivity of magnesium-doped gallium nitride films. The effect of thermally annealing the films in a nitrogen atmosphere is to remove atomic hydrogen from the neutral complexes, reactivating the magnesium acceptors and reducing the resistivity.
Many researchers now agree that hydrogenation can stop impurities from acting as acceptors. This finding finally solved the mystery of p-type gallium nitride, which had puzzled researchers for over 30 years.
Towards practical devices
Another key breakthrough was the fabrication of high-quality films of indium gallium nitride (InGaN). This is the most important compound of the III-V nitrides because it is the only one to produce light emission that is strong enough for practical devices. But it was not until 1992 that Takashi Mukai and I developed a technique to deposit high-quality InGaN films.
Our approach was to use a novel MOCVD method with two separate gas flows. The main flow carries the reactant gas parallel to the substrate at a high velocity. A subflow transports an inactive gas perpendicular to the substrate, changing the direction of the main flow and bringing the reactant gas into contact with the substrate. Using this method, we could alter the amount of indium in the deposited material by optimizing growth parameters such as gas-flow rate, temperature and growth rate.
Fluctuations in indium content lead to the formation of deep localized states in which the electron energy is confined in three dimensions, just as in quantum dots. To change the indium content during growth, the vapour pressure of the indium nitride (one of the precursor materials) is kept very high. The film is deposited at 800 °C, which causes the indium nitride to dissociate - this phase separation makes it possible to vary the composition of the indium gallium nitride. As we shall see, the localized states that are generated by this process are responsible for the strong light emission in InGaN. The films that we deposited in this way could emit light efficiently from green to ultraviolet wavelengths at room temperature.
In 1995 we demonstrated the first blue/green light-emitting diode based on InGaN. The structure consisted of a 3 nm layer of indium gallium nitride (In0.2Ga0.8N) sandwiched between p-type aluminium gallium nitride and n-type gallium nitride, all grown on a sapphire substrate. Such a thin layer of InGaN minimizes the effect of lattice mismatch: the elastic strain in the layer can be accommodated without the formation of misfit dislocations, and the crystal quality of the InGaN remains high. Moreover, the difference in thermal expansion coefficient between the active layer and the surrounding material is also reduced.
In this structure, the layer of indium gallium nitride forms a single quantum well, which leads to the formation of quantized energy states. Holes and electrons supplied by the surrounding materials are confined in the InGaN, specifically in the n = 1 energy level, where n is the principal quantum number. Because of this confinement, the charge carriers can recombine efficiently to emit blue or green light. The rate of recombination depends on the indium content in the active layer and the energies of the quantized states, which in turn depend on the thickness of the quantum well and the energy barrier between the InGaN layer and the surrounding materials.
Displays depend on blue devices
At a current of 20 mA, the output power of the blue diode was 5 mW, while the external quantum efficiency was 9.1%. The equivalent values for the green devices were 3 mW and 6.3%. Typical luminous intensities, which provide a measure of the brightness of the device, were 2 candela for the blue diode and 6 cd for the green diodes. These figures-of-merit are comparable with those of conventional high-efficiency red LEDs. By combining red light-emitting diodes with blue and green ones with the same power and brightness, it is possible to produce full-colour displays and efficient white lamps.
To determine the energy levels responsible for emission and absorption, we measured the light emitted when a current of 20 mA was applied to the structure (electroluminescence) and when monochromatic light was focused on the device (the photocurrent spectrum). Electroluminescence from the blue and green diodes was most intense at 453 nm (2.73 eV) and 520 nm (2.38 eV), as expected from their band-gap energies (figure 4). The largest peak in the photocurrent spectra, at 360 nm, is simply due to the absorption of light by the thick surrounding layers, although there are also weaker shoulder-like peaks at 410 nm for the blue LED and at 420 nm for the green one.
Emission and absorption
It has since been shown that these smaller peaks result from absorption by free "excitons" in the n = 1 energy level. Excitons are electron-hole pairs held together by the Coulomb interaction, and they form when electrons and holes are injected into the InGaN quantum well.
The energy difference between absorption by the n = 1 quantum energy state and the peak in the electroluminescence signal was 290 meV for the blue LEDs and 570 meV for the green ones. All of the electroluminescence is observed at the lower tail of the absorption spectra, suggesting that light emission results from the recombination of electrons and holes at deep localized states with energies of 290 and 570 meV.
When more indium is included in the active layer, there are larger variations in the indium content, leading to the formation of lower-energy states. Since green diodes are produced by adding more indium, the photocurrent spectrum of the green diode extends to lower energies.
Laser action
We first achieved laser emission from diodes based on III-V nitrides in 1995. These devices were based on multiple quantum wells of indium gallium nitride, and produced blue light efficiently at room temperature. Although early versions required high voltages and could only generate laser pulses, continuous-wave lasers have now been developed. By 1997 the lifetime of continuous blue lasers had improved to 27-35 hours, and the latest research has further extended the lifetime to 10 000 hours. This improvement in lifetime suggests that laser diodes based on indium gallium nitride will soon be commercialized with even longer lifetimes.
The continuous-wave laser diode is made from a layered structure with between 2 and 10 quantum wells. At room temperature, the current needed for laser emission is about 20 mA and the threshold current density is 2-4 kA cm-2, about 10 times higher than in red laser diodes. The operating voltage is 4-6 V, compared with about 2 V for red lasers, while the maximum output power was 50 mW per facet. Most of the light is emitted at wavelengths of 390-420 nm.
Gain in blue lasers
In 1997 Takahiro Deguchi and colleagues at Waseda University in Japan studied how the gain spectra of InGaN laser diodes depends on the power supplied by a pump laser. The sharp peak at 3.07 eV is particularly strong for pump powers in excess of 1 MW cm-2, and marked absorption is observed at 3.15 eV. The absorption is again caused by free excitons in the n = 1 energy level of indium gallium nitride. But the sharp gain cannot be understood in terms of the conventional picture of recombination between conduction and valence bands.
Indeed, the feature only appears when the energy of the pump laser matches the difference in energy between the n = 1 energy level and the energy of deep localized states in the InGaN layer. This suggests that the strong absorption at the n = 1 energy level transfers carriers into deep localized states. Electrons injected into the conduction band of the InGaN quantum well are transferred into localized states, while holes are supplied to the top of the valence band. Stimulated emission therefore takes place between the localized states and valence bands of the InGaN quantum wells. Population inversion is quite easy to achieve because the density of electronic states is expected to be relatively small in the localized states. This means that only a few injected electrons are needed to raise the quasi-Fermi level in the localized state, which increases the energy difference between this level and the energy level at which recombination takes place. Population inversion can therefore be achieved at low currents.
Dislocations in laser diodes
The large lattice mismatch between gallium nitride and sapphire means that up to 1010 dislocations per cm2 can form at the interface, and these defects can thread their way into the active layer (figure 6). In 1995 Steven Lester and colleagues at Hewlett Packard Laboratories in Palo Alto, California, measured a similar density of dislocations in light-emitting diodes based on InGaN.
So why are devices based on indium gallium nitride so efficient? In conventional III-V compound semiconductors, such as gallium arsenide and indium phosphide, the dislocation density must be less than 103 cm-2 to achieve high efficiencies. The presence of indium appears to play a key role, particularly since devices based on gallium nitride are much less efficient. It seems that free excitons formed in the InGaN layer are transferred into the deep localized energy states before they can be captured by the non-radiative recombination centres formed by dislocations. The electrons and holes can therefore recombine to emit blue light, without interference from non-radiative recombination centres. Localized energy states are thus the key to obtaining efficient light-emitting devices based on III-V nitrides.
Into the blue
The advances in light-emitting diodes and laser diodes based on indium gallium nitride have progressed at an amazing rate. It has taken just two years to progress from pulsed to continuous operation of blue laser diodes, while the same advance for conventional laser diodes based on III-V compound semiconductors has generally taken over 10 years.
The recent improvement in lifetimes suggests that blue lasers will soon appear on the market. With so many potential applications, the optoelectronics industry is eagerly anticipating a move into the blue.
About the author
Shuji Nakamura is at Nichia Chemical Industries, 491 Oka, Kaminaka, Anan Tokushima 774, Japan
Further reading
H Amano et al. 1989 P-type conduction in Mg-doped GaN treated with low-energy electron beam irradiation (LEEBI) Japan. J. Appl. Phys. 28 L2112 T Deguchi et al. 1997 Gain spectra in CW InGaN/GaN MQW laser diodes E-MRS (June 16-20, Strasbourg, France) L-XIII-3 S D Lester et al. 1995 High dislocation densities in high efficiency GaN-based light-emitting diodes Appl. Phys. Lett. 66 1249 S Nakamura et al. 1992 Hole compensation mechanism of p-type GaN films Japan. J. Appl. Phys. 31 1258 S Nakamura et al. 1995 Superbright green single-quantum-well-structure light-emitting diodes Japan. J. Appl. Phys. 34 L1332 S Nakamura et al. 1997 High-power, long-lifetime InGaN multi-quantum-well-structure laser diodes Japan. J. Appl. Phys. 36 L1059 S Nakamura et al. 1997 InGaN/GaN/AlGaN-based laser diodes with modulation-doped strained-layer superlattices Japan. J. Appl. Phys. 36 L1568 S Nakamura and G Fasol 1997 The Blue Laser Diode (Springer, Heidelberg) S Nakamura and T Mukai 1992 High-quality InGaN films grown on GaN films Japan. J. Appl. Phys. 31 L1457 Shuji Nakamura is at Nichia Chemical Industries, 491 Oka, Kaminaka, Anan Tokushima 774, Japan
Light emission moves into the blue
taken from : http://physicsworld.com/cws/article/print/1708
Many years of effort were needed to develop blue light-emitting diodes and lasers, but devices based on indium gallium nitride are now set to revolutionize optoelectronics
LIGHT-EMITTING devices based on semiconductors have had a huge impact on modern technologies. The brightness and durability of light-emitting diodes make them ideal for displays, while semiconductor lasers have been used in everything from optical communications systems to compact disc players. But these applications have been limited by the lack of materials that can emit blue light efficiently. Full-colour displays, for example, require at least three colours, usually red, green and blue, to produce any visible colour. Such a combination is also needed to make a white light-emitting device that would be more durable and use less power than conventional bulbs or fluorescent lamps.
