Di bawah ini saya menampilkan sebuah cerita mini yang diambil dari : http://ww1.indosiar.com/v7/lomba-cermin/read.htm?id=14
Cerita tersebut menggambarkan perjuangan seorang wanita muda yang berjuang untuk melawan kemiskinan dengan cara mendapatkan pendidikan yang baik.
Memang pendidikan tidak menjamin kita menjadi orang kaya secara materi. Namun lebih dari itu, dengan pendidikan kita paling tidak mendapatkan kemungkinan untuk hidup layak lebih besar. Pendidikan juga akan mampu mengubah mentalitas diri kita menjadi sosok manusia yang lebih berbudaya dan wise dalam menghadapi segala masalah.
Untuk lebih jelasnya silahkan menikmati cerima mini berikut ini :
Fatimah, Imazahra
Episode Ibunda guru Amiroh
Aku berasal dari pulau Kalimantan, yang SD nya saja sekarang telah rata dengan tanah. Namun aku punya mimpi ingin sekolah setinggi-tingginya! Aku menggenggam bara asa walau duka lara silih berganti menyapa. Alasan yang sangat klasik tapi nyata, kemiskinan membelitku seperti remukan ular kobra! Kepapaan dan tanggung jawabku sebagai anak pertama juga pernah membuatku berhenti ingin menaklukkan dunia!
Tertatih-tatih aku lawan kejamnya dunia kapitalis. Aku pastikan diri, kemiskinan tidak akan membuatku berhenti sekolah. Meski Abah menentang dan memintaku pulang. Saat itu aku duduk di bangku kelas tiga tsanawiyah di jantung Jogja. Sepucuk surat jatuh ke pangkuanku,
“Nak, pulanglah…! lulus tsanawiyah sudah cukup untukmu. Saat ini. kebangkrutan mendera Abah, menghabiskan segalanya, seperti kobaran api yang membakar rumput kering di musim kemarau. Abah sudah tidak punya apa-apa lagi. Bahkan video tua barang peninggalan dari Saudi sudah dijual untuk mengganjal perut. Alangkah egois jika kamu memilih bertahan di Jogja, sementara ading-adingmu di rumah membanting tulang membantu orang tua. Kalau kamu di sana Abah tidak tahu kamu bisa makan atau tidak, tapi kalau kamu di sini, makan tidak makan, kita hidup bersama.” Intinya, Abah menginginkanku pulang ke Banjarmasin. Berkumpul dengan keluarga berbagi derita miskin bersama-sama.
Waktu itu darah mudaku menggelegak. Aku memilih bertahan. Mengabaikan permintaan Abah. Walau aku belum tahu, kepada siapa aku bisa minta tolong?
Ketika aku menghadap ibu guru BP yang sholihah, Ibu Amiroh, pertahananku jebol. Aku tersedu-sedu di sudut ruang BP, menangis di pangkuan beliau atas pahitnya kefakiran yang ingin merenggutku dari bangku sekolah. Sampai kemudian beliau menjanjikan sesuatu,
“Nak, kalau kamu berhasil meraih ranking 1 paralel (nilai tertinggi di antara peraih juara 1 dari kelas 1 tsanawiyah s/d kelas 3 Aliyah), ibu akan usahakan agar kamu diberi beasiswa bebas SPP tahun ajaran selanjutnya. Walau saat ini kamu baru berhasil meraih rangking 3 dan 2 di semester-semester sebelumnya, ibu yakin kamu bisa!” Sambil mengucapkan kata-kata penyemangat itu, beliau menatap mataku lekat!
Masih kuingat, saat itu aku langsung menggenggam tangan beliau kuat-kuat. Seakan-akan aku tegaskan pada beliau, kemiskinan ini tidak akan membuatku berhenti! Kemiskinan ini malah akan menjadi bara abadi, bahwa aku bisa ‘mengalahkan’nya dengan pendidikan setinggi-tingginya!
Sejak itu, siang malam aku belajar seperti orang gila. Aku ‘kesetanan’ ingin membuktikan kalau aku juga bisa menjadi juara 1 paralel! Meski dalam sejarah pesantrenku selama belasan tahun, belum pernah ada juara 1 paralel dari pulau Kalimantan.
Akhir tahun ajaran tiba. Setelah sekian pengumuman dibacakan, tiba-tiba namaku dipanggil ke atas panggung di acara anugerah juara-juara kelas yang disaksikan oleh ribuan santri dari seluruh penjuru tanah air. Saat itu kakiku seperti tidak menapak tanah,
“Ananda Fatimah binti Chairi, dari kelas III B meraih juara 1 kelas IIIB daaan… Juara 1 Paralel. Kepada Ananda, kami persilahkan ke depan menerima penghargaan!” Suara bariton Pak Rusydi hampir-hampir tenggelam oleh sorak sorai teman-teman dari daerah Kalimantan. Semua mengelu-elukan aku. Mataku pun basah. Beliau berhasil menghidupkan kembali harapanku sekaligus menyelamatkanku dari putus sekolah.
Belakangan aku baru tahu, bahwa beliaulah yang mengusulkan pembebasan SPP selama satu tahun penuh untukku di hadapan sidang dewan guru dan pembina Madrasah. Beliau ternyata tidak hanya menyemangati saja, tapi sungguh-sungguh membela masa depanku.
***
Episode Teh Merlyna Lim
Setiap tahun aku tepati janji pada motivatorku, Ibu guru Amiroh. Aku nikmati masa-masa sekolah berasrama penuh prestasi, bahkan aku menjadi ketua OSIS.. Biarpun kemiskinan belum menjauh, Ibu Amiroh telah membukakan pintu untukku: Berprestasi dalam pendidikan adalah senjata ampuh melawan cengkeraman kemiskinan!
Lulus dari Madr. Mu’allimaat, aku bulat hati melanjutkan ke bangku kuliah, walau tanpa dukungan finansial memadai dari orang tua. Tersendat-sendat kujalani kuliah.
Di saat temanku menikmati kiriman bulanan dari orang tua mereka, aku berjibaku. Mulai menjadi guru TK sampai berdagang kue dan batik kulakoni asal halal.
Sampai pada sebuah titik, aku kehabisan energi! Aku bahkan terdesak ‘mengemis’ belas kasihan temanku karena waktu itu aku kelaparan dan sudah dua hari tidak makan.
Pada sahabatku aku mengeluh, “Rasanya belitan kemiskinan ini menakdirkanku untuk tidak berhasil meraih gelar sarjana. Aku seperti pungguk merindukan bulan!”
Aku mengalami musibah dan kekecewaan beruntun di tahun 2000. Aku mempertanyakan keadilan Tuhan. Aku lelah dan ingin menyerah. Kalah. Pulang ke Banjarmasin meski tidak membawa gelar sarjana adalah pilihan paling realistis saat itu. Apalagi banyak lulusan sarjana disekitarku malah nganggur!
Hingga suatu ketika, aku temukan tulisan-tulisan moderator yang menggawangi milis Beasiswa yang ‘menampar’ jiwaku! Seri tulisannya singkat tapi menyentuh relung-relung kesadaran. Mengingatkan janjiku pada Ibunda guru Amiroh: kemiskinan harus dilawan dengan prestasi! Membangunkanku kembali pada mimpi terbesarku. Meraih pendidikan setinggi-tingginya, sebagai salah satu kunci menghentikan kemiskinan yang menderaku.
Di milis teh Merlyna membagikan ilmunya yang sangat berharga. Tips dan triks dalam melamar beasiswa sekaligus memenangkannya. Ribuan jam kuhabiskan mengubek-ubek isi milis, ketika aku baru selesai Kuliah Kerja Nyata di Gunung Kidul.
Nama Merlyna Lim sangat tersohor di dunia maya karena ia salah satu moderator milis yang cepat tanggap atas pertanyaan dan kesulitan membernya. Hebatnya lagi, itu semua dilakukannya ditengah-tengah jam kuliah dan penelitiannya yang padat antara Belanda, Hawaii dan Bandung!
Dari milis, aku beranjak mencari tahu tentang dirinya dengan meng-google namanya. Ratusan link muncul menunjukkan siapa dirinya. Luar biasa, Teh Merlyna adalah achiever sejati! Dia telah meraih aneka penghargaan nasional dan internasional dan saat itu dia sedang menempuh program Doktoral di Twente University, Belanda dengan beasiswa internasional yang sangat prestisius. Academic papernya juga telah dipresentasikan di puluhan negara. Aku terbius!
Semenjak itu boleh dibilang aku terobsesi sekaligus ‘iri’ padanya. Jika dia bisa menempuh pendidikan setinggi itu gratis dengan beasiswa, kenapa aku tidak bisa? Kehebatannya di bidang akademik juga menyuntikkan bara: aku harus selesaikan pendidikan S1 ku, sesulit dan seberat apapun tantangan yang kuhadapi. Aku tidak akan bisa mendapatkan beasiswa S2 kalau aku belum menyelesaikan S1 ku!
Terminal Leuwi Panjang, Bandung
Hari itu aku berjanji untuk bertemu dengan Merlyna Lim! Setelah sekian lama aku hanyalah muridnya di dunia maya. Di email kuceritakan, aku mengagumi prestasinya yang mendunia di websitenya: http://www.merlyna.org/bio. Aku ingin menyedot langsung energi positif darinya.
Jelang keberangkatannya kembali ke Belanda, disela-sela kesibukannya mengurus penelitian doktoralnya, dia sisihkan waktu untukku, yang bukan siapa-siapa.
Sekitar setengah jam aku menunggu seperti anak ayam yang hilang karena gak tau Bandung. Akhirnya dari jauh kulihat seorang perempuan keluar dari mobil merah. Putih, cantik, menarik, sederhana dan ramah!
Sambil bersalaman, teteh menarik tanganku, “Ayo Ima, langsung naik mobil, kita cari café yang enak.” Aku tidak tahu mau dibawa kemana, tapi yang pasti, aku langsung menyukainya!
Kami tiba di café Atmosphere yang nyaman sekali. Pemandangan yang terhampar disekeliling bukan main indahnya. Angin Bandung sepoi-sepoi perlahan mengeringkan keringatku.
Gemetar kubuka obrolan sambil menyalakan tape recorder pinjaman. Dia bercerita tentang keluarganya, hobbynya, kenangan masa kecilnya yang lucu dan penuh semangat. ITB dan paduan suara kampusnya, penelitian-penelitiannya dan cintanya pada ilmu pengetahuan. Juga kisah travelingnya yang seru! Meski sudah membaca blog travelingnya, http://merlynatravel.blogspot.com, tetap saja mendengarkan langsung itu asik! Dia bahkan membawakan foto backpackingnya keliling dunia, yang sudah menjangkau hampir 30 negara lebih!
Dia salah satu perempuan cerdas tapi tidak sombong yang pernah kukenal. Dia pompakan jutaan gigabyte semangat untukku! Mulai siang itu, dia ‘kudaulat’ menjadi inspiratorku, selain Ibunda guru Amiroh!
Dia balik bertanya. Dia ingin tahu hidupku. Malu-malu kuceritakan siapa aku dan mimpi-mimpiku yang tertatih-tatih kuraih. Dia besarkan hatiku, “Coba terus, Dik, kamu tidak akan pernah tahu batas kemampuanmu kalau kamu sendiri tidak mencobanya, kita moderator di milis Beasiswa, siap membantu.”
Dia Mengajariku Membagi Ilmu
Dia membuktikannya! Ketika berulang kali aku mengontak dia untuk urusan applikasi beasiswa S2 ku ke berbagai lembaga, berulang-ulang juga emailnya datang memberikan masukan-masukan yang sangat berharga. Bahkan ketika dia sedang sibuk dan di ujung dunia paling jauh sekalipun!
Di penghujung tahun 2003, aku mendapatkan kepastian: memperoleh beasiswa S2 ke Inggris dari Ford Foundation. Pendidikan tak hanya memerdekakanku dari kemiskinan harta dan ilmu, tapi juga mengantarkanku ke berbagai negara, seperti inspiratorku!
Dia mengajariku satu hal yang sangat penting, kita tidak akan pernah kekurangan sekali pun kita membagi yang kita punyai. Sebaliknya kita malah akan semakin kaya karena memberi. Seperti pesan Nabi Mulia, “Al Yadul ‘ulya khairun minal yadis sufla.” Tangan di atas (jauh lebih) mulia dibanding tangan yang di bawah.”
Kamis, 29 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
KRITIK PEMBELAJARAN FISIKA DI LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL
Seorang pernah memberi nasehat kepada mereka yang hendak belajar fisika: “The most important thing to keep mind about taking a physics course is this: You are showing that you have the ability to think.” (Hal terpenting yang harus diingat saat mengikuti pelajaran fisika adalah: Anda harus menunjukkan bahwa anda sanggup menggunakan pikiran anda sendiri.)
Apa artinya? Pada intinya, nasihat tersebut memiliki arti bahwa kita harus memiliki pemahaman tentang kapan dan bagaimana menerapkan konsep-konsep yang kita pelajari dalam dunia fisika. Fisika dipelajari bukan agar kita bisa menyelesaikan soal-soal dalam buku teks fisika, namun agar kita bisa menyelesaikan permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan hukum-hukum fisika. Dengan kata lain, kita harus bisa bernalar sendiri pada saat-saat macam apa dalam kehidupan sehari-hari kita harus menerapkan konsep-konsep fisika yang telah dipelajari dan bagaimana caranya. Menggunakan pikiran sendiri berarti bahwa kita tidak boleh bergantung pada pikiran-pikiran di luar diri kita untuk menemukan jawaban atas kapan dan bagaimana menerapkan pengetahuan dan pemahaman kita atas konsep fisika. Tidakkah terasa membosankan jika setiap kali mengerjakan soal fisika, kita selalu membuka buku teks dan bertanya pada orang lain tentang cara penyelesaiannya? Lagipula apa yang bisa diberikan oleh orang lain kepada kita hanyalah informasi mengenai apa dan bagaimana caranya.mengenai keterampilan untuk menjalankannya atau menerapkannya, hal tersebut sungguh bergantung pada ketekunan latihan yang dijalani oleh diri kita sendiri. Hanya pikiran yang tekun dan terlatih saja yang bisa menghadapi tantangan yang tersaji di hadapannya.
Salah satu sebab utama dari kesulitan memahami fisika ialah karena sifat bahasanya yang abstrak. Bahasa fisika adalah matematika, bahasa yang dipenuhi oleh begitu banyak simbol. Kebanyakan orang awam mengira bahwa matematika tidak ada hubungannya dengan dunia nyata. Konsep kalkulus misalnya sungguh tak kita pahami apa kaitannya dengan dunia nyata. Susahnya lagi, di sekolah bahkan di perguruan tinggi, kita sama sekali tidak dijelaskan arti semua konsep tersebut dan apa gunanya bagi kehidupan sehari-hari. Tidak ada guru atau bahkan dosen kalkulus atau fisika matematik (kalaupun ada sangat sedikit) yang menjelaskan kepada kita untuk apa semua pengetahuan dengan rumus yang begitu banyak tersebut. (Dan yang lebih parah lagi, dosen kalkulus dan fisika matematik adalah mereka yang tidak memahami betul konsep yang dijabarkan dalam buku teks. Mereka hanya menjelaskan apa yang tercatat di buku, dan tidak mendiskusikannya lebih mendalam dengan para mahasiswanya). Kita hanya disuruh menghafal dan menerapkan rumus tersebut untuk memecahkan soal-soal yang diujikan. Kita pun terpaksa menjalaninya karena memang itulah yang harus kita jalani jika ingin nilai ujian kita bagus dan lulus!
Dan seharusnya mahasiswa baru dan semua mata kuliah tentang fisika dasar diajarkan oleh dosen yang punya jam terbang yang tinggi (pengalaman). Dosen seperti ini akan mampu menjawab semua rasa ingin tahu mahasiswa baru. Selain itu akan mampu meningkatkan motivasi belajar mereka. Saya pernah mengalami ketidakpuasan dalam belajar fisika baik waktu di sekolah menengah maupun di perguruan tinggi karena ada guru/dosen yang kurang sekali wawasannya tentang suatu materi fisika dasar. Namun, teman-teman yang lain tampaknya sudah merasa puas akan penjelasannya. Ini yang membuat saya belajar secara mandiri saja (otodidak). Seorang guru/dosen seharusnya jangan merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya tanpa mau bersusah payah untuk memahami kembali apa yang nanti akan diberikan kepada anak didiknya. Dan mereka juga jangan terlalu pelit untuk menjelaskan secara panjang lebar dengan menggunakan alat tulis di papan tulis ketimbang hanya menggunakan slide proyektor.
Belakangan memang ada kebiasaan dosen pakai transparan dan proyektor. Ada satu segi kecil yang menguntungkan di sini. Katanya menghemat waktu supaya bahan yang diajarkan meliput semua yang ditentukan dalam suatu semester. Tapi, dalam belajar ilmu dasar umumnya, fisika khususnya, ada ungkapan Do not cover physics, but discover it. Kedua, segi negatif, banyak dosen yang seakan-akan mempersiapkan bahan kuliah dengan transparan atau disket. Mahasiswa habis waktunya hanya untuk mencatat. Sesungguhnya dosen itu datang tanpa persiapan. Dia hanya menyodorkan bahan untuk dicatat mahasiswa, tanpa peduli mereka mengerti atau tidak.
Guru/dosen seharusnya mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Yang tak tahu katakan tak tahu, sebab kita tak bisa menebak pertanyaan mahasiswa. Sikap seperti ini paling efisien dengan papan tulis. Roger Penrose sampai sekarang pakai papan tulis. Waktu seminar di Syracuse Oktober 2002, semua orang mengatakan "you are the old fashion man" karena masih presentasi dengan papan tulis. Penrose sedikitpun tak peduli.
Ada seorang dosen (bukan di tempat saya belajar) kalau datang ke kelas dengan persiapan mengajar, justru tak perlu bawa apa-apa. Dia selalu berusaha masuk kelas sarjana maupun pascasarjana tanpa secarik kertas, walaupun tentang Medan Kuantum dan Relativitas Umum. Dia mengatakan, "Di kelas hari ini kita membicarakan ini, tanya saja yang berhubungan dengan itu sepanjang kuliah. Kalau bisa kita jawab, ya kita jawab."
Akibatnya proses belajar fisika menjadi sebuah proses belajar yang kaku. Kita menjadi robot-robot pemecah soal-soal yang pintar, namun kosong dalam pemahaman. Ini sebuah proses pembelajaran yang absurd: bersusah payah menghafalkan sekian banyak rumus hanya untuk lulus dari sekolah, dan saat lulus kita ucapkan selamat tinggal dengan semua yang kita hafalkan. Jadi apa sesungguhnya yang kudapat dari sekolah jika pada akhirnya dari sekian banyak yang diajarkan di sekolah, hampir semuanya dengan penuh rasa senang kutanggalkan saat aku lulus sekolah/kuliah? Bersekolah lalu bermakna dangkal: mengikuti proses pengajaran tanpa harus memahami dengan susah payah apa dan mengapa semua itu harus dipelajari, dan semua itu dijalani hanya demi mendapatkan sebuah ijazah. Begitu ijazah didapatkan, maka semua hal yang dipelajari di sekolah tak perlu dipertahankan lagi. Karena hidup yang nyata tak ada kaitannya dengan semua rumus-rumus yang rumit itu.
Proses pembelajaran itu pada hakikatnya adalah proses pembentukan rasa kecintaan dan penghayatan manusia akan betapa mengagumkannya alam raya ini jika kita memandangnya dengan akal budi, ketimbang sebagai proses yang bersifat teknis dan mekanis di mana sekian rumus dan teori harus dihafalkan dan dikuasai hanya untuk mendapatkan nilai ujian yang bagus. Proses pembelajaran yang sejati tidaklah sekedar bernilai pragmatis: yaitu sekedar mengabdi kepada tujuan yang bernilai ekonomis dan karir pribadi. Namun belajar itu erat kaitannya dengan proses evolusi batin manusia menuju kematangan yang lebih tinggi untuk mengenal Tuhannya.
Kita seharusnya menyadari betapa ganjilnya gerak kehidupan yang berlangsung di negeri ini. Di saat negeri lain berlomba-lomba mencapai taraf kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi guna menunjang terciptanya kemakmuran bangsa, di negeri kita malah terjadi proses kemalasan intelektual yang luar biasa. Buku-buku ilmiah maupun aktivitas berpikir dan berdiskusi tidak diminati oleh sebagian besar penduduk negeri ini. Semua pemandangan ini bisa saja diperbaiki jika saja dunia sekolah adalah dunia yang sungguh-sungguh menginisiasi jiwa, pikiran dan perasaan generasi muda untuk mencintai dunia rahasia alam semesta. Dan andaikata dunia sekolah/kampus dikelola oleh para pengelola dan guru/dosen yang mencintai bidang pengetahuannya masing-masing dan bukan sekedar karena gaji, andaikata dunia sekolah bukanlah dunia yang menyesakkan dan meletihkan karena harus banyak menghafal ini dan itu tanpa mengerti apa dan maksud tujuan semua itu, maka tentulah generasi muda kita akan merasa betah dan menenggelamkan diri dalam proses pengembangan diri dan berpikir yang tiada henti.
Ketika masyarakat terlalu memuji hartawan dan bukan ilmuwan, ketika masyarakat lebih mengagumi benda ketimbang pikiran yang menggagas benda itu, ketika masyarakat menuntut kesuksesan dan bukan pengembangan diri, maka salahkah jika generasi muda kita semakin jauh ke belakang? Kita juga melihat ada segelintir generasi muda kita yang telah "diasingkan" oleh masyarakat (dan mungkin juga oleh dunia sekolahnya) yang semakin hari semakin gila kesuksesan. Generasi muda yang terasingkan karena kecintaan dan kegemarannya kepada dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran teori.
nb: maaf, kalau terlalu panjang sampai lupa kalau mau tidur :)
Ada pepatah mengatakan: Orang fisika yang masih muda, masih ingusan, biasanya arogan. Tahu sedikit rumus kuantum, dia sudah sombong. Namun, hampir semua orang fisika, makin tua makin merendah.
M. Hafid Ma'ruf
Menjelang tidur, 21 Mei 2008, 23:15 WIB
Wah artikelnya bagus banget ka iwan. saya jadi semangat untuk belajar lagi, meskipun sekarang sedang tidak lagi kuliah. jadi inget cerita Laskar Pelangi. di cerita itu ada tokoh Lintang, anak kampung udik miskin, yang sangat cerdas meski berada dalam keterbatasan yang sangat ekstrem. Ternyata, salah satu faktor dia bisa seperti itu-menurut saya- adalah rasa cintanya terhadap ilmu pengetahuan yang mendalam. ia rela setiap hari menempuh perjalanan 80 km pulang pergi ke sekolah meski harus melewati hutan belantara yang dipenuhi buaya ganas dan binatang buas. tak satu hari pun dia pernah membolos meskipun terjadi hujan badai dan petir.
dan itu beda sekali dengan kebanyakan orang-termasuk saya-yang gek perlu bersusah payah untuk bisa sekolah, tapi malah gak menghargai arti pendidikan dan ilmu pengetahuan. akhirnya saya jadi bodoh dan ngerti apa2 meski sudah sekolah dan kuliah di tempat2 yang lumayan. jadi nyesel sekarang.
So, tetep semangat ka iwan. kami terus mendukungmu. Tetap semangat, seperti kisah yang ka iwan posting, dan seperti Lintang di Laskar Pelangi. Bravo!
Posting Komentar