selang dua hari meninggalnya Mbah Surip, pada hari Jumat tanggal 7 Agustus 2009, sang Penyair besar WS Rendra dipanggil kehadirat Illahi Rabbi. Beliau berdua di makamkan di komplek pemakaman Bengkel Teater WS Rendra...Sungguh kejadian yang langka, karena dalam 2 hari berturut-turut bangsa Indonesia kehilangan orang2 yang dicintai oleh rakyatnya.
Mari kita mengenang WS Rendra melalui salah satu pemikiran beliau ketika pengukuhan doktor honoris causa di UGM....
Pemikiran WS Rendra melampaui zamannya
sumber : http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=19796&Itemid=47
YOGYA - Sang penyair WS Rendra kali ini berpenampilan lain. Dia tak berpakaian seadanya. Tapi, dia mengenakan toga dan mengumbar senyum bangga. Betapa tidak! Karena hari itu, Selasa (4/3), Si Burung Merak menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) di bidang sastra dari UGM Yogyakarta. Seperti seorang begawan, Rendra menyampaikan perenungan dalam pidato pengukuhan.
Dia mengkaitkan ramalan pujangga besar Ronggowarsito dengan keadaan kekinian. Katanya, setelah zaman Kalatida dan Kalabendu akan tiba masa Kalasuba yakni zaman stabilitas dan kemakmuran, yang ditegakkan Ratu Adil.
Hanya saja, Rendra mengaku berbeda sikap dalam mengantisipasi datangnya Kalasuba. "Kalasuba pasti akan tiba. Karena dalam setiap chaos secara built-in" ada potensi untuk kestabilan dan keteraturan," katanya.
Tapi, kestabilan belum tentu baik untuk kelangsungan kedaulatan rakyat dan manusia yang sangat penting untuk emansipasi kehidupan manusia secara jasmani,rohani, sosial, intelektual dan budaya.
Harus usahaDalam sejarah kita, kata Rendra, kita mengenal kenyataan. Setelah chaos Revolusi Prancis, lahirlah kestabilan pemerintah Napoleon yang diktator. Menurut Rendra, harus ada usaha kita yang lain. Kita tak sekedar sabar dan tawakal. Kita, tidak menghendaki Kalasuba dikuasai diktator. Tidak juga dikuasai asing seperti Timor Laste.
Tapi, kita harus aktif memperkembangkan usaha untuk menadesak perubahan tata pembangunan, tata hukum dan tata kenegaraan. "Sehingga menjadi lebih baik daya hidup dan daya cipta bangsa," kata Rendra.
Situasi seperti itu tak tergantung hadirnya Ratu Adil. Tapi tergantung pada hukum, mandiri dan tawakal, Rendra nenutup renungannya berjudul "Megatruh Kambuh. Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu ".
Tampak hadir dalam penganugerahan gelar Doktor HC kepada Rendra seperti Ahmad Syafii Maarif, Eep Saifullah, Joko Pekik, Djaduk Ferianto, Gunawan Muhammad, Sri Edy Swasono, Hariman Siregar, Sultan Ternate. Yang tidak tampak sahabat Rendra yakni Setiawan Djodi.
Apa komentar mantan Ketua MPR, Amien Rais ? Katanya;"Kalau saya ikut menguji tentu akan memberi nilai A plus. Karena isi pidato Rendra sangat akademis serta relevan dengan kondisi sosial dan politik bangsa saat ini,".
"Penganugerahan Doktor HC semakin meneguhkan Rendra sebagai mainstream teater moderen Indonesia," kata Butet Kertarejasa seraya mengatakan sudah semestinya Rendra menerima penghargaan ini. Karena pemikirannya tak kalah dengan doktor-doktor formal.
Lalu apa kata budayawan Emha Ainun Nadjib ? Cak Nun, panggilan akrab Emha mengakui Rendra memang seorang penyair yang memiliki pemikiran melampui zamannya.
"Hanya saja, pemikiran Rendra yang disampaikan dalam penganugerahan Doktor HC adalah pemikiran yang pernah dikemukakan dan didiskusikan sekitar 1970-an," kata Cak Nun. K-16/ad
Jumat, 07 Agustus 2009
Mengambil hikmah dari lika liku hidup Mbah Surip
Mbah Surip meninggal pada hari Selasa tanggal 4 Agustus 2009. Dari perjalanan hidupnya yang penuh lika liku hingga menjadi penyanyi fenomenal, menurut saya banyak sekali hikmah yang patut kita ambil. Semoga amal baik Mbah Surip menjadi teman sejati dipangkuan Illahi..amiin
Mbah Surip Digendong Tuhan
Oleh Saratri Wilonoyudho (Peneliti dan Dosen Universitas Negeri Semarang)
Kematian Michael Jackson dan Mbah Surip boleh saja ditafsirkan bahwa Tuhan tengah mempertunjukkan pelajaran kepada manusia tentang apa sesungguhnya batas-batas kewajaran. Di tengah-tengah nafsu perebutan kekuasaan di berbagai level, baik nasional maupun daerah, Tuhan sedang memberi "intermezzo" sebuah refrein lagu kematian. Semua yang ada di dunia tidak ada yang abadi, kenapa orang terus mengejar harta dunia dan kepemilikan sampai lupa daratan?
Mbah Surip dan Jacko adalah dua sosok yang bertolak belakang. Kesamaan mereka adalah kekayaan yang luar biasa untuk ukurannya. Tentu saja hasil ring tone Mbah Surip sekitar Rp 5 miliar, itu hanya "uang jajan" Jacko. Namun, bagi Mbah Surip, uang itu luar biasa banyaknya.
Sebaliknya, kekayaan Jacko mencapai angka triliunan rupiah. Ironisnya, Jacko justru kesepian dan menderita hingga akhirnya meninggal dalam kesengsaraan, sebaliknya Mbah Surip meninggal dalam kedamaian. Tak mudah orang meninggal mendadak seperti ia.
Fenomena Michael Jackson banyak kita jumpai. Di negeri ini juga banyak orang "sukses" namun menderita lahir batin. Ini adalah sebuah ironi.
Fenomena Mbah Surip dan Michael Jackson mengajarkan tentang "ilmu kematian" dan "ilmu kewajaran". Kemiskinan yang berlebihan juga akan membunuh manusia, bukan hanya jasadnya, namun juga mentalnya. Demikian pula kekayaan yang luar biasa yang melebihi batas juga akan mematikan kreativitas mentalnya karena segala sesuatunya dapat dia beli.
Ilmu kehidupan itu ialah menyadari ilmu kematian. Kepemilikan apa saja di dunia ini tak akan dapat dibawa mati. Emha Ainun Nadjib pernah bercerita tentang kematian Pugra, ia meninggal ketika sedang pentas tari Bali di Sasonomulya, Solo. Sebagaimana laiknya orang Bali, anak dan dua keponakannya dengan tenang menyaksikan kematiannya. Kematian tak layak disedihkan karena kematian adalah berangkat ke kehidupan yang lebih tinggi. Apalagi mereka yakin Pugra mengetahui saat kematiannya hingga ia memilih di atas pentas ketika menari.
Mbah Surip semoga termasuk seniman yang menyadari bahwa menjadi seniman bukan untuk kesenangan tujuan popularitas atau tujuan kekayaan material belaka. Banyak kasus calon-calon artis berbondong-bondong mendatangi sutradara dan menawarkan diri: "Berpose telanjang juga boleh, tidak apa-apa, asal wajar sesuai tuntutan skenario". Bagaimana mungkin telanjang kok "wajar"? Inilah kesenimanan yang tidak menyatu dengan jiwa dan ruhnya.
Semoga kesenimanan Mbah Surip menyatu dengan jiwanya, dan jiwa tak dapat dilepaskannya kecuali jika ia dikhianati. Kesenimanan baginya adalah kebahagiaan cinta (I Love You Full, katanya) dan kesejatian dan bukan keglamoran atau nafsu. Mbah Surip barangkali sadar bahwa jiwa kesenimanan jika dikhianati maka akan terjerambab. Berapa banyak seniman dan artis kita yang jatuh ke jurang nista justru setelah sampai pada puncak ketenaran seperti Jacko, baik karena narkoba, selingkuh, dan tindakan amoral lainnya?
Kesenimanan bagi Mbah Surip adalah kesetiaan dan bukan kemegahan. Kesenimanan harus teguh mempertahankan prinsip bahwa seni itu untuk kemanusiaan serta untuk memuji kebesaran Tuhan dan ciptaan-Nya. Perkara mendapat uang miliaran, ini adalah "risiko", dan bukan tujuannya. Kalau seniman tidak memiliki sikap seperti ini, berarti dia bukan seniman tapi pedagang.
Ilusi kesuksesan hidup
Pelajaran lain dari Jacko adalah tentang ilusi kesuksesan hidup. Orang barangkali heran mengapa para pejabat dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan, dengan berbagai fasilitas luar biasa, hingga kekayaannya mencapai angka puluhan miliar rupiah, toh masih tega juga mengorupsi uang rakyat. Pertanyaannya, mengapa orang yang bertambah kekayaannya justru semakin haus untuk mereguk yang lainnya?
Pertanyaan ini dijawab dengan baik oleh ekonom Inggris Fred Hirsch. Menurut Hirsch, justru dengan semakin kaya seseorang akan merangsang nafsunya untuk terus menambah kekayaannya. Penjelasan Hirsch cukup simpel: orang yang bertambah kekayaannya terus akan mengejar kekayaan yang lain karena orang lain di sekitarnya juga terus menangguk "kesuksesan" hidup. Dalam posisi seperti ini, kekayaan yang ia dapatkan seolah-olah tidak berarti baginya.
Mereka yang dicontohkan di atas tergolong orang-orang yang terbelenggu oleh kemilau duniawi. Padahal, kata para sufi seperti Abdul Qodir Jaelani, Jalaluddin Rumi, jika seseorang sudah "berjumpa" dengan Tuhannya, maka ia akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Keinginan yang terbesar orang yang sudah sampai pada tataran atau maqom ini adalah: "tidak ingin memiliki keinginan sama sekali".
Kalaupun ia dianugerahi kekayaan dari Tuhan, ia enjoy saja. Kekayaan itu tidak akan membelengggunya. Ia akan menafkahkan kepada siapa saja, menaburkan kepada alam semesta, kepada sesama, tanpa beban dan tanpa harapan untuk "pahala". Ia akan menggunakan secukupnya (tentu sesuai standar normal orang hidup), dan sisanya yang terbesar akan dikembalikan kepada pemilik-Nya, lewat amal jariyah yang terus mengalir tiada henti, tanpa takut ia akan jatuh miskin.
Orang yang sudah sampai tataran "hilangnya" keinginan (duniawi) akan tenteram jiwanya. Ia sangat menikmatui "perjumpaannya" dengan Sang Khalik, dan orang Jawa bilang sudah dapat menuju ke arah "manunggaling kawula Gusti". Tuhan senantiasa ada di dalam hatinya dan selalu memberi berkah.
Barangkali ilmu ini yang dimiliki Mbah Surip, terbukti ia tidak silau dengan rezeki nomplok. Ia tetap bersahaja, dan sebaliknya Jacko yang tidak bersyukur. Jacko malu sebagai orang hitam dengan jalan operasi plastik. Sebaliknya Mbah Surip justru "menjelek-jelekkan" namanya sendiri karena nama aslinya adalah Urip Ariyanto. Mbah Surip tidak ganti nama menjadi Ary atau Ariel, layaknya artis-artis kita yang tak pernah percaya diri sehingga harus mengganti namanya.
Mbah Surip juga tidak serta-merta mengubah penampilannya. Tetap rambut gimbal ke mana-mana naik ojek dan tidak jual mahal atau angkuh. Mbah Surip seakan tidak merasakan apa arti uang Rp 5 miliar. Padahal, berapa banyak pejabat yang kelihatannya terhormat dan "religius" ternyata amat rakus melihat angka-angka rupiah seperti ini.
Wajar jika Tuhan segera menggendong Mbah Surip agar orang ini "terselamatkan" oleh kemilau dunia yang barangkali akan menjeratnya seperti Michael Jackson atau artis-artis lain yang tidak kuat "ditempati derajat dan pangkat" (Ora kuat kanggonan drajad pangkat kata orang Jawa).
sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/06/11193244/mbah.surip.digendong.tuhan.
Mbah Surip Digendong Tuhan
Oleh Saratri Wilonoyudho (Peneliti dan Dosen Universitas Negeri Semarang)
Kematian Michael Jackson dan Mbah Surip boleh saja ditafsirkan bahwa Tuhan tengah mempertunjukkan pelajaran kepada manusia tentang apa sesungguhnya batas-batas kewajaran. Di tengah-tengah nafsu perebutan kekuasaan di berbagai level, baik nasional maupun daerah, Tuhan sedang memberi "intermezzo" sebuah refrein lagu kematian. Semua yang ada di dunia tidak ada yang abadi, kenapa orang terus mengejar harta dunia dan kepemilikan sampai lupa daratan?
Mbah Surip dan Jacko adalah dua sosok yang bertolak belakang. Kesamaan mereka adalah kekayaan yang luar biasa untuk ukurannya. Tentu saja hasil ring tone Mbah Surip sekitar Rp 5 miliar, itu hanya "uang jajan" Jacko. Namun, bagi Mbah Surip, uang itu luar biasa banyaknya.
Sebaliknya, kekayaan Jacko mencapai angka triliunan rupiah. Ironisnya, Jacko justru kesepian dan menderita hingga akhirnya meninggal dalam kesengsaraan, sebaliknya Mbah Surip meninggal dalam kedamaian. Tak mudah orang meninggal mendadak seperti ia.
Fenomena Michael Jackson banyak kita jumpai. Di negeri ini juga banyak orang "sukses" namun menderita lahir batin. Ini adalah sebuah ironi.
Fenomena Mbah Surip dan Michael Jackson mengajarkan tentang "ilmu kematian" dan "ilmu kewajaran". Kemiskinan yang berlebihan juga akan membunuh manusia, bukan hanya jasadnya, namun juga mentalnya. Demikian pula kekayaan yang luar biasa yang melebihi batas juga akan mematikan kreativitas mentalnya karena segala sesuatunya dapat dia beli.
Ilmu kehidupan itu ialah menyadari ilmu kematian. Kepemilikan apa saja di dunia ini tak akan dapat dibawa mati. Emha Ainun Nadjib pernah bercerita tentang kematian Pugra, ia meninggal ketika sedang pentas tari Bali di Sasonomulya, Solo. Sebagaimana laiknya orang Bali, anak dan dua keponakannya dengan tenang menyaksikan kematiannya. Kematian tak layak disedihkan karena kematian adalah berangkat ke kehidupan yang lebih tinggi. Apalagi mereka yakin Pugra mengetahui saat kematiannya hingga ia memilih di atas pentas ketika menari.
Mbah Surip semoga termasuk seniman yang menyadari bahwa menjadi seniman bukan untuk kesenangan tujuan popularitas atau tujuan kekayaan material belaka. Banyak kasus calon-calon artis berbondong-bondong mendatangi sutradara dan menawarkan diri: "Berpose telanjang juga boleh, tidak apa-apa, asal wajar sesuai tuntutan skenario". Bagaimana mungkin telanjang kok "wajar"? Inilah kesenimanan yang tidak menyatu dengan jiwa dan ruhnya.
Semoga kesenimanan Mbah Surip menyatu dengan jiwanya, dan jiwa tak dapat dilepaskannya kecuali jika ia dikhianati. Kesenimanan baginya adalah kebahagiaan cinta (I Love You Full, katanya) dan kesejatian dan bukan keglamoran atau nafsu. Mbah Surip barangkali sadar bahwa jiwa kesenimanan jika dikhianati maka akan terjerambab. Berapa banyak seniman dan artis kita yang jatuh ke jurang nista justru setelah sampai pada puncak ketenaran seperti Jacko, baik karena narkoba, selingkuh, dan tindakan amoral lainnya?
Kesenimanan bagi Mbah Surip adalah kesetiaan dan bukan kemegahan. Kesenimanan harus teguh mempertahankan prinsip bahwa seni itu untuk kemanusiaan serta untuk memuji kebesaran Tuhan dan ciptaan-Nya. Perkara mendapat uang miliaran, ini adalah "risiko", dan bukan tujuannya. Kalau seniman tidak memiliki sikap seperti ini, berarti dia bukan seniman tapi pedagang.
Ilusi kesuksesan hidup
Pelajaran lain dari Jacko adalah tentang ilusi kesuksesan hidup. Orang barangkali heran mengapa para pejabat dengan gaji puluhan juta rupiah per bulan, dengan berbagai fasilitas luar biasa, hingga kekayaannya mencapai angka puluhan miliar rupiah, toh masih tega juga mengorupsi uang rakyat. Pertanyaannya, mengapa orang yang bertambah kekayaannya justru semakin haus untuk mereguk yang lainnya?
Pertanyaan ini dijawab dengan baik oleh ekonom Inggris Fred Hirsch. Menurut Hirsch, justru dengan semakin kaya seseorang akan merangsang nafsunya untuk terus menambah kekayaannya. Penjelasan Hirsch cukup simpel: orang yang bertambah kekayaannya terus akan mengejar kekayaan yang lain karena orang lain di sekitarnya juga terus menangguk "kesuksesan" hidup. Dalam posisi seperti ini, kekayaan yang ia dapatkan seolah-olah tidak berarti baginya.
Mereka yang dicontohkan di atas tergolong orang-orang yang terbelenggu oleh kemilau duniawi. Padahal, kata para sufi seperti Abdul Qodir Jaelani, Jalaluddin Rumi, jika seseorang sudah "berjumpa" dengan Tuhannya, maka ia akan merasakan kenikmatan yang luar biasa. Keinginan yang terbesar orang yang sudah sampai pada tataran atau maqom ini adalah: "tidak ingin memiliki keinginan sama sekali".
Kalaupun ia dianugerahi kekayaan dari Tuhan, ia enjoy saja. Kekayaan itu tidak akan membelengggunya. Ia akan menafkahkan kepada siapa saja, menaburkan kepada alam semesta, kepada sesama, tanpa beban dan tanpa harapan untuk "pahala". Ia akan menggunakan secukupnya (tentu sesuai standar normal orang hidup), dan sisanya yang terbesar akan dikembalikan kepada pemilik-Nya, lewat amal jariyah yang terus mengalir tiada henti, tanpa takut ia akan jatuh miskin.
Orang yang sudah sampai tataran "hilangnya" keinginan (duniawi) akan tenteram jiwanya. Ia sangat menikmatui "perjumpaannya" dengan Sang Khalik, dan orang Jawa bilang sudah dapat menuju ke arah "manunggaling kawula Gusti". Tuhan senantiasa ada di dalam hatinya dan selalu memberi berkah.
Barangkali ilmu ini yang dimiliki Mbah Surip, terbukti ia tidak silau dengan rezeki nomplok. Ia tetap bersahaja, dan sebaliknya Jacko yang tidak bersyukur. Jacko malu sebagai orang hitam dengan jalan operasi plastik. Sebaliknya Mbah Surip justru "menjelek-jelekkan" namanya sendiri karena nama aslinya adalah Urip Ariyanto. Mbah Surip tidak ganti nama menjadi Ary atau Ariel, layaknya artis-artis kita yang tak pernah percaya diri sehingga harus mengganti namanya.
Mbah Surip juga tidak serta-merta mengubah penampilannya. Tetap rambut gimbal ke mana-mana naik ojek dan tidak jual mahal atau angkuh. Mbah Surip seakan tidak merasakan apa arti uang Rp 5 miliar. Padahal, berapa banyak pejabat yang kelihatannya terhormat dan "religius" ternyata amat rakus melihat angka-angka rupiah seperti ini.
Wajar jika Tuhan segera menggendong Mbah Surip agar orang ini "terselamatkan" oleh kemilau dunia yang barangkali akan menjeratnya seperti Michael Jackson atau artis-artis lain yang tidak kuat "ditempati derajat dan pangkat" (Ora kuat kanggonan drajad pangkat kata orang Jawa).
sumber : http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/06/11193244/mbah.surip.digendong.tuhan.
Kamis, 16 Juli 2009
~ Charles C. Finn, September 1966
Please Hear What I'm Not Saying Don't be fooled by me.
Don't be fooled by the face I wear for I wear a mask, a thousand masks, masks that I'm afraid to take off, and none of them is me.
Pretending is an art that's second nature with me, but don't be fooled, for God's sake don't be fooled.
I give you the impression that I'm secure, that all is sunny and unruffled with me, within as well as without, that confidence is my name and coolness my game, that the water's calm and I'm in command and that I need no one, but don't believe me.
My surface may seem smooth but my surface is my mask, ever-varying and ever-concealing. Beneath lies no complacence.
Beneath lies confusion, and fear, and aloneness.
But I hide this.
I don't want anybody to know it.
I panic at the thought of my weakness exposed.
That's why I frantically create a mask to hide behind, a nonchalant sophisticated facade, to help me pretend, to shield me from the glance that knows.
But such a glance is precisely my salvation, my only hope, and I know it.
That is, if it's followed by acceptance, if it's followed by love.
It's the only thing that can liberate me from myself, from my own self-built prison walls, from the barriers I so painstakingly erect.
It's the only thing that will assure me of what I can't assure myself, that I'm really worth something.
But I don't tell you this.
I don't dare to, I'm afraid to.
I'm afraid your glance will not be followed by acceptance, will not be followed by love.
I'm afraid you'll think less of me, that you'll laugh, and your laugh would kill me.
I'm afraid that deep-down I'm nothing and that you will see this and reject me.
So I play my game, my desperate pretending game, with a facade of assurance without and a trembling child within.
So begins the glittering but empty parade of masks, and my life becomes a front.
I tell you everything that's really nothing, and nothing of what's everything, of what's crying within me.
So when I'm going through my routine do not be fooled by what I'm saying.
Please listen carefully and try to hear what I'm not saying, what I'd like to be able to say, what for survival I need to say, but what I can't say.
I don't like hiding.
I don't like playing superficial phony games.
I want to stop playing them.
I want to be genuine and spontaneous and me but you've got to help me.
You've got to hold out your hand even when that's the last thing I seem to want.
Only you can wipe away from my eyes the blank stare of the breathing dead.
Only you can call me into aliveness.
Each time you're kind, and gentle, and encouraging, each time you try to understand because you really care, my heart begins to grow wings-- very small wings, very feeble wings, but wings! With your power to touch me into feeling you can breathe life into me.
I want you to know that.
I want you to know how important you are to me, how you can be a creator--an honest-to-God creator-- of the person that is me if you choose to.
You alone can break down the wall behind which I tremble, you alone can remove my mask, you alone can release me from my shadow-world of panic, from my lonely prison, if you choose to. Please choose to.
Do not pass me by.
It will not be easy for you.
A long conviction of worthlessness builds strong walls.
The nearer you approach to me the blinder I may strike back.
It's irrational, but despite what the books say about man often I am irrational.
I fight against the very thing I cry out for.
But I am told that love is stronger than strong walls and in this lies my hope.
Please try to beat down those walls with firm hands but with gentle hands for a child is very sensitive.
Who am I, you may wonder?
I am someone you know very well.
For I am every man you meet and I am every woman you meet.
Please Hear What I'm Not Saying Don't be fooled by me.
Don't be fooled by the face I wear for I wear a mask, a thousand masks, masks that I'm afraid to take off, and none of them is me.
Pretending is an art that's second nature with me, but don't be fooled, for God's sake don't be fooled.
I give you the impression that I'm secure, that all is sunny and unruffled with me, within as well as without, that confidence is my name and coolness my game, that the water's calm and I'm in command and that I need no one, but don't believe me.
My surface may seem smooth but my surface is my mask, ever-varying and ever-concealing. Beneath lies no complacence.
Beneath lies confusion, and fear, and aloneness.
But I hide this.
I don't want anybody to know it.
I panic at the thought of my weakness exposed.
That's why I frantically create a mask to hide behind, a nonchalant sophisticated facade, to help me pretend, to shield me from the glance that knows.
But such a glance is precisely my salvation, my only hope, and I know it.
That is, if it's followed by acceptance, if it's followed by love.
It's the only thing that can liberate me from myself, from my own self-built prison walls, from the barriers I so painstakingly erect.
It's the only thing that will assure me of what I can't assure myself, that I'm really worth something.
But I don't tell you this.
I don't dare to, I'm afraid to.
I'm afraid your glance will not be followed by acceptance, will not be followed by love.
I'm afraid you'll think less of me, that you'll laugh, and your laugh would kill me.
I'm afraid that deep-down I'm nothing and that you will see this and reject me.
So I play my game, my desperate pretending game, with a facade of assurance without and a trembling child within.
So begins the glittering but empty parade of masks, and my life becomes a front.
I tell you everything that's really nothing, and nothing of what's everything, of what's crying within me.
So when I'm going through my routine do not be fooled by what I'm saying.
Please listen carefully and try to hear what I'm not saying, what I'd like to be able to say, what for survival I need to say, but what I can't say.
I don't like hiding.
I don't like playing superficial phony games.
I want to stop playing them.
I want to be genuine and spontaneous and me but you've got to help me.
You've got to hold out your hand even when that's the last thing I seem to want.
Only you can wipe away from my eyes the blank stare of the breathing dead.
Only you can call me into aliveness.
Each time you're kind, and gentle, and encouraging, each time you try to understand because you really care, my heart begins to grow wings-- very small wings, very feeble wings, but wings! With your power to touch me into feeling you can breathe life into me.
I want you to know that.
I want you to know how important you are to me, how you can be a creator--an honest-to-God creator-- of the person that is me if you choose to.
You alone can break down the wall behind which I tremble, you alone can remove my mask, you alone can release me from my shadow-world of panic, from my lonely prison, if you choose to. Please choose to.
Do not pass me by.
It will not be easy for you.
A long conviction of worthlessness builds strong walls.
The nearer you approach to me the blinder I may strike back.
It's irrational, but despite what the books say about man often I am irrational.
I fight against the very thing I cry out for.
But I am told that love is stronger than strong walls and in this lies my hope.
Please try to beat down those walls with firm hands but with gentle hands for a child is very sensitive.
Who am I, you may wonder?
I am someone you know very well.
For I am every man you meet and I am every woman you meet.
Dokter yang bersahaja
sumber : http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/07/16/09405225/dokter.lo.siaw.ging.tak.sudi.berdagang
Kamis, 16 Juli 2009 09:40 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Sonya Helen Sinombor
Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang banyak?”Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.Kerusuhan 1998Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.AnugerahMenjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana,” ujarnya.Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?” ujar Lo.Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan.”
DATA DIRI• Nama: Lo Siaw Ging • Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 • Istri: Maria Gan May Kwee (62) • Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 • Profesi: - Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo
Kamis, 16 Juli 2009 09:40 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Sonya Helen Sinombor
Ketika biaya perawatan dokter dan rumah sakit semakin membubung tinggi, tidak ada yang berubah dari sosok Lo Siaw Ging, seorang dokter di Kota Solo, Jawa Tengah. Dia tetap merawat dan mengobati pasien tanpa menetapkan tarif, bahkan sebagian besar pasiennya justru tidak pernah dimintai bayaran.Maka, tak heran kalau pasien-pasien Lo Siaw Ging tidak hanya warga Solo, tetapi juga mereka yang berasal dari Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Klaten, Boyolali, dan Wonogiri. Usianya yang sudah menjelang 75 tahun tak membuat pria itu menghentikan kesibukannya memeriksa para pasien.Dokter Lo, panggilannya, setiap hari tetap melayani puluhan pasien yang datang ke tempatnya praktik sekaligus rumah tinggalnya di Jalan Jagalan 27, Kelurahan Jebres, Kota Solo. Mayoritas pasien Lo adalah keluarga tak mampu secara ekonomi. Mereka itu, jangankan membayar ongkos periksa, untuk menebus resep dokter Lo pun sering kali tak sanggup.Namun, bagi Lo, semua itu dihadapinya dengan ”biasa saja”. Dia merasa dapat memahami kondisi sebagian pasiennya itu. Seorang pasiennya bercerita, karena terlalu sering berobat ke dokter Lo dan tak membayar, ia merasa tidak enak hati. Dia lalu bertanya berapa biaya pemeriksaan dan resep obatnya.Mendengar pertanyaan si pasien, Lo malah balik bertanya, ”Memangnya kamu sudah punya uang banyak?”Pasiennya yang lain, Yuli (30), warga Cemani, Sukoharjo, bercerita, dia juga tak pernah membayar saat memeriksakan diri. ”Saya pernah ngasih uang kepada Pak Dokter, tetapi enggak diterima,” ucapnya.Kardiman (45), penjual bakso di samping rumah dokter Lo, mengatakan, para tetangga dan mereka yang tinggal di sekitar rumah dokter itu juga tak pernah diminta bayaran. ”Kami hanya bisa bilang terima kasih dokter, lalu ke luar ruang periksa,” katanya.Cara kerja Lo itu membuat dia setiap bulan justru harus membayar tagihan dari apotek atas resep-resep yang diambil para pasiennya. Ini tak terhindarkan karena ada saja pasien yang benar-benar tak punya uang untuk menebus obat atau karena penyakitnya memerlukan obat segera, padahal si pasien tak membawa cukup uang.Dalam kondisi seperti itu, biasanya setelah memeriksa dan menuliskan resep untuk sang pasien, Lo langsung meminta pasien dan keluarganya menebus obat ke apotek yang memang telah menjadi langganannya. Pasien atau keluarganya cukup membawa resep yang telah ditandatangani Lo, petugas di apotek akan memberikan obat yang diperlukan.Pada setiap akhir bulan, barulah pihak apotek menagih harga obat tersebut kepada Lo. Berapa besar tagihannya? ”Bervariasi, dari ratusan ribu sampai Rp 10 juta per bulan.”Bahkan, pasien tak mampu yang menderita sakit parah pun tanpa ragu dikirim Lo ke Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo. Dengan mengantongi surat dari dokter Lo, pasien biasanya diterima pihak rumah sakit, yang lalu membebankan biaya perawatan kepada Lo.Kerusuhan 1998Nama dokter Lo sebagai rujukan, terutama bagi kalangan warga tak mampu, relatif ”populer”. Namun, mantan Direktur RS Kasih Ibu ini justru tak suka pada publikasi. Beberapa kali dia menolak permintaan wawancara dari media.”Enggak usahlah diberita-beritakan. Saya bukan siapa-siapa,” ujarnya.Bagi Lo, apa yang dia lakukan selama ini sekadar membantu mereka yang tak mampu dan membutuhkan pertolongan dokter. ”Apa yang saya lakukan itu biasa dilakukan orang lain juga. Jadi, tak ada yang istimewa,” ujarnya.Di kalangan warga Solo, terutama di sekitar tempat tinggalnya, Lo dikenal sebagai sosok yang selalu bersedia menolong siapa pun yang membutuhkan. Tak heran jika saat terjadi kerusuhan rasial di Solo pada Mei 1998, rumah dokter keturunan Tionghoa ini justru dijaga ketat oleh masyarakat setempat.Lo juga tak merasa khawatir. Justru para tetangga yang meminta dia tidak membuka praktik pada masa kerusuhan itu mengingat situasinya rawan, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo menolak permintaan itu, dia tetap menerima pasien yang datang.”Saya mengingatkan dokter, kenapa buka praktik. Wong suasananya kritis. Eh, saya yang malah dimarahi dokter. Katanya, dokter akan tetap buka praktik, kasihan sama orang yang sudah datang jauh-jauh mau berobat,” cerita Putut Hari Purwanto (46), warga Purwodiningratan, yang rumahnya tak jauh dari rumah Lo.Bahkan, meski tentara datang ke rumah Lo untuk mengevakuasi dia ke tempat yang aman, Lo tetap menolak. Maka, wargalah yang kemudian berjaga-jaga di rumah Lo agar dia tak menjadi sasaran kerusuhan.”Saya ini orang Solo, jadi tak perlu pergi ke mana-mana. Buat apa?” ucapnya.AnugerahMenjadi dokter, bagi Lo, adalah sebuah anugerah. Dia kemudian bercerita, seorang dokter di Solo yang dikenal dengan nama dokter Oen, seniornya, dan sang ayahlah yang membentuk sosoknya. Dokter Oen dan sang ayah kini telah tiada.Lo selalu ingat pesan ayahnya saat memutuskan belajar di sekolah kedokteran. ”Ayah saya berkali-kali mengatakan, kalau saya mau jadi dokter, ya jangan dagang. Kalau mau dagang, jangan jadi dokter. Makanya, siapa pun orang yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus terbuka. Saya tidak pasang tarif,” kata Lo yang namanya masuk dalam buku Kitab Solo itu.Papan praktik dokter pun selama bertahun-tahun tak pernah dia pasang. Kalau belakangan ini dia memasang papan nama praktik dokternya, itu karena harus memenuhi peraturan pemerintah.Tentang peran dokter Oen dalam dirinya, Lo bercerita, selama sekitar 15 tahun dia bekerja kepada dokter Oen yang dia jadikan sebagai panutan. ”Dokter Oen itu jiwa sosialnya tinggi dan kehidupan sehari-harinya sederhana,” ujarnya.Dari kedua orang itulah, Lo belajar bahwa kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. ”Ini bukan berarti saya tak menerima bayaran dari pasien, tetapi kepuasan bisa membantu sesama yang tidak bisa dibayar dengan uang,” katanya sambil bercerita, sebagian pasien yang datang dari desa suka membawakan pisang untuknya.Gaya hidup sederhana membuat Lo merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari. Apalagi, dia dan sang istri, Maria Gan May Kwee atau Maria Gandi, yang dinikahinya tahun 1968, tak memiliki anak.”Kebutuhan kami hanya makan. Lagi pula orang seumur saya, seberapa banyak sih makannya?” ujar Lo.Bahkan, di mata para pasien, Lo seakan tak pernah ”cuti” praktik. Lies (55), ibu dua anak, warga Kepatihan Kulon, Solo, yang selama puluhan tahun menjadi pasiennya mengatakan, ”Dokter Lo praktik pagi dan malam. Setiap kali saya datang tak pernah tutup. Sepertinya, dokter Lo selalu ada kapan pun kami memerlukan.”
DATA DIRI• Nama: Lo Siaw Ging • Lahir: Magelang, 16 Agustus 1934 • Istri: Maria Gan May Kwee (62) • Pendidikan: - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1962 - S-2 (MARS) Universitas Indonesia, 1995 • Profesi: - Dokter RS Panti Kosala, Kandang Sapi, Solo (sekarang RS dokter Oen, Solo) - Mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo
Rabu, 24 Juni 2009
Merenung yukk....(ilmu bagai cahaya rembulan)
Penulis : Bapak Rois Fathoni
(PhD candidate dari Department of Chemical EngineeringUniversity of Waterloo, Kanada dan dosen di Teknik Kimia, Univ Muhammadiyah Surakarta)
Al ‘ilmu Nuurun. Ilmu itu bagaikan cahaya. Manfaat Ilmu pengetahuan bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan adalah bagaikan cahaya yang membebaskan manusia dari kegelapan. Sedemikian besar kedudukan ilmu ini bagi keselamatan dan kesejahteraan manusia, hingga Allah swt mendahulukan perintah menuntut ilmu ini sebelum perintah perintah yang lainnya (Al ’Alaq (96) : 1-5).
Alqur’an menggunakan dua kata yang berbeda untuk melukiskan cahaya matahari dan rembulan: dhiyaa’un untuk matahari, dan nuurun untuk rembulan (Yunus (10) : 5). Hal ini sesuai dengan perbedaan karakter alami dari keduanya: matahari bersinar karena ia menghasilkan sinarnya sendiri, sedangkan rembulan bercahaya karena ia hanya memantulkan sinar yang sampai kepadanya.
Maka “al’ilmu nuurun” sesungguhnya akan lebih tepat jika diartikan “ilmu itu bagaikan cahaya rembulan.” Dan jika merujuk pada karakter cahaya rembulan yang berbeda dengan cahaya matahari, akan kita dapati paling tidak ada dua hal yang bisa dijadikan nasehat bagi orang yang berilmu.
Pertama, orang berilmu harus menyebarkan ilmunya kepada orang lain. Manfaat cahaya rembulan tidak akan pernah bisa dirasakan oleh penduduk bumi jika rembulan tidak mau memantulkan sinar matahari yang sampai kepadanya. Ilmu pengatahuan tidak akan bisa dirasakan oleh umat manusia jika orang yang memilikinya tidak mau menyampaikannya kepada orang lain. Keharusan penyampaian ilmu ini bukan hanya untuk kepentingan manusia yang lain, tetapi justru yang lebih utama adalah untuk kepentingan pribadi orang berilmu tersebut. Jika rembulan tidak memantulkan sinar matahari yang sampai kepadanya, maka energy sinar itu akan terakumulasi di dalam dirinya, dan kelak suatu saat ia akan hancur luluh karena tidak kuat menahan akumulasi energy itu. Maka, demi kemaslahatan diri dan orang lain, orang berilmu harus menyebarkan ilmunya kepada orang lain.
Kedua, orang berilmu yang telah menunaikan kewajibannya, menyampaikan ilmunya kepada orang lain, tidak boleh berlaku sombong. Seterang - terangnya cahaya rembulan di bulan purnama, sesungguhnya cahaya yang tampaknya berasal dari rembulan itu hanyalah pantulan dari sinar matahari. Rembulan tidak pernah menghasilkan cahayanya sendiri. Ia “hanya” beredar mengelilingi bumi dan pada saat yang bersamaan, bersama bumi, mengelilingi matahari. Sepandai pandainya orang yang tampak berilmu di mata manusia, sesungguhnya ia hanya sekedar memantulkan ilmu yang datang kepadanya. Ia tidaklah memproduksi sendiri ilmu itu. Benar, bahwa manusia harus berikhtiar menuntut ilmu dan menyebarkan ilmunya, sebagaimana bulan beredar mengelilingi bumi dan matahari. Tetapi ikhtiar manusia tidak serta merta linier dengan ilmu yang ia dapatkan. Dua orang siswa yang memiliki tingkat kecerdasan yang sama, dengan tingkat ketekunan belajar yang sama, tidak akan menjamin bahwa keduanya akan memiliki tingkat pemahaman yang sama. Tingkat kefahaman itu di luar kendali manusia. Ia adalah anugerah dari Allah swt. Orang berilmu faham betul hal ini, dan sungguh tidak pantas bagi dirinya untuk menyombongkan diri atas ilmu yang ia peroleh dan ia sampaikan kepada orang lain karena sesungguhnya, seperti rembulan, ia hanya memantulkan kefahaman yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Benar, bahwa Allah menyuruh manusia menghormati orang berilmu, sebagaimana Beliau sendiri juga memuji dan menghormati orang berilmu (Al Mujaadalah (58): 11). Tetapi perintah ini berlaku bagi orang orang yang mendapatkan manfaat dari orang orang berilmu. Sanjungan dari Allah ini tidak boleh dijadikan dalil untuk merasa lebih tinggi dari manusia lain karena ilmu yang diberikan Allah kepada kita. Lagipula, bukankah semua orang pasti memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain? Petani, nelayan, penjahit, masinis, tukang batu, dokter, dosen, guru, pengelola sampah, dst., semua memiliki ilmunya masing - masing. Dengan ilmu dan keahlian merekalah hidup kita menjadi jauh lebih mudah.
Mudah mudahan Allah senantiasa melimpahkan semangat menuntut ilmu kepada kita, menambah ilmu dan kefahaman kepada kita, menganugerahi kita dengan kemampuan untuk menyampaikan kefahaman itu kepada orang lain, dan membersihkan hati kita dari sifat sombong karenanya. Mudah mudahan juga Allah memberikan kemampuan kepada kita untuk senantiasa melihat orang lain, siapapun dia, sebagai orang yang berilmu, mengambil manfaat dengan ilmunya, dan selalu bisa berterima kasih dan menghormatinya, Amiin.
(PhD candidate dari Department of Chemical EngineeringUniversity of Waterloo, Kanada dan dosen di Teknik Kimia, Univ Muhammadiyah Surakarta)
Al ‘ilmu Nuurun. Ilmu itu bagaikan cahaya. Manfaat Ilmu pengetahuan bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan adalah bagaikan cahaya yang membebaskan manusia dari kegelapan. Sedemikian besar kedudukan ilmu ini bagi keselamatan dan kesejahteraan manusia, hingga Allah swt mendahulukan perintah menuntut ilmu ini sebelum perintah perintah yang lainnya (Al ’Alaq (96) : 1-5).
Alqur’an menggunakan dua kata yang berbeda untuk melukiskan cahaya matahari dan rembulan: dhiyaa’un untuk matahari, dan nuurun untuk rembulan (Yunus (10) : 5). Hal ini sesuai dengan perbedaan karakter alami dari keduanya: matahari bersinar karena ia menghasilkan sinarnya sendiri, sedangkan rembulan bercahaya karena ia hanya memantulkan sinar yang sampai kepadanya.
Maka “al’ilmu nuurun” sesungguhnya akan lebih tepat jika diartikan “ilmu itu bagaikan cahaya rembulan.” Dan jika merujuk pada karakter cahaya rembulan yang berbeda dengan cahaya matahari, akan kita dapati paling tidak ada dua hal yang bisa dijadikan nasehat bagi orang yang berilmu.
Pertama, orang berilmu harus menyebarkan ilmunya kepada orang lain. Manfaat cahaya rembulan tidak akan pernah bisa dirasakan oleh penduduk bumi jika rembulan tidak mau memantulkan sinar matahari yang sampai kepadanya. Ilmu pengatahuan tidak akan bisa dirasakan oleh umat manusia jika orang yang memilikinya tidak mau menyampaikannya kepada orang lain. Keharusan penyampaian ilmu ini bukan hanya untuk kepentingan manusia yang lain, tetapi justru yang lebih utama adalah untuk kepentingan pribadi orang berilmu tersebut. Jika rembulan tidak memantulkan sinar matahari yang sampai kepadanya, maka energy sinar itu akan terakumulasi di dalam dirinya, dan kelak suatu saat ia akan hancur luluh karena tidak kuat menahan akumulasi energy itu. Maka, demi kemaslahatan diri dan orang lain, orang berilmu harus menyebarkan ilmunya kepada orang lain.
Kedua, orang berilmu yang telah menunaikan kewajibannya, menyampaikan ilmunya kepada orang lain, tidak boleh berlaku sombong. Seterang - terangnya cahaya rembulan di bulan purnama, sesungguhnya cahaya yang tampaknya berasal dari rembulan itu hanyalah pantulan dari sinar matahari. Rembulan tidak pernah menghasilkan cahayanya sendiri. Ia “hanya” beredar mengelilingi bumi dan pada saat yang bersamaan, bersama bumi, mengelilingi matahari. Sepandai pandainya orang yang tampak berilmu di mata manusia, sesungguhnya ia hanya sekedar memantulkan ilmu yang datang kepadanya. Ia tidaklah memproduksi sendiri ilmu itu. Benar, bahwa manusia harus berikhtiar menuntut ilmu dan menyebarkan ilmunya, sebagaimana bulan beredar mengelilingi bumi dan matahari. Tetapi ikhtiar manusia tidak serta merta linier dengan ilmu yang ia dapatkan. Dua orang siswa yang memiliki tingkat kecerdasan yang sama, dengan tingkat ketekunan belajar yang sama, tidak akan menjamin bahwa keduanya akan memiliki tingkat pemahaman yang sama. Tingkat kefahaman itu di luar kendali manusia. Ia adalah anugerah dari Allah swt. Orang berilmu faham betul hal ini, dan sungguh tidak pantas bagi dirinya untuk menyombongkan diri atas ilmu yang ia peroleh dan ia sampaikan kepada orang lain karena sesungguhnya, seperti rembulan, ia hanya memantulkan kefahaman yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Benar, bahwa Allah menyuruh manusia menghormati orang berilmu, sebagaimana Beliau sendiri juga memuji dan menghormati orang berilmu (Al Mujaadalah (58): 11). Tetapi perintah ini berlaku bagi orang orang yang mendapatkan manfaat dari orang orang berilmu. Sanjungan dari Allah ini tidak boleh dijadikan dalil untuk merasa lebih tinggi dari manusia lain karena ilmu yang diberikan Allah kepada kita. Lagipula, bukankah semua orang pasti memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain? Petani, nelayan, penjahit, masinis, tukang batu, dokter, dosen, guru, pengelola sampah, dst., semua memiliki ilmunya masing - masing. Dengan ilmu dan keahlian merekalah hidup kita menjadi jauh lebih mudah.
Mudah mudahan Allah senantiasa melimpahkan semangat menuntut ilmu kepada kita, menambah ilmu dan kefahaman kepada kita, menganugerahi kita dengan kemampuan untuk menyampaikan kefahaman itu kepada orang lain, dan membersihkan hati kita dari sifat sombong karenanya. Mudah mudahan juga Allah memberikan kemampuan kepada kita untuk senantiasa melihat orang lain, siapapun dia, sebagai orang yang berilmu, mengambil manfaat dengan ilmunya, dan selalu bisa berterima kasih dan menghormatinya, Amiin.
Selasa, 16 Juni 2009
mengenal lebih jauh antimateri (sorry dont have time for translating)
sumber : http://public.web.cern.ch/Public/en/Spotlight/SpotlightAandD-en.html
Does CERN exist?
Well, yes, it does. You can see us to the left and slightly up from the centre of the city of Meyrin.
Is it located in Switzerland?
Part is in Switzerland, part in France across the border. CERN is not a Swiss institute, but an international organization. We are very close to Geneva's international airport.
What does the acronym CERN mean?
That is a long story, but the name CERN is derived from the French ‘Conseil EuropĂ©en pour la Recherche NuclĂ©aire’.
Does it consist of red brick buildings with white-frocked scientists running around carrying files?
No, that is rather far from reality; we have mostly white buildings made of concrete and the scientists wear everyday clothes and they mostly do not carry files.
Was the Web really invented at CERN as the book states?
Yes, indeed, the Web came from CERN, invented here by Tim Berners-Lee in 1989.
Does antimatter exist?
Yes, it does, and we produce it routinely at CERN. Antimatter was predicted by P.A.M. Dirac in 1928 and the first antiparticles were discovered soon after by Carl Anderson. CERN is not the only research institute to produce and study antimatter.
How is antimatter contained?
It is very difficult to contain antimatter, because any contact between a particle and its anti-particle leads to their immediate annihilation.
For electrically charged antimatter particles we know how to contain them by using ‘electromagnetic traps’. These traps make it possible to contain up to about 1012 (anti-) particles of the same charge. However, like charges repel each other. So it is not possible to store a much larger quantity of e.g. antiprotons because the repulsive forces between them would become too strong for the electromagnetic fields to hold them away from the walls.
For electrically neutral anti-particles or anti-atoms, the situation is even more difficult. It is impossible to use constant electric or magnetic fields to contain neutral antimatter, because these fields have no grip on the particles at all. Scientists work on ideas to use ‘magnetic bottles’ (with inhomogeneous magnetic fields acting on the magnetic moment), or ‘optical traps’ (using lasers) but this is still under development.
What is the future use of antimatter?
Anti-electrons (positrons) are already used in PET scanners in medicine (Positron-Emission Tomography = PET). One day it might be even possible to use antiprotons for tumour irradiation.
But antimatter at CERN is mainly used to study the laws of nature. We focus on the question of the symmetry between matter and antimatter. The LHCb experiment will compare precisely the decay of b-quarks and anti-b-quarks. Eventually we also hope to be able to use anti-hydrogen atoms as high-precision tools.
Do antimatter atoms exist?
The team of the PS210 experiment at the Low Energy Antiproton Ring (LEAR) at CERN made the first anti-hydrogen atoms in 1995. Then, in 2002 two experiments (ATHENA and ATRAP) managed to produce tens of thousands of antihydrogen atoms, later even millions. However, although "tens of thousands" may sound a lot, it's really a very, very small amount. You would need 10,000,000,000,000,000 times that amount to have enough anti-hydrogen gas to fill a toy balloon! If we could somehow store our daily production, it would take us several billion years to fill the balloon. But the universe has been around for only 13.7 billion years...So the Angels and Demons scenario is pure fiction.
Can we hope to use antimatter as a source of energy? Do you feel antimatter could power vehicles in the future, or would it just be used for major power sources?
There is no possibility to use antimatter as energy ‘source’. Unlike solar energy, coal or oil, antimatter does not occur in nature; we first have to make every single antiparticle, and we have to invest (much) more energy than we get back during annihilation.
You can imagine antimatter as a storage medium for energy, much like you store electricity in rechargeable batteries. The process of charging the battery is reversible with relatively small loss. Still, it takes more energy to charge the battery than you get back.
The inefficiency of antimatter production is enormous: you get only a tenth of a billion (10-10) of the invested energy back. If we could assemble all the antimatter we've ever made at CERN and annihilate it with matter, we would have enough energy to light a single electric light bulb for a few minutes.
I was hoping antimatter would be the future answer to our energy needs. It seems more research is needed for this to happen.
No, even more research will not change this situation fundamentally; antimatter is certainly not able to solve our energy problems. First of all, you need energy to make antimatter (E=mc2) and unfortunately you do not get the same amount of energy back out of it. (See above, the loss factors are enormous.)
Furthermore, the conversion from energy to matter and antimatter particles follows certain laws of nature, which also allow the production of many other, but very short-lived particles and antiparticles (e.g. muons, pions, neutrinos). These particles decay rapidly during the production process, and their energy is lost.
Antimatter could only become a source of energy if you happened to find a large amount of antimatter lying around somewhere (e.g. in a distant galaxy), in the same way we find oil and oxygen lying around on Earth. But as far as we can see (billions of light years), the universe is entirely made of normal matter, and antimatter has to be painstakingly created.
By the way, this shows that the symmetry between matter and antimatter as stated above does not seem to hold at very high energies, such as shortly after the Big Bang, as otherwise there should be as much matter as antimatter in the Universe. Future research might tell us is how this asymmetry came about.
Can we make antimatter bombs?
No. It would take billions of years to produce enough antimatter for a bomb having the same destructiveness as ‘typical’ hydrogen bombs, of which there exist more than ten thousand already.
Sociological note: scientists realized that the atom bomb was a real possibility many years before one was actually built and exploded, and then the public was totally surprised and amazed. On the other hand, the public somehow anticipates the antimatter bomb, but we have known for a long time that it cannot be realized in practice.
Why has antimatter received no media attention?
It has received a lot of media attention, but usually in the scientific press. Also, antimatter is not ‘new’. Antiparticles have been known and studied for 75 years. What is new is the possibility to produce anti-hydrogen atoms, but this is also mainly a matter of scientific interest.
Is antimatter truly 100% efficient?
It depends on what you mean by efficient. If you start from two equal quantities m/2 of matter and m/2 of antimatter, then the energy output is, of course, exactly E=mc2. Mass is converted into energy with 100% efficiency.
But that is not the point: how much effort do you have to put in to get m/2 grams of antimatter? Well, theoretically E=mc2 because half of the energy will become normal matter. So you gain nothing. But the process of creating antimatter is highly inefficient; when you dissipate energy into particles with mass, many different - also short-lived - particles and antiparticles are produced. A major part of the energy gets lost, and a lot of the stable antimatter-particles (e.g. positrons and antiprotons) go astray before you can catch them. Everything happens at nearly the speed of light, and the particles created zoom off in all directions. Somewhat like cooking food over a campfire: most of the heat is lost and does not go into the cooking of the food, it disappears as radiation into the dark night sky. Very inefficient.
Do you make antimatter as described in the book?
No. The production and storage of antimatter at CERN is not at all as described in the book: you cannot stand next to the Large Hadron Collider (LHC) and see it come out, especially since the LHC accelerator is not yet in operation.
To make antiprotons, we collide protons at nearly the speed of light (to be precise, with a kinetic energy of about 25 GeV) with a block of metal, e.g. copper or tungsten. These collisions produce a large number of particles, some of which are antiprotons. Only the antiprotons are useful, and only those that fly out in the right direction. So that's where your energy loss goes: it is like trying to water a pot of flowers but with a sprinkler that sprays over the whole garden. Of course, we constantly apply new tricks to become more efficient at collecting antiparticles, but at the level of elementary particles this is extremely difficult.
Why then do you build the LHC?
The reason for building the LHC accelerator is not to make antimatter but to produce an energy concentration high enough to study effects that will help us to understand some of the remaining questions in physics. We say concentrations, because we are not talking about huge amounts but an enormous concentration of energy. Each particle accelerated in the LHC carries an amount of energy equivalent to that of a flying mosquito. Not much at all in absolute terms, but it will be concentrated in a very minute volume, and there things will resemble the state of the universe very shortly (about a trillionth of a second) after the Big Bang.
You should compare the concentration effect to what you can learn about the quality of a wooden floor by walking over it. If a large man wearing normal shoes and a petite woman wearing sharp stiletto heels walk over the same floor, the man will not make dents, but the woman, despite her lower weight, may leave marks; the pressure created by the stiletto heels is far higher. So that is like the job of the LHC: concentrate a little energy into a very minute space to produce a huge energy concentration and learn something about the Big Bang.
Does CERN have a particle accelerator 27 kilometres long?
The LHC accelerator is a ring 27 kilometres in circumference. It is installed in a tunnel about 100 m underground. You can see the round outline of it marked on a map of the area.
In fact, why do you make antimatter at CERN?
The principal reason is to study the laws of nature. The current theories of physics predict a number of subtle effects concerning antimatter. If experiments do not observe these predictions, then the theory is not accurate and needs to be amended or reworked. This is how science progresses.
Another reason is to get extremely high energy densities in collisions of matter and antimatter particles, since they annihilate completely when they meet. From this annihilation energy other interesting particles may be created. This was mainly how the Large Electron Positron (LEP) collider functioned at CERN until 2000, or the Tevatron currently operates at Fermilab near Chicago.
How is energy extracted from antimatter?
When a normal matter particle hits an antimatter particle, they mutually annihilate into a very concentrated burst of pure energy, from which in turn new particles (and antiparticles) are created. The number and mass of the annihilation products depends on the available energy.
The annihilation of electrons and positrons at low energies produces only two (or three) highly energetic photons. But with annihilation at very high energy, hundreds of new particle-antiparticle pairs can be made. The decay of these particles produces, among others, many neutrinos, which do not interact with the environment at all. This is not very useful for energy extraction.
How safe is antimatter?
Perfectly safe, given the minute quantities we can make. It would be very dangerous if we could make a few grams of it, but this would take us billions of years.
If so, does CERN have protocols to keep the public safe?
There is no danger from antimatter. There are of course other dangers on the CERN site, as in any laboratory: high voltage in certain areas, deep pits to fall in, etc. but for these dangers the usual industrial safety measures are in place. There is no danger of radioactive leaks as you might find near nuclear power stations.
Does one gram of antimatter contain the energy of a 20 kilotonne nuclear bomb?
Twenty kilotonnes of TNT is the equivalent of the atom bomb that destroyed Hiroshima. The explosion of a kilotonne (=1000 tonnes) of TNT corresponds to a energy release of 4.2x1012 joules (1012 is a 1 followed by 12 zeros, i.e. a million million). For comparison, a 60 watt light bulb consumes 60 J per second.
You are probably asking for the explosive release of energy by the sudden annihilation of one gram of antimatter with one gram of matter. Let's calculate it.
To calculate the energy released in the annihilation of 1 g of antimatter with 1 g of matter (which makes 2 g = 0.002 kg), we have to use the formula E=mc2, where c is the speed of light (300,000,000 m/s):
E= 0.002 x (300,000,000)2 kg m2/s2 = 1.8 x 1014 J = 180 x 1012 J. Since 4.2x1012 J corresponds to a kilotonne of TNT, then 2 g of matter-antimatter annihilation correspond to 180/4.2 = 42.8 kilotonnes, about double the 20 kt of TNT.
This means that you ‘only’ need half a gram of antimatter to be equally destructive as the Hiroshima bomb, since the other half gram of (normal) matter is easy enough to find.
At CERN we make quantities of the order of 107 antiprotons per second and there are 6x1023 of them in a single gram of antihydrogen. You can easily calculate how long it would take to get one gram: we would need 6x1023/107=6x1016 seconds. There are only 365 (days) x 24 (h) x 60 (min) x 60 (sec) = around 3x107 seconds in a year, so it would take roughly 6x1016 / 3x107 = 2x109 = two billion years! It is quite unlikely that anyone wants to wait that long.
Did CERN scientists actually invent the Internet?
No. The Internet was originally based on work done by Louis Pouzin in France, taken up by Vint Cerf and Bob Kahn in the US in the 1970s. However, the Web was invented and developed entirely by Tim Berners-Lee and a small team at CERN during 1989-1994. The story of the Internet and the Web can be read in ‘How the Web was born’. Perhaps not as sexy as Angels and Demons, but everything in ‘How the Web was born’ was first-hand testimony and research.
Does CERN own an X-33 spaceplane?
Unfortunately not.
Does CERN exist?
Well, yes, it does. You can see us to the left and slightly up from the centre of the city of Meyrin.
Is it located in Switzerland?
Part is in Switzerland, part in France across the border. CERN is not a Swiss institute, but an international organization. We are very close to Geneva's international airport.
What does the acronym CERN mean?
That is a long story, but the name CERN is derived from the French ‘Conseil EuropĂ©en pour la Recherche NuclĂ©aire’.
Does it consist of red brick buildings with white-frocked scientists running around carrying files?
No, that is rather far from reality; we have mostly white buildings made of concrete and the scientists wear everyday clothes and they mostly do not carry files.
Was the Web really invented at CERN as the book states?
Yes, indeed, the Web came from CERN, invented here by Tim Berners-Lee in 1989.
Does antimatter exist?
Yes, it does, and we produce it routinely at CERN. Antimatter was predicted by P.A.M. Dirac in 1928 and the first antiparticles were discovered soon after by Carl Anderson. CERN is not the only research institute to produce and study antimatter.
How is antimatter contained?
It is very difficult to contain antimatter, because any contact between a particle and its anti-particle leads to their immediate annihilation.
For electrically charged antimatter particles we know how to contain them by using ‘electromagnetic traps’. These traps make it possible to contain up to about 1012 (anti-) particles of the same charge. However, like charges repel each other. So it is not possible to store a much larger quantity of e.g. antiprotons because the repulsive forces between them would become too strong for the electromagnetic fields to hold them away from the walls.
For electrically neutral anti-particles or anti-atoms, the situation is even more difficult. It is impossible to use constant electric or magnetic fields to contain neutral antimatter, because these fields have no grip on the particles at all. Scientists work on ideas to use ‘magnetic bottles’ (with inhomogeneous magnetic fields acting on the magnetic moment), or ‘optical traps’ (using lasers) but this is still under development.
What is the future use of antimatter?
Anti-electrons (positrons) are already used in PET scanners in medicine (Positron-Emission Tomography = PET). One day it might be even possible to use antiprotons for tumour irradiation.
But antimatter at CERN is mainly used to study the laws of nature. We focus on the question of the symmetry between matter and antimatter. The LHCb experiment will compare precisely the decay of b-quarks and anti-b-quarks. Eventually we also hope to be able to use anti-hydrogen atoms as high-precision tools.
Do antimatter atoms exist?
The team of the PS210 experiment at the Low Energy Antiproton Ring (LEAR) at CERN made the first anti-hydrogen atoms in 1995. Then, in 2002 two experiments (ATHENA and ATRAP) managed to produce tens of thousands of antihydrogen atoms, later even millions. However, although "tens of thousands" may sound a lot, it's really a very, very small amount. You would need 10,000,000,000,000,000 times that amount to have enough anti-hydrogen gas to fill a toy balloon! If we could somehow store our daily production, it would take us several billion years to fill the balloon. But the universe has been around for only 13.7 billion years...So the Angels and Demons scenario is pure fiction.
Can we hope to use antimatter as a source of energy? Do you feel antimatter could power vehicles in the future, or would it just be used for major power sources?
There is no possibility to use antimatter as energy ‘source’. Unlike solar energy, coal or oil, antimatter does not occur in nature; we first have to make every single antiparticle, and we have to invest (much) more energy than we get back during annihilation.
You can imagine antimatter as a storage medium for energy, much like you store electricity in rechargeable batteries. The process of charging the battery is reversible with relatively small loss. Still, it takes more energy to charge the battery than you get back.
The inefficiency of antimatter production is enormous: you get only a tenth of a billion (10-10) of the invested energy back. If we could assemble all the antimatter we've ever made at CERN and annihilate it with matter, we would have enough energy to light a single electric light bulb for a few minutes.
I was hoping antimatter would be the future answer to our energy needs. It seems more research is needed for this to happen.
No, even more research will not change this situation fundamentally; antimatter is certainly not able to solve our energy problems. First of all, you need energy to make antimatter (E=mc2) and unfortunately you do not get the same amount of energy back out of it. (See above, the loss factors are enormous.)
Furthermore, the conversion from energy to matter and antimatter particles follows certain laws of nature, which also allow the production of many other, but very short-lived particles and antiparticles (e.g. muons, pions, neutrinos). These particles decay rapidly during the production process, and their energy is lost.
Antimatter could only become a source of energy if you happened to find a large amount of antimatter lying around somewhere (e.g. in a distant galaxy), in the same way we find oil and oxygen lying around on Earth. But as far as we can see (billions of light years), the universe is entirely made of normal matter, and antimatter has to be painstakingly created.
By the way, this shows that the symmetry between matter and antimatter as stated above does not seem to hold at very high energies, such as shortly after the Big Bang, as otherwise there should be as much matter as antimatter in the Universe. Future research might tell us is how this asymmetry came about.
Can we make antimatter bombs?
No. It would take billions of years to produce enough antimatter for a bomb having the same destructiveness as ‘typical’ hydrogen bombs, of which there exist more than ten thousand already.
Sociological note: scientists realized that the atom bomb was a real possibility many years before one was actually built and exploded, and then the public was totally surprised and amazed. On the other hand, the public somehow anticipates the antimatter bomb, but we have known for a long time that it cannot be realized in practice.
Why has antimatter received no media attention?
It has received a lot of media attention, but usually in the scientific press. Also, antimatter is not ‘new’. Antiparticles have been known and studied for 75 years. What is new is the possibility to produce anti-hydrogen atoms, but this is also mainly a matter of scientific interest.
Is antimatter truly 100% efficient?
It depends on what you mean by efficient. If you start from two equal quantities m/2 of matter and m/2 of antimatter, then the energy output is, of course, exactly E=mc2. Mass is converted into energy with 100% efficiency.
But that is not the point: how much effort do you have to put in to get m/2 grams of antimatter? Well, theoretically E=mc2 because half of the energy will become normal matter. So you gain nothing. But the process of creating antimatter is highly inefficient; when you dissipate energy into particles with mass, many different - also short-lived - particles and antiparticles are produced. A major part of the energy gets lost, and a lot of the stable antimatter-particles (e.g. positrons and antiprotons) go astray before you can catch them. Everything happens at nearly the speed of light, and the particles created zoom off in all directions. Somewhat like cooking food over a campfire: most of the heat is lost and does not go into the cooking of the food, it disappears as radiation into the dark night sky. Very inefficient.
Do you make antimatter as described in the book?
No. The production and storage of antimatter at CERN is not at all as described in the book: you cannot stand next to the Large Hadron Collider (LHC) and see it come out, especially since the LHC accelerator is not yet in operation.
To make antiprotons, we collide protons at nearly the speed of light (to be precise, with a kinetic energy of about 25 GeV) with a block of metal, e.g. copper or tungsten. These collisions produce a large number of particles, some of which are antiprotons. Only the antiprotons are useful, and only those that fly out in the right direction. So that's where your energy loss goes: it is like trying to water a pot of flowers but with a sprinkler that sprays over the whole garden. Of course, we constantly apply new tricks to become more efficient at collecting antiparticles, but at the level of elementary particles this is extremely difficult.
Why then do you build the LHC?
The reason for building the LHC accelerator is not to make antimatter but to produce an energy concentration high enough to study effects that will help us to understand some of the remaining questions in physics. We say concentrations, because we are not talking about huge amounts but an enormous concentration of energy. Each particle accelerated in the LHC carries an amount of energy equivalent to that of a flying mosquito. Not much at all in absolute terms, but it will be concentrated in a very minute volume, and there things will resemble the state of the universe very shortly (about a trillionth of a second) after the Big Bang.
You should compare the concentration effect to what you can learn about the quality of a wooden floor by walking over it. If a large man wearing normal shoes and a petite woman wearing sharp stiletto heels walk over the same floor, the man will not make dents, but the woman, despite her lower weight, may leave marks; the pressure created by the stiletto heels is far higher. So that is like the job of the LHC: concentrate a little energy into a very minute space to produce a huge energy concentration and learn something about the Big Bang.
Does CERN have a particle accelerator 27 kilometres long?
The LHC accelerator is a ring 27 kilometres in circumference. It is installed in a tunnel about 100 m underground. You can see the round outline of it marked on a map of the area.
In fact, why do you make antimatter at CERN?
The principal reason is to study the laws of nature. The current theories of physics predict a number of subtle effects concerning antimatter. If experiments do not observe these predictions, then the theory is not accurate and needs to be amended or reworked. This is how science progresses.
Another reason is to get extremely high energy densities in collisions of matter and antimatter particles, since they annihilate completely when they meet. From this annihilation energy other interesting particles may be created. This was mainly how the Large Electron Positron (LEP) collider functioned at CERN until 2000, or the Tevatron currently operates at Fermilab near Chicago.
How is energy extracted from antimatter?
When a normal matter particle hits an antimatter particle, they mutually annihilate into a very concentrated burst of pure energy, from which in turn new particles (and antiparticles) are created. The number and mass of the annihilation products depends on the available energy.
The annihilation of electrons and positrons at low energies produces only two (or three) highly energetic photons. But with annihilation at very high energy, hundreds of new particle-antiparticle pairs can be made. The decay of these particles produces, among others, many neutrinos, which do not interact with the environment at all. This is not very useful for energy extraction.
How safe is antimatter?
Perfectly safe, given the minute quantities we can make. It would be very dangerous if we could make a few grams of it, but this would take us billions of years.
If so, does CERN have protocols to keep the public safe?
There is no danger from antimatter. There are of course other dangers on the CERN site, as in any laboratory: high voltage in certain areas, deep pits to fall in, etc. but for these dangers the usual industrial safety measures are in place. There is no danger of radioactive leaks as you might find near nuclear power stations.
Does one gram of antimatter contain the energy of a 20 kilotonne nuclear bomb?
Twenty kilotonnes of TNT is the equivalent of the atom bomb that destroyed Hiroshima. The explosion of a kilotonne (=1000 tonnes) of TNT corresponds to a energy release of 4.2x1012 joules (1012 is a 1 followed by 12 zeros, i.e. a million million). For comparison, a 60 watt light bulb consumes 60 J per second.
You are probably asking for the explosive release of energy by the sudden annihilation of one gram of antimatter with one gram of matter. Let's calculate it.
To calculate the energy released in the annihilation of 1 g of antimatter with 1 g of matter (which makes 2 g = 0.002 kg), we have to use the formula E=mc2, where c is the speed of light (300,000,000 m/s):
E= 0.002 x (300,000,000)2 kg m2/s2 = 1.8 x 1014 J = 180 x 1012 J. Since 4.2x1012 J corresponds to a kilotonne of TNT, then 2 g of matter-antimatter annihilation correspond to 180/4.2 = 42.8 kilotonnes, about double the 20 kt of TNT.
This means that you ‘only’ need half a gram of antimatter to be equally destructive as the Hiroshima bomb, since the other half gram of (normal) matter is easy enough to find.
At CERN we make quantities of the order of 107 antiprotons per second and there are 6x1023 of them in a single gram of antihydrogen. You can easily calculate how long it would take to get one gram: we would need 6x1023/107=6x1016 seconds. There are only 365 (days) x 24 (h) x 60 (min) x 60 (sec) = around 3x107 seconds in a year, so it would take roughly 6x1016 / 3x107 = 2x109 = two billion years! It is quite unlikely that anyone wants to wait that long.
Did CERN scientists actually invent the Internet?
No. The Internet was originally based on work done by Louis Pouzin in France, taken up by Vint Cerf and Bob Kahn in the US in the 1970s. However, the Web was invented and developed entirely by Tim Berners-Lee and a small team at CERN during 1989-1994. The story of the Internet and the Web can be read in ‘How the Web was born’. Perhaps not as sexy as Angels and Demons, but everything in ‘How the Web was born’ was first-hand testimony and research.
Does CERN own an X-33 spaceplane?
Unfortunately not.
Lampu dioda dari hibridisasi benang nano ZnO dengan polimer organik
Lampu dioda dari hibridisasi benang nano ZnO dengan polimer organik
oleh Iwan
Perkembangan teknologi lampu diode (LED) menggunakan bahan inorganic yang fleksibel dan lentur telah mampu direalisasikan dengan menggunakan ZnO yang berbentuk benang nano. Benang nano dari ZnO bertindak sebagai komponen optis.
Diawali oleh emisi sinar ultra violet(uv) dengan panjang gelombang 393 nm dari benang nano ZnO (ZnO Nanowire LEDs Have UV Output,” Photonics Spectra, January 2006, page 135), para peneliti kini telah menemukan spectrum yang berada pada rentang cahaya tampak hingga mendekati sinar infra merah (500-1100 nm) mampu dihasilkan oleh LED yang berbasiskan benang nano dari ZnO.
Gambar 1. Diagram dari struktur LED berbasis benang nano pada substrate plastik
Penemuan ini di pelopori oleh Prof. Rolf Könenkamp dari Portland State University in Oregon. Hasil penemuannya melaporkan bahwa LED dari bahan inorganic diprediksikan menjadi alternative masa depan untuk menggantikan semua perangkat elektronik dan photonic dari bahan organic.
Struktur dari divais LED berbasiskan benang nano yang lentur dapat di lihat pada gambar 1. Dari gambar tersebut benang nano ZnO ditumbuhkan diatas substrate polyethylene terephtalate (bahan plastic) yang telah dilapisi oleh indium tin okside (ITO). Kristal tunggal benang nano tersebut ditumbuhkan dengan metode elektrodeposisi dengan temperature 80oC di atas ITO. Proses penumbuhan kira-kira memakan waktu satu jam dengan arah tumbuh vertical dan homogeny. Dari hasil karakterisasi, panjang benang nano rata-rata 2 mm dan diameter 70-120 nm. Lalu benang-benang nano tersebut di lapisi dengan lapisan tipis polysterene sebagai isolator yang mengisi tiap celah diantara benang-benang nano. Lapisan tipis polysterene melapisi benang nano dengan ketebalan kira-kira 10 nm. Proses pengisian celah atau pelapisan benang-benang nano tersebut menggunakan metode spin coating. Lalu bagian atas dilapisi pula menggunakan poly(3,4-ethylene-dioxythiophene) poly(styrenesulfonate), PEDOT/PSS, selanjutnya dilapisi emas (sebagai kontak Ohmic) yang berperan sebagai anoda (elektroda positif). Gambar 2. Benang-benang nano ZnO yang berada dilapisi oleh lapisan tipis polystyrene
Dari penelitian lebih lanjut, ternyata benang-benang nano ZnO tersebut melekat sangat kuat diatas substrate meskipun dibengkokan dengan jari-jari kelengkungan <10 ÎĽm.Dari sisi intensitas cahaya yang diemisikan, LED benang nano yang berada diatas substrate plastic memancarkan cahaya dengan intensitas lebih rendah dibandingkan diatas substrate gelas. Namun demikian distribusi spectrum cahaya yang teramati dari elektroluminisensi memiliki kemiripan yaitu berada di rentang cahaya tampak.
Penemuan ini mengindikasikan bahwa hibridisasi teknologi nano dengan polimer organic memiliki potensi untuk dikembangkan dalam ranah aplikasi optoelektronika di masa depan.
Referensi :
Photonics Spectra, January 2006, page 135
Nano Letters, February 2008, pp. 534-537.
oleh Iwan
Perkembangan teknologi lampu diode (LED) menggunakan bahan inorganic yang fleksibel dan lentur telah mampu direalisasikan dengan menggunakan ZnO yang berbentuk benang nano. Benang nano dari ZnO bertindak sebagai komponen optis.
Diawali oleh emisi sinar ultra violet(uv) dengan panjang gelombang 393 nm dari benang nano ZnO (ZnO Nanowire LEDs Have UV Output,” Photonics Spectra, January 2006, page 135), para peneliti kini telah menemukan spectrum yang berada pada rentang cahaya tampak hingga mendekati sinar infra merah (500-1100 nm) mampu dihasilkan oleh LED yang berbasiskan benang nano dari ZnO.
Gambar 1. Diagram dari struktur LED berbasis benang nano pada substrate plastik
Penemuan ini di pelopori oleh Prof. Rolf Könenkamp dari Portland State University in Oregon. Hasil penemuannya melaporkan bahwa LED dari bahan inorganic diprediksikan menjadi alternative masa depan untuk menggantikan semua perangkat elektronik dan photonic dari bahan organic.
Struktur dari divais LED berbasiskan benang nano yang lentur dapat di lihat pada gambar 1. Dari gambar tersebut benang nano ZnO ditumbuhkan diatas substrate polyethylene terephtalate (bahan plastic) yang telah dilapisi oleh indium tin okside (ITO). Kristal tunggal benang nano tersebut ditumbuhkan dengan metode elektrodeposisi dengan temperature 80oC di atas ITO. Proses penumbuhan kira-kira memakan waktu satu jam dengan arah tumbuh vertical dan homogeny. Dari hasil karakterisasi, panjang benang nano rata-rata 2 mm dan diameter 70-120 nm. Lalu benang-benang nano tersebut di lapisi dengan lapisan tipis polysterene sebagai isolator yang mengisi tiap celah diantara benang-benang nano. Lapisan tipis polysterene melapisi benang nano dengan ketebalan kira-kira 10 nm. Proses pengisian celah atau pelapisan benang-benang nano tersebut menggunakan metode spin coating. Lalu bagian atas dilapisi pula menggunakan poly(3,4-ethylene-dioxythiophene) poly(styrenesulfonate), PEDOT/PSS, selanjutnya dilapisi emas (sebagai kontak Ohmic) yang berperan sebagai anoda (elektroda positif). Gambar 2. Benang-benang nano ZnO yang berada dilapisi oleh lapisan tipis polystyrene
Dari penelitian lebih lanjut, ternyata benang-benang nano ZnO tersebut melekat sangat kuat diatas substrate meskipun dibengkokan dengan jari-jari kelengkungan <10 ÎĽm.Dari sisi intensitas cahaya yang diemisikan, LED benang nano yang berada diatas substrate plastic memancarkan cahaya dengan intensitas lebih rendah dibandingkan diatas substrate gelas. Namun demikian distribusi spectrum cahaya yang teramati dari elektroluminisensi memiliki kemiripan yaitu berada di rentang cahaya tampak.
Penemuan ini mengindikasikan bahwa hibridisasi teknologi nano dengan polimer organic memiliki potensi untuk dikembangkan dalam ranah aplikasi optoelektronika di masa depan.
Referensi :
Photonics Spectra, January 2006, page 135
Nano Letters, February 2008, pp. 534-537.
Anti materi, sebuah realitaskah?
Silahkan dibaca tulisan berikut..menarik lo..
Penulis : Robert Roy Britt (Senior Science Writer)
Antimatter sounds like the stuff of science fiction, and it is. But it's also very real. Antimatter is created and annihilated in stars every day. Here on Earth it's harnessed for medical brain scans.
"Antimatter is around us each day, although there isn't very much of it," says Gerald Share of the Naval Research Laboratory. "It is not something that can be found by itself in a jar on a table."
So Share went looking for evidence of some in the Sun, a veritable antimatter factory, leading to new results that provide limited fresh insight into these still-mysterious particles.
Simply put, antimatter is a fundamental particle of regular matter with its electrical charge reversed. The common proton has an antimatter counterpart called the antiproton. It has the same mass but an opposite charge. The electron's counterpart is called a positron.
Antimatter particles are created in ultra high-speed collisions.
One example is when a high-energy proton in a solar flare collides with carbon, Share explained in an e-mail interview. "It can form a type of nitrogen that has too many protons relative to its number of neutrons." This makes its nucleus unstable, and a positron is emitted to stabilize the situation.
But positrons don't last long. When they hit an electron, they annihilate and produce energy.
"So the cycle is complete, and for this reason there is so little antimatter around at a given time," Share said.
The antimatter wars
To better understand the elusive nature of antimatter, we must back up to the beginning of time.
In the first seconds after the Big Bang, there was no matter, scientists suspect. Just energy. As the universe expanded and cooled, particles of regular matter and antimatter were formed in almost equal amounts.
But, theory holds, a slightly higher percentage of regular matter developed -- perhaps just one part in a million -- for unknown reasons. That was all the edge needed for regular matter to win the longest running war in the cosmos.
"When the matter and antimatter came into contact they annihilated, and only the residual amount of matter was left to form our current universe," Share says.
Antimatter was first theorized based on work done in 1928 by the physicist Paul Dirac. The positron was discovered in 1932. Science fiction writers latched onto the concept and wrote of antiworlds and antiuniverses.
Potential power
Antimatter has tremendous energy potential, if it could ever be harnessed. A solar flare in July 2002 created about a pound of antimatter, or half a kilo, according to new NASA-led research. That's enough to power the United States for two days.
Laboratory particle accelerators can produce high-energy antimatter particles, too, but only in tiny quantities. Something on the order of a billionth of a gram or less is produced every year.
Nonetheless, sci-fi writers long ago devised schemes using antimatter to power space travelers beyond light-speed. Antimatter didnt get a bad name, but it sunk into the collective consciousness as a purely fictional concept. Given some remarkable physics breakthrough, antimatter could in theory power a spacecraft. But NASA researchers say it's nothing that will happen in the foreseeable future.
Meanwhile, antimatter has proved vitally useful for medical purposes. The fleeting particles of antimatter are also created by the decay of radioactive material, which can be injected into a patient in order to perform Positron Emission Tomography, or PET scan of the brain. Here's what happens:
A positron that's produced by decay almost immediately finds an electron and annihilates into two gamma rays, Share explains. These gamma rays move in opposite directions, and by recording several of their origin points an image is produced.
Looking at the Sun
In the Sun, flares of matter accelerate already fast-moving particles, which collide with slower particles in the Sun's atmosphere, producing antimatter. Scientists had expected these collisions to happen in relatively dense regions of the solar atmosphere. If that were the case, the density would cause the antimatter to annihilate almost immediately.
Share's team examined gamma rays emitted by antimatter annihilation, as observed by NASA's RHESSI spacecraft in work led by Robert Lin of the University of California, Berkeley.
The research suggests the antimatter perhaps shuffles around, being created in one spot and destroyed in another, contrary to what scientists expect for the ephemeral particles. But the results are unclear. They could also mean antimatter is created in regions where extremely high temperatures make the particle density 1,000 times lower than what scientists expected was conducive to the process.
Details of the work will be published in Astrophysical Journal Letters on Oct. 1.
Unknowns remain
Though scientists like to see antimatter as a natural thing, much about it remains highly mysterious. Even some of the fictional portrayals of mirror-image objects have not been proven totally out of this world.
"We cannot rule out the possibility that some antimatter star or galaxy exists somewhere," Share says. "Generally it would look the same as a matter star or galaxy to most of our instruments."
Theory argues that antimatter would behave identical to regular matter gravitationally.
"However, there must be some boundary where antimatter atoms from the antimatter galaxies or stars will come into contact with normal atoms," Share notes. "When that happens a large amount of energy in the form of gamma rays would be produced. To date we have not detected these gamma rays even though there have been very sensitive instruments in space to observe them."
This article is part of SPACE.com's weekly Mystery Monday series
Penulis : Robert Roy Britt (Senior Science Writer)
Antimatter sounds like the stuff of science fiction, and it is. But it's also very real. Antimatter is created and annihilated in stars every day. Here on Earth it's harnessed for medical brain scans.
"Antimatter is around us each day, although there isn't very much of it," says Gerald Share of the Naval Research Laboratory. "It is not something that can be found by itself in a jar on a table."
So Share went looking for evidence of some in the Sun, a veritable antimatter factory, leading to new results that provide limited fresh insight into these still-mysterious particles.
Simply put, antimatter is a fundamental particle of regular matter with its electrical charge reversed. The common proton has an antimatter counterpart called the antiproton. It has the same mass but an opposite charge. The electron's counterpart is called a positron.
Antimatter particles are created in ultra high-speed collisions.
One example is when a high-energy proton in a solar flare collides with carbon, Share explained in an e-mail interview. "It can form a type of nitrogen that has too many protons relative to its number of neutrons." This makes its nucleus unstable, and a positron is emitted to stabilize the situation.
But positrons don't last long. When they hit an electron, they annihilate and produce energy.
"So the cycle is complete, and for this reason there is so little antimatter around at a given time," Share said.
The antimatter wars
To better understand the elusive nature of antimatter, we must back up to the beginning of time.
In the first seconds after the Big Bang, there was no matter, scientists suspect. Just energy. As the universe expanded and cooled, particles of regular matter and antimatter were formed in almost equal amounts.
But, theory holds, a slightly higher percentage of regular matter developed -- perhaps just one part in a million -- for unknown reasons. That was all the edge needed for regular matter to win the longest running war in the cosmos.
"When the matter and antimatter came into contact they annihilated, and only the residual amount of matter was left to form our current universe," Share says.
Antimatter was first theorized based on work done in 1928 by the physicist Paul Dirac. The positron was discovered in 1932. Science fiction writers latched onto the concept and wrote of antiworlds and antiuniverses.
Potential power
Antimatter has tremendous energy potential, if it could ever be harnessed. A solar flare in July 2002 created about a pound of antimatter, or half a kilo, according to new NASA-led research. That's enough to power the United States for two days.
Laboratory particle accelerators can produce high-energy antimatter particles, too, but only in tiny quantities. Something on the order of a billionth of a gram or less is produced every year.
Nonetheless, sci-fi writers long ago devised schemes using antimatter to power space travelers beyond light-speed. Antimatter didnt get a bad name, but it sunk into the collective consciousness as a purely fictional concept. Given some remarkable physics breakthrough, antimatter could in theory power a spacecraft. But NASA researchers say it's nothing that will happen in the foreseeable future.
Meanwhile, antimatter has proved vitally useful for medical purposes. The fleeting particles of antimatter are also created by the decay of radioactive material, which can be injected into a patient in order to perform Positron Emission Tomography, or PET scan of the brain. Here's what happens:
A positron that's produced by decay almost immediately finds an electron and annihilates into two gamma rays, Share explains. These gamma rays move in opposite directions, and by recording several of their origin points an image is produced.
Looking at the Sun
In the Sun, flares of matter accelerate already fast-moving particles, which collide with slower particles in the Sun's atmosphere, producing antimatter. Scientists had expected these collisions to happen in relatively dense regions of the solar atmosphere. If that were the case, the density would cause the antimatter to annihilate almost immediately.
Share's team examined gamma rays emitted by antimatter annihilation, as observed by NASA's RHESSI spacecraft in work led by Robert Lin of the University of California, Berkeley.
The research suggests the antimatter perhaps shuffles around, being created in one spot and destroyed in another, contrary to what scientists expect for the ephemeral particles. But the results are unclear. They could also mean antimatter is created in regions where extremely high temperatures make the particle density 1,000 times lower than what scientists expected was conducive to the process.
Details of the work will be published in Astrophysical Journal Letters on Oct. 1.
Unknowns remain
Though scientists like to see antimatter as a natural thing, much about it remains highly mysterious. Even some of the fictional portrayals of mirror-image objects have not been proven totally out of this world.
"We cannot rule out the possibility that some antimatter star or galaxy exists somewhere," Share says. "Generally it would look the same as a matter star or galaxy to most of our instruments."
Theory argues that antimatter would behave identical to regular matter gravitationally.
"However, there must be some boundary where antimatter atoms from the antimatter galaxies or stars will come into contact with normal atoms," Share notes. "When that happens a large amount of energy in the form of gamma rays would be produced. To date we have not detected these gamma rays even though there have been very sensitive instruments in space to observe them."
This article is part of SPACE.com's weekly Mystery Monday series
Kamis, 21 Mei 2009
Selamat buat Riana :-)
sumber : http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/05/20/05410696/belum.genap.18.tahun.riana.sudah.jadi.dokter
Selamat dan luar biasa! Hanya kata itu yang tepat diucapkan untuk dr Riana Helmi. Dalam usianya yang belum genap 18 tahun, tepatnya 17 tahun 11 bulan, remaja kelahiran Banda Aceh itu diwisuda sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Wisuda dilakukan di gedung pertemuan UGM Grha Sabha Pramana, Yogyakarta, Selasa (19/5).
Riana, demikian gadis berperawakan kecil itu akrab disapa, menyelesaikan kuliah dalam waktu tiga tahun enam bulan dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) sangat memuaskan, yaitu 3,67. Karena prestasinya itu, Riana sempat menerima pujian dan diminta berdiri oleh Rektor UGM Soedjarwadi.
"Ya, Alhamdulillah saya bisa jadi wisudawan termuda," ucapnya didampingi kedua orangtuanya, Ajun Komisaris Helmi dan Rofiah, seusai wisuda.
Riana lahir di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, 22 Maret 1991. Dia masuk ke Fakultas Kedokteran UGM melalui jalur Penelusuran Bakat Skolastik (PBS) pada September 2005. Usianya saat itu masih 14 tahun lewat tiga bulan, atau setara dengan pelajar kelas II SMP pada umumnya.
Meski sangat muda, Riana mengaku tidak banyak kendala dalam menyesuaikan diri dengan mahasiswa lain yang rata-rata berusia empat tahun lebih tua darinya. Dia juga menjalani kuliah kedokteran secara normal, dengan banyak tugas seperti mahasiswa lainnya. Sebagai mahasiswa termuda, hal ini kerap membuatnya gelisah.
"Kesulitan karena tugas sangat banyak sih ada, tapi syukurlah semua bisa saya atasi," kata Riana yang mempelajari kanker payudara dalam skripsinya.
Lulus dalam usia yang masih sangat muda, Riana masih ingin melanjutkan sekolahnya. Menurut rencana, dia akan mengambil pendidikan spesialis untuk meraih cita-citanya sebagai dokter spesialis kandungan.
Kelas akselerasi
Riana dikenal cerdas sejak kecil. Selama di bangku SMP dan SMA Negeri 3 Sukabumi, Jawa Barat, Riana yang menghabiskan masa kecilnya di Garut dan Sukabumi itu selalu duduk di kelas percepatan (akselerasi).
Selain itu, Riana juga masuk SD pada usia sangat muda, yaitu empat tahun. "Sejak usia tiga tahun, dia sudah lancar membaca," kata Helmi yang merupakan perwira polisi pendidik di Sekolah Polri Lido, Sukabumi, Jawa Barat.
Menurut Helmi, sejak kecil, rasa ingin tahu Riana sangat besar. Dia juga lebih gemar belajar daripada bermain. Meskipun tidak ada yang menyuruh, sebagian besar waktu luangnya justru dia isi dengan membaca.
"Riana kecil juga tidak suka bermain boneka. Dia malah takut dan menjerit kalau melihat boneka di dekatnya," ujar Helmi.
Selamat dan luar biasa! Hanya kata itu yang tepat diucapkan untuk dr Riana Helmi. Dalam usianya yang belum genap 18 tahun, tepatnya 17 tahun 11 bulan, remaja kelahiran Banda Aceh itu diwisuda sebagai dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Wisuda dilakukan di gedung pertemuan UGM Grha Sabha Pramana, Yogyakarta, Selasa (19/5).
Riana, demikian gadis berperawakan kecil itu akrab disapa, menyelesaikan kuliah dalam waktu tiga tahun enam bulan dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) sangat memuaskan, yaitu 3,67. Karena prestasinya itu, Riana sempat menerima pujian dan diminta berdiri oleh Rektor UGM Soedjarwadi.
"Ya, Alhamdulillah saya bisa jadi wisudawan termuda," ucapnya didampingi kedua orangtuanya, Ajun Komisaris Helmi dan Rofiah, seusai wisuda.
Riana lahir di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, 22 Maret 1991. Dia masuk ke Fakultas Kedokteran UGM melalui jalur Penelusuran Bakat Skolastik (PBS) pada September 2005. Usianya saat itu masih 14 tahun lewat tiga bulan, atau setara dengan pelajar kelas II SMP pada umumnya.
Meski sangat muda, Riana mengaku tidak banyak kendala dalam menyesuaikan diri dengan mahasiswa lain yang rata-rata berusia empat tahun lebih tua darinya. Dia juga menjalani kuliah kedokteran secara normal, dengan banyak tugas seperti mahasiswa lainnya. Sebagai mahasiswa termuda, hal ini kerap membuatnya gelisah.
"Kesulitan karena tugas sangat banyak sih ada, tapi syukurlah semua bisa saya atasi," kata Riana yang mempelajari kanker payudara dalam skripsinya.
Lulus dalam usia yang masih sangat muda, Riana masih ingin melanjutkan sekolahnya. Menurut rencana, dia akan mengambil pendidikan spesialis untuk meraih cita-citanya sebagai dokter spesialis kandungan.
Kelas akselerasi
Riana dikenal cerdas sejak kecil. Selama di bangku SMP dan SMA Negeri 3 Sukabumi, Jawa Barat, Riana yang menghabiskan masa kecilnya di Garut dan Sukabumi itu selalu duduk di kelas percepatan (akselerasi).
Selain itu, Riana juga masuk SD pada usia sangat muda, yaitu empat tahun. "Sejak usia tiga tahun, dia sudah lancar membaca," kata Helmi yang merupakan perwira polisi pendidik di Sekolah Polri Lido, Sukabumi, Jawa Barat.
Menurut Helmi, sejak kecil, rasa ingin tahu Riana sangat besar. Dia juga lebih gemar belajar daripada bermain. Meskipun tidak ada yang menyuruh, sebagian besar waktu luangnya justru dia isi dengan membaca.
"Riana kecil juga tidak suka bermain boneka. Dia malah takut dan menjerit kalau melihat boneka di dekatnya," ujar Helmi.
Kamis, 30 April 2009
Inilah kiat menjadi seorang pemimpin....
Seandainya para pemimpin di instansi manapun mampu melaksanakan 5M, saya pikir kita akan solid dan kuat. Monggo disimak :
“5M” KIAT PEMIMPIN: MULAT, MILALAO, MILUTA, PALIDARMA, DAN PALIMARMA
sumber : http://javanologi.blogspot.com/2008/06/kepemimpinan-jawa-wawan-susetya.html
Dalam khasanah budaya Jawa, terdapat paugeran atau rambu-rambu yang harus menjadi fokus pencermatan bagi seorang-orang yang merasa dirinya sebagau pemimpin. Paugeran itu adalah:
Mulat; (mengetahui).
Bagi seorang orang pemimpin hendaknya 'mulat yakni mengetahui keberadaan atau keadaan rakyatnya dari dekat. Utamanya ketika terjadi musibah, seperti bencana penyakit, bencana alam atau lainnya.Dalam arti yang terdalam seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin adalah manusia yang memiliki tingat empati yang tingg. Sifat ini juga disarankan kepada seorang guru, sehingga mengerti secara utuh segenap persoalan yang dimiliki sang murid. Mulat juga dapat diartikan kemampuan mencermati/mengamati, atau memonitor setiap dinamika perkembangan yang dimiliki rakyat.
Milala; (bombong; mem-bombong, membesarkan hati, atau memuji).
Bagi seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin, dan ketika melihat keadaan rakyatnya sedang dirundung malang akibat musibah atau petaka lainnya, ia harus membesarakan hati rakyatnya, memberikan semangat agar bangkit dari duka-nestapa, dan tidak larut dalam kedukaan yang terdalam. Bagi seorang guru milala identik dengan upaya memberikan motivasi agar mengalir energi potensial yang dimiliki oleh siswa. Energi ini biasanya merupakan energi yang tersimpan, manakala terdapat pematik [stimulan] dari luar, serta merta energi ini dapat dibangkitkan.Dalam penerapannya harus dilakukan sebagai usaha sadar pembangkit, bukan sebaliknya sebagai alat untuk “ngembosi”, atau “njlomprongke” [pujian yang menjerumuskan]
Miluta, (bimbing; membimbing, menagarahkan atau menunjukkan kesalahannya).
Seorang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, sangat ditungu-tunggu nasihatnya, sehingga rakyat akan selalu berada di rel yang benar. Demikian halnya bagi seorang guru atau orang tua; setelah bombong [membombong=memuji] anak atau siswanya, selanjutnya harus diikuti dengan bimbingan. Sehingga rakyat akan tetap terawat pada patron yang benar.
Palidarma (memberikan teladan/contoh).
Rambu-rambu palidarma dalam hal ini sudah sangat populer; yakni sebagai seorang pemimpin, orang tua atau guru, harus dapat memberikan teladan yang indah dan baik—falsafah, Ki Hadjar Dewantara “ Ing ngarsa sun tuladha"
Palimarma (memberikan maaf atau memaafkan).
Seorang pemimpin yang bijak diharapkan gampang memberikan maaf kesalahan rakyatnya. Pemimpin harus berani meminta maaf, mengaku kesalahan dikala salah. Juga bagi seorang guru, murah dan mudah memaafkan adalah bagian dari citra dirinya.
“5M” KIAT PEMIMPIN: MULAT, MILALAO, MILUTA, PALIDARMA, DAN PALIMARMA
sumber : http://javanologi.blogspot.com/2008/06/kepemimpinan-jawa-wawan-susetya.html
Dalam khasanah budaya Jawa, terdapat paugeran atau rambu-rambu yang harus menjadi fokus pencermatan bagi seorang-orang yang merasa dirinya sebagau pemimpin. Paugeran itu adalah:
Mulat; (mengetahui).
Bagi seorang orang pemimpin hendaknya 'mulat yakni mengetahui keberadaan atau keadaan rakyatnya dari dekat. Utamanya ketika terjadi musibah, seperti bencana penyakit, bencana alam atau lainnya.Dalam arti yang terdalam seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin adalah manusia yang memiliki tingat empati yang tingg. Sifat ini juga disarankan kepada seorang guru, sehingga mengerti secara utuh segenap persoalan yang dimiliki sang murid. Mulat juga dapat diartikan kemampuan mencermati/mengamati, atau memonitor setiap dinamika perkembangan yang dimiliki rakyat.
Milala; (bombong; mem-bombong, membesarkan hati, atau memuji).
Bagi seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin, dan ketika melihat keadaan rakyatnya sedang dirundung malang akibat musibah atau petaka lainnya, ia harus membesarakan hati rakyatnya, memberikan semangat agar bangkit dari duka-nestapa, dan tidak larut dalam kedukaan yang terdalam. Bagi seorang guru milala identik dengan upaya memberikan motivasi agar mengalir energi potensial yang dimiliki oleh siswa. Energi ini biasanya merupakan energi yang tersimpan, manakala terdapat pematik [stimulan] dari luar, serta merta energi ini dapat dibangkitkan.Dalam penerapannya harus dilakukan sebagai usaha sadar pembangkit, bukan sebaliknya sebagai alat untuk “ngembosi”, atau “njlomprongke” [pujian yang menjerumuskan]
Miluta, (bimbing; membimbing, menagarahkan atau menunjukkan kesalahannya).
Seorang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, sangat ditungu-tunggu nasihatnya, sehingga rakyat akan selalu berada di rel yang benar. Demikian halnya bagi seorang guru atau orang tua; setelah bombong [membombong=memuji] anak atau siswanya, selanjutnya harus diikuti dengan bimbingan. Sehingga rakyat akan tetap terawat pada patron yang benar.
Palidarma (memberikan teladan/contoh).
Rambu-rambu palidarma dalam hal ini sudah sangat populer; yakni sebagai seorang pemimpin, orang tua atau guru, harus dapat memberikan teladan yang indah dan baik—falsafah, Ki Hadjar Dewantara “ Ing ngarsa sun tuladha"
Palimarma (memberikan maaf atau memaafkan).
Seorang pemimpin yang bijak diharapkan gampang memberikan maaf kesalahan rakyatnya. Pemimpin harus berani meminta maaf, mengaku kesalahan dikala salah. Juga bagi seorang guru, murah dan mudah memaafkan adalah bagian dari citra dirinya.
menyambut hari pendidikan nasional....
On may 2, every years Indonesia celebrates national education day.
Some questions will appear and courage my self to study further about the essential of education :
Is education important to a successful career in industry? amongs us perhaps often ask why education is important with respect to one’s career, particularly in the healthcare industry. Some people also want to know how education can impact overall quality of life, in addition to the impact education has on one's career.
Many job seekers, some who have years of experience, may not even be considered for a job, or they may be passed over for a candidate who has a degree, or more education, but has less experience. Why?
Lets we see the interesting analysis by Andrea Santiago , About.com.
Answer: Education is very important to both your personal and professional life, in a number of significant ways!
Depending on the level of success you’re seeking to achieve, the level of education may be relative, but the bottom line is, an education of some sort is often paramount to future success. Completing increasingly advanced levels of education shows that you have a drive and commitment to learn and apply information, ideas, theories, and formulas to achieve a variety of tasks and goals.
Subject Matters:
Probably the most obvious reason education is important is to acquire the subject matter and basic knowledge needed to get by in everyday life. For example:
English and language skills: English and language skills will help you to communicate your ideas more clearly. Communication skills are essential in any role – whether you’re dealing with co-workers, patients, customers, or supervisors, you will need to effectively convey your plans, ideas, goals, and such.
Math and science skills: Although calculators and computers are readily accessible, you still need to learn how to do basic computations and calculations on paper or in your head. If you are calculating dosages, counting surgical supplies, or tallying sales, math skills are imperative for a career, and for life. Cooking, shopping, driving, and many other everyday activities require math skills as well, regardless of your career choice.
The more you LEARN, the more you EARN:
Have you ever noticed that the word LEARN contains the word EARN? Perhaps that is because the higher level of education you achieve, the higher level of income you are likely to command as well. For example, consider the following health careers and the educational requirements as they relate to annual income:
Medical jobs, no college degree: Pay $20,000-40,000 annually, on average
Allied Health Careers, two years of college: Pay from $40,000-60,000 annually.
Nursing Careers, Associate's or Bachelor Degree: Pay $40,000-55,000 on average annually.
Advanced Nursing Careers, Master's Degree required: Pay $60,000-90,000+ annually.
Pharmacist, Bachelor's, + PharmD: Pay $90,000-115,000 annually.
Physician, Medical Doctorate required: Pay $120,000-$500,000+ annually
Are you seeing the trend here? Clearly, education is important for financial growth in the healthcare field, as with many other careers.
Many Employers Now Require Education for Employment:
Another primary reason education is important, is that it’s become a basic requirement for so many employers, to even get your foot in the door. Many employers require college level education, even for roles which previously did not require it, such as administrative assistant positions. The fewer years of education you’ve completed, the fewer doors are open to you. It’s that simple.
Educational requirements are a quick and easy way to narrow down the field of applicants, especially in situations where there are more applicants than jobs. When hiring from a field of candidates, employers prefer those who have completed the higher level of education.
Why has education become so important to employers? In working with hiring managers to conduct candidate searches, it seems that the education requirement has become a barrier for entry into many careers, because education allows you to:
Learn how to learn. School teaches you how to gather, learn, and apply knowledge. No matter what career you choose, you will need to learn procedures, information, and skills related to your job, and execute tasks based on that information and training.
Develop interpersonal skills. School allows you to interact with other people and refine your communication skills, including those of persuasion, conflict resolution, and teamwork.
Learn time and task management.Learn how to manage projects, deadlines, and complete assignments efficiently and effectively.
Learn from experience of others. By attending school, you are able to learn from the experience and intellect of thousands of people who have gone before you. In just a few years, through your textbooks, research, and class lessons, school gives you a consolidated overview of theories, formulas, ideologies, and experiments conducted by generations of scientists, philosophers, mathematicians, historians, and other experts. While gaining your own personal work experience is helpful too, a formal education is a way to learn from centuries of others’ life and work and academic experience before you.
As you can see, education is important to everyone, but education is even more important in the healthcare industry. Why?
Technology, math and science are key components of many healthcare roles: Healthcare careers often require knowledge and understanding of the sciences, and technology. These fields are always changing and growing with new developments and discoveries. Therefore it’s imperative to have a basic understanding you can build on with continuing education throughout your career, to keep up with the latest changes and new information.
Health professionals have a huge responsibility for the health, well-being, and survival of others. Therefore, health professionals must be particularly adept and relating to other people, learning and gathering information about a patient, and applying it to the treatment and care of that patient based on medical knowledge.
For many healthcare roles, degrees and certifications are required for licensure to practice in a certain capacity. Many allied healthcare jobs require at least an associate’s degree, most nurses need bachelor’s degrees, and physicians and advanced practice nurses must have many years of post-graduate training to include master’s and doctorate degrees.
Some questions will appear and courage my self to study further about the essential of education :
Is education important to a successful career in industry? amongs us perhaps often ask why education is important with respect to one’s career, particularly in the healthcare industry. Some people also want to know how education can impact overall quality of life, in addition to the impact education has on one's career.
Many job seekers, some who have years of experience, may not even be considered for a job, or they may be passed over for a candidate who has a degree, or more education, but has less experience. Why?
Lets we see the interesting analysis by Andrea Santiago , About.com.
Answer: Education is very important to both your personal and professional life, in a number of significant ways!
Depending on the level of success you’re seeking to achieve, the level of education may be relative, but the bottom line is, an education of some sort is often paramount to future success. Completing increasingly advanced levels of education shows that you have a drive and commitment to learn and apply information, ideas, theories, and formulas to achieve a variety of tasks and goals.
Subject Matters:
Probably the most obvious reason education is important is to acquire the subject matter and basic knowledge needed to get by in everyday life. For example:
English and language skills: English and language skills will help you to communicate your ideas more clearly. Communication skills are essential in any role – whether you’re dealing with co-workers, patients, customers, or supervisors, you will need to effectively convey your plans, ideas, goals, and such.
Math and science skills: Although calculators and computers are readily accessible, you still need to learn how to do basic computations and calculations on paper or in your head. If you are calculating dosages, counting surgical supplies, or tallying sales, math skills are imperative for a career, and for life. Cooking, shopping, driving, and many other everyday activities require math skills as well, regardless of your career choice.
The more you LEARN, the more you EARN:
Have you ever noticed that the word LEARN contains the word EARN? Perhaps that is because the higher level of education you achieve, the higher level of income you are likely to command as well. For example, consider the following health careers and the educational requirements as they relate to annual income:
Medical jobs, no college degree: Pay $20,000-40,000 annually, on average
Allied Health Careers, two years of college: Pay from $40,000-60,000 annually.
Nursing Careers, Associate's or Bachelor Degree: Pay $40,000-55,000 on average annually.
Advanced Nursing Careers, Master's Degree required: Pay $60,000-90,000+ annually.
Pharmacist, Bachelor's, + PharmD: Pay $90,000-115,000 annually.
Physician, Medical Doctorate required: Pay $120,000-$500,000+ annually
Are you seeing the trend here? Clearly, education is important for financial growth in the healthcare field, as with many other careers.
Many Employers Now Require Education for Employment:
Another primary reason education is important, is that it’s become a basic requirement for so many employers, to even get your foot in the door. Many employers require college level education, even for roles which previously did not require it, such as administrative assistant positions. The fewer years of education you’ve completed, the fewer doors are open to you. It’s that simple.
Educational requirements are a quick and easy way to narrow down the field of applicants, especially in situations where there are more applicants than jobs. When hiring from a field of candidates, employers prefer those who have completed the higher level of education.
Why has education become so important to employers? In working with hiring managers to conduct candidate searches, it seems that the education requirement has become a barrier for entry into many careers, because education allows you to:
Learn how to learn. School teaches you how to gather, learn, and apply knowledge. No matter what career you choose, you will need to learn procedures, information, and skills related to your job, and execute tasks based on that information and training.
Develop interpersonal skills. School allows you to interact with other people and refine your communication skills, including those of persuasion, conflict resolution, and teamwork.
Learn time and task management.Learn how to manage projects, deadlines, and complete assignments efficiently and effectively.
Learn from experience of others. By attending school, you are able to learn from the experience and intellect of thousands of people who have gone before you. In just a few years, through your textbooks, research, and class lessons, school gives you a consolidated overview of theories, formulas, ideologies, and experiments conducted by generations of scientists, philosophers, mathematicians, historians, and other experts. While gaining your own personal work experience is helpful too, a formal education is a way to learn from centuries of others’ life and work and academic experience before you.
As you can see, education is important to everyone, but education is even more important in the healthcare industry. Why?
Technology, math and science are key components of many healthcare roles: Healthcare careers often require knowledge and understanding of the sciences, and technology. These fields are always changing and growing with new developments and discoveries. Therefore it’s imperative to have a basic understanding you can build on with continuing education throughout your career, to keep up with the latest changes and new information.
Health professionals have a huge responsibility for the health, well-being, and survival of others. Therefore, health professionals must be particularly adept and relating to other people, learning and gathering information about a patient, and applying it to the treatment and care of that patient based on medical knowledge.
For many healthcare roles, degrees and certifications are required for licensure to practice in a certain capacity. Many allied healthcare jobs require at least an associate’s degree, most nurses need bachelor’s degrees, and physicians and advanced practice nurses must have many years of post-graduate training to include master’s and doctorate degrees.
Kamis, 23 April 2009
Kiat mewujudkan kesuksesan....
Artikel yang ditulis oleh : Johanne Alarie ini cukup bagus untuk memotivasi dan memberikan pencerahan how to be suceesfull dalam perjalanan hidup kita. Monggo disimak, semoga bermanfaat.
Is it not what we all are dreaming of? Being a Success! We want to be successful in school, in our jobs, in our relationships. In fact, we dream about being successful in everything. But what a challenge this is! Most of the people believe that they just can't achieve great success because they don't have what it takes, or because they're not educated enough! They complain that luck is never on their side or that they weren't born to be successful, or even that they are too poor to ever even think about being something else! You know what? You don't need luck or any diploma to accomplish the success you deserve. You just need faith. Faith that you will indeed be successful, faith that you have all that it takes to make it to the top! You have to BELIEVE that YOU ARE the most successful person you ever met. If you don't believe in yourself, who on earth do you think will? The most successful persons in the world (businessmen (women), signers, physicians, etc.) all have that point in common: They all believed firmly that they were going to be exactly what they expected to be. They never doubted themselves, they had faith in their potentials and they were absolutely convinced that they would make it to the top! They never accepted a No for an answer. Nothing as ever stopped them, slowed down maybe, but never stopped! Well that is very neat on paper, but I can hear you tell me: "It's easier said than done! How can I have faith in myself, when all that I have done so far hasn't brought me the success I am dreaming of? Everything that I'm trying ends up in a mess! Oh, I have attained some results of course, but I want more than that!" And that could go on and on... There is a lot of things that ANYBODY can do to become a success in any field they choose: relationships, business, career, anything you can think of! First, you have to understand that you will need to make an effort, not necessarily a huge one, but let's put it that way: you will definitely need consistence in your doings. With anything that you're trying to attain if you don't give consistent efforts, you'll just simply NEVER get what you expect. The main point is to believe that YOU CAN be successful, and YOU WILL indeed. One good method I am using for years now is Affirmation. And that doesn‚t really take a great deal of an effort to do. Simply keep repeating to your self some sentences like these ones: - I am a successful person. - I can attain any success level I desire. - I will be rich because I deserve it! - Etc. There are some rules that have to be followed when using the Affirmation Method.
Never use any negative form in you sentences (i.e.: I will not fail in anything anymore. It's better to use: I will succeed in everything I'm undertaking from now on.) And trust me, affirmations really works! So if you affirm anything negative, this is what you'll get! So be aware of it, and very careful in your affirmations.
You also have to be repetitive. Repeat at least 10 to 20 times each affirmation every day, for several days. What I like to do when I have a goal to attain is to pick up 2 or 3 sentences that make sense to me. Then I write them down 10 times each, and I repeat the process for at least 7 days in a row.
Remember, consistency!!! You can even go further and do it for 2 to 3 weeks in a row. The longer you do it, the better results you'll get. You will be surprised on how effective that simple and easy method is. Few years ago I started with affirmations to help me care about my self. Yeah! I was like that! A person that didn't like herself enough to believe that she could do anything good. Well that simple method had simply change my life for the better! Now I am happy with myself, my life with my family and friends is fill with joy and happiness, I run a successful business in Graphic Arts and I do have a great success with my spare time e-businesses. So, let me tell you that this method can really change your life too if you only give it a try! I went from living in a stressful mood all the time, never expecting anything good could ever happen to me, to being loaded with confidence in my possibilities and chances of being successful in all the aspects of my life! And still sometimes when something doesn't go the way I want it, I grab my pen and start writing positive affirmations. And back on the good track I am! So pick up your pen, and start climbing the road to success! With that simple method you too can become successful in any of your goals. I simply wish the information I just gave you, will help you out! Don't hesitate to contact me, I'll be more than glad to hear from you and discuss that method with you.
Is it not what we all are dreaming of? Being a Success! We want to be successful in school, in our jobs, in our relationships. In fact, we dream about being successful in everything. But what a challenge this is! Most of the people believe that they just can't achieve great success because they don't have what it takes, or because they're not educated enough! They complain that luck is never on their side or that they weren't born to be successful, or even that they are too poor to ever even think about being something else! You know what? You don't need luck or any diploma to accomplish the success you deserve. You just need faith. Faith that you will indeed be successful, faith that you have all that it takes to make it to the top! You have to BELIEVE that YOU ARE the most successful person you ever met. If you don't believe in yourself, who on earth do you think will? The most successful persons in the world (businessmen (women), signers, physicians, etc.) all have that point in common: They all believed firmly that they were going to be exactly what they expected to be. They never doubted themselves, they had faith in their potentials and they were absolutely convinced that they would make it to the top! They never accepted a No for an answer. Nothing as ever stopped them, slowed down maybe, but never stopped! Well that is very neat on paper, but I can hear you tell me: "It's easier said than done! How can I have faith in myself, when all that I have done so far hasn't brought me the success I am dreaming of? Everything that I'm trying ends up in a mess! Oh, I have attained some results of course, but I want more than that!" And that could go on and on... There is a lot of things that ANYBODY can do to become a success in any field they choose: relationships, business, career, anything you can think of! First, you have to understand that you will need to make an effort, not necessarily a huge one, but let's put it that way: you will definitely need consistence in your doings. With anything that you're trying to attain if you don't give consistent efforts, you'll just simply NEVER get what you expect. The main point is to believe that YOU CAN be successful, and YOU WILL indeed. One good method I am using for years now is Affirmation. And that doesn‚t really take a great deal of an effort to do. Simply keep repeating to your self some sentences like these ones: - I am a successful person. - I can attain any success level I desire. - I will be rich because I deserve it! - Etc. There are some rules that have to be followed when using the Affirmation Method.
Never use any negative form in you sentences (i.e.: I will not fail in anything anymore. It's better to use: I will succeed in everything I'm undertaking from now on.) And trust me, affirmations really works! So if you affirm anything negative, this is what you'll get! So be aware of it, and very careful in your affirmations.
You also have to be repetitive. Repeat at least 10 to 20 times each affirmation every day, for several days. What I like to do when I have a goal to attain is to pick up 2 or 3 sentences that make sense to me. Then I write them down 10 times each, and I repeat the process for at least 7 days in a row.
Remember, consistency!!! You can even go further and do it for 2 to 3 weeks in a row. The longer you do it, the better results you'll get. You will be surprised on how effective that simple and easy method is. Few years ago I started with affirmations to help me care about my self. Yeah! I was like that! A person that didn't like herself enough to believe that she could do anything good. Well that simple method had simply change my life for the better! Now I am happy with myself, my life with my family and friends is fill with joy and happiness, I run a successful business in Graphic Arts and I do have a great success with my spare time e-businesses. So, let me tell you that this method can really change your life too if you only give it a try! I went from living in a stressful mood all the time, never expecting anything good could ever happen to me, to being loaded with confidence in my possibilities and chances of being successful in all the aspects of my life! And still sometimes when something doesn't go the way I want it, I grab my pen and start writing positive affirmations. And back on the good track I am! So pick up your pen, and start climbing the road to success! With that simple method you too can become successful in any of your goals. I simply wish the information I just gave you, will help you out! Don't hesitate to contact me, I'll be more than glad to hear from you and discuss that method with you.
Jumat, 27 Maret 2009
Bencana kok terus-terusan...astagfirullah....
oleh : Iwan
Dalam kurun waktu 2 tahunan ini saya melihat sudah puluhan bencana yang menimpa negeri Indonesia....masih di dalam ingatan saya ketika membaca ratusan orang tewas akibat karamnya kapal di laut Majene, dan kini hal yang terduga adalah tragedi jebolnya tanggul situ Gintung.
Di sini saya tertarik untuk sedikit menganalisis kenapa tanggul tersebut bisa jebol. Dari pemberitaan media, dan ungkapan para pimpinan negeri ini, peristiwa tersebut adalah murni bencana. Pertanyaan yang membuat saya ingin berkomentar adalah, bila dikatakan bencana, termasuk ke dalam ranah bencana alamkah? atau bencana akibat kelalaian pemerintah?
Mari kita coba analisis, tanggul tersebut adalah tanggul yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintah kolonial Belanda.Belanda membangun tanggul tersebut, karena posisi situ yang berada di daerah lebih tinggi dari permukaan tanah disekitar areal tersebut. Sehingga areal yang berada di permukaan lebih rendah dapat dimanfaatkan sebagai areal buat kepentingan lain, seperti perkebunan, dsb, serta tidak kuatir dengan sistem pengairan/irigasi.
Bagaimana dengan kondisi sebelum bencana menimpa ? Terakhir kali saya pernah mengunjungi daerah situ Gintung di dekat perumahan dosen UI pada tahun 2002an. Di sana saya melihat memang daerah di sekitar situ merupakan pemukiman padat penduduk. Bisa dibayangkan, tanggul yang berumur ratusan tahun yang menjaga situ dengan luas kurang lebih 20 hektar berada di daerah padat penduduk.
Pertanyaan saya, begitu percayakah masyrakat dengan bangunan ujur? apakah inspeksi semacam non destructive testing periodik dilakukan? merujuk pada pertanyaan pertama, mungkin saya akan menilai, masyrakat daerah tersebut sangat percaya dengan kinerja pemerintah dalam memelihara kualitas tanggul atau memang mereka tidak tahu apa-apa.
Apa sih non destructive testing (NDT) ? ini merupakan suatu inspeksi yang tidak merusak terhadap suatu material atau bahan. Tekniknya macam-macam, ada liquid penetrant, magnetic particle inspection, arus eddy, radiography, dan ultrasonic testing. Nah, menurut saya jika inspeksi terhadap tanggul dilakukan secara periodik. Mungkin kita bisa melihat dan menganalisis ada atau tidaknya crack/retakan di tanggul. Bila crack dapat di monitor dari waktu ke waktu, tentu bisa disegerakan untuk memperbaikinya.
Nasi sudah menjadi bubur, hikmah yang diambil adalah, pemerintah dan masyrakat harus lebih paham tentang teknologi dan sadar dengan mekanisme perawatan. Perawatan sepertinya terlihat ribet dan mahal secara ekonomi, namun bila timbul masalah, biaya perbaikan tentu akan lebih mahal. Belum lagi bila masalah itu menyangkut nyawa, tentu harganya tidak ternilai....
At last but not least, saya doakan agar korban meninggal kibat tanggul situ Gintung di terima di sisi sang Khalik sang Illahi rabbi....dan korban selamat agar diberi kesabaran dan ketabahan...Amiiinn....
Dalam kurun waktu 2 tahunan ini saya melihat sudah puluhan bencana yang menimpa negeri Indonesia....masih di dalam ingatan saya ketika membaca ratusan orang tewas akibat karamnya kapal di laut Majene, dan kini hal yang terduga adalah tragedi jebolnya tanggul situ Gintung.
Di sini saya tertarik untuk sedikit menganalisis kenapa tanggul tersebut bisa jebol. Dari pemberitaan media, dan ungkapan para pimpinan negeri ini, peristiwa tersebut adalah murni bencana. Pertanyaan yang membuat saya ingin berkomentar adalah, bila dikatakan bencana, termasuk ke dalam ranah bencana alamkah? atau bencana akibat kelalaian pemerintah?
Mari kita coba analisis, tanggul tersebut adalah tanggul yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintah kolonial Belanda.Belanda membangun tanggul tersebut, karena posisi situ yang berada di daerah lebih tinggi dari permukaan tanah disekitar areal tersebut. Sehingga areal yang berada di permukaan lebih rendah dapat dimanfaatkan sebagai areal buat kepentingan lain, seperti perkebunan, dsb, serta tidak kuatir dengan sistem pengairan/irigasi.
Bagaimana dengan kondisi sebelum bencana menimpa ? Terakhir kali saya pernah mengunjungi daerah situ Gintung di dekat perumahan dosen UI pada tahun 2002an. Di sana saya melihat memang daerah di sekitar situ merupakan pemukiman padat penduduk. Bisa dibayangkan, tanggul yang berumur ratusan tahun yang menjaga situ dengan luas kurang lebih 20 hektar berada di daerah padat penduduk.
Pertanyaan saya, begitu percayakah masyrakat dengan bangunan ujur? apakah inspeksi semacam non destructive testing periodik dilakukan? merujuk pada pertanyaan pertama, mungkin saya akan menilai, masyrakat daerah tersebut sangat percaya dengan kinerja pemerintah dalam memelihara kualitas tanggul atau memang mereka tidak tahu apa-apa.
Apa sih non destructive testing (NDT) ? ini merupakan suatu inspeksi yang tidak merusak terhadap suatu material atau bahan. Tekniknya macam-macam, ada liquid penetrant, magnetic particle inspection, arus eddy, radiography, dan ultrasonic testing. Nah, menurut saya jika inspeksi terhadap tanggul dilakukan secara periodik. Mungkin kita bisa melihat dan menganalisis ada atau tidaknya crack/retakan di tanggul. Bila crack dapat di monitor dari waktu ke waktu, tentu bisa disegerakan untuk memperbaikinya.
Nasi sudah menjadi bubur, hikmah yang diambil adalah, pemerintah dan masyrakat harus lebih paham tentang teknologi dan sadar dengan mekanisme perawatan. Perawatan sepertinya terlihat ribet dan mahal secara ekonomi, namun bila timbul masalah, biaya perbaikan tentu akan lebih mahal. Belum lagi bila masalah itu menyangkut nyawa, tentu harganya tidak ternilai....
At last but not least, saya doakan agar korban meninggal kibat tanggul situ Gintung di terima di sisi sang Khalik sang Illahi rabbi....dan korban selamat agar diberi kesabaran dan ketabahan...Amiiinn....
Senin, 09 Maret 2009
Pendidik bukan seorang pemburu.....
Artikel yang dimuat pada : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/07/03214961/pendidik..bukan.pemburu, membuat saya banyak merenung. Memang studi di Singapur kita dituntut untuk berpacu menghasilkan sebuah karya ilmiah yang populer. Namun ini cukup beralasan karena Singapur telah memberikan reword besar juga buat para pelajar dari level undergrad sampai postgrad. Nah permasalahannya adalah, mampukah kedua belah pihak (dosen dan mahasiswa) memiliki komunikasi yang positif? Ini sangat tergantung dari kedua belah pihak, tentu keduanya harus memiliki knowledge dan wisdom serta mengerti posisi masing-masing. Dosen/Prof harus mampu menjadi guru (bukan hanya sebagai bos yang menuntut target2 tertentu) sehingga dapat mengoptimalkan hasil riset secara bijaksana, dan mahasiswa harus pula mampu mengukur diri dan menyadari posisinya sebagai siswa yang bertanggung jawab.
Tentang kasus David (alm) yang terjadi di NTU, saya tidak bisa banyak komentar dan berpeskulasi. Well, mari kita simak saja tulisan karya Dr. Rhenald Kasali, tulisan beliau baik sekali buat kita sebagai pendidik, orang tua, kakak, dan orang yang merasa peduli dengan pendidikan di lingkungan sosial masyarakat kita.
Oleh *RHENALD KASALI*
Hari Senin, 2 Maret 2009, David H Wijaya, mahasiswa pintar asal Indonesia,tewas di Nanyang Tech University, Singapura.Semula, diberitakan ia kepepet, menusuk profesornya, lalu bunuh diri.Kejadian seperti ini sering dilihat dari sisi kriminalitas (urusan polisi).Namun, benarkah demikian?Kalau David masih hidup, para pendidik bisa belajar banyak darinya. Versilain menyebutkan, David bukan pencemas, kurang pandai bergaul, atau rendahkecerdasan sosialnya. Akan ada versi-versi lain yang perlu dilihat darikacamata pendidikan.Naluri saya yang bergelut di bidang pendidikan selama lebih dari 20 tahunmengatakan sebaliknya. Besar kemungkinan mereka adalah korban dari sistemdan perilaku pemburu dalam pendidikan. Apalagi Pemerintah Singapura amatberkepentingan memburu anak-anak pintar etnis tertentu untuk mengimbangipopulasi bangsanya.Jadi, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan versi awal yang tidakdilandasi pada cara berpikir dari kacamata pendidikan.*Pemburu bukan pendidik*Bangku sekolah tentu bukan hutan belantara yang didiami aneka satwa liarnan buas. Sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidupdalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan ataukebahagiaan.Namun, entah mengapa, sekolah telah berubah menjadi lembaga yang meresahkananak didik. Bukan pemburu bersenjata, melainkan guru yang menuntut bekerjatertib, berkompetisi, dan prestasi akademis.Daripada menghargai keunikan masing-masing, kita membuat standar, lalumenempatkan mereka dalam struktur dan ranking. Akibatnya, bersaing mengejarranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, danpenghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh meski dimasyarakat terbukti sukses dan karya- karya mereka amat dihargai.Guru, atau dosen, yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalahpemburu, dan bagi saya pemburu bukan pendidik. Pemburu menatap tajam anakdidiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa. Di televisisering kita saksikan rekaman gambar guru yang menyiksa murid-muridnya.Anak-anak pintar pun tak luput dari ”penyiksaan” pemburu. Mereka dituntutmenunjukkan kehebatan dan selesai lebih cepat dari jadwal. Keunikanmasing-masing tidak diterima sebagai kehebatan.Saat mengepalai program doktor, saya sering terpaksa menggeser penguji,bukan karena mereka kurang hebat, tetapi karena lebih cocok jadi pemburu.Pemburu membombardir anak didiknya dengan berbagai pertanyaan sinis, out ofcontext, dengan tujuan menjatuhkan daripada membantu mereka menemukan masadepannya.*Sisi anak didik*David mungkin saja tidak memiliki kecerdasan sosial dan emosional sepertikata sejumlah kalangan. Namun, para guru di BPK Penabur mengatakan, Davidbukan penyendiri. Di kampus, ia juga aktif dalam kegiatan olahraga danmenjadi utusan Indonesia dalam Olimpiade Matematika di Meksiko. Karena Davidsudah tiada, mungkin kita bisa belajar dari David-David lain.Di Orinda, California, pada tahun 1985, seorang anak perempuan membunuhteman sekelasnya yang pintar dan populer. Saat diinterogasi polisi dandiperiksa kesehatan jiwanya, diketahui ia merasa tertekan karena dirinyanothing, invisible (tak ada yang menghiraukan) , dan worthless (takbernilai).Perasaan dan pikiran yang demikian membentuk keyakinan (belief). MatthewMcKay dan Patrick Fanning (1991) bahkan menyebutkan, banyak sekali anakdidik yang memiliki keunikan menjadi prisoners of belief (narapidanakeyakinan) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit mengendalikan diri.Pada masa krisis kita akan banyak bergulat dengan narapidana-narapida nakeyakinan yang terbelenggu dan sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan,dan aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi maupun kepemimpinanatasan yang buruk. Mereka memaksa dirinya masuk dalam standar dan menyangkalkeunikan dirinya semata-mata karena belenggu sekolah.Keyakinan inti (core-belief) tak pernah disentuh para pendidik karenabanyak sebab. Pertama, tak sedikit pendidik yang juga menjadi narapidanakeyakinan. Kedua, diperlukan therapy, dan therapy ini bukan kurikulum intiyang dianggap penting oleh pengelola pendidikan. Ketiga, tak banyak orangpaham men-therapy belief seseorang.*10 elemen*Saya pernah memasukkannya, dan hingga kini masih menggunakannya untukmembongkar belenggu-belenggu yang mengikat anak didik, tetapi pengalamanmengatakan, implementasinya banyak menemui hujatan dari para ”pemburu”.Untuk mencegah kasus David-David lain, kita harus memeriksa core-beliefinventory yang tersembunyi di balik pikiran anak-anak didik dan parapendidik. Inventory ini terdiri dari 10 elemen, yaitu percaya diri, rasanyaman, kontrol diri, cinta, otonomi, keluarga, rasa adil, kinerja,perubahan, kepercayaan (trust).Elemen-elemen itu dapat dibagi tiga: rasa percaya, hubungan personal, danpengendalian hidup. Ketiganya memengaruhi tingkat kecemasan, pengambilankeputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan/kecemasa n, dankeberhasilan hidup.Kategori pertama diwakili oleh percaya diri dan perasaan bernilai, percayakepada orang lain, dan merasa diperlakukan adil. Monolognya mengalir dalampernyataan seperti ”saya cukup bernilai”, ”mereka dapat dipercaya”, ”merekamemperlakukan saya dengan adil”.Kategori kedua, kenyamanan, cinta (love), dan keluarga (belonging).Orang-orang yang hidupnya seimbang cenderung penuh cinta dan ada yangmemikirkan. Kata mereka, ”Kalau hari ini saya hilang, pasti ada yangkehilangan dan menangisi kepergian saya.”Kategori ketiga, kemampuan kita mengendalikan diri sendiri,pekerjaan/sekolah (kinerja), kemandirian, dan pengambilan risiko(perubahan). Kelompok terakhir ini dapat disimpulkan dengan pernyataan ”sayabisa mengendalikan dorongan-dorongan liar dalam jiwa saya”, ”saya punyaprestasi”, ”saya cukup punya otoritas”, serta ”kalau menjadi lebih baik,mengapa takut menghadapi perubahan”.Andaikan David masih ada dan polisi Singapura cukup terbuka, mungkin kitabisa menemukan jawabnya dengan memeriksa kesepuluh elemen itu, baik padaDavid maupun dosen pembimbingnya.Dari pengalaman anak-anak didik yang dianggap bermasalah oleh para gurunya,diyakini David bukan anak jahat atau lemah kecerdasan sosialnya. David telahmenjadi ”narapidana keyakinan” yang tersudut dalam hutan perburuan dan kitatak memberikan ruang untuk membebaskan atau menghargai keunikannya.*Rhenald Kasali* *Pengajar di Universitas Indonesia*
Tentang kasus David (alm) yang terjadi di NTU, saya tidak bisa banyak komentar dan berpeskulasi. Well, mari kita simak saja tulisan karya Dr. Rhenald Kasali, tulisan beliau baik sekali buat kita sebagai pendidik, orang tua, kakak, dan orang yang merasa peduli dengan pendidikan di lingkungan sosial masyarakat kita.
Oleh *RHENALD KASALI*
Hari Senin, 2 Maret 2009, David H Wijaya, mahasiswa pintar asal Indonesia,tewas di Nanyang Tech University, Singapura.Semula, diberitakan ia kepepet, menusuk profesornya, lalu bunuh diri.Kejadian seperti ini sering dilihat dari sisi kriminalitas (urusan polisi).Namun, benarkah demikian?Kalau David masih hidup, para pendidik bisa belajar banyak darinya. Versilain menyebutkan, David bukan pencemas, kurang pandai bergaul, atau rendahkecerdasan sosialnya. Akan ada versi-versi lain yang perlu dilihat darikacamata pendidikan.Naluri saya yang bergelut di bidang pendidikan selama lebih dari 20 tahunmengatakan sebaliknya. Besar kemungkinan mereka adalah korban dari sistemdan perilaku pemburu dalam pendidikan. Apalagi Pemerintah Singapura amatberkepentingan memburu anak-anak pintar etnis tertentu untuk mengimbangipopulasi bangsanya.Jadi, diperlukan kehati-hatian dalam menafsirkan versi awal yang tidakdilandasi pada cara berpikir dari kacamata pendidikan.*Pemburu bukan pendidik*Bangku sekolah tentu bukan hutan belantara yang didiami aneka satwa liarnan buas. Sekolah adalah entitas sosial yang mendidik masyarakat agar hidupdalam peradaban ilmiah, saling menghargai, dan mencapai kesejahteraan ataukebahagiaan.Namun, entah mengapa, sekolah telah berubah menjadi lembaga yang meresahkananak didik. Bukan pemburu bersenjata, melainkan guru yang menuntut bekerjatertib, berkompetisi, dan prestasi akademis.Daripada menghargai keunikan masing-masing, kita membuat standar, lalumenempatkan mereka dalam struktur dan ranking. Akibatnya, bersaing mengejarranking dan berebut masuk standar untuk mendapat pengakuan, beasiswa, danpenghargaan. Mereka yang memiliki keunikan dianggap bodoh meski dimasyarakat terbukti sukses dan karya- karya mereka amat dihargai.Guru, atau dosen, yang mengabaikan faktor keunikan anak didiknya adalahpemburu, dan bagi saya pemburu bukan pendidik. Pemburu menatap tajam anakdidiknya yang tak masuk ranking, menghukum dan kadang menyiksa. Di televisisering kita saksikan rekaman gambar guru yang menyiksa murid-muridnya.Anak-anak pintar pun tak luput dari ”penyiksaan” pemburu. Mereka dituntutmenunjukkan kehebatan dan selesai lebih cepat dari jadwal. Keunikanmasing-masing tidak diterima sebagai kehebatan.Saat mengepalai program doktor, saya sering terpaksa menggeser penguji,bukan karena mereka kurang hebat, tetapi karena lebih cocok jadi pemburu.Pemburu membombardir anak didiknya dengan berbagai pertanyaan sinis, out ofcontext, dengan tujuan menjatuhkan daripada membantu mereka menemukan masadepannya.*Sisi anak didik*David mungkin saja tidak memiliki kecerdasan sosial dan emosional sepertikata sejumlah kalangan. Namun, para guru di BPK Penabur mengatakan, Davidbukan penyendiri. Di kampus, ia juga aktif dalam kegiatan olahraga danmenjadi utusan Indonesia dalam Olimpiade Matematika di Meksiko. Karena Davidsudah tiada, mungkin kita bisa belajar dari David-David lain.Di Orinda, California, pada tahun 1985, seorang anak perempuan membunuhteman sekelasnya yang pintar dan populer. Saat diinterogasi polisi dandiperiksa kesehatan jiwanya, diketahui ia merasa tertekan karena dirinyanothing, invisible (tak ada yang menghiraukan) , dan worthless (takbernilai).Perasaan dan pikiran yang demikian membentuk keyakinan (belief). MatthewMcKay dan Patrick Fanning (1991) bahkan menyebutkan, banyak sekali anakdidik yang memiliki keunikan menjadi prisoners of belief (narapidanakeyakinan) yang membuat mereka tidak bahagia dan sulit mengendalikan diri.Pada masa krisis kita akan banyak bergulat dengan narapidana-narapida nakeyakinan yang terbelenggu dan sulit menerima kesulitan hidup, kegagalan,dan aneka keterbatasan, baik karena peristiwa ekonomi maupun kepemimpinanatasan yang buruk. Mereka memaksa dirinya masuk dalam standar dan menyangkalkeunikan dirinya semata-mata karena belenggu sekolah.Keyakinan inti (core-belief) tak pernah disentuh para pendidik karenabanyak sebab. Pertama, tak sedikit pendidik yang juga menjadi narapidanakeyakinan. Kedua, diperlukan therapy, dan therapy ini bukan kurikulum intiyang dianggap penting oleh pengelola pendidikan. Ketiga, tak banyak orangpaham men-therapy belief seseorang.*10 elemen*Saya pernah memasukkannya, dan hingga kini masih menggunakannya untukmembongkar belenggu-belenggu yang mengikat anak didik, tetapi pengalamanmengatakan, implementasinya banyak menemui hujatan dari para ”pemburu”.Untuk mencegah kasus David-David lain, kita harus memeriksa core-beliefinventory yang tersembunyi di balik pikiran anak-anak didik dan parapendidik. Inventory ini terdiri dari 10 elemen, yaitu percaya diri, rasanyaman, kontrol diri, cinta, otonomi, keluarga, rasa adil, kinerja,perubahan, kepercayaan (trust).Elemen-elemen itu dapat dibagi tiga: rasa percaya, hubungan personal, danpengendalian hidup. Ketiganya memengaruhi tingkat kecemasan, pengambilankeputusan, asumsi terhadap orang lain, ketenangan/kecemasa n, dankeberhasilan hidup.Kategori pertama diwakili oleh percaya diri dan perasaan bernilai, percayakepada orang lain, dan merasa diperlakukan adil. Monolognya mengalir dalampernyataan seperti ”saya cukup bernilai”, ”mereka dapat dipercaya”, ”merekamemperlakukan saya dengan adil”.Kategori kedua, kenyamanan, cinta (love), dan keluarga (belonging).Orang-orang yang hidupnya seimbang cenderung penuh cinta dan ada yangmemikirkan. Kata mereka, ”Kalau hari ini saya hilang, pasti ada yangkehilangan dan menangisi kepergian saya.”Kategori ketiga, kemampuan kita mengendalikan diri sendiri,pekerjaan/sekolah (kinerja), kemandirian, dan pengambilan risiko(perubahan). Kelompok terakhir ini dapat disimpulkan dengan pernyataan ”sayabisa mengendalikan dorongan-dorongan liar dalam jiwa saya”, ”saya punyaprestasi”, ”saya cukup punya otoritas”, serta ”kalau menjadi lebih baik,mengapa takut menghadapi perubahan”.Andaikan David masih ada dan polisi Singapura cukup terbuka, mungkin kitabisa menemukan jawabnya dengan memeriksa kesepuluh elemen itu, baik padaDavid maupun dosen pembimbingnya.Dari pengalaman anak-anak didik yang dianggap bermasalah oleh para gurunya,diyakini David bukan anak jahat atau lemah kecerdasan sosialnya. David telahmenjadi ”narapidana keyakinan” yang tersudut dalam hutan perburuan dan kitatak memberikan ruang untuk membebaskan atau menghargai keunikannya.*Rhenald Kasali* *Pengajar di Universitas Indonesia*
Jumat, 06 Maret 2009
Benarkah lampu dioda hemat energy??
Eric A Taub membuat sebuah ilustrasi sederhana di http://bits.blogs.nytimes.com/2009/02/13/
tentang bagaimana lampu dioda merupakan pilihan untuk menghemat energy untuk teknologi display masa depan. Di dalam tulisannya dia membandingkan tentang perbedaan lampu dioda dengan lampu fluoresensi dan lampu bulb (incandescent bulb).
Lebih jelasnya monggo disimak penjelasan berikut ini :
A number of readers of my LED posts have voiced skepticism as to the total energy savings that LED lamps have promised.
There’s no question that they use a fraction of the power used by standard incandescent bulbs to produce the same amount of light and last up to 25 times as long. But would the energy needed to create an LED lamp, plus the energy needed to power it, be less than the equivalent amount for a regular light bulb?
The short answer is, yes.
In what is apparently the first “life cycle assessment” of LED lights, researchers at Carnegie Mellon University looked at the energy needed for material and parts manufacturing, product manufacturing, and use of an LED light source and compared it with that of an incandescent bulb.
Carnegie Mellon calculated the amount of energy needed to manufacture and then run a light source (bulb or bulbs) for 25,000 hours.
They assumed an LED lamp would last 25,000 hours, and that the amount of light that could be created from a single LED source would approximate that from a compact fluorescent (in reality, LEDs hold the promise of producing even more). They also assumed that it would take three compact fluorescents or 25 incandescent bulbs to produce light for 25,000 hours.
In addition, the researchers assumed that LED manufacturing plants would be able to achieve a 50 percent yield rate; in other words, half the LED light sources created would be discarded.
The results: the energy needed for one of these “functional units” ranged from 1,500 kilowatt-hours for the standard incandescent bulbs to 320 kWh for the compact fluorescents and 280 kWh for the LED light source.
If these results hold up — and H. Scott Matthews, one of the researchers and a research director of the university’s Green Design Institute, acknowledged that the researchers could not get all the data they needed — it will be another valuable piece of information in proving the ability of LED lighting to significantly reduce the world’s power consumption.
tentang bagaimana lampu dioda merupakan pilihan untuk menghemat energy untuk teknologi display masa depan. Di dalam tulisannya dia membandingkan tentang perbedaan lampu dioda dengan lampu fluoresensi dan lampu bulb (incandescent bulb).
Lebih jelasnya monggo disimak penjelasan berikut ini :
A number of readers of my LED posts have voiced skepticism as to the total energy savings that LED lamps have promised.
There’s no question that they use a fraction of the power used by standard incandescent bulbs to produce the same amount of light and last up to 25 times as long. But would the energy needed to create an LED lamp, plus the energy needed to power it, be less than the equivalent amount for a regular light bulb?
The short answer is, yes.
In what is apparently the first “life cycle assessment” of LED lights, researchers at Carnegie Mellon University looked at the energy needed for material and parts manufacturing, product manufacturing, and use of an LED light source and compared it with that of an incandescent bulb.
Carnegie Mellon calculated the amount of energy needed to manufacture and then run a light source (bulb or bulbs) for 25,000 hours.
They assumed an LED lamp would last 25,000 hours, and that the amount of light that could be created from a single LED source would approximate that from a compact fluorescent (in reality, LEDs hold the promise of producing even more). They also assumed that it would take three compact fluorescents or 25 incandescent bulbs to produce light for 25,000 hours.
In addition, the researchers assumed that LED manufacturing plants would be able to achieve a 50 percent yield rate; in other words, half the LED light sources created would be discarded.
The results: the energy needed for one of these “functional units” ranged from 1,500 kilowatt-hours for the standard incandescent bulbs to 320 kWh for the compact fluorescents and 280 kWh for the LED light source.
If these results hold up — and H. Scott Matthews, one of the researchers and a research director of the university’s Green Design Institute, acknowledged that the researchers could not get all the data they needed — it will be another valuable piece of information in proving the ability of LED lighting to significantly reduce the world’s power consumption.
Jumat, 20 Februari 2009
...belajar budaya jawa ttg kepemimpinan yukk...
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
sumber : http://netlog.wordpress.com/
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
sumber : http://netlog.wordpress.com/
Kamis, 19 Februari 2009
Mahasiswa UI kok ga ada yang masuk finalis LKTI??
Barusan iseng-iseng liat website DIKTI, eh pas nginceng2 beberapa menit nemu pengumuman LKTI. Wah ini LKTI untuk dosen apa mahasiswa ya? kalo dilihat dari nama2 yang tidak ditulis menggunakan gelar spertinya mereka itu mahasiswa..CMIIW. Anyway, saya sebagai alumni Universitas Indonesia (UI), yo langsung liat daftar yang masuk 10 besar ini. Eh lah, kemana UI? ternyata ga ada di list 10 besar. Yowis lah ini liat saja daftar 10 besar Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tingkat Nasional Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
1. Ali Topan (403,33)UNESA
2. Fuad Uli Addien (402,5)UGM
3. Decky Junihadi (401,6)UNTAN
4. Ramdhan Nugraha (400,33)UGM
5. Seztifa Miyasyiwi (398)IPB
6. Perwitasari (396,67)UIN Malang
7. Saevul Amri (395)UGM
8. Sulfahri (394,17)ITS
9. Kunto Wibowo (390)UGM
10. Ririn Masrina (387,2)IPB
Semoga lain waktu UI bisa masuk 10 besar, kalo perlu jadi juara....UI kepal jari tinju...bravo the yellow jackets;-)
1. Ali Topan (403,33)UNESA
2. Fuad Uli Addien (402,5)UGM
3. Decky Junihadi (401,6)UNTAN
4. Ramdhan Nugraha (400,33)UGM
5. Seztifa Miyasyiwi (398)IPB
6. Perwitasari (396,67)UIN Malang
7. Saevul Amri (395)UGM
8. Sulfahri (394,17)ITS
9. Kunto Wibowo (390)UGM
10. Ririn Masrina (387,2)IPB
Semoga lain waktu UI bisa masuk 10 besar, kalo perlu jadi juara....UI kepal jari tinju...bravo the yellow jackets;-)
Selasa, 17 Februari 2009
Ponari+ batu petir = sakti ???
Dua minggu terakhir setiap ngecek berita via online, saya dibuat heran dengan adanya berita heboh dukun sakti yang mengandalkan batu petir. Memang susah dinalar, dan saya mikir apakah gejala sosial tersebut merupakan wujud sakitnya masyarakat Indonesia ? Lha anak kecil yang katanya sakti dan memiliki tenaga luar biasa (seperti dijelaskan salah satu Profesor dari LIPI..CMIIW) dipaksa terus2an mengobati orang. Jika memang benar bocah itu sakti, seharusnya pengobatan yang dilakukan menggunakan schedule yang logis dengan tidak merampas hak si bocah tersebut sebagai anak usia belajar dan bermain yang wajar. Namun di satu sisi ironis juga, karena para ulama di negeri ini tidak tanggap untuk meluruskan fenomena sosial bocah sakti itu. Lha kok ulama dibawa2? ya iyalah, karena fenomena sosial tersebut dekat dengan (atau bahkan sudah ya..?...) penyembahan atau penyekutuan Tuhan. Ulama kemana ya? apa masih sibuk membuat UU pengharaman rokok dan pengharaman golput? embuhlah....apa malah ulamanya juga berobat ke si bocah sakti dengan batu petirnya? wah jadi malah mbingungi kalo begini ;-)
Menurut pendapat saya pribadi, fenomena sosial ini secara jelas diberikan Tuhan buat para pemimpin dinegeri kita bahwa negara kita itu masyarakatnya memang sakit. Perlu diobati dengan hal2 yang rasional, agamis, dan pendidikan yang baik. Bukan di cekoki dengan masalah politik yang keblinger. Jadinya ya masyarakat nambah depresi....ono-ono wae....Seharusnya kita (pemerintah, ulama, wakil rakyat, pihak dephan, dll) langsung memberikan perhatian khusus dengan hal2 yang tidak lumrah tersebut (e.g. uji dulu kebenaran melalui "riset" dan pengamatan multidisiplin) sebelum terlanjur menjadi konsumsi masyarakat. Terlebih lagi sudah dikonsumsi oleh public sehingga menimbulkan energi sugesti yang besar dan banyak kepentingan.
Hayo kita semua kembali ke jalan Tuhannya masing2...supaya nggak bingung lihat hitam putihnya kehidupan yang ruwet bin semrawut nggawe ngelu...
Menurut pendapat saya pribadi, fenomena sosial ini secara jelas diberikan Tuhan buat para pemimpin dinegeri kita bahwa negara kita itu masyarakatnya memang sakit. Perlu diobati dengan hal2 yang rasional, agamis, dan pendidikan yang baik. Bukan di cekoki dengan masalah politik yang keblinger. Jadinya ya masyarakat nambah depresi....ono-ono wae....Seharusnya kita (pemerintah, ulama, wakil rakyat, pihak dephan, dll) langsung memberikan perhatian khusus dengan hal2 yang tidak lumrah tersebut (e.g. uji dulu kebenaran melalui "riset" dan pengamatan multidisiplin) sebelum terlanjur menjadi konsumsi masyarakat. Terlebih lagi sudah dikonsumsi oleh public sehingga menimbulkan energi sugesti yang besar dan banyak kepentingan.
Hayo kita semua kembali ke jalan Tuhannya masing2...supaya nggak bingung lihat hitam putihnya kehidupan yang ruwet bin semrawut nggawe ngelu...
Kamis, 12 Februari 2009
kontribusi bersama "Iwan-Ican"
Baru saja datang dari dinner, eh saya langsung dapet kabar dari Bro Ican bahwa tulisan kita yang ditulis pada waktu2 senggang bisa dimuat di :
Ini sedikit banyak menjadikan pelipur lara ketika saya masih berjuang untuk publish paper di jurnal internasional sebagai first author ;-) Maklumlah sampai saat ini baru jadi co author dan fisrt author di level confrences....
Senin, 19 Januari 2009
Sejarah Purworejo
sumber : http://purworejocity.com/?p=3
Kabupaten Purworejo memiliki sejarah yang sangat tua, dimulai dari zaman Megalitik disinyalir telah ada kehidupan dengan komunitas pertanian yang teratur, terbukti dengan sejumlah peninggalan sejarah di masa MEGALITH berupa MENHIR Batu Tegak di sejumlah wilayah Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Ketika zaman Hindu Klasik, kawasan Tanah Bagelen berperan besar dalam perjalanan sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu). Tokoh Sri Maharaja Balitung Watukoro dikenal sebagai Maharaja Mataram Kuno terbesar, dengan wilayah kekuasaan meliputi : Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa Wilayah Luar Jawa.
Prof. Purbacaraka menyatakan bahwa Sri Maharaja Balitung Watukoro berasal dari daerah Bagelen. Indikasi ini tercermin pada nama “Watukoro” yang menjadi nama sebuah Sungai Besar, Sungai ini disebut juga dengan nama Sungai Bogowonto. Disebut demikian, mengingat pada masa itu di tepian sungai sering terlihat pendeta (Begawan).
Petilasan suci berupa Lingga, Yoni dan Stupa tempat para begawan melakukan upacara dapat dilihat di wilayah Kelurahan Baledono, Kecamatan Loano dan Bagelen. Desa Watukoro sendiri terdapat di muara sungai Bogowonto dan masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi.
Pengembangan Agama Islam di wilayah Purworejo, dilakukan oleh Ki Cakrajaya seorang tukang sadap nira dari Bagelen, murid dari Sunan Kalijogo. Ki Cakrajaya lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng. Peninggalan Sunan Geseng banyak terdapat di Bagelen dan Loano.Kenthol Bagelen yang merupakan Pasukan Andalan Sutawijaya, tokoh yang kemudian naik tahta menjadi Panembahan Senopati, merupakan dasar pembentukan Kerajaan Islam Mataram. Pada periode berikutnya ketika Sultan Agung berkuasa di Mataram, pasukan dari Bagelen inilah yang memberikan andil besar dalam penyerangan ke Batavia dan termasuk pasukan inti Mataram.
Akibat dari Perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Kerajaan Jawa menjadi 2, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, tanah Bagelen-pun menerima dampaknya, dimana tanah Bagelen dibagi menjadi 2 bagian untuk Yogyakarta dan Surakarta, tapi karena tidak jelasnya batas-batas pembagian tersebut, mengakibatkan sengketa yang berkepanjangan.Masa Perang Diponegoro meletus (1825 - 1830) tanah Bagelen menjadi basis perlawanan Pangeran Diponegoro. Melihat adanya pemberontakan oleh Pangeran Diponegoro, maka Jenderal De Kock meminta bantuan pasukan dari Kerajaan Surakarta.
Menghadapi ini, Belanda yang dipimpin oleh panglimanya Kolonel Cleerens membangun markas besar garnisun di Kedongkebo tepi Sungai Bogowonto. Perang hebat tidak bisa dihindarkan, Belanda yang dibantu pasukan dari Kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayuda beserta Ngabehi Resodiwiryo berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh pasukan laskar Rakyat Bagelen
Paska Perang Diponegoro, Tanah Bagelen dan Tanah Banyumas diminta paksa oleh Belanda. Kemudian Belanda menghadiahkan kepada Ngabehi Resodiwiryo yang berjasa membantu melawan pemberontak, menjadi Penguasa Tanggung dengan gelar Tumenggung Cakrajaya yang selanjutnya diangkat menjadi Bupati (Regent) Kabupaten Purworejo dengan Gelar Cokronegoro. Pelantikan dilakukan di Kedungkebo, markas garnisun Belanda dan yang melantik adalah Kolonel Cleerens.
Wilayah Kabupaten Purworejo ketika itu adalah seluas 263 Pal persegi atau sekitar 597 Km persegi, meliputi Kawasan Timur Sungai Jali. Sedangkan wilayah seluas 306 Km persegi di Barat Sungai Jali, merupakan wilayah Kabupaten Semawung (Kutoarjo) dan dipimpin oleh Bupati (Regent) Sawunggaling. Pada perkembangan lebih lanjut, Kedongkebo yang merupakan basis Militer Belanda digabung dengan Brengkelan dan menjadi Purworejo. Sedangkan Tanah Bagelen oleh Pemerintah Kolonial Belanda dijadikan Karesidenan Bagelen dengan Ibu Kota Purworejo.
Wilayah Karesidenan Bagelem meliputi, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Kutowinangun, Kabupaten Remo Jatinegara (Karanganyar) dan Kabupaten Urut Sewo atau Kabupaten Ledok atau Kabupaten Wonosobo.
Residen Bagelen bertempat tinggal di Bangunan yang sekarang menjadi Kantor Pemerintah Daerah Purworejo atau lebih dikenal dengan nama Kantor OTONOM yang lokasinya di bagian Selatan Alun-alun Purworejo.
Kamis, 08 Januari 2009
Sebuah kontribusi
Alhamdulillah bisa berkontribusi menyumbangkan sebuah artikel yang bertemakan perkembangan teknologi semikonduktor dari material ZnO. Lebih lanjut bisa di click print screen di samping ini atau lihat :
http://www.chem-is-try.org/?sect=fokus&ext=59
Langganan:
Postingan (Atom)