Many other applications would benefit from blue light-emitting devices. The shorter wavelength means that the light can be focused more sharply, which would increase the storage capacity of magneto-optical and optical disks. Digital versatile disks, which came on the market in 1996, rely on red semiconductor lasers and have a data capacity of about 4.7 Gbyte, compared with 0.65 Gbyte for compact discs. By moving to blue wavelengths, the capacity could be increased to 15 Gbyte. Blue laser diodes could also improve the performance of laser printers and undersea optical communications.
Green light for blue lasers
Efficient blue-emitting devices were first demonstrated by my group at Nichia Chemical Industries in Japan in 1995, after about 30 years of research by groups around the world. Such was the need for these devices that blue and green light-emitting diodes based on indium gallium nitride are already being used in a variety of applications, such as traffic lights and full-colour displays. Blue semiconductor lasers were also introduced in 1995, and today can achieve a lifetime of 10 000 hours under continuous operation at room temperature.
Light from semiconductors
A light-emitting diode (LED) essentially consists of an "active" layer of semiconducting material sandwiched between n-type and p-type semiconductors. When a voltage is applied to the junction, electrons from the n-type material move into the conduction band of the active layer, while holes from the p-type semiconductor are injected into the valence band. Light emission takes place when electrons at the bottom of the conduction band spontaneously recombine with holes in the top of the valence band.
If many more electrons and holes are injected into the active layer, a "population inversion" takes place between the conduction and valence bands. By including mirrors at both sides of the active layer to form a so-called waveguide cavity, the emitted light can be amplified and strong stimulated emission is observed at the edges of the cavity. This device is called a laser diode.
The key point is that the wavelength of the emitted light, and hence its colour, is determined by the band gap of the active layer. The wavelength is given by l= hc /E g, where h is Planck's constant, c is the speed of light and E g is the band gap. The band gaps of compound semiconductors such as aluminium gallium arsenide and aluminium indium gallium phosphide make them suitable for fabricating efficient red and yellow light-emitting diodes, but until recently there have been no suitable materials for comparable blue light-emitting devices.
Although blue and green light-emitting diodes have been made from materials such as silicon carbide and gallium phosphide, they are not very efficient. These materials have an indirect band gap, which means that the electrons and holes have different momenta and can only recombine by scattering from lattice vibrations. In a material with a direct band gap, the electrons in the conduction band can recombine directly with holes in the valence band, making recombination much more efficient.
Band gaps of semiconductors
Although many researchers have investigated various direct-band-gap materials for blue and green light-emitting devices, it has proved extremely difficult to produce efficient and reliable devices. The most intense research has focused on II-VI materials such as zinc selenide and III-V nitrides such as gallium nitride, since these materials have a large enough band gap to emit light at blue and green wavelengths.
The advantage of II-VI compounds is that they can be deposited easily on a gallium arsenide (GaAs) substrate with a relatively low density of defects. This is because materials like zinc selenide have a similar lattice constant to GaAs. Any mismatch in lattice constant creates strain in the layers, which is generally released as misfit dislocations. In the case of red-emitting devices, aluminium gallium arsenide has almost the same lattice constant as GaAs, while aluminium indium gallium phosphide can be lattice-matched to gallium arsenide by altering its composition.
Materials based on zinc selenide have been studied intensively for use in blue- and green-emitting devices. Indeed, in 1991 Michael Haase and colleagues at 3M in the US demonstrated the first pulsed operation of green laser diodes based on II-VI materials. However, the lifetime of these laser diodes is only about 100 hours, a limitation that has prevented them from being commercialized.
These short lifetimes are thought to be due to crystal defects. Even though there are relatively few defects in II-VI materials, about 1000 cm-2, a single defect can cause others to propagate, disrupting the weak bonding in the material and causing the device to fail. This is not expected to be such a big problem in III-V nitrides because the bonding is much stronger.
Gallium nitride and other III-V nitrides also have a direct band gap that is suitable for blue light-emitting devices. The band-gap energy of aluminium gallium indium nitride varies between 6.2 and 2.0 eV, depending on the composition at room temperature. However, there is no lattice-matched substrate for the growth of gallium nitride. Sapphire is commonly used, despite a mismatch of 13.5%. Other options are silicon carbide and magnesium aluminate, which have mismatches of 3% and 9%, respectively.
Such large differences in lattice constant create misfit dislocations at the interface between the gallium nitride and the substrate. Although the number of defects can be as high as 1010 cm-2, these dislocations do not seem to reduce the efficiency of light emission and have not prevented the development of practical devices. Moreover, since these materials are bound much more strongly than the II-VI materials, devices based on gallium nitride are expected to be more reliable.
So far, only a ternary compound, indium gallium nitride, has been used as the active layer of blue and green light-emitting devices. As we shall see, the addition of indium to gallium nitride is vital for achieving strong light emission. The band gap of the material can be varied between 2.0 and 3.4 eV by altering the indium content, which corresponds to emission wavelengths between 620 and 365 nm.
Routes to blue devices
One of the main problems in the development of devices based on III-V nitrides was the lack of p-type materials. Although n-type gallium nitride is easy to produce, researchers had struggled to make p-type gallium nitride since the 1960s. The usual approach has been to dope the material with impurities such as zinc, magnesium and beryllium. These should accept electrons when positioned at gallium sites, and so generate large numbers of holes in the material. However, this approach did not produce p-type gallium nitride with good hole conductivity, and no-one understood why.
The breakthrough came in 1989, when Hiroshi Amano and colleagues at Nagoya University in Japan obtained thin films of p-type gallium nitride for the first time. They used metal organic chemical vapour deposition (MOCVD) to produce films doped with magnesium. Gases of trimethylgallium, ammonia (NH3) and bis-cyclopentadienyl magnesium were supplied to the sapphire substrate by a hydrogen carrier gas. The substrate was heated to 1000 °C, causing the precursor gases to react and form a thin film of gallium nitride on the surface. After growth, the films were irradiated with a low-energy electron beam, and the resulting film was found to be p-type, although the hole conductivity was poor.
It seems that the effect of the electron beam was to move the magnesium atoms to gallium sites. Before irradiation, the magnesium atoms cannot act as acceptors because they are not positioned at gallium sites. By moving the magnesium atoms with the electron beam, the impurities can act as acceptors and generate large numbers of holes. At the time, however, this mechanism was not fully understood and other groups were unable to produce p-type gallium nitride for another few years.
At Nichia, colleagues and I first obtained p-type gallium nitride films in 1992. Rather than treating films of magnesium-doped gallium nitride with an electron beam, we thermally annealed the layer in a nitrogen atmosphere at temperatures above 700 °C. Annealing was found to reduce the resistivity of the films from 106 W cm to just 2 W cm.
To help understand this change in resistivity, we tried two further annealing experiments. If the low-resistivity p-type films were further annealed in nitrogen at temperatures ranging between room temperature and 1000 °C, the resistivity remained almost constant at 2-8 W cm. However, if the films were annealed in ammonia at 600 °C, the resistivity increased to as much as 106 W cm.
So what causes the change in resistivity? The key seems to be the effect of atomic hydrogen, produced by the dissociation of ammonia at temperatures above 400 °C. Since dissociation occurs at the gallium nitride surface, hydrogen atoms can easily diffuse into the gallium nitride. Once inside the film, the hydrogen atoms form neutral complexes with the magnesium impurities and stop them from acting as acceptors.
This hydrogenation process is probably responsible for the surprisingly high resistivity of magnesium-doped gallium nitride films. The effect of thermally annealing the films in a nitrogen atmosphere is to remove atomic hydrogen from the neutral complexes, reactivating the magnesium acceptors and reducing the resistivity.
Many researchers now agree that hydrogenation can stop impurities from acting as acceptors. This finding finally solved the mystery of p-type gallium nitride, which had puzzled researchers for over 30 years.
Towards practical devices
Another key breakthrough was the fabrication of high-quality films of indium gallium nitride (InGaN). This is the most important compound of the III-V nitrides because it is the only one to produce light emission that is strong enough for practical devices. But it was not until 1992 that Takashi Mukai and I developed a technique to deposit high-quality InGaN films.
Our approach was to use a novel MOCVD method with two separate gas flows. The main flow carries the reactant gas parallel to the substrate at a high velocity. A subflow transports an inactive gas perpendicular to the substrate, changing the direction of the main flow and bringing the reactant gas into contact with the substrate. Using this method, we could alter the amount of indium in the deposited material by optimizing growth parameters such as gas-flow rate, temperature and growth rate.
Fluctuations in indium content lead to the formation of deep localized states in which the electron energy is confined in three dimensions, just as in quantum dots. To change the indium content during growth, the vapour pressure of the indium nitride (one of the precursor materials) is kept very high. The film is deposited at 800 °C, which causes the indium nitride to dissociate - this phase separation makes it possible to vary the composition of the indium gallium nitride. As we shall see, the localized states that are generated by this process are responsible for the strong light emission in InGaN. The films that we deposited in this way could emit light efficiently from green to ultraviolet wavelengths at room temperature.
In 1995 we demonstrated the first blue/green light-emitting diode based on InGaN. The structure consisted of a 3 nm layer of indium gallium nitride (In0.2Ga0.8N) sandwiched between p-type aluminium gallium nitride and n-type gallium nitride, all grown on a sapphire substrate. Such a thin layer of InGaN minimizes the effect of lattice mismatch: the elastic strain in the layer can be accommodated without the formation of misfit dislocations, and the crystal quality of the InGaN remains high. Moreover, the difference in thermal expansion coefficient between the active layer and the surrounding material is also reduced.
In this structure, the layer of indium gallium nitride forms a single quantum well, which leads to the formation of quantized energy states. Holes and electrons supplied by the surrounding materials are confined in the InGaN, specifically in the n = 1 energy level, where n is the principal quantum number. Because of this confinement, the charge carriers can recombine efficiently to emit blue or green light. The rate of recombination depends on the indium content in the active layer and the energies of the quantized states, which in turn depend on the thickness of the quantum well and the energy barrier between the InGaN layer and the surrounding materials.
Displays depend on blue devices
At a current of 20 mA, the output power of the blue diode was 5 mW, while the external quantum efficiency was 9.1%. The equivalent values for the green devices were 3 mW and 6.3%. Typical luminous intensities, which provide a measure of the brightness of the device, were 2 candela for the blue diode and 6 cd for the green diodes. These figures-of-merit are comparable with those of conventional high-efficiency red LEDs. By combining red light-emitting diodes with blue and green ones with the same power and brightness, it is possible to produce full-colour displays and efficient white lamps.
To determine the energy levels responsible for emission and absorption, we measured the light emitted when a current of 20 mA was applied to the structure (electroluminescence) and when monochromatic light was focused on the device (the photocurrent spectrum). Electroluminescence from the blue and green diodes was most intense at 453 nm (2.73 eV) and 520 nm (2.38 eV), as expected from their band-gap energies (figure 4). The largest peak in the photocurrent spectra, at 360 nm, is simply due to the absorption of light by the thick surrounding layers, although there are also weaker shoulder-like peaks at 410 nm for the blue LED and at 420 nm for the green one.
Emission and absorption
It has since been shown that these smaller peaks result from absorption by free "excitons" in the n = 1 energy level. Excitons are electron-hole pairs held together by the Coulomb interaction, and they form when electrons and holes are injected into the InGaN quantum well.
The energy difference between absorption by the n = 1 quantum energy state and the peak in the electroluminescence signal was 290 meV for the blue LEDs and 570 meV for the green ones. All of the electroluminescence is observed at the lower tail of the absorption spectra, suggesting that light emission results from the recombination of electrons and holes at deep localized states with energies of 290 and 570 meV.
When more indium is included in the active layer, there are larger variations in the indium content, leading to the formation of lower-energy states. Since green diodes are produced by adding more indium, the photocurrent spectrum of the green diode extends to lower energies.
Laser action
We first achieved laser emission from diodes based on III-V nitrides in 1995. These devices were based on multiple quantum wells of indium gallium nitride, and produced blue light efficiently at room temperature. Although early versions required high voltages and could only generate laser pulses, continuous-wave lasers have now been developed. By 1997 the lifetime of continuous blue lasers had improved to 27-35 hours, and the latest research has further extended the lifetime to 10 000 hours. This improvement in lifetime suggests that laser diodes based on indium gallium nitride will soon be commercialized with even longer lifetimes.
The continuous-wave laser diode is made from a layered structure with between 2 and 10 quantum wells. At room temperature, the current needed for laser emission is about 20 mA and the threshold current density is 2-4 kA cm-2, about 10 times higher than in red laser diodes. The operating voltage is 4-6 V, compared with about 2 V for red lasers, while the maximum output power was 50 mW per facet. Most of the light is emitted at wavelengths of 390-420 nm.
Gain in blue lasers
In 1997 Takahiro Deguchi and colleagues at Waseda University in Japan studied how the gain spectra of InGaN laser diodes depends on the power supplied by a pump laser. The sharp peak at 3.07 eV is particularly strong for pump powers in excess of 1 MW cm-2, and marked absorption is observed at 3.15 eV. The absorption is again caused by free excitons in the n = 1 energy level of indium gallium nitride. But the sharp gain cannot be understood in terms of the conventional picture of recombination between conduction and valence bands.
Indeed, the feature only appears when the energy of the pump laser matches the difference in energy between the n = 1 energy level and the energy of deep localized states in the InGaN layer. This suggests that the strong absorption at the n = 1 energy level transfers carriers into deep localized states. Electrons injected into the conduction band of the InGaN quantum well are transferred into localized states, while holes are supplied to the top of the valence band. Stimulated emission therefore takes place between the localized states and valence bands of the InGaN quantum wells. Population inversion is quite easy to achieve because the density of electronic states is expected to be relatively small in the localized states. This means that only a few injected electrons are needed to raise the quasi-Fermi level in the localized state, which increases the energy difference between this level and the energy level at which recombination takes place. Population inversion can therefore be achieved at low currents.
Dislocations in laser diodes
The large lattice mismatch between gallium nitride and sapphire means that up to 1010 dislocations per cm2 can form at the interface, and these defects can thread their way into the active layer (figure 6). In 1995 Steven Lester and colleagues at Hewlett Packard Laboratories in Palo Alto, California, measured a similar density of dislocations in light-emitting diodes based on InGaN.
So why are devices based on indium gallium nitride so efficient? In conventional III-V compound semiconductors, such as gallium arsenide and indium phosphide, the dislocation density must be less than 103 cm-2 to achieve high efficiencies. The presence of indium appears to play a key role, particularly since devices based on gallium nitride are much less efficient. It seems that free excitons formed in the InGaN layer are transferred into the deep localized energy states before they can be captured by the non-radiative recombination centres formed by dislocations. The electrons and holes can therefore recombine to emit blue light, without interference from non-radiative recombination centres. Localized energy states are thus the key to obtaining efficient light-emitting devices based on III-V nitrides.
Into the blue
The advances in light-emitting diodes and laser diodes based on indium gallium nitride have progressed at an amazing rate. It has taken just two years to progress from pulsed to continuous operation of blue laser diodes, while the same advance for conventional laser diodes based on III-V compound semiconductors has generally taken over 10 years.
The recent improvement in lifetimes suggests that blue lasers will soon appear on the market. With so many potential applications, the optoelectronics industry is eagerly anticipating a move into the blue.
About the author
Shuji Nakamura is at Nichia Chemical Industries, 491 Oka, Kaminaka, Anan Tokushima 774, Japan
Further reading
H Amano et al. 1989 P-type conduction in Mg-doped GaN treated with low-energy electron beam irradiation (LEEBI) Japan. J. Appl. Phys. 28 L2112 T Deguchi et al. 1997 Gain spectra in CW InGaN/GaN MQW laser diodes E-MRS (June 16-20, Strasbourg, France) L-XIII-3 S D Lester et al. 1995 High dislocation densities in high efficiency GaN-based light-emitting diodes Appl. Phys. Lett. 66 1249 S Nakamura et al. 1992 Hole compensation mechanism of p-type GaN films Japan. J. Appl. Phys. 31 1258 S Nakamura et al. 1995 Superbright green single-quantum-well-structure light-emitting diodes Japan. J. Appl. Phys. 34 L1332 S Nakamura et al. 1997 High-power, long-lifetime InGaN multi-quantum-well-structure laser diodes Japan. J. Appl. Phys. 36 L1059 S Nakamura et al. 1997 InGaN/GaN/AlGaN-based laser diodes with modulation-doped strained-layer superlattices Japan. J. Appl. Phys. 36 L1568 S Nakamura and G Fasol 1997 The Blue Laser Diode (Springer, Heidelberg) S Nakamura and T Mukai 1992 High-quality InGaN films grown on GaN films Japan. J. Appl. Phys. 31 L1457 Shuji Nakamura is at Nichia Chemical Industries, 491 Oka, Kaminaka, Anan Tokushima 774, Japan
Sebuah Renungan untuk kita......
Artikel di bawah ini saya adopsi dari email kiriman teman sahabat saya. Bagus buat direnungkan.....selamat membaca....
Cinta Sejati
Oleh: Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen
Seorang bijak berkata kepadaku, "Anakku, mari kita bicara tentangcinta. Cinta apa yang kau miliki?" Merasa diri ini memang belum pahamapa makna cinta yang sebenarnya, maka aku dengarkan baik-baik setiaphikmah yang menyemburat seperti cahaya.Anakku, kamu harus membuka hatimu lebar-lebar agar bisa menangkapesensi cinta yang akan aku sampaikan. Simpan pertanyaanmu nanti,karena setiap pertanyaan itu terlahir dari akal. Seperti langit, akalmelayang tinggi di atas bumi tempatmu berpijak. Dan kau pun akan jauhdari hati pijakanmu, satu-satunya titik yang mampu menangkap esensi cinta.Lihat batang bunga mawar itu. Dia punya potensi untuk mempersembahkanbunga merah dan harum yang semerbak. Namun jika batang itu tak pernahditanam, tak akan pernah mawar itu menghiasi kebunmu. Maka, hanyadengan membuka diri untuk tumbuhnya akar dan daun lah, batang mawaritu akan melahirkan bunga mawar yang harum. Demikian juga denganhatimu, anakku. Kau harus membukanya, agar potensi cinta yangterkandung di dalamnya bisa merekah, lalu menyinari dunia sekitarmudengan kedamaian.Anakku, begitu sering kau bicara cinta. Cinta kepada istri, cintakepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepadafilosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepadaTuhan… Apakah isi atau esensi dari cintamu itu? Kau bilang itu cintasuci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang palingdalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama, … Apakah benar begitu, anakku?Mungkin di kampung kau punya seekor kuda. Begitu sayangnya kau padakuda itu. Setiap hari kau beri makan, minum, kau rawat bulunya, kaubersihkan, kau ajak jalan-jalan. Seolah kuda itu telah menjadi bagiandari hidupmu, seperti saudaramu. Kau mencintai kuda itu sepenuh hati.Namun, suatu ketika datang orang yang ingin membelinya dengan hargayang fantastis. Hatimu goyah, dan kau pun menjualnya. Cintamu tidaksepenuh hati, karena kau rela menjual cinta. Kau mencintai kuda,karena kegagahannya membuatmu bangga dan selalu senang ketikamenungganginya. Namun, ketika datang harta yang lebih memberikankesenangan, kau berpaling. Kau cinta karena kau mengharapkan sesuatudari yang kau cintai. Kau cinta kudamu, karena mengharapkan kegagahan.Cintamu berpaling kepada harta, karena kau mengharapkan kekayaan.Ketika keadaan berubah, berubah pula cintamu.Kau sudah punya istri. Begitu besar cintamu kepadanya. Bahkan kaubilang, dia adalah pasangan sayapmu. Tak mampu kau terbang jikapasangan sayapmu sakit. Cintamu cinta sejati, sehidup semati. Namun,ketika kekasihmu sedang tak enak hati yang keseratus kali, kau engganmenghiburnya, kau biarkan dia dengan nestapanya karena sudah biasa.Ketika dia sakit yang ke lima puluh kali, perhatianmu pun berkurang,tidak seperti ketika pertama kali kau bersamanya. Ketika dia berbuatsalah yang ke sepuluh kali, kau pun menjadi mudah marah dan kesal.Tidak seperti pertama kali kau melihatnya, kau begitu pemaaf. Dankelak ketika dia sudah keriput kulitnya, akan kau cari penggantidengan alasan dia tak mampu mendukung perjuanganmu lagi? Kalau begitu,maka cintamu cinta berpengharapan. Kau mencintainya, karena diamemberi kebahagiaan kepadamu. Kau mencintainya, karena dia mampumendukungmu. Ketika semua berubah, berubah pula cintamu.Kau punya sahabat. Begitu sayangnya kau kepadanya. Sejak kecil kaubermain bersamanya, dan hingga dewasa kau dan dia masih salingmembantu, melebihi saudara. Kau pun menyatakan bahwa dia sahabatsejatimu. Begitu besar sayangmu kepadanya, tak bisa digantikan olehharta. Namun suatu ketika dia mengambil jalan hidup yang berbedadengan keyakinanmu. Setengah mati kau berusaha menahannya. Namun diaterus melangkah, karena dia yakin itulah jalannya. Akhirnya, bekalkeyakinan dan imanmu menyatakan bahwa dia bukan sahabatmu, bukansaudaramu lagi. Dan perjalanan kalian sampai di situ. Kaumencintainya, karena dia mencintaimu, sejalan denganmu. Kaumendukungnya, mendoakannya, membelanya, mengunjunginya, karena diaseiman denganmu. Namun ketika dia berubah keyakinan, hilang sudahcintamu. Cintamu telah berubah.Kau memegang teguh agamamu. Begitu besar cintamu kepada jalanmu. Kauberi makan fakir miskin, kau tolong anak yatim, tak pernah kautinggalkan ibadahmu, dengan harapan kelak kau bisa bertemu Tuhanmu.Namun, suatu ketika orang lain menghina nabimu, dan kau pun marah danmembakar tanpa ampun. Apakah kau lupa bahwa jalanmu mengajak untukmengutamakan cinta dan maaf? Dan jangankan orang lain yang menghinaagamamu, saudaramu yang berbeda pemahaman saja engkau kafirkan, engkaujauhi, dan engkau halalkan darahnya. Bukankah Tuhanmu saja tetap cintakepada makhlukNya yang seperti ini, meskipun mereka bersujud ataumenghinaNya? Kau cinta kepada agamamu, tapi kau persepsikan cinta yangdiajarkan oleh Tuhanmu dengan caramu sendiri.Anakku, selama kau begitu kuat terikat kepada sesuatu dan memfokuskancintamu pada sesuatu itu, selama itu pula kau tidak akan menemukanTrue Love. Cintamu adalah Selfish Love, cinta yang mengharapkan, cintakarena menguntungkanmu. Cinta yang akan luntur ketika sesuatu yang kaucintai itu berubah. Dengan cinta seperti ini kau ibaratnya sedangmengaspal jalan. Kau tebarkan pasir di atas sebuah jalan untukmeninggikannya. Lalu kau keraskan dan kau lapisi atasnya dengan aspal.Pada awalnya tampak bagus, kuat, dan nyaman dilewati. Setiap harikendaraan lewat di atasnya. Dan musim pun berubah, ketika hujan turundengan derasnya, dan truk-truk besar melintasinya. Lapisannyamengelupas, dan lama-lama tampak lah lobang di atas jalan itu. Cintayang bukan True Love, adalah cinta yang seperti ini, yang akan berubahketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Kau harus memahami halini, anakku.Sekarang lihatlah, bagaimana Tuhanmu memberikan cintaNya. Diamencintai setiap yang hidup, dengan cinta (rahman) yang sama, tidakmembeda-bedakan. Manusia yang menyembahNya dan manusia yangmenghinaNya, semua diberiNya kehidupan. KekuasaanNya ada di setiapyang hidup. Dia tidak meninggalkan makhlukNya, hanya karena si makhluktidak lagi percaya kepadanya. Jika Dia hanya mencintai mereka yangmenyembahNya saja, maka Dia namanya pilih kasih, Dia memberi cintayang berharap, mencintai karena disembah. Dia tidak begitu, dia tetapmencintai setiap ciptaanNya. Itulah True Love. Cinta yang tak pernahberubah, walau yang dicintai berubah. Itulah cinta kepunyaan Tuhan.Anakku, kau harus menyematkan cinta sejati ini dalam dirimu. Tanambibitnya, pupuk agar subur, dan tebarkan bunga dan buahnya ke alam disekitarmu.Dan kau perlu tahu, anakku. Selama kau memfokuskan cintamu pada yangkau cintai, maka selama itu pula kau tak akan pernah bisa memilikicinta sejati, True Love. Cinta sejati hanya kau rasakan, ketika kaumelihat Dia dalam titik pusat setiap yang kau cintai. Ketika kaumencintai istrimu, bukan kecantikan dan kebaikan istrimu itu yang kaulihat, tapi yang kau lihat "Oh my God! Ini ciptaanMu, sungguhcantiknya. Ini kebaikanMu yang kau sematkan dalam dirinya." Ketika kaulihat saudaramu entah yang sejalan maupun yang berseberangan, kaulihat pancaran CahayaNya dalam diri mereka, yang tersembunyi dalammisteri jiwanya. Kau harus bisa melihat Dia, dalam setiap yang kaucintai, setiap yang kau lihat. Ketika kau melihat makanan, kau bilang"Ya Allah, ini makanan dariMu. Sungguh luar biasa!" Ketika kau melihatseekor kucing yang buruk rupa, kau melihat kehidupanNya yang mewujuddalam diri kucing itu. Ketika kau mengikuti sebuah ajaran, kau lihatDia yang berada dibalik ajaran itu, bukan ajaran itu yang berubah jadiberhalamu. Ketika kau melihat keyakinan lain, kau lihat Dia yangmenciptakan keyakinan itu, dengan segala rahasia dan maksud yang kaubelum mengerti.Ketika kau bisa melihat Dia, kemanapun wajahmu memandang, saat itulahkau akan memancarkan cinta sejati kepada alam semesta. Cintamu tidakterikat dan terfokus pada yang kau pegang. Cintamu tak tertipu olehbaju filosofi, agama, istri, dan harta benda yang kau cintai. Cintamulangsung melihat titik pusat dari segala filosofi, agama, istri, danharta benda, dimana Dia berada di titik pusat itu. Cintamu langsungmelihat Dia.Dan hanya Dia yang bisa memandang Dia. Kau harus memahami ini, anakku.Maka, dalam dirimu hanya ada Dia, hanya ada pancaran cahayaNya. Dirimuharus seperti bunga mawar yang merekah. Karena hanya saat mawarmerekah lah akan tampak kehindahan di dalamnya, dan tersebar bau wangike sekitarnya. Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahayayang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yangmasih berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalahhatimu, mekarkan mawarmu.Anakku, hanya jiwa yang telah berserah diri saja lah yang akanmemancarkan cahayaNya. Sedangkan jiwa yang masih terlalu erat memegangsegala yang dicintainya, akan menutup cahaya itu dengan berhalafilosofi, agama, istri, dan harta benda. Lihat kembali, anakku, akanpengakuanmu bahwa kau telah berserah diri. Lihat baik-baik, telitidengan seksama, apakah pengakuan itu hanya pengakuan sepihak darimu?Apakah Dia membernarkan pengakuanmu? Ketika kau bilang "Allahu Akbar,"apakah kau benar-benar sudah bisa melihat keakbaran Dia dalam setiapyang kau lihat? Jika kau masih erat mencintai berhala-berhalamu, makasesungguhnya jalanmu menuju keberserahdirian masih panjang. Jalanmumenuju keber-Islam- an masih di depan. Kau masih harus membuka kebunbunga mawar yang terkunci rapat dalam hatimu. Dan hanya Dia-lah yangmemegang kunci kebun itu. Mintalah kepadaNya untuk membukanya. Lalu,masuklah ke dalam taman mawarmu. Bersihkan rumput-rumput liar di sana,gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yangmemakan daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, danbertawakkallah. InsyaAllah, suatu saat, jika kau melakukan ini semua,mawar itu akan berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuruistana.Semoga Allah membimbingmu, anakku.[]
========= ========= ========= ========= ========= ========= ========= ==
SEKILAS TTG BAWA MUHAIYAADEEN(wafat 1986)Bawa Muhaiyaddeen adalah seorang Mursyid sejati yang memberikanpengajaran kepada murid-muridnya di abad ke-20, tidak jauh dari masakita sekarang. Murid-muridnya pun terdiri dari kalangan bangsa Amerikadan Eropa, yang sedikit banyak mempunyai pola pikir dan pola budayayang masih memiliki sekian kadar kesamaan dengan kita, sehingga mudahuntuk ditempatkan dalam konteks kehidupan kita sekarang. Bahasa yangdisampaikan adalah bahasa nasihat, sebuah rekaman dialog seorang gurukepada murid-muridnya di dalam sebuah forum kecil.Bakat yang paling istimewa dari seorang Bawa Muhaiyaddeen adalahkemampuannya untuk memudahkan murid-muridnya dalam memahami esensi.Konsep-konsep spiritual yang beliau sampaikan, sebenarnya adalahkonsep yang rumit dan sangat dalam jika disampaikan dalam istilahmaupun bahasa sufisme klasik. Akan tetapi, beliau mampumenyempaikannya dengan bahasa yang lugas dan amat sederhana, disertaicontoh dan kisah yang teramat mudah dipahami. Sedemikian sederhana danmudahnya, hingga semua bahasan mendalam dan teoretik dari para sufiklasik itu menjelma menjadi seakan-akan hanyalah sebuah nasihat biasa.Padahal, esensi yang beliau sampaikan dibandingkan dengan esensi yangdiajarkan para sufi klasik melalui pembahasan yang tampak rumit,sebenarnya adalah sama.Bawa Muhaiyaddeen tidak mendidik muridnya untuk menjadi Islamologmaupun pengkaji tasawuf yang hafal pelbagai istilah rumit, danmenjadikan para muridnya menang dalam setiap perdebatan ilmiah. YangBawa lakukan adalah mendidik para muridnya untuk hidup dan `bernafas'dalam teori-teori tersebut sehingga esensinya mampu ditangkap olehmurid-muridnya. Kami kira, analogi yang baik untuk Beliau adalah, iatidak mengajarkan teori tentang laut kepada ikan-ikan. Ia mengajarkanikan-ikan untuk hidup dengan benar di dalam laut, dengan tetap membawajati dirinya masing-masing.Hal yang luar biasa, adalah fakta bahwa beliau seorang muslim butahuruf sederhana, yang melewatkan sebagian besar hidupnya di dalamhutan-hutan di Sri Lanka. Akan tetapi kedalaman ilmunya membuatnyakemudian dikenal masyarakat di Amerika sehingga Beliau dibawa kenegeri mereka untuk menjadi pembimbingnya di sana. Sangat menarikmelihat murid-muridnya— yang sebagian besar merupakan masyarakat kulitputih dengan tingkat pendidikan yang tinggi—menerima pengajaran dariseorang yang biasa hidup bersahaja di pedalaman hutan Sri Lanka. …".[]
Cinta Sejati
Oleh: Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen
Seorang bijak berkata kepadaku, "Anakku, mari kita bicara tentangcinta. Cinta apa yang kau miliki?" Merasa diri ini memang belum pahamapa makna cinta yang sebenarnya, maka aku dengarkan baik-baik setiaphikmah yang menyemburat seperti cahaya.Anakku, kamu harus membuka hatimu lebar-lebar agar bisa menangkapesensi cinta yang akan aku sampaikan. Simpan pertanyaanmu nanti,karena setiap pertanyaan itu terlahir dari akal. Seperti langit, akalmelayang tinggi di atas bumi tempatmu berpijak. Dan kau pun akan jauhdari hati pijakanmu, satu-satunya titik yang mampu menangkap esensi cinta.Lihat batang bunga mawar itu. Dia punya potensi untuk mempersembahkanbunga merah dan harum yang semerbak. Namun jika batang itu tak pernahditanam, tak akan pernah mawar itu menghiasi kebunmu. Maka, hanyadengan membuka diri untuk tumbuhnya akar dan daun lah, batang mawaritu akan melahirkan bunga mawar yang harum. Demikian juga denganhatimu, anakku. Kau harus membukanya, agar potensi cinta yangterkandung di dalamnya bisa merekah, lalu menyinari dunia sekitarmudengan kedamaian.Anakku, begitu sering kau bicara cinta. Cinta kepada istri, cintakepada anak, cinta kepada agama, cinta kepada bangsa, cinta kepadafilosofi, cinta kepada rumah, cinta kepada kebenaran, cinta kepadaTuhan… Apakah isi atau esensi dari cintamu itu? Kau bilang itu cintasuci, cinta sejati, cinta yang keluar dari lubuk hati yang palingdalam, cinta sepenuh hati, cinta pertama, … Apakah benar begitu, anakku?Mungkin di kampung kau punya seekor kuda. Begitu sayangnya kau padakuda itu. Setiap hari kau beri makan, minum, kau rawat bulunya, kaubersihkan, kau ajak jalan-jalan. Seolah kuda itu telah menjadi bagiandari hidupmu, seperti saudaramu. Kau mencintai kuda itu sepenuh hati.Namun, suatu ketika datang orang yang ingin membelinya dengan hargayang fantastis. Hatimu goyah, dan kau pun menjualnya. Cintamu tidaksepenuh hati, karena kau rela menjual cinta. Kau mencintai kuda,karena kegagahannya membuatmu bangga dan selalu senang ketikamenungganginya. Namun, ketika datang harta yang lebih memberikankesenangan, kau berpaling. Kau cinta karena kau mengharapkan sesuatudari yang kau cintai. Kau cinta kudamu, karena mengharapkan kegagahan.Cintamu berpaling kepada harta, karena kau mengharapkan kekayaan.Ketika keadaan berubah, berubah pula cintamu.Kau sudah punya istri. Begitu besar cintamu kepadanya. Bahkan kaubilang, dia adalah pasangan sayapmu. Tak mampu kau terbang jikapasangan sayapmu sakit. Cintamu cinta sejati, sehidup semati. Namun,ketika kekasihmu sedang tak enak hati yang keseratus kali, kau engganmenghiburnya, kau biarkan dia dengan nestapanya karena sudah biasa.Ketika dia sakit yang ke lima puluh kali, perhatianmu pun berkurang,tidak seperti ketika pertama kali kau bersamanya. Ketika dia berbuatsalah yang ke sepuluh kali, kau pun menjadi mudah marah dan kesal.Tidak seperti pertama kali kau melihatnya, kau begitu pemaaf. Dankelak ketika dia sudah keriput kulitnya, akan kau cari penggantidengan alasan dia tak mampu mendukung perjuanganmu lagi? Kalau begitu,maka cintamu cinta berpengharapan. Kau mencintainya, karena diamemberi kebahagiaan kepadamu. Kau mencintainya, karena dia mampumendukungmu. Ketika semua berubah, berubah pula cintamu.Kau punya sahabat. Begitu sayangnya kau kepadanya. Sejak kecil kaubermain bersamanya, dan hingga dewasa kau dan dia masih salingmembantu, melebihi saudara. Kau pun menyatakan bahwa dia sahabatsejatimu. Begitu besar sayangmu kepadanya, tak bisa digantikan olehharta. Namun suatu ketika dia mengambil jalan hidup yang berbedadengan keyakinanmu. Setengah mati kau berusaha menahannya. Namun diaterus melangkah, karena dia yakin itulah jalannya. Akhirnya, bekalkeyakinan dan imanmu menyatakan bahwa dia bukan sahabatmu, bukansaudaramu lagi. Dan perjalanan kalian sampai di situ. Kaumencintainya, karena dia mencintaimu, sejalan denganmu. Kaumendukungnya, mendoakannya, membelanya, mengunjunginya, karena diaseiman denganmu. Namun ketika dia berubah keyakinan, hilang sudahcintamu. Cintamu telah berubah.Kau memegang teguh agamamu. Begitu besar cintamu kepada jalanmu. Kauberi makan fakir miskin, kau tolong anak yatim, tak pernah kautinggalkan ibadahmu, dengan harapan kelak kau bisa bertemu Tuhanmu.Namun, suatu ketika orang lain menghina nabimu, dan kau pun marah danmembakar tanpa ampun. Apakah kau lupa bahwa jalanmu mengajak untukmengutamakan cinta dan maaf? Dan jangankan orang lain yang menghinaagamamu, saudaramu yang berbeda pemahaman saja engkau kafirkan, engkaujauhi, dan engkau halalkan darahnya. Bukankah Tuhanmu saja tetap cintakepada makhlukNya yang seperti ini, meskipun mereka bersujud ataumenghinaNya? Kau cinta kepada agamamu, tapi kau persepsikan cinta yangdiajarkan oleh Tuhanmu dengan caramu sendiri.Anakku, selama kau begitu kuat terikat kepada sesuatu dan memfokuskancintamu pada sesuatu itu, selama itu pula kau tidak akan menemukanTrue Love. Cintamu adalah Selfish Love, cinta yang mengharapkan, cintakarena menguntungkanmu. Cinta yang akan luntur ketika sesuatu yang kaucintai itu berubah. Dengan cinta seperti ini kau ibaratnya sedangmengaspal jalan. Kau tebarkan pasir di atas sebuah jalan untukmeninggikannya. Lalu kau keraskan dan kau lapisi atasnya dengan aspal.Pada awalnya tampak bagus, kuat, dan nyaman dilewati. Setiap harikendaraan lewat di atasnya. Dan musim pun berubah, ketika hujan turundengan derasnya, dan truk-truk besar melintasinya. Lapisannyamengelupas, dan lama-lama tampak lah lobang di atas jalan itu. Cintayang bukan True Love, adalah cinta yang seperti ini, yang akan berubahketika sesuatu yang kau cintai itu berubah. Kau harus memahami halini, anakku.Sekarang lihatlah, bagaimana Tuhanmu memberikan cintaNya. Diamencintai setiap yang hidup, dengan cinta (rahman) yang sama, tidakmembeda-bedakan. Manusia yang menyembahNya dan manusia yangmenghinaNya, semua diberiNya kehidupan. KekuasaanNya ada di setiapyang hidup. Dia tidak meninggalkan makhlukNya, hanya karena si makhluktidak lagi percaya kepadanya. Jika Dia hanya mencintai mereka yangmenyembahNya saja, maka Dia namanya pilih kasih, Dia memberi cintayang berharap, mencintai karena disembah. Dia tidak begitu, dia tetapmencintai setiap ciptaanNya. Itulah True Love. Cinta yang tak pernahberubah, walau yang dicintai berubah. Itulah cinta kepunyaan Tuhan.Anakku, kau harus menyematkan cinta sejati ini dalam dirimu. Tanambibitnya, pupuk agar subur, dan tebarkan bunga dan buahnya ke alam disekitarmu.Dan kau perlu tahu, anakku. Selama kau memfokuskan cintamu pada yangkau cintai, maka selama itu pula kau tak akan pernah bisa memilikicinta sejati, True Love. Cinta sejati hanya kau rasakan, ketika kaumelihat Dia dalam titik pusat setiap yang kau cintai. Ketika kaumencintai istrimu, bukan kecantikan dan kebaikan istrimu itu yang kaulihat, tapi yang kau lihat "Oh my God! Ini ciptaanMu, sungguhcantiknya. Ini kebaikanMu yang kau sematkan dalam dirinya." Ketika kaulihat saudaramu entah yang sejalan maupun yang berseberangan, kaulihat pancaran CahayaNya dalam diri mereka, yang tersembunyi dalammisteri jiwanya. Kau harus bisa melihat Dia, dalam setiap yang kaucintai, setiap yang kau lihat. Ketika kau melihat makanan, kau bilang"Ya Allah, ini makanan dariMu. Sungguh luar biasa!" Ketika kau melihatseekor kucing yang buruk rupa, kau melihat kehidupanNya yang mewujuddalam diri kucing itu. Ketika kau mengikuti sebuah ajaran, kau lihatDia yang berada dibalik ajaran itu, bukan ajaran itu yang berubah jadiberhalamu. Ketika kau melihat keyakinan lain, kau lihat Dia yangmenciptakan keyakinan itu, dengan segala rahasia dan maksud yang kaubelum mengerti.Ketika kau bisa melihat Dia, kemanapun wajahmu memandang, saat itulahkau akan memancarkan cinta sejati kepada alam semesta. Cintamu tidakterikat dan terfokus pada yang kau pegang. Cintamu tak tertipu olehbaju filosofi, agama, istri, dan harta benda yang kau cintai. Cintamulangsung melihat titik pusat dari segala filosofi, agama, istri, danharta benda, dimana Dia berada di titik pusat itu. Cintamu langsungmelihat Dia.Dan hanya Dia yang bisa memandang Dia. Kau harus memahami ini, anakku.Maka, dalam dirimu hanya ada Dia, hanya ada pancaran cahayaNya. Dirimuharus seperti bunga mawar yang merekah. Karena hanya saat mawarmerekah lah akan tampak kehindahan di dalamnya, dan tersebar bau wangike sekitarnya. Mawar yang tertutup, yang masih kuncup, ibarat cahayayang masih tertutup oleh lapisan-lapisan jiwa. Apalagi mawar yangmasih berupa batang, semakin jauh dari terpancarnya cahaya. Bukalahhatimu, mekarkan mawarmu.Anakku, hanya jiwa yang telah berserah diri saja lah yang akanmemancarkan cahayaNya. Sedangkan jiwa yang masih terlalu erat memegangsegala yang dicintainya, akan menutup cahaya itu dengan berhalafilosofi, agama, istri, dan harta benda. Lihat kembali, anakku, akanpengakuanmu bahwa kau telah berserah diri. Lihat baik-baik, telitidengan seksama, apakah pengakuan itu hanya pengakuan sepihak darimu?Apakah Dia membernarkan pengakuanmu? Ketika kau bilang "Allahu Akbar,"apakah kau benar-benar sudah bisa melihat keakbaran Dia dalam setiapyang kau lihat? Jika kau masih erat mencintai berhala-berhalamu, makasesungguhnya jalanmu menuju keberserahdirian masih panjang. Jalanmumenuju keber-Islam- an masih di depan. Kau masih harus membuka kebunbunga mawar yang terkunci rapat dalam hatimu. Dan hanya Dia-lah yangmemegang kunci kebun itu. Mintalah kepadaNya untuk membukanya. Lalu,masuklah ke dalam taman mawarmu. Bersihkan rumput-rumput liar di sana,gemburkan tanah, sirami batang mawar, halau jauh-jauh ulat yangmemakan daunnya. Kemudian, bersabarlah, bersyukurlah, danbertawakkallah. InsyaAllah, suatu saat, jika kau melakukan ini semua,mawar itu akan berbunga, lalu merekah menyebarkan bau harum ke penjuruistana.Semoga Allah membimbingmu, anakku.[]
========= ========= ========= ========= ========= ========= ========= ==
SEKILAS TTG BAWA MUHAIYAADEEN(wafat 1986)Bawa Muhaiyaddeen adalah seorang Mursyid sejati yang memberikanpengajaran kepada murid-muridnya di abad ke-20, tidak jauh dari masakita sekarang. Murid-muridnya pun terdiri dari kalangan bangsa Amerikadan Eropa, yang sedikit banyak mempunyai pola pikir dan pola budayayang masih memiliki sekian kadar kesamaan dengan kita, sehingga mudahuntuk ditempatkan dalam konteks kehidupan kita sekarang. Bahasa yangdisampaikan adalah bahasa nasihat, sebuah rekaman dialog seorang gurukepada murid-muridnya di dalam sebuah forum kecil.Bakat yang paling istimewa dari seorang Bawa Muhaiyaddeen adalahkemampuannya untuk memudahkan murid-muridnya dalam memahami esensi.Konsep-konsep spiritual yang beliau sampaikan, sebenarnya adalahkonsep yang rumit dan sangat dalam jika disampaikan dalam istilahmaupun bahasa sufisme klasik. Akan tetapi, beliau mampumenyempaikannya dengan bahasa yang lugas dan amat sederhana, disertaicontoh dan kisah yang teramat mudah dipahami. Sedemikian sederhana danmudahnya, hingga semua bahasan mendalam dan teoretik dari para sufiklasik itu menjelma menjadi seakan-akan hanyalah sebuah nasihat biasa.Padahal, esensi yang beliau sampaikan dibandingkan dengan esensi yangdiajarkan para sufi klasik melalui pembahasan yang tampak rumit,sebenarnya adalah sama.Bawa Muhaiyaddeen tidak mendidik muridnya untuk menjadi Islamologmaupun pengkaji tasawuf yang hafal pelbagai istilah rumit, danmenjadikan para muridnya menang dalam setiap perdebatan ilmiah. YangBawa lakukan adalah mendidik para muridnya untuk hidup dan `bernafas'dalam teori-teori tersebut sehingga esensinya mampu ditangkap olehmurid-muridnya. Kami kira, analogi yang baik untuk Beliau adalah, iatidak mengajarkan teori tentang laut kepada ikan-ikan. Ia mengajarkanikan-ikan untuk hidup dengan benar di dalam laut, dengan tetap membawajati dirinya masing-masing.Hal yang luar biasa, adalah fakta bahwa beliau seorang muslim butahuruf sederhana, yang melewatkan sebagian besar hidupnya di dalamhutan-hutan di Sri Lanka. Akan tetapi kedalaman ilmunya membuatnyakemudian dikenal masyarakat di Amerika sehingga Beliau dibawa kenegeri mereka untuk menjadi pembimbingnya di sana. Sangat menarikmelihat murid-muridnya— yang sebagian besar merupakan masyarakat kulitputih dengan tingkat pendidikan yang tinggi—menerima pengajaran dariseorang yang biasa hidup bersahaja di pedalaman hutan Sri Lanka. …".[]
Kamis, 08 Mei 2008
Mengenal Prof. Dr. Rosari Saleh (Ibu Oca)
Ibu Oca adalah dosen saya ketika saya belajar pendahuluan zat padat dan mata kuliah zat padat di Fisika FMIPA UI. Beliau juga sering memberikan motivasi ke saya untuk studi yang baik. Nah ketika saya menemukan tulisan tentang beliau saya sangat senang dan sebagai bentuk sharing informasi tentang beliau berikut ini biografi beliau yang diambil dari :
http://www.adilnews.com/?q=id/rosari-saleh-fisika-itu-indah
Pembawaannya jauh dari kesan serius dan formal. Celana jeans hitam dan kemeja hijau modis berpadu serasi di tubuhnya yang lumayan tinggi untuk ukuran Indonesia. “Panggil Oca saja,” paparnya memperkenalkan diri. Bayangan seorang profesor yang serius dan kaku, sirna seketika ketika kita mulai berbincang. Gaya bicaranya ringan, kadang diselengi canda dan tawa. Gerak geriknya lincah. Segelas kopi hangat menemaninya pagi itu. Usia Oca terbilang muda untuk menjadi guru besar dalam disiplin condensed matter and material physics (CMMP) di Universitas Indonesia. Lajang ini lahir di Yogyakarta pada 5 Oktober 1961. Ayahnya Roeslan Saleh adalah seorang profesor dalam bidang hukum di Universitas Gajah Madha Yogyakarta. Dua tahun setelah kelahiran Oca, dia pindah ke Jakarta dan menjadi guru besar luar biasa di FISIP UI. Sementara ibunya Tuty Roeslan Saleh dulunya seorang staf PT Asuransi Murni. Ayahnya yang seorang akademisi menanamkan pentingnya pendidikan sejak Oca masih kecil. Untuk urusan yang satu itu, ia bersedia memberikan apapun. Ibu Oca tak beda jauh. Ia yang pernah menjadi asisten dosen di FISIP UGM menegaskan hal serupa. Oca kecil mulai tergelitik. Ia ingin tahu bagaimana rasanya bekerja seperti halnya sang ayah. Akhirnya, Oca tumbuh menjadi gadis yang pintar dan ceria. Nilai-nilai di sekolahnya tak mengecewakan. Ia memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan senang bergaul. Masuk SMA, Oca meminati fisika. Namun ia tak menyukai guru-gurunya. Dalam pandangannya, mereka kering humor dan senyum. Mereka menginginkan murid-muridnya memahami fisika dalam kehidupan sehari-hari. Namun contoh yang diberikan umumnya bagaimana lintasan peluru ditembakan dari suatu meriam, pistol atau senapan; peluruhan inti atom dengan pemboman Nagasaki dan Hiroshima sebagai contoh untuk menunjukkan kekuatan bom atom. Contoh-contoh tersebut bagi Oca berasosiasi dengan kekerasan, peperangan, dan upaya pemusnahan manusia. Contoh fisika yang lekat dengan kehidupan sehari-hari dan memiliki kontribusi bagi kehidupan manusia, justru jarang dipaparkan. Selain itu, kegiatan belajar mengajar kebanyakan hanya diisi dengan menulis rumus di papan tulis. Situasi semacam itu, membuat Oca merasa bosan. “Kayaknya cuma pacaran sama papan tulis saja,” ujarnya tergelak. Saking bosannya, suatu hari saat guru fisika tidak hadir di kelas ia membolos. Hari itu ada pemutaran film untuk anak sekolah di sebuah bioskop. Oca pergi ke sana untuk menontonnya. Namun belum sempat menyaksikan film, sebuah pengumuman besar terpampang di layar. 'Rosari Saleh harap keluar ditunggu ayahnya.' Oca kaget. Entah bagaimana caranya, sang ayah mengetahui keberadaannya di bioskop itu. Oca batal nonton film. Ayahnya langsung mengajaknya pulang, namun tanpa menunjukkan kemarahan. Ayahnya mengerti alasan Oca membolos karena merasa bosan dengan sistem pembelajaran yang monoton di sekolahnya. Ayahnya kemudian meningkatkan les-les tambahan seperti fisika, kimia, dan matematika bagi Oca. Oca senang belajar di rumah, namun ia semakin bosan belajar di sekolahnya. Alasannya, ketika ada guru yang tidak masuk, pelajaran malah dimajukan. Dirinya yang menempuh SD dan SMP di Regina Pacis Jakarta, yang biasa menerapkan disiplin tinggi itu mengaku kaget. Saat belajar di Regina Pacis, ketika ada guru yang berhalangan hadir maka akan digantikan oleh guru lain. Sementara di SMA nya tidak demikian. Sebagai upaya survive di SMA nya selama tiga tahun, Oca mengaku sering membolos. Namun bukan untuk tujuan bermain-main. Setiap berhasil kabur dari sekolahnya ia langsung pulang ke rumah. Waktu di rumah dimanfaatkannya untuk membaca buku hingga saat mengikuti les tiba, yakni sore hari. Walau sering membolos, Oca tak mengecewakan orang tuanya. Nilainya cukup memuaskan. Setamat SMA, ia ikut mendaftar perintis II (pendaftaran masuk ke perguruan tinggi untuk mereka yang memiliki nilai tinggi). Karena ingin tetap dekat dengan orang tuanya, ia mendaftar di Universitas Indonesia dan berhasil diterima. Masuk UI, ia mengambil jurusan fisika, sebuah pelajaran yang diminatinya sejak SMA dulu. Setahun mempelajari fisika di sana, ia merasakan kebosanan pada lingkungan dan cara dosen mengajar. Menurutnya, bukan rahasia bahwa dosen-dosen di departemen fisika acapkali dianggap garing, kurang humor kalaupun ada, humornya bermuatan rumus fisika yang kering dan tidak mudah difahami oleh disiplin lain. Saat itu, ia melihat fisika bukanlah suatu disiplin yang populer bagi mahasiswa yang ingin mendapat teman-teman yang 'gaul' dan 'senang mejeng'. Oca menilai, mereka yang mempelajari fisika ataupun ilmu eksak lainnya cenderung introvet, serius, kaku, dan hobi belajar. Sementara dirinya adalah sosok yang hobi jalan, pergi nonton, senang ke café dan juga suka humor. Di fakultasnya ia merasa bagai alien, karena agak berbeda kebiasaan dari teman-temannya. Tahun kedua belajar fisika di UI, ia berpikir untuk pindah ke fakultas teknik. Namun setiap ujian semester tiba, selalu bersamaan waktunya dengan ujian Sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru). Oca bingung. Ia harus menentukan pilihan. Jurusan apakah yang akan ditekuninya. Pilihan akhirnya tetap pada fisika. Semangat Oca untuk tetap bertahan pada bidang fisika juga tak lepas dari peran sang ayah. Ia, sering dibelikan buku-buku fisika dari luar negeri untuk keperluan kuliahnya. Dan menurutnya, buku-buku tersebut sangat menarik. Namun karena saking banyaknya pertanyaan yang muncul dalam benaknya, ia bingung harus bertanya ke mana. Setelah perjuangan yang cukup menyita pikiran, Oca akhirnya berhasil menjadi sarjana fisika dengan nilai yang lumayan bagus. Namun ia tak puas sampai disitu. Ia merasa banyak pertanyaan dalam bidang fisika yang tidak terjawab, ditambah lagi adanya kebosanan pada ilmu yang dipelajarinya, yang menurutnya begitu monoton. Rasa penasarannya itu, mendorong Oca untuk mendalami disiplin fisika lebih lanjut. Ia meminta ayahnya menyekolahkannya ke luar negeri. Dengan uang hasil penjualan sebidang tanah di dekat tol Simatupang, berangkatlah ia ke Jerman. Di Universitas Philipps, Marburg, Jerman dirinya mendalami ilmu fisika. Di tempat itulah, ia mengaku mendapat jawaban-jawaban yang memuaskan. Yang mana mampu membuka matanya akan keindahan fisika, terutama saat dirinya memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai filsafat ilmu tersebut. Di universitas itu, Oca memilih salah satu cabang ilmu fisika yakni CMMP. CMMP merupakan cabang fisika yang mempelajari sifat-sifat dari sekumpulan besar atom yang membentuk suatu materi, baik sintetik maupun alami. Ia memilih cabang itu karena memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan aplikasinya bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Sepulang dari Jerman, Oca berhasil membawa gelar doktor dan segudang perkembangan pribadi. Terutama cara pandangnya soal ilmu fisika. Ia kini melihat fisika sebagai suatu disiplin yang indah, sangat dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari, sangat kaya dengan berbagai model, dan pola-pola pikir yang dikembangkan sangat berguna untuk diaplikasikan pada kehidupan manusia. Berbekal pengalaman di Jerman, Oca mulai merintis karir intelektualnya di almamaternya, yakni Universitas Indonesia. Ia memenuhi amanat ayahnya, yang menginginkan dirinya berbakti pada FMIPA UI. Selain sebagai staf pengajar, ia juga aktif dalam lembaga-lembaga penelitian di UI. Keinginannya bekerja seperti ayahnya, belum lama ini terwujud. Ia didapuk menjadi guru besar dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sebuah jenjang karir akademik tertinggi di Universitas Indonesia yang berhasil diraihnya dalam usia yang relatif masih muda.
http://www.adilnews.com/?q=id/rosari-saleh-fisika-itu-indah
Pembawaannya jauh dari kesan serius dan formal. Celana jeans hitam dan kemeja hijau modis berpadu serasi di tubuhnya yang lumayan tinggi untuk ukuran Indonesia. “Panggil Oca saja,” paparnya memperkenalkan diri. Bayangan seorang profesor yang serius dan kaku, sirna seketika ketika kita mulai berbincang. Gaya bicaranya ringan, kadang diselengi canda dan tawa. Gerak geriknya lincah. Segelas kopi hangat menemaninya pagi itu. Usia Oca terbilang muda untuk menjadi guru besar dalam disiplin condensed matter and material physics (CMMP) di Universitas Indonesia. Lajang ini lahir di Yogyakarta pada 5 Oktober 1961. Ayahnya Roeslan Saleh adalah seorang profesor dalam bidang hukum di Universitas Gajah Madha Yogyakarta. Dua tahun setelah kelahiran Oca, dia pindah ke Jakarta dan menjadi guru besar luar biasa di FISIP UI. Sementara ibunya Tuty Roeslan Saleh dulunya seorang staf PT Asuransi Murni. Ayahnya yang seorang akademisi menanamkan pentingnya pendidikan sejak Oca masih kecil. Untuk urusan yang satu itu, ia bersedia memberikan apapun. Ibu Oca tak beda jauh. Ia yang pernah menjadi asisten dosen di FISIP UGM menegaskan hal serupa. Oca kecil mulai tergelitik. Ia ingin tahu bagaimana rasanya bekerja seperti halnya sang ayah. Akhirnya, Oca tumbuh menjadi gadis yang pintar dan ceria. Nilai-nilai di sekolahnya tak mengecewakan. Ia memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan senang bergaul. Masuk SMA, Oca meminati fisika. Namun ia tak menyukai guru-gurunya. Dalam pandangannya, mereka kering humor dan senyum. Mereka menginginkan murid-muridnya memahami fisika dalam kehidupan sehari-hari. Namun contoh yang diberikan umumnya bagaimana lintasan peluru ditembakan dari suatu meriam, pistol atau senapan; peluruhan inti atom dengan pemboman Nagasaki dan Hiroshima sebagai contoh untuk menunjukkan kekuatan bom atom. Contoh-contoh tersebut bagi Oca berasosiasi dengan kekerasan, peperangan, dan upaya pemusnahan manusia. Contoh fisika yang lekat dengan kehidupan sehari-hari dan memiliki kontribusi bagi kehidupan manusia, justru jarang dipaparkan. Selain itu, kegiatan belajar mengajar kebanyakan hanya diisi dengan menulis rumus di papan tulis. Situasi semacam itu, membuat Oca merasa bosan. “Kayaknya cuma pacaran sama papan tulis saja,” ujarnya tergelak. Saking bosannya, suatu hari saat guru fisika tidak hadir di kelas ia membolos. Hari itu ada pemutaran film untuk anak sekolah di sebuah bioskop. Oca pergi ke sana untuk menontonnya. Namun belum sempat menyaksikan film, sebuah pengumuman besar terpampang di layar. 'Rosari Saleh harap keluar ditunggu ayahnya.' Oca kaget. Entah bagaimana caranya, sang ayah mengetahui keberadaannya di bioskop itu. Oca batal nonton film. Ayahnya langsung mengajaknya pulang, namun tanpa menunjukkan kemarahan. Ayahnya mengerti alasan Oca membolos karena merasa bosan dengan sistem pembelajaran yang monoton di sekolahnya. Ayahnya kemudian meningkatkan les-les tambahan seperti fisika, kimia, dan matematika bagi Oca. Oca senang belajar di rumah, namun ia semakin bosan belajar di sekolahnya. Alasannya, ketika ada guru yang tidak masuk, pelajaran malah dimajukan. Dirinya yang menempuh SD dan SMP di Regina Pacis Jakarta, yang biasa menerapkan disiplin tinggi itu mengaku kaget. Saat belajar di Regina Pacis, ketika ada guru yang berhalangan hadir maka akan digantikan oleh guru lain. Sementara di SMA nya tidak demikian. Sebagai upaya survive di SMA nya selama tiga tahun, Oca mengaku sering membolos. Namun bukan untuk tujuan bermain-main. Setiap berhasil kabur dari sekolahnya ia langsung pulang ke rumah. Waktu di rumah dimanfaatkannya untuk membaca buku hingga saat mengikuti les tiba, yakni sore hari. Walau sering membolos, Oca tak mengecewakan orang tuanya. Nilainya cukup memuaskan. Setamat SMA, ia ikut mendaftar perintis II (pendaftaran masuk ke perguruan tinggi untuk mereka yang memiliki nilai tinggi). Karena ingin tetap dekat dengan orang tuanya, ia mendaftar di Universitas Indonesia dan berhasil diterima. Masuk UI, ia mengambil jurusan fisika, sebuah pelajaran yang diminatinya sejak SMA dulu. Setahun mempelajari fisika di sana, ia merasakan kebosanan pada lingkungan dan cara dosen mengajar. Menurutnya, bukan rahasia bahwa dosen-dosen di departemen fisika acapkali dianggap garing, kurang humor kalaupun ada, humornya bermuatan rumus fisika yang kering dan tidak mudah difahami oleh disiplin lain. Saat itu, ia melihat fisika bukanlah suatu disiplin yang populer bagi mahasiswa yang ingin mendapat teman-teman yang 'gaul' dan 'senang mejeng'. Oca menilai, mereka yang mempelajari fisika ataupun ilmu eksak lainnya cenderung introvet, serius, kaku, dan hobi belajar. Sementara dirinya adalah sosok yang hobi jalan, pergi nonton, senang ke café dan juga suka humor. Di fakultasnya ia merasa bagai alien, karena agak berbeda kebiasaan dari teman-temannya. Tahun kedua belajar fisika di UI, ia berpikir untuk pindah ke fakultas teknik. Namun setiap ujian semester tiba, selalu bersamaan waktunya dengan ujian Sipenmaru (seleksi penerimaan mahasiswa baru). Oca bingung. Ia harus menentukan pilihan. Jurusan apakah yang akan ditekuninya. Pilihan akhirnya tetap pada fisika. Semangat Oca untuk tetap bertahan pada bidang fisika juga tak lepas dari peran sang ayah. Ia, sering dibelikan buku-buku fisika dari luar negeri untuk keperluan kuliahnya. Dan menurutnya, buku-buku tersebut sangat menarik. Namun karena saking banyaknya pertanyaan yang muncul dalam benaknya, ia bingung harus bertanya ke mana. Setelah perjuangan yang cukup menyita pikiran, Oca akhirnya berhasil menjadi sarjana fisika dengan nilai yang lumayan bagus. Namun ia tak puas sampai disitu. Ia merasa banyak pertanyaan dalam bidang fisika yang tidak terjawab, ditambah lagi adanya kebosanan pada ilmu yang dipelajarinya, yang menurutnya begitu monoton. Rasa penasarannya itu, mendorong Oca untuk mendalami disiplin fisika lebih lanjut. Ia meminta ayahnya menyekolahkannya ke luar negeri. Dengan uang hasil penjualan sebidang tanah di dekat tol Simatupang, berangkatlah ia ke Jerman. Di Universitas Philipps, Marburg, Jerman dirinya mendalami ilmu fisika. Di tempat itulah, ia mengaku mendapat jawaban-jawaban yang memuaskan. Yang mana mampu membuka matanya akan keindahan fisika, terutama saat dirinya memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai filsafat ilmu tersebut. Di universitas itu, Oca memilih salah satu cabang ilmu fisika yakni CMMP. CMMP merupakan cabang fisika yang mempelajari sifat-sifat dari sekumpulan besar atom yang membentuk suatu materi, baik sintetik maupun alami. Ia memilih cabang itu karena memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan aplikasinya bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Sepulang dari Jerman, Oca berhasil membawa gelar doktor dan segudang perkembangan pribadi. Terutama cara pandangnya soal ilmu fisika. Ia kini melihat fisika sebagai suatu disiplin yang indah, sangat dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari, sangat kaya dengan berbagai model, dan pola-pola pikir yang dikembangkan sangat berguna untuk diaplikasikan pada kehidupan manusia. Berbekal pengalaman di Jerman, Oca mulai merintis karir intelektualnya di almamaternya, yakni Universitas Indonesia. Ia memenuhi amanat ayahnya, yang menginginkan dirinya berbakti pada FMIPA UI. Selain sebagai staf pengajar, ia juga aktif dalam lembaga-lembaga penelitian di UI. Keinginannya bekerja seperti ayahnya, belum lama ini terwujud. Ia didapuk menjadi guru besar dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Sebuah jenjang karir akademik tertinggi di Universitas Indonesia yang berhasil diraihnya dalam usia yang relatif masih muda.
Langganan:
Postingan (Atom)