Jumat, 21 Desember 2007

Renungan akhir tahun....


hhhmmmm....tahun 2007 bagi saya adalah tahun yang penuh dengan sejarah bagi hidup saya. Di awal tahun 2007, hal bersejarah dimulai ketika saya dinyatakan lulus seleksi untuk mengikuti program doktoral di School of Electrical and Electronical Engineering, Nanyang Technological University, Singapore. Saat itu saya gembira dan merasa lebih optimis dalam menjalani hidup ini. Awal tahun tersebut sebenarnya saya sudah diminta langsung datang untuk melakukan research. Namun karena pertimbangan berbagai hal saya meminta kepada Profesor Sun Xiaowei untuk menunda hingga bulan July. Alhamdulillah permintaan saya dikabulkan.

Kegiatan saya sejak awal tahun hingga bulan awal bulan Juli 2007, lebih tercurah pada kegiatan praktikum Fisika Lanjutan, mengajar di Fakultas Teknik UI untuk bidang Fisika Dasar, pembinaan guru madrasah di Propinsi Banten dan olimpiade sain nasional tingkat DKI. Sedangkan aktivitas lain selain kegiatan kampus, saya masih disibukkan dengan urusan sertifikat rumah yang tak kunjung selesai hingga sekarang. Ya kebetulan saya membeli rumah di tengah pemukiman padat penduduk di daerah Kelurahan Tugu, Kecamatan Cimanggis Depok. Mengapa saya memilih perumahan biasa di tengah pemukiman penduduk yang traditional? alasan saya simple saja, di lingkungan itu kita akan lebih merasa hidup dengan penuh dinamika sosial yang beragam. Sempat saya melihat-lihat perumahan yang berkelas real estate, namun saya kurang sreg dengan gaya hidup mereka yang terkesan kurang bernuansa kebersamaan atau lebih individualis dan lebih kapitalis.

Suasana di perumahan yang saya tempati sejak pertengahan tahun 2006 sungguh unik. Mereka pada umumnya berasal dari daerah. Kadang kalau sedang berkumpul dengan Bapak-bapak di perumahan tersebut saya merasa enjoy, kadang bermain catur bersama, ngobrol tentang pola hidup, saling menasihati, dsb. Bila saya berkaca pada pengalaman saya yang terbiasa menjadi anak rumahan ketika saya memiliki rumah sendiri di lingkungan masyarakat yang heterogen, saya kadang sanksi untuk bisa bisa bermasyarakat dengan baik. Namun, dengan perjalanan waktu saya bisa menyesuaikan diri untuk bisa memahami bagaimana hidup bermasyarakat itu. Dari pengalaman itu saya banyak belajar tentang karakter masyarakat yang heterogen, ada yang pasif, emosional, ingin menonjolkan diri, ramah, rajin ke masjid, senang bermain, senang ngobrol, dll. Karakter mereka tentu menjadi catatan penting buat saya untuk lebih bisa melakukan komunikasi karena saya paham bahwa tingkat pemahaman masyarakat juga berbeda, tingkat pendidikan berbeda, budaya berbeda, dsb. Sejak saya tinggal di perumahan baru itu, ada kesan yang sampai sekarang saya ingat. Begini, ada tetangga di luar perumahan yang heran kepada saya, dia mempertanyakan kenapa saya sudah s2 dan lulusan luar negeri mau ngobrol dan berbaur sama mereka. Memang bila di lihat, masyarakat di luar perumahan tersebut dari jenjang pendidikan tidak begitu tinggi. Banyak dari mereka bekerja sebagai tukang ojek, tukang bangunan, penjual bakso keliling, buruh pabrik, satpam, dsb. Nah, ketika itu saya menjawab pertanyaan tetangga saya dengan menyadarkan beliau bahwa meski saya berpendidikan s2 dan lulusan luar negeri, saya adalah manusia biasa dan butuh pertolongan orang lain. Jadi tidak ada alasan buat saya untuk sombong dan bangga diri dengan membatasi pergaulan secara kaku dengan lingkungan. Dalam bergaul di lingkungan masyarakat, secara pribadi saya berusaha fair, hidup tidak neko-neko, dan berusaha untuk tidak mencampuri serta membicarakan apa yang tetangga miliki dan tetangga kerjakan. Dari pengalaman hidup di perumahan itu, saya semakin sadar bahwa kita lahir dan dibesarkan dengan budaya yang berbeda, budaya yang kita miliki berpengaruh juga pada pemahaman pengetahuan yang kita dapatkan, nah apabila kita mampu mengambil hikmah secara positif semua itu, saya kira dengan semakin tingginya pendidikan yang diperoleh, kita akan dapat lebih mengerti keadaan lingkungan yang ada dan menjadikan diri kita baik di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan keluarga, saya selalu mendidik istri supaya jangan terlalu sering mengobrol hal-hal yang tidak perlu. Hal itu dengan alasan untuk menjaga hati kita dari sifat riya, dengki, iri, dan penyakit hati lainnya seperti yang sering di dengar pada ceramah Aa Gym.

Pada bulan Juni 2007, bulan itu juga peristiwa bersejarah bagi adik saya yang baru menikah pada bulan November 2006 dengan perwira karir angkatan laut, Letda Drg Freddy Budi Darmawan. Adik saya bernama Ade Ratnawati, dia baru saja lulus menjadi dokter gigi pada bulan Maret 2007 dari Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Ohya, kebetulan kami adalah dua bersaudara yang dibesarkan oleh didikan orang tua yang cukup mengedapankan pentingnya mengejar pendidikan. Sejak kecil orang tua saya selalu tegas dan disiplin dalam mengatur kami untuk belajar. Alhamdulillah didikan beliau berdua, mampu menjadikan kami juga sadar dengan baik betapa ilmu pengetahuan dan pendidikan itu memang sebuah modal yang amat berharga. Nah di bulan Juni itulah, saya dan ibu saya mengantarkan adik ke tempat tugas suaminya yang berada di daerah Sulawesi Utara, tepatnya di daerah Bitung. Baru pertama kali bagi saya menapakkan kaki di daerah pulau Sulawesi. Di sana saya menjadi lebih sadar bahwa bangsa Indonesia memang bangsa yang besar secara geografis. Di Bitung, saya melihat budaya yang sangat berbeda dengan dengan daerah di pulau Jawa. Di sana alamnya masih hijau, mayoritas penduduk beragama Kristen, kehidupan masyarakat cukup aman, toleransi beragama terasa baik, dan yang pasti saya tidak melihat kemacetan seperti yang sering saya alami di Jakarta. Kebetulan rumah dinas yang di tempati oleh adik saya berada di tengah kota Bitung dan dekat dengan pelabuhan, jadi setiap hari selama saya disana saya selalu menikmati sibuknya masyarakat kota pelabuhan dengan aneka kegiatannya. Bitung adalah kota pelabuhan di Sulawesi Utara, dan di sanalah markas angkatan laut berada. 3 hari di Bitung saya lalui dengan jalan-jalan di kota itu, jalan-jalan ke pangakalan angkatan laut dan kita juga jalan-jalan ke kota Manado yang ditempuh dalam waktu 1 jam menggunakan mobil pribadi dari kota Bitung. Manado tentunya lebih modern dan ramai bila dibanding Bitung. Ya, secara garis besar saya menilai 2 kota tersebut cukup membuat saya ingin berkunjung lagi ke sana....

Pada bulan Juli 2007, saya berangkat ke Singapur untuk melanjutkan studi doktoral. Alhamdulillah semua urusan administrasi cukup lancar saya urus. Hebatnya ketika saya datang saya hanya confirm saja semua yang sudah saya urus melalui online dari website NTU, dan untuk urusan imigrasi, saya juga mengurusnya melalui online, ketika tiba di Singapur semua sudah ok. Sungguh luar biasa sistem yang diterapkan oleh pemerintah Singapore. Ketika pertama kali saya aktif riset dan kuliah, kesan saya adalah bangga dan senang. Bangga karena saya bisa bergabung di bawah bimbingan Profesor yang bijaksana dan memiliki teman-teman yang rajin, baik, pekerja keras. Senang karena infra struktur dan budaya pendidikan serta riset sukup kondusif, jauh bila saya bandingkan dengan Indonesia. Semua itu merupakan hal yang tiada ternilai.

Di tahun 2007 pula tepatnya dalam kurun waktu bulan Agustus-Desember ini, saya harus memilih tempat untuk mengabdi sekembalinya saya ke Indonesia. Saya dalam waktu yang bersamaan mengikuti dua tes menjadi dosen di Universitas Indonesia, UI (almamater saya) dan Universitas Negeri Jakarta, UNJ. Dua universitas tersebut secara status berbeda, UI adalah universitas otonom (BHMN) sedangkan UNJ adalah universitas negeri yang masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Dalam tes yang saya ikuti, dari info yang saya peroleh bahwa hasil tes sikologi saya di UI cukup baik, namun karena tahapan tes yang harus dilalui memakan waktu yang panjang maka saya tidak mengikuti tes kedua. Bersamaan dengan itu, saya mengikuti tes pula di UNJ dikarenakan saya berusaha untuk realistis dan tidak mau bermain dadu dengan umur dan waktu. Alhamdulillah, atas kehendaknya jua, saya berhasil lulus seleksi menjadi dosen di UNJ dengan proses yang cepat.

Nah begitulah secara garis besar hal bersejarah yang saya alami di tahun 2007. Semoga di tahun 2008 kelak, kita dapat melangkah menuju hal yang lebih baik sesuai dengan pepatah hari esok harus lebih baik, hari kemarin jadikanlah pelajaran. Hanya orang merugilah apabila merasa sudah berlari cepat namun kenyataannya masih ditempat, hal itu bagai marmut yang berlari kencang di roda berputar.

Akhirnya saya ucapkan happy new year 2008, best wishes for all of you....

1 komentar:

dy uli mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.