Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pendidikan. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Agustus 2007

Following the law

A guide for the perplexed graduate student doing research.


By. Irving P. Herman
Prof. of Applied Physics at Columbia University,
New York


Going to graduate school to pursue a doctorate is a major commitment of time and effort. It is not for everyone. Once in a graduate programme, choosing a research adviser is perhaps the most important decision a student can make. Likewise, choosing the right students is essential for the careers of advisers. It is obvious that mentors and students must have common research interests and compatible work habits. But it is sometimes less obvious that they must learn to communicate with each other. Developing a functional working relationship is important even between 'good' students and 'good' advisers, and this often takes some time.

In this spirit, I offer 20 'laws' as a guide to graduate students doing thesis research. Each contains sound advice about the facts of life in graduate research, particularly from the viewpoint of a thesis adviser. Several have been slightly exaggerated for effect, or are not to be taken too literally. Some clearly pertain to experimental research, although they have obvious counterparts for other types of research.

I developed these laws to help motivate some of the graduate students in my group, to explain how to be an effective student and to convince them that supervised research is a symbiotic (although not symmetric) interaction between student and adviser. I admit that I am not always successful in this endeavour.

Supervised research is a symbiotic (although not symmetric) interaction between student and adviser.

I also use these laws as general advice for graduate students in my department. All doctoral candidates in the department receive a copy of the laws when they enter our programme, to help them understand how to work with an adviser as they move from the undergraduate mode of taking courses to the graduate mode of conducting supervised research. These laws seem to resonate with my faculty colleagues, and several have posted them and used them.

Although the laws require no interpretation, students may understand them better by understanding their advisers better. Advisers, including my own students' adviser, love to recall the 'good old days' when they were graduate students. They all worked 20-hour days, seven days a week, and they never slept. They needed to build from scratch every instrument they used in their work and they thought of every idea in their theses. And, most importantly, they always, always, took to heart their advisers' every suggestion and acted on each promptly.

On a more serious note, there are some real overarching themes in the laws. In research, being right is paramount, and ideas and results must be evaluated using objective methods untainted by egos. Productive people are productive because they have good work habits. Students need to grow professionally and advisers need to assist them. The relationship between graduate student and adviser truly is symbiotic. (See box)

The Laws of Herman
1. Your vacation begins after you defend your thesis.

2. In research, what matters is what is right, and not who is right.

3. In research and other matters, your adviser is always right, most of the time.

4. Act as if your adviser is always right, almost all the time.

5. If you think you are right and you are able to convince your adviser, your adviser will be very happy.

6. Your productivity varies as (effective productive time spentper day)1,000.

7. Your productivity also varies as 1/(your delay in analysing acquired data)1,000.

8. Take data today as if you know that your equipment will break tomorrow.

9. If you would be unhappy to lose your data, make a permanent back-up copy of them within five minutes of acquiring them.

10. Your adviser expects your productivity to be low initially and then to be above threshold after a year or so.

11. You must become a bigger expert in your thesis area than your adviser.

12. When you cooperate, your adviser's blood pressure will go down a bit.

13. When you don't cooperate, your adviser's blood pressure either goes up a bit or it goes down to zero.

14. Usually, only when you can publish your results are they good enough to be part of your thesis.

15. The higher the quality, first, and quantity, second, of your publishable work, the better your thesis.

16. Remember, it's your thesis. You (!) need to do it.

17. Your adviser wants you to become famous, so that he/she can finally become famous.

18. Your adviser wants to write the best letter of recommendation for you that is possible.

19. Whatever is best for you is best for your adviser.

20. Whatever is best for your adviser is best for you.

These laws were inspired by the 'Laws of the House of God' from The House of God by Samuel Shem (Richard Marek, 1978), which provided a somewhat different brand of advice to medical interns. The author thanks Jonathan Spanier, Yigal Komem and other colleagues for suggestions.

Kamis, 05 Juli 2007

Membangun Mesin Reproduksi Pengetahuan

TAHUN 2004 The Times Higher Education Supplement memilih 200 universitas terhebat di dunia. Sepuluh terhebat adalah Harvard University, University of California Berkeley, Massachusetts Institute of Technology, California Institute of Technology, Oxford University, Cambridge University, Stanford University, Yale University, Princeton University, dan ETH Zurich (Swiss).

Yang mengagumkan adalah masuknya empat universitas tetangga terdekat kita, yaitu National University of Singapore (ke-18), Nanyang University (ke-50), Malaya University (ke-89), dan Sains Malaya University (ke-111). Urutan itu ditentukan oleh skor yang diperoleh dalam lima hal, yaitu penilaian oleh sejawat (peer reviewing), jumlah dosen asing, jumlah mahasiswa asing, rasio dosen-mahasiswa, dan citations yakni jumlah karya tulis dosen yang dikutip di forum dunia.

Kelima hal ini mencerminkan keunggulan dalam pengajaran, penelitian, dan reputasi internasional. Sebagai bahan perbandingan, universitas riset di AS misalnya kini mendominasi beasiswa dan penelitian dunia, memiliki 450.000 mahasiswa asing, dan mempekerjakan dosen dari berbagai negara. Sementara itu PT kita cenderung mengangkat dosen dari lulusannya sendiri, sesuatu yang sangat dihindari di AS. Para birokrat kampus tidak menyadari bahwa praktik (malpractice) ini tidak kondusif bagi reproduksi ilmu pengetahuan.

Secara spesifik laporan itu (halaman 13) menyebutkan Indonesia tidak termasuk dalam daftar, padahal penduduknya menempati urutan terbesar keempat. Artinya dalam lima aspek di atas, tidak satu pun dari PT di Indonesia diperhitungkan dunia. Tulisan ini hanya menyoroti aspek produksi karya tulis, yang cenderung dianggap enteng oleh birokrat kampus, dinilai tidak sepenting stadion olah raga atau laboratorium mikrobiologi. Padahal bagaimanapun hebatnya fasilitas fisik yang dimiliki, bila dosennya tidak berbudaya tulis, tetap saja PT itu dianggap memble.

Reproduksi pengetahuan

Reproduksi ilmu adalah olah-ulang iptek yang didapat dari sumber-sumber lain. Indikator reproduksi ini antara lain adanya jurnal terakreditasi baik nasional maupun internasional, jumlah tulisan dosen di media massa, jurnal ilmiah dan buku teks, berkembangnya University Press, dan sejauh mana tulisan ilmuwan kita dikutip ilmuwan di negara lain.

Reproduksi ilmu memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, reproduksi disajikan dalam bahasa nasional. Artinya, para ilmuwan seyogianya menuliskan pemahamannya dalam buku teks dan jurnal berbahasa Indonesia. Ini akan bermanfaat bagi mayoritas yang belum menguasai bahasa asing.

Di samping itu, penulisan buku teks sesungguhnya merupakan langkah cendekiawan bahasa, yakni memberdayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa iptek. Banyak ilmuwan yang mengkritik rendahnya kualitas terjemahan buku teks dalam bahasa Indonesia, sementara mereka sendiri tidak pernah menerjemahkan atau menulis buku teks sendiri dalam bahasa Indonesia.

Kedua, reproduksi adalah penulisan pemahaman dalam konteks lokal. Artinya, kebenaran iptek yang universal itu seyogianya dipijakkan pada kasus-kasus lokal Indonesia. Ini penting karena melalui buku teks, pembaca dilibatkan untuk memahami fenomena lokal dalam konteks kebenaran universal. Ini menumbuhkan kepenasaranan intelektual dan apresiasi terhadap fenomena dan nilai-nilai lokal; sekaligus sebagai upaya pelestarian budaya sendiri. Inilah satu tafsir tematis terhadap think globally, act locally.

Komponen reproduksi

Ada sejumlah komponen mesin reproduksi pengetahuan sebagai berikut. Pertama, iklim yang kondusif bagi kegiatan tulis-menulis. Manajemen PT kurang memberikan penghargaan terhadap para penulis, berbeda dengan kepada pejabat struktural. Karena itu banyak dosen lebih memilih jabatan struktural daripada meneliti atau menulis. Kebijakan pemerintah pun kurang kondusif bagi publikasi. Berbeda dengan Indonesia, Malaysia tidak menarik pajak dari honor pengarang dan penjualan buku.

Kedua, adanya puspa ragam sumber. Semakin banyak sumber informasi yang tersedia di PT semakin besar kesempatan dosen dan mahasiswa untuk mendapat ilmu baru. Sekarang sudah saatnya, mahasiswa dibiasakan mengakses informasi dari internet dengan tidak mengabaikan sumber-sumber dalam bentuk cetakan. Teknologi ini menawarkan konsep, teori, dan model yang merupakan bahan mentah untuk diracik untuk menghasilkan ilmu baru. Atau setidaknya kemasan baru yang Indonesian-friendly.

Ketiga, kemampuan membaca kritis. Tanpa kemampuan ini, pembaca dan penjelajah dunia maya akan kebanjiran "sampah", bukannya ilmu. Ilmu itu pada hakikatnya adalah buah dari proses berpikir yang didokumentasikan secara telaten dan terus-menerus tanpa henti. Pemerolehan ilmu bergantung pada kemampuan mengikat makna, yakni mendokumentasikan demi keperluan publik. Kelemahan kaum intelektual kita adalah rendahnya keprigelan menulis, sehingga ilmu yang dimiliki mereka berhenti di situ. Tak ada reproduksi.

Keempat, wacana akademik demokratis untuk membantu mahasiswa dan dosen junior agar mampu menulis sesuai dengan kriteria keilmuan yang berlaku secara internasional. Kasus penjiplakan karya tulis oleh pejabat tinggi negara beberapa waktu lalu menunjukkan lemahnya kemampuan menulis akademik, sekaligus bukti gagalnya pendidikan bahasa, khususnya pengajaran menulis di Indonesia.

Di Jepang dan AS ada paguyuban dosen dan mahasiswa, khususnya mahasiswa S-2 dan S-3, yang memiliki minat sama yang secara terjadwal berdiskusi. Diskusi dan dokumentasi yang terus-menerus ini adalah reproduksi ilmu yang berbuahkan buku atau artikel jurnal. Jadi, penulisan buku tidak dipersepsi sebagai beban berat yang harus didanai pemerintah, tetapi sebagai rutinitas akademik, layaknya mandi dan sarapan pagi.

Kelima, penguasaan bahasa Inggris. Pada umumnya lulusan SMU kita hanya menguasai kurang dari 1.500 kosa kata bahasa Inggris, padahal mereka telah belajar bahasa Inggris selama enam tahun. Bagaimana mungkin mereka akan mampu mencerna bacaan dalam bahasa Inggris. Kemampuan dosen pun bila diukur dengan TOEFL pada umumnya rata-rata di bawah 500. Jadi baik mahasiswa maupun dosen pada umumnya memang tidak siap untuk menulis akademik dalam bahasa Inggris.

Kemampuan menulis akademis atau technical writing lazimnya diperoleh dengan mudah oleh seorang calon ilmuwan setelah terbiasa menulis naratif, yakni menuliskan pengalaman sendiri atau orang lain. Begitu masuk PT, seorang mahasiswa seyogianya siap untuk membangun keterampilan menulis eksploratoris, setelah menguasai keterampilan menulis naratif yang dibangun di sekolah.

Tobat akademis dan langkah berani

Hakikat pembangunan mesin reproduksi ilmu adalah pembenahan manajemen keilmuan internal di PT. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa selama ini kita keliru melihat gelar Dr., Ph.D., M.A., M.Sc. atau Profesor sebagai indikator penting keberhasilan akademis, padahal yang dijadikan ukuran atau benchmarking pada forum internasional adalah citations, yakni karya tulis mereka. Pimpinan PT sering kali membuat kebijakan dengan menargetkan sekian persen dosennya bergelar Dr. atau Magister tanpa menargetkan pengembangan penerbitan kampus, jumlah artikel jurnal internasional, dan buku teks yang ditulis dosen.

Perlu ditempuh "hijrah" sikap secara kolektif terhadap fungsi publikasi dan pembinaan keterampilan menulis kepada dosen muda, misalnya dengan mewajibkan mengikuti perkuliahan academic writing dan Bahasa Inggris masing-masing sebanyak 4 sks pada program pascasarjana. Dan demi kualitas serta untuk menanamkan kepercayaan mahasiswanya, setiap dosen pascasarjana mesti menghasilkan sebuah buku teks sesuai bidang keahliannya. Mungkin juga, sudah saatnya perkuliahan S-3 bidang-bidang tertentu disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini merupakan terobosan berani agar ilmuwan kita siap makalangan dalam forum internasional.

PT seyogianya tidak terlampau berbangga diri dengan kesejarahan lembaga dan ribuan lulusannya, karena itu saja tidak cukup untuk diacungi jempol oleh dunia internasional. PT dinilai lewat prestasi yang dicapai lulusannya dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atau perannya dalam membangun masyarakat.

Dari krisis ke paradigma baru

Sementara kita terseok-seok memasuki era industrial, memasuki abad ke-21 ini masyarakat Eropa memasuki masa transisi dari masyarakat industrial ke masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society), yakni masyarakat yang menempatkan manusia terdidik dan pengetahuan yang mereka produksi dan gunakan sebagai instrumen bagi kemantapan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Tidaklah berlebihan, dikatakan bahwa PT di Indonesia sebagai mesin reproduksi pengetahuan kini mengalami krisis reputasi internasional, dan untuk membangun reputasi ini perlu ditegakkan paradigma baru. Dalam pandangan Kuhn dalam bukunya yang terkenal The Structure of Scientific Revolution, di saat krisis perlu ada rekonstruksi yang mengubah beberapa pandangan teoretis mendasar serta metode pelaksanaan di lapangan.

Aplikasinya pada PT, perlu ada rekonstruksi pemahaman ihwal budaya tulis dengan mengubah asumsi mendasar ihwal menulis dan pembudayaannya di tingkat PT. Sebagai contoh, asumsi bahwa ilmuwan mampu menulis terbukti keliru. Buktinya mayoritas ilmuwan Indonesia tidak berkarya tulis, kalah produktif oleh ilmuwan Malaysia yang sama-sama berbudaya Melayu.

Fakta bahkan mayoritas ilmuwan linguistik dan sastra pun tidak mampu berkarya tulis menunjukkan bahwa (1) penguasaan teori bahasa tidak menjamin produktivitas tulisan dan (2) keterampilan menulis tidak mesti diajarkan oleh ilmuwan linguistik dan sastra, tetapi oleh seorang penulis. Mungkin perubahan sudut pandang seperti ini akan mengubah citra publikasi kaum akademisi Indonesia.***

Penulis, Gurubesar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.