Bahasa Jawa; Bertahan Digerus Zaman
13/04/2006 12:57
Saat ini, sebagai sebuah bangsa, kita dihadapkan dengan masuknya kebudayaan-kebudayaan baru dari luar negeri. Kebudayaan tersebut disadari atau tidak memberikan pengaruh terhadap kebudayaan yang kita miliki sendiri selama ini. Di dalam sebuah era di mana batas-batas wilayah menjadi tidak relevan lagi, seolah-olah semua budaya tampak seragam. Dengan kondisi seperti itulah perlunya sebuah bangsa memiliki identitas dan jati diri sendiri. Identitas itu bukan saja menjadi pembeda tetapi seharusnya juga menjadi sebuah kebanggan.
Di saat kita menggali identitas kita sebagai sebuah bangsa, kita sering tidak menyadari bahwa justru sebetulnya kita telah meninggalkan apa yang kita miliki sejak zaman dulu. Kebudayaan daerah Indonesia sangat beragam dan menarik. Ironisnya itu justru terabaikan khususnya oleh para generasi muda.
Seperti halnya bahasa Jawa yang keberadaannya saat ini memprihatinkan. Generasi muda saat ini ini enggan menggunakan Bahasa Jawa karena alasan kepraktisan. Di samping itu dengan maraknya bentuk bahasa baru, yang kerap kali disebut bahasa gaul, bahasa Jawa semakin terpinggirkan bahkan dalam masyarakat Jawa sendiri. Penggunaan bahasa Jawa saat ini pun kerap kali diselingi bahasa lain seperti bahasa Indonesia. Sering pula penggunaannya tidak sesuai dengan unggah-ungguhing basa (undha-usuk, tataran).
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fathur dan kawan-kawan (1997) pada keluarga pengguna bahasa Jawa, pemakai setia bahasa Jawa yang baik saat ini lebih banyak didominasi oleh kalangan umur 50 tahun ke atas, baik itu di desa maupun di kota. Sebanyak 72 persen kalangan berusia 30-49 tahun menggunakan bahasa Jawa di daerah pedesaan dan bagi mereka yang tinggal di kota sejumlah 54% menggunakan bahasa campuran. Pada kalangan berusia 30 tahun ke bawah, angkanya sangat menyedihkan karena pemakai bahasa Jawa tercatat sangat rendah yaitu 18%.
Selama ini bahasa Jawa hanya diajarkan secara formal di sekolah melalui program muatan lokal (mulok). Melihat realitas yang diungkapkan oleh penelitian di atas, maka keefektifan pengajaran bahasa Jawa lewat program mulok perlu dipertanyakan. Jangan-jangan pengajaran itu hanya terbatas pada formalitas belaka. Sedangkan gairah dan ketertarikan siswa terhadap bahasa Jawa tidak pernah dibangkitkan. Jika demikian, siapa yang mewarisi budaya daerah kelak?
Bahasa bukan sekedar media untuk berkomunikasi dan bukan pula sekedar penyampai informasi. Bahasa adalah unsur budaya yang menggambarkan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Bagi orang Jawa, bahasa Jawa dianggap memiliki nilai-nilai luhur dan merupakan kekayaan budaya yang tidak ternilai. Namun sayangnya, eksistensi bahasa Jawa sendiri telah mengalami kemunduran. Saat ini menggunakan bahasa Jawa dianggap sudah kuno dan ketinggalan zaman, khususnya bagi para kalangan remaja.
Membangkitkan kembali gairah berbahasa Jawa yang baik dan benar tentu saja bukan merupakan hal yang mudah di zaman seperti ini. Padahal suatu bangsa tidak akan pernah maju jika masyarakatnya sendiri tidak pernah membanggakan budaya bangsa sendiri. Bangsa lain yang telah maju, seperti Jepang dan Korea, bisa berada di depan kita karena mereka bangga dengan budaya sendiri. Ketika orang lain bisa mengapresiasi kekayaan bagsa sendiri, mengapa kita tidak? (the)
Jumat, 26 Oktober 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar