Sumber : http://netsains.com/
Terry Mart, Peraih Indeks Sains Tertinggi: “Saya Sedih, Riset Indonesia Tak Dikerjakan Serius”
Jumat, 15 Agustus, 2008 oleh Merry Magdalena
Jangan pernah remehkan potensi manusia Indonesia. Buktinya enam orang Indonesia meraih indeks tertinggi dalam Wise Index of Leading Scientists and Engineers Organisasi Konferensi Islam (OKI). Adalah Muhilal dan Gunawan Indrayanto (Medical Science), On Tija May, Hendrik Koo Kurniawan dan Terry Mart dari (physics science), serta Effendy (Chemistry). Berikut wawancara eksklusif Netsains.Com dengan Terry Mart, salah satu pemenangnya.
Netsains (NS): Sebenarnya apa maksud dari indeks tertinggi OKI ini? Apa maknanya bagi ilmuwan?
Terry Mart (TM): Pertama-tama harus kita ketahui bahwa indeks ini adalah hasil sebuah studi melalui survei serta beberapa input lain. Saya pernah dikirimi mereka hasil survei mereka terhadap saya, berupa nilai-nilai yang didapat dari jumlah publikasi saya di jurnal internasional yang diberi faktor pemberat seperti jumlah “authors”, “citation” dan “impact factor”. Tampaknya, semakin tinggi jumlah “citation” dan “impact factor” semakin tinggi nilai paper tersebut, namun untuk jumlah “authors” kebalikannya. Maknanya bagi ilmuwan mungkin untuk melihat seberapa jauh pencapaian seorang ilmuwan. Dari tabel yang ditampilkan di homepage Comstech terlihat bahwa Prof. Tjia May On memiliki nilai tertinggi untuk bidang fisika dan saya yakin ini benar karena saya tahu prestasi Pak Tjia. Juga, saya kira hal ini mudah untuk di cross-check melalui ISI-Thomson , Scopus , atau bahkan Google Scholar.
NS: Mengapa Pak Terry beserta 5 ilmuwan Indonesia lain bisa ada di indeks ini?TM: Saya kira ini ada faktor keberuntungan juga bagi saya selain penjelasan di atas. Dunia ini sebenarnya sudah sangat transparan sejak adanya internet.Jadi apa yang kita kerjakan pada dasarnya bisa di”trace” melalui internet.Jika kita menulis sebuah paper, bahkan untuk jurnal nasional sekali punselama jurnal tersebut memiliki homepage, maka nama kita akan muncul didunia maya internet.
NS: Apa pengaruhnya bagi kemajuan sains di dunia dan khususnya Indonesia?
TM: Mungkin pengaruhnya tidak terlalu banyak. Tapi kalau kita mau berkaca dengan “Kata Pengantar” yang ditulis oleh Prof. Dr. Atta-ur-Rahman, sepertinya direktur Comstech, seharusnya kita merasa sedih sekali dengan dana riset rata-rata 0,2% GDP, atau 381 scientist yang merepresentasikan 1,2 milyar penduduk. Atau jika kita melihat pencapaian Malaysia, yang jumlah penduduknya cuma 1/10 penduduk kita, namun prestasi sainsnya sudah jauh mengungguli kita. Jika pemerintah mau melihat ini, maka pemerintah harus mulai mengubah sistem. Sistem kita ini salah, termasuk sistem memberi nilai kepangkatan dan insentif riset.
NS: Apa yang didapat ilmuwan yang mendapat penghargaan tersebut?
TM: Sekali lagi ini bukan penghargaan. Saya sendiri tadinya tidak tahu hal ini, hingga seorang kolega memberitahu saya bahwa nama saya tercantum dalam 6 leading scientists Indonesia versi OIC. Bagi saya sendiri indeks ini hanyalah indikator pencapaian, seperti speedometer di mobil, sudah berapa cepat dan jauh kita berjalan.NS: Bagaimana komentar Pak Terry terhadap perkembangan sains Indonesia saat ini?
TM: Sedih sekali. Kita lebih banyak bekerja dan menghabiskan uang untuk bagian asesorisnya, sementara intinya riset tidak dikerjakan secara serius.
NS: Studi dan riset apa yang kini tengah Bapak tekuni?
TM: Saat ini saya tetap konsisten meneliti produksi hypernuclear dan materi bintang netron. Cukup banyak kemajuan. Beberapa hasil terakhir dapat dilihat di sini.
Selain itu minggu depan (19-8-2008) kami menyelenggarakan APFB08 (http://apfb08.fisika.ui.ac.id/), sebuah konferensi internasional tentang fisika “beberapa-benda” (few-body) dengan sekitar 100 peserta dari sekitar 24 negara. Peserta terbanyak berasal dari Jepang (30), sementara dari Indonesia ada 8 peserta.
Jumat, 22 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